Wednesday, April 30, 2025

ADA MAKNA 42

 ADA MAKNA  42

(Tien Kumalasari)

 

Wahyu saling pandang dengan sang istri. Tia mengambil seikat mawar itu lalu membawanya ke kamar pengantin. Wajah keduanya keruh. Ada pertanyaan tak terjawab, dan menimbulkan rasa curiga antara satu sama lain.

Ya ampuun. Bukankah malam pertama pernikahan adalah curahan cinta dan kebahagiaan yang ditunggu-tunggu?

Bukan hanya Tia yang mencurigai Wahyu, tapi juga sebaliknya. Sebenarnya siapa pembuat ‘huru-hara’ kecil yang membuat suasana yang seharusnya manis menjadi pahit? Padahal sebenarnya tak ada kata ‘cinta’ pada tulisan yang digantungkan di mawar itu. Biarpun kamu membenciku tapi aku mensyukuri kebahagiaanmu. Banyak kesimpulan yang bisa ditarik dari ungkapan itu. Apakah harus menjadi masalah? Masalahnya adalah karena di hati masing-masing ada rasa curiga. Ada orang lain yang memperhatikan pernikahan mereka, dan ada rasa tersinggung yang digambarkannya dalam tulisan itu.

“Tia, barangkali ada seseorang yang suka padamu, lalu karena kamu tidak menanggapi, dia mengira kamu membencinya. Tapi bagiku tidak masalah kok,” kata Wahyu kemudian.

“Kamu mengatakan itu tapi sepertinya kamu menuduh aku? Aku tidak pernah merasa ada hubungan dengan seseorang dan merasa tidak ada yang menyukai aku tuh. Aku juga tidak pernah membenci siapapun.”

“Demikian juga aku.”

Keduanya saling mengatakan tidak pernah membenci seseorang, tapi ada yang merasa dibenci namun mensyukuri kebahagiaannya.

Tengah malam yang meletihkan itu akhirnya menuduh Emma pengirimnya.

“Gadis itu. Pengiring pengantin bersama Feri,” kata Tia pada akhirnya.

“Tapi aku tidak pernah membencinya.”

“Barangkali dia yang merasa kamu benci, karena kamu tidak membalas cintanya.”

“Masa sih?”

“Kalau bukan dia, lalu siapa?”

“Baiklah Tia, sebenarnya apakah gunanya kita membicarakan hal yang sebenarnya tidak ada artinya ini?” akhirnya Wahyu menyadari bahwa tak ada yang perlu dianggap mengganggu dari kiriman mawar merah itu.

“Kamu benar. Tapi penasaran saja, mengapa ada orang mengirimkan kata-kata seperti itu. Maksudnya apa?”

“Maksudnya adalah mensyukuri kebahagiaan kita. Bukankah begitu?”

Ya, mengapa tidak? Siapapun dia, yang jelas mensyukuri kebahagiaan mereka.

“Ada alamat toko bunga di situ, besok kita bisa menanyakan, siapa yang memesan bunga itu,” akhirnya kata Wahyu sambil membuka pintu, ketika perias pengantin akan mengganti baju mempelai setelah perayaan selesai.

“Ternyata kamu penasaran juga, baiklah,” kata Tia sambil tersenyum manis. Perdebatan telah usai, perdebatan sesaat yang sebenarnya dipicu oleh rasa cemburu dan curiga diantara keduanya.

Setelah pakaian pengantin dilepas, lalu membersihkan riasan, lalu hanya ada mereka berdua, lalu jendela di kamar yang kemudian dibuka, menampakkan rembulan yang memandikan tubuh mereka dengan sinar keemasan. Angin yang bertiup dingin, bahkan terasa hangat, sehangat cinta mereka, sehangat janji-janji yang terucap, sehangat kidung-kidung yang mengalun, lalu menyadari bahwa cinta mereka telah berlabuh.

***

Tapi pagi hari itu Wahyu memerlukan menelpon Reihan. Ia mengatakan tentang seikat mawar merah yang dikirimkan oleh entah siapa di hari pernikahan itu, lalu secara samar Wahyu mengatakan, bahwa barangkali Emmalah yang mengirimkannya.

Tak disangka perkataan sang kakak membuat Reihan kesal.

“Mbak Emma seorang gadis baik dan terhormat. Tidak mungkin dia mengirimkan bunga dengan cara kampungan seperti itu, dengan ungkapan yang aneh dan menimbulkan banyak pertanyaan.”

“Baiklah, maaf, hanya ada perkiraan seperti itu. Lalu bisakah kamu menolong aku?”

“Apa yang harus Rei lakukan?”

“Ada alamat toko bunga yang tertulis di pesan itu, Toko bunga “INDAH". Bisakah kamu menanyakannya siapa sebenarnya yang memesan bunga itu? Akan aku kirimkan foto bunganya dan pesan yang tertulis di sana. Ada alamat lengkapnya.”

Lalu Wahyu mengirimkan foto bunga mawar dengan tulisan yang tertera pada bawah pita ikatan bunga itu.

Reihan segera mengamatinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ya ampun Mas, apa itu perlu? Bukankah tidak ada yang membuat kacau suasana? Menurut aku, tidak ada tanda-tanda bahwa kiriman bunga dan ucapannya berisikan hal-hal buruk, atau punya maksud yang tidak baik.”

“Barangkali kamu benar, tapi daripada bertanya terus menerus, lebih baik kita tahu jawabannya, karena nama pengirimnya kan tidak tertulis. Aku dan Tia hanya penasaran saja, siapa sebenarnya dia.”

Ketika meletakkan ponselnya, Reihan menggerutu sambil cemberut.

“Nggak penting. Berlebihan. Apa semua pengantin baru selalu begitu? Hal kecil saja lalu menimbulkan kecurigaan?” gumamnya.

***

Walau begitu Reihan berangkat juga untuk memenuhi permintaan sang kakak. Hanya saja dia tak mau berangkat sendiri. Dia menelpon Emma untuk diajaknya pergi ke toko bunga itu.

Emma heran mendengar permintaan Wahyu terhadap adiknya.

“Memangnya mas Wahyu mengira kalau mbak Tia punya pacar sebelumnya, lalu pacar itu mengirimkan bunga dengan tulisan yang isinya ikut bersyukur itu?”

“Sepertinya mereka saling mencurigai. Ayolah, kita berangkat berdua. Apa aku harus nyamperin mbak Emma?”

“Aku saja nyamperin kamu. Kamu sendirian di rumah kost kamu?”

“Iyalah, aku sendirian. Tak mungkin mas Wahyu meninggalkan istrinya demi menemani aku di kamar kostnya.”

Lalu keduanya terkekeh geli.

“Ya sudah, tungguin, aku mandi dulu,” kata Emma lalu menutup ponselnya dan bergegas mandi.

Ketika bersiap untuk pergi, sang ibu sedang ada di teras.

“Mau ke mana?”

“Ke … rumah kost Reihan.”

“Mau jalan-jalan? Kamu nggak ke kampus?”

“Nggak ada kelas hari ini.

“Baiklah, hati-hati,” pesan sang ibu.

Tapi ternyata rumah bunga yang alamatnya tertera di pita, letaknya agak di pinggiran kota. Tidak begitu besar toko itu, tapi tampak asri dengan beraneka macam bunga cantik dan wangi.

“Ya ampuun, rumah bunga ini jauh dari pusat kota. Siapa kira-kira yang belanja bunga sejauh ini?” tanya Emma setelah tahu alasannya, mengapa Reihan mengajaknya.

“Barangkali rumahnya dekat-dekat sini.”

“Oh, mungkin. Siapa ya? Teman mas Wahyu, atau teman mbak Tia?”

“Ayo kita masuk. Belum tentu juga pembeli bunga mengatakan alamatnya,” gerutu Reihan.

Seorang satpam yang berjaga mengangguk hormat melihat kehadiran mereka.

Ketika mereka masuk, ia melihat seorang wanita bergegas memasuki ruangan.

“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” tanya penjaga toko.

“Mau pesan bunga? Atau memilih yang sudah ada?” tanya yang lainnya.

Para petugas toko bunga itu sangat ramah.

“Bukan beli. Kami mau bertanya,” kata Reihan sambil mengambil ponselnya, lalu menunjukkan ikatan bunga mawar yang fotonya dikirimkan Wahyu kepadanya pagi tadi.

“Ini … maksudnya apa mas?” tanya penjaga toko heran.

“Apa mbak tahu, siapa yang memesan bunga ini?”

“Lho … ini kan_”

“Kami tidak tahu mas,” potong penjaga toko yang satunya.”

“Tidak mencatat alamatnya?” tanya Emma.

“Maaf, tidak. Kami tidak biasa mencatat nama pemesan, kecuali mereka minta di kirim ke alamat tertentu.”

“Ini kan yang dikirim ke gedung pertemuan semalam?” kata penjaga toko yang pertama

“Iya, tapi kan kami tidak tahu siapa pengirimnya, kalau pemesan tidak ingin mengatakannya.”

“Tapi_” kata penjaga toko yang tadi dipotong perkataannya.

Tapi tak lama kemudian dia menjerit.

“Adduuh, kamu menginjak kakiku, sakit, tahu!” pekiknya marah.

“Oh, maaf. Tidak sengaja. Biar aku melayani tamu-tamu ini, kamu membantu memilah-milah bunga di belakang, ya.”

Tapi Reihan curiga. Sepertinya penjaga toko menyembunyikan sesuatu. Apalagi ketika melihat bahwa penjaga pertama yang ingin mengatakan sesuatu selalu dipotong oleh rekan yang satunya.

“Apakah Mbak menyembunyikan sesuatu?” tanya Reihan tegas. Tapi petugas itu menggeleng-geleng.

“Tidak ada Mas, kami tidak menyembunyikan apapun.”

“Rei, kita tidak bisa memaksanya,” bisik Emma di telinga Reihan, lalu dia menarik lengan adiknya untuk diajaknya keluar. Reihan yang ingin mengikuti perkataan kakaknya, tiba-tiba ia melihat sesuatu. Sebuah foto seorang wanita cantik yang lumayan besar terpampang di dinding. Reihan terkejut. Tentu saja ia mengenal foto itu. Sangat mengenalnya.

“Ibu?” katanya sambil menghentikan langkah, lalu berbalik mendekati foto itu.

“Ini foto siapa?” tanya Emma yang mengikuti langkah Reihan.

“Ini ibuku.”

“Lhoh, kok foto ibumu ada di sini? Tapi ini hanya lukisan kan?” tanya Emma heran.

“Aku juga heran, lukisan ini mirip sekali dengan ibuku,” kata Reihan yang kemudian menoleh ke arah petugas toko. Tapi tak ada lagi yang ada di sana. Kemana mereka?

“Mbak … Mbak… di mana ya, mbaknya yang tadi di sini? Penjaga toko kok pergi semua, kalau bunga-bunganya dicuri orang, bagaimana?”

“Rei, kamu mau ke mana?” teriak Emma ketika Reihan melangkah ke arah belakang.

“Mbaknya tadi ke mana ya? Mbaaak,” Reihan terus berteriak.

“Rei!” Emma mengejarnya dan menarik tangan Reihan.

“Kalau nggak ada yang keluar, aku akan membuang semua bunga yang ada di sini,” teriak Reihan. Suaranya menggelegar, garang, karena dia sungguh merasa kesal. Ia yakin ada yang disembunyikan di sini. Ia curiga, sang ibu ada dibalik toko bunga ini.

“Aku hitung sampai tiga, kalau nggak ada yang keluar, aku buang bunga-bunga ini ke jalanan!”

“Rei, jangan begitu Rei.”

Untunglah tak ada pembeli masuk.

Tapi tiba-tiba seorang wanita keluar, wajahnya merah padam.

“Kamu mau membuang bunga-bunga itu ke jalanan? Coba saja lakukan. Manusia sombong yang tidak punya belas kasihan. Sudah jelas kamu tidak punya belas kasihan. Lama sekali aku tahu itu.”

Reihan terbelalak. Wanita itu adalah ibunya.

Ia segera memburu ke arah wanita itu dan menubruknya sambil berlutut, lalu merangkul kakinya. Tapi wanita itu menghentakkan kakinya sambil mundur sehingga tubuh Reihan jatuh tertelungkup.

“Rei,” Emma memburunya, lalu membantunya berdiri.

“Ibuku, maafkan Rei Bu.”

“Kamu masih mengakui aku adalah ibumu? Ibu yang kamu biarkan terpuruk di balik jeruji penjara?”

“Ibu, bukan begitu. Kami berkali-kali menemui ibu, tapi ibu tidak mau menerima kedatangan Rei dan mas Wahyu.”

“Tentu saja. Untuk apa aku menerima kedatangan orang yang telah membiarkan aku masuk penjara. Bukankah kalian hanya berpura-pura baik? Supaya orang-orang mengira bahwa kalian anak yang berbakti?”

“Ibu salah paham.”

“Jangan panggil aku ibu. Aku tidak punya anak yang pintar berpura-pura.”

“Ibu.”

“Pergi dan jangan pernah merasa kalau kamu punya ibu.”

“Dengarkan dulu penjelasan Rei, Bu.”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan.”

“Ritaaa. Tutup tokonya dan tarik kedua orang ini keluar,” titahnya kepada pembantunya, sambil masuk ke dalam.

“Ibuuu.”

“Mas, toko mau ditutup, lebih baik Mas pergi saja, sebelum ibu memanggil satpam yang akan memaksa Mas dan mbaknya ini keluar.”

“Rei, ayo kita pergi. Nanti malah jadi kacau kalau kamu memaksa,” kata Emma sambil membawa sang adik keluar dari ruangan.

Satpam yang tadi duduk di depan kemudian berdiri, siap melaksanakan perintah majikan.

Rei yang merasa bingung segera diminta naik ke boncengan motor, lalu Emma memacukannya menjauh dari tempat itu.

***

Wahyu dan istrinya sudah ada dimobil, bersama Reihan dan Emma, tentu saja. Karena sejak pagi Emma sudah bersama Reihan.

Reihan yang menceritakan apa yang terjadi kepada kakaknya, yang kemudian segera berangkat menuju ke sebuah toko bunga ‘INDAH’ di alamat yang tadi dikunjungi Reihan dan Emma.

Tepi ketika mereka sampai di sana, toko itu tertutup rapat.

Satpam yang tadi berjaga tak tampak batang hidungnya.

***

Besok lagi ya.

Monday, April 28, 2025

ADA MAKNA 41

 ADA MAKNA  41

(Tien Kumalasari)

 

Ketika selesai makan, keduanya berebut mengantarkan. Emma ingin mengantarkan Feri, tapi Feri ingin mengantarkan Emma, kemudian dia memilih naik ojol untuk pulang setelahnya.

“Masa mau naik ojol sih? Biar aku saja yang mengantar kamu, kan aku yang bawa motor?”

“Tapi kemudian kamu pulang sendirian. Aku yang nggak enak jadinya. Nggak mau ah, biar kamu pulang lebih dulu saja. Kan letak jalannya lebih dekat ke rumah kamu.”

Akhirnya Emma mengalah, karena Feri bersikukuh untuk mengantarkan dirinya terlebih dulu dan setelahnya akan naik ojol untuk pulang.

Tapi ketika sampai di depan rumah Emma, mobil Ardi mau keluar dari halaman. Ia sedang bersama Kinanti.

Emma segera berteriak menghentikan mobil sang ayah.

“Bapak, berhenti dulu.”

“Eh, kamu mau apa?” kata Feri.

“Ayah dan ibuku mau keluar, biar kamu ikut bersama mereka saja.”

“Nggak ah, nggak mau. Kamu membuat aku sungkan saja,” kata Feri yang kemudian menyerahkan sepeda motor, lalu mengangguk ke arah mobil dan berjalan keluar dari halaman.

“Feri!! Tunggu!”

“Ada apa?” seru Ardi sambil melongok dari jendela mobil.

“Bapak, maukah Bapak mengantarkan Feri pulang sekalian Bapak keluar?”

“Di mana rumahnya?”

“Dia yang dulu Emma beri hadiah sepeda. Waktu kami masih SMA.”

“Oh, aku tahu alamatnya,” kata Ardi.

“Tolong Bapak, hihii.. terima kasih,” kata Emma gembira.

Ardi melajukan mobilnya, mengejar Feri yang sudah sampai di jalan besar.

Ia menghentikan mobilnya tepat di samping Feri berdiri.

“Ayo bareng aku,” kata Ardi.

Feri sangat terkejut. Emma nekat sekali. Masa menyuruh orang tuanya mengantarkan aku pulang? Kata batin Feri.

“Ayo, Nak.”

“Ti … tidak Pak, terima kasih banyak, saya mau naik ojol saja.”

“Sekalian aku antar kamu pulang, jangan sungkan.”

“Tt.. tapi … “

“Ayolah, kita pernah bertemu kan? Kami mengenal kamu sebagai teman Emma ketika kalian masih SMA. Naiklah.”

Feri tersipu, ia sudah memegang ponselnya dan nyaris memanggil ojol. Mau menolak rasanya sungkan. Kalau ojol sudah di depan mata, pasti lebih gampang menolaknya. Tapi dia kan baru akan memanggil ojol.

“Ayo, jangan sungkan. Aku sudah tahu di mana rumah kamu lhoh.”

Feri terpaksa membuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya. Dari jauh, Emma yang mengamatinya merasa lega. Ia memasukkan motornya ke garasi, setelah mobil ayahnya menghilang dari pandangan.

***

“Kamu kuliah di mana?” tanya Ardi.

“Di Jogya,” jawab Feri pelan.

“Jurusan apa?”

“Tehnik.”

“Calon insinyur nih,” puji Ardi.

“Ini lagi liburan?”

”Ya, beberapa hari.”

“Tadi memang kencan ketemuan dengan Emma?”

“Tidak. Kami kebetulan saja ketemu di jalan.”

“Owh.”

“Kalau kebetulan pulang ke Solo, jangan sungkan mampir ke rumah.”

“Baik. Terima kasih, Om.”

Sejak tadi Kinanti terdiam. Ia tahu, Feri adalah anak Suryawan. Laki-laki yang nyaris menjadi suaminya, kalau saja anak-anak Suryawan tidak menentangnya.

Rupanya Feri masih mengingatnya, karenanya dia merasa sungkan. Wanita cantik yang duduk di depannya, hampir menjadi ibunya. Dia salah satu yang ikut menentangnya ketika itu. Itu sebabnya dia sebenarnya sungkan.

Ada perasaan tak enak, karena setelah putus hubungan dengan Kinanti, sang ayah tak mau mencari istri lagi. Cukuplah ia menjadi ayah sekaligus ibu bagi kelima anak-anaknya.

“Kakak kamu masih ada satu kan?”

“Iya, mbak Tia.”

“Dia sudah bekerja?”

”Ya. Sudah bekerja. Dan sekarang hampir menikah, kalau Tuhan mengijinkan.”

“Oh, syukurlah. Kakakmu cantik, pasti calon suaminya ganteng dan pintar.”

“Benar.”

“Jangan lupa undang kami ya.”

“InsyaaAllah,” jawab Feri pelan.

"Sudah hampir sampai di rumah kamu tuh.”

“Maaf, saya merepotkan. Emma yang memaksa saya.”

“Tidak apa-apa, aku memang harus melalui jalan ini, jadi tidak repot kalau harus mengantarkan kamu dulu.”

Ketika mobil berhenti di depan rumah, Kinanti memalingkan wajahnya ke arah jalanan. Ia melihat Suryawan duduk di teras rumah.

Feri turun setelah mengucapkan terima kasih, dan menyalami keduanya serta mencium tangannya.

“Terima kasih banyak, Om, Tante,” katanya pelan.

“Sama-sama, kami langsung ya,” kata Ardi dan Kinanti lagi-lagi terdiam.

Ketika mobil Ardi melaju, Feri melangkah mendekati rumah.

“Siapa yang mengantarkan kamu?” tanya sang ayah.

“Keluarganya tante Kinanti.”

“Apa? Kamu pergi ke sana?” tanya Suryawan, terkejut.

“Emma kan teman sekolah Feri waktu SMA? Yang dulu memberi hadiah sepeda ketika Feri ulang tahun.”

“Rupanya tadi kamu ke rumahnya?” tegur sang ayah.

“Tidak Pak. Feri mau ke rumah teman, tapi dia pergi ke luar kota. Ketika sedang jalan, kami bertemu. Tidak disangka, dia semakin cantik.”

“Apa?” tanya sang ayah curiga.

“Bapak kok kelihatan aneh begitu. Memangnya ada apa? Feri hanya memujinya cantik. Dan memang sejak SMA kami sudah dekat.”

“Jangan dulu pacaran. Fokus kuliah kamu.”

Feri tertawa, sambil duduk di depan sang ayah.

“Bu Kinanti juga masih cantik, seperti dulu.”

Suryawan tak menanggapi.

“Feri merasa berdosa, dulu menentang ketika Bapak_”

“Diam.” kata Suryawan keras, membuat Feri sangat terkejut.

Feri tak mengira ayahnya akan marah mendengarnya. Biarpun tidak sangat marah, tapi kelihatan sekali kalau sang ayah tidak senang mendengar perkataannya. Barangkali sang ayah teringat ketika dia dan kakaknya dulu menentang kemauannya, sehingga sang ayah gagal memperistri Kinanti.

“Maaf, Pak,” katanya pelan.

Suryawan diam. Barangkali kemudian dia sadar, bahwa kejadian itu tak harus selalu diingatnya. Ia tahu bahwa apa yang terjadi dalam kehidupannya adalah sebuah garis yang sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, yang tak seorangpun bisa mengingkarinya.

Kemudian wajahnya menjadi melembut, ketika menatap Feri yang menundukkan kepalanya.

“Tidak apa-apa. Hanya … sebaiknya kamu tidak usah mengulang kata-kata itu lagi.”

Feri mengangkat wajahnya, melihat wajah tua itu kembali teduh.

“Bapak bahagia bisa melewati susah dan senang bersama anak-anak bapak. Berjanjilah untuk bisa menyelesaikan sekolah kamu karena setelahnya akan ada adik-adikmu yang menunggu giliran.”

Feri mengangguk cepat dan dengan tandas dia mengatakan kesanggupannya.

“Bapak berharap, tak lama lagi kakakmu akan segera menikah, sehingga satu demi satu beban bapak akan teruraikan.”

Feri kembali mengangguk, lalu berdiri, dan memeluk sang ayah sebelum kemudian masuk ke dalam rumah.

Tapi diam-diam wajah Emma terbayang. Apakah dirinya suka? Kalau benar demikian, Feri hampir yakin kalau sang ayah akan menentangnya keras. Ketika masuk ke dalam kamarnya, wajah Feri menjadi muram.

***

Wahyu yang kemudian  sudah kembali ke rumah kost melihat Reihan dengan santai duduk dilantai sambil membaca buku.

“Mas dari mana?”

“Kan aku sudah bilang tadi, kalau aku menemui pak Suryawan.”

“Oh ya, sukseskah?” tanya Reihan sambil tersenyum menggoda.

“Alhamdulillah. Tapi kemana saja kamu?”

“Ke rumah teman. Pinjam buku,” katanya sambil menunjukkan buku yang dipegangnya.

“Kamu ditelpon berkali-kali, tapi tidak mau mengangkatnya,” tegur Wahyu kesal.

“Haa? Ponselku ketinggalan di kamar. Ini dia, aku malah belum sempat membukanya,” katanya sambil meraih ponselnya.

“Ya ampuun ketinggalan.”

“Waduh, banyak sekali panggilan masuk.”

“Emma mencari kamu, menunggu di teras sampai ban motornya bocor."

“Reihan benar-benar lupa. Ada apa mbak Emma mencari aku? Paling ingin ketemu mas Wahyu.”

“Kamu tuh ya, sukanya ngomong ngawur. Emma bilang mau ngajakin kamu jalan-jalan. Nggak tahu ke mana.”

“Itu alasan dia saja, sebenarnya dia ingin ketemu mas Wahyu.”

“Berhenti mengoceh yang enggak-enggak ya, aku sudah mau menikah.”

“Serius?” tanya Reihan dengan mata terbelalak.

“Sangat serius. Pak Suryawan berharap aku segera melamar secara resmi.”

“Syukurlah. Tapi bagaimana dengan ibu?”

Tiba-tiba kesedihan kembali merambah hati keduanya. Siapa yang mau kehilangan seorang ibu?

“Kita sudah berusaha,” kata Wahyu pelan.

“Yah, apa boleh buat.”

***

Pagi harinya, di kampus, Reihan lalu mendapat cubitan keras di lengannya.

“Ya ampuun, sakit tahu, Mbak,” keluh Reihan sambil merengut.

“Kamu kenapa? Nggak mau mengangkat telponku?”

Reihan tertawa.

“Kasihan, sampai ban motor kempes gara-gara menunggu aku?”

“O, mas Wahyu kan yang ngomong? Emang iya, mas Wahyu yang mengantarkan motor aku ke tukang tambal.”

“Maaf Mbak, ponselku ketinggalan di kamar.”

“Dasar.”

“Sebenarnya mbak Emma mau ngajakin aku ke mana?”

“Jalan-jalan saja, mumpung liburan sehari. Pengin beli rujak, pengin  beli bakso, pengin … macam-macam lah, dan yang bisa menemani aku hanya kamu.”

“Salah sendiri, nggak mau cari pacar.”

“Hmm, pacar …” gumam Emma. Tampak sekali ada nada kecewa dalam gumaman itu.

“Belum ada yang cocok?”

“Ada sih, tapi nggak usah dibahas, aku hanya akan ngobrol yang lainnya.”

“Baiklah, ngobrol soal apa? Kalau saja mbak Emma bukan kakakku, sudah aku pacarin sejak dulu-dulu.”

“Eeh … ada-ada saja,” lalu keduanya terkekeh geli.

“Apa benar, mas Wahyu melamar mbak Tia?”

“Tahu dari mana sih?”

“Iya kan?”

“Iya sih, tapi baru mau melamar secara resmi, barangkali secepatnya.”

“Syukurlah,” ada nada kecewa dalam ungkapan itu.

“Nanti jadi pengiring penganten sama aku ya?”

Ketika itulah ponsel Emma berdering.

Emma mengangkatnya sambil tersenyum.

“Ya Fer?”

"Kami baru saja bicara tentang mbak Tia yang mau segera menikah. Masih menunggu lamaran resminya sih, tapi sudah ada rencana-rencara yang enteng-enteng dulu, begitu.”

"Rencana enteng itu apa?”

“Misalnya … tentang pengiring pengantin, aku usulkan nanti pengiringnya aku sama kamu?”

“Aku?”

“Iya. Kamu mau kan? Siapa tahu besok-besok jadi kesampaian,” kata Feri sambil tertawa.

“Nantilah, masih lama kan?”

“Yang penting kamu bersedia dulu.”

“Baiklah.”

“Ini kamu di mana?”

“Di kampus.”

“Eh, maaf. Pulang jam berapa?”

“Jam dua kira-kira.”

“Aku jemput ya, aku mau pinjam mobil mbak Tia.”

“Terserah kamu saja.”

Ketika ponsel ditutup, Reihan menatapnya heran.

“Siapa? Kelihatannya mbak Emma senang benar.”

“Ada yang minta agar aku jadi pengiring pengantin.”

“Lhoh, aku kan sudah minta duluan?” sergah Reihan.

“Kamu nanti jadi pengiring aku, kalau aku jadi pengantin,” canda  Emma.

“Apaaa?”

***

Hari yang berjalan, serasa berlari. Pembicaraan tentang perjodohan sudah usai, hari pernikahan sudah sampai di ujungnya.

Kedua mempelai sudah selesai ijab kabul. Emma begitu gembira bisa mengiringi pengantin dari orang yang  dikaguminya. Wajah cantiknya tak kalah menarik dari pengantin wanita yang didandani begitu apik.

Bukan hanya Feri yang seringkali menatap wajah Emma, tapi Suryawan juga selalu menatapnya. Wajah Emma adalah wajah Kinanti saat muda. Hal itu membuat ingatannya kembali ke arah kenangan bertahun-tahun silam, ketika hatinya berlabuh pada seseorang yang diharapkan bisa menjadi ibu bagi anak-anaknya, kemudian buyar berkeping ketika anak-anak tak ada yang mendukungnya.

Tapi ingatan getir itu perlahan lenyap, ketika sepasang mempelai bersujud bergantian di pangkuannya. Sederet doa kemudian dilantunkannya pelan, untuk anak dan menantunya.

Para undangan bergantian menyalaminya. Gemetar tangan Suryawan ketika sebuah tangan lembut menyalaminya.

“Selamat berbahagia, Mas," itu suara lembut Kinanti.

Suryawan mengucapkan terima kasih dengan suara lirih. Lalu sebuah jabat erat dan hangat dari suami Kinanti disambutnya dengan senyuman tipis.

“Trima kasih banyak …”

Entah siapa yang mengundangnya, sehingga Kinanti dan suaminya hadir dalam perjamuan yang diadakan begitu sederhana.

Tapi ketika perjamuan itu usai, Wahyu melihat serangkaian mawar merah di meja di depan pelaminan, berjejer dengan rangkaian bunga yang disiapkan sebelumnya.  Entah sejak kapan diletakkan di meja itu, setelah sebelumnya tak ada,

Tia meraihnya, lalu membaca tulisannya bersama suaminya.

‘WALAU KAMU MEMBENCI AKU, TAPI AKU TETAP MENSYUKURI KEBAHAGIAAN KAMU’.

“Dari siapa ini?” seru keduanya.

***

Besok lagi ya.

Saturday, April 26, 2025

ADA MAKNA 40

 ADA MAKNA  40

(Tien Kumalasari)

 

“Mengapa tidak diangkat?” tanya Suryawan.

“Hanya pembicaraan tak penting,” jawab Wahyu sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku.

“Baiklah, aku sudah mengerti apa yang kamu inginkan. Masih ada yang ingin kamu katakan?”

“Satu lagi, saya bukan orang kaya. Saya hidup dari penghasilan yang tidak terlalu tinggi, tapi dengan kesederhanaan, saya akan bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga saya nantinya.”

“Kekayaan itu tidak mutlak. Hidup ini bisa dijalani dengan apapun. Dan kebahagiaan akan ada ketika kita bisa menerima apapun dengan ikhlas dan rasa syukur.”

Wahyu mengangguk. Jawaban itu menyiratkan bahwa tak ada penolakan atas permintaan yang diutarakannya. Wahyu tak ingin kelihatan bodoh dengan menginginkan jawaban gamblang yang sebenarnya sudah terucap walau tidak nyata.

Ketika Wahyu berpamit, Suryawan masih menatapnya sampai anak muda itu menghilang di balik pagar.

Ia menggeleng-geleng, tapi senyuman tampak di bibirnya. Perkataan Wahyu mengena di hati Suryawan. Kalau orang tuanya buruk, apakah anaknya tidak pantas untuk melangkah? Suryawan tahu, Wahyu anak baik. Dia sudah mengutarakan ketulusan hatinya untuk menikahi Tia. Apa salahnya kalau dia menyetujuinya?

Ketika lama tak segera masuk ke rumah, Tia yang memang sengaja tak keluar untuk menemui Wahyu, kemudian menghampiri sang ayah.

“Bapak kok tidak segera masuk ke rumah?”

“Udara begini segar. Sayang untuk dilewatkan.”

Tia duduk di depan ayahnya. Sang ayah tahu bahwa Tia sedang menunggu apa yang akan dikatakannya.

“Kamu ingin bertanya sesuatu?”

“Tidak, Tia menunggu apa yang akan dikatakan Bapak,” kata Tia enteng. Ada rasa lega melihat wajah ayahnya yang tenang tapi cerah. Sesuatu yang baik akan segera didengarnya. Suryawan tahu, Tia sudah mengerti apa jawabannya terhadap Wahyu yang baru saja pulang meninggalkan rumahnya.

“Kalau kamu sudah mantap untuk menjalani hidup bersamanya, jalanilah.”

Sebuah kalimat yang tak terlalu panjang itu adalah sebuah jawaban yang melegakan.

“Apa kamu tahu kalau dia bukan laki-laki kaya? Apa kamu menginginkan hidup berkecukupan dan mewah seperti keinginan gadis-gadis pada umumnya?”

“Tia tahu. Dan Tia siap menjalaninya. Dia juga tahu kalau Tia memiliki tanggungan untuk membantu Bapak demi  mengentaskan adik-adik Tia.”

“Kalau begitu jalanilah. Tanyakan padanya kapan akan secara resmi datang kemari lagi.”

“Tia pamit dulu untuk menemuinya ya Pak.”

“Kenapa tidak tadi saja kamu keluar.”

“Sungkan,” kata Tia tersipu.

Suryawan menatap Tia yang mengambil mobilnya, lalu keluar dari halaman 

Ketika ia mau masuk kerumah, Feri berlari-lari dari dalam.

"Mana mbak Tia? Waduh sudah berangkat?"

"Memangnya kamu mau ke mana?"

"Menemui teman. Ya sudah, Feri naik ojol saja."

***

Ketika sedang menunggu taksi, dia melihat lagi ke arah ponselnya. Ia tahu siapa yang menelponnya, tapi ada apa? Ia ingin menelpon balik, tapi sebelum ia melakukannya, ponselnya kembali berdering.

Wahyu mengangkatnya.

“Emma, ada apa?”

“Mas Wahyu ada di mana? Aku ada di depan rumah kost, tapi tak ada siapa-siapa di kamar kost mas Wahyu.”

“Ada Reihan kan?”

“Tidak ada.”

“Ke mana dia? Kamu sudah menelponnya?”

“Tidak diangkat.”

“Waduh, aku tidak tahu dia pergi ke mana.”

“Mas Wahyu masih lama nggak pulangnya? Aku menunggu di teras nih.”

“Waduh, ini aku sedang menunggu taksi.”

“Dari mana? Jauhkah?”

“Lumayan, lebih baik nggak usah menunggu. Kasihan kalau kelamaan menunggu.”

“Kira-kira berapa lama sampai di rumah.”

“Mana aku tahu? Ini liburan, pasti jalanan macet di mana-mana, jadi belum bisa memastikan.”

“Waduh.”

“Ada perlu yang mendesak? Aku akan mencoba menelpon Reihan,” kata Wahyu yang kemudian menghubungi Reihan. Tapi seperti apa yang dikatakan Emma, tak ada yang mengangkat panggilannya.

“Emma, kamu benar. Dia juga tak mengangkat panggilan aku,” kata Wahyu yang kembali menghubungi Emma.

“Ya sudah kalau begitu,” kata Emma yang tampak kesal, dan kemudian menutup ponselnya begitu saja.

Taksi yang dipanggilnya sudah datang, jadi kemudian Wahyu segera naik, dan mengabaikan Emma yang entah apa yang dirasakannya.

***

Tapi alangkah terkejutnya Wahyu, ketika ia sampai di rumah kost, ternyata Emma masih duduk di teras sambil mengutak atik ponselnya.

“Emma, kamu masih di sini?”

“Ternyata tidak terlalu lama, kalau setengah jam lagi Mas tidak datang, aku benar-benar pulang,” katanya riang.

“Dan jalan kaki,” lanjutnya.

“Kamu kan bawa motor? Kok jalan kaki?”

“Bannya kempes, lihat tuh. Tadi aku sudah mau pulang, bagaimana lagi, bannya kempes begitu,” kata Emma enteng.

Wahyu menoleh ke arah motor yang diparkir di halaman, dan memang ia melihat ban motor itu kempes di bagian belakang.

“Ya ampun, Reihan juga belum pulang?”

“Belum tuh.”

“Kamu ada perlu sama Reihan?”

“Hanya ingin ngajakin jalan-jalan saja, tapi dia malah pergi.”

“Ya sudah, biar aku bawa dulu motornya ke bengkel, kamu tunggu di disni ya.”

“Bengkelnya jauh apa dekat?”

“Lumayan. Sebelah perempatan yang di sana itu.”

“Nggak mau, aku ikut saja.”

“Baiklah, terserah kamu saja,” kata Wahyu yang kemudian menuntun sepeda motor Emma, keluar dari halaman. Emma mengikutinya, berjalan di sampingnya.

“Sebenarnya mas Wahyu dari mana?”

“Dari … menemui seseorang …”

“Pacar?”

Wahyu hanya tertawa pelan.

“Pacar ya?”

“Kasih tahu nggak ya?” goda Wahyu.

Emma cemberut.

“Mas Wahyu jahat deh. Ditanya gitu aja nggak mau jawab.”

“Menemui seseorang, bukan pacar,” dan Wahyu tidak berbohong, karena yang ditemuinya adalah Suryawan.

Ketika menyeberang di sebuah perempatan, sebelah tangan Wahyu memegangi stang motor, sebelahnya lagi memegang lengan Emma, karena jalanan memang sedang ramai.

Betapa terkejutnya Wahyu, ketika sampai di tukang tambal ban di sebelah perempatan itu, ia melihat mobil Tia parkir di sana.

Wahyu tidak menuju ke tukang tambal ban itu, tapi langsung mendekati mobil Tia.

“Tia, kok kamu ada di sini?”

Tia membuka jendela mobil.

“Apa aku mengganggu?” tanya Tia.

“Tidak. Aku sedang mengantarkan Emma ke tukang tambal ban. Ban motornya kempes.

“Ya sudah, aku mau langsung pulang saja,” kata Tia.

“Eh, tunggu dulu, aku mau bicara,” kata Wahyu yang melihat wajah muram Tia. Pasti Tia berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya dan Emma.

“Tunggu sebentar, aku bawa motor ini ke bengkel dulu,” katanya langsung membawa motornya ke arah tukang tambal.

Ia mendengar Tia menstarter mobilnya. Dengan cepat ia menyerahkan motor itu ke tukang tambalnya, lalu berlari kembali ke arah mobil Tia.

“Tunggu dulu, Tia. Aku mau bicara. Apa kamu marah?”

“Tidak, aku hanya merasa bahwa kedatanganku telah mengganggu.”

“Mengganggu apanya? Emma sedang ke rumah mencari Reihan, tapi Reihan pergi entah ke mana. Jadi ketika aku datang dan melihat ban motornya kempes, lalu aku bantu dia membawanya ke tukang tambal. Tunggu sebentar, aku bilang dulu pada Emma,” kata Wahyu yang kembali mendekati Emma yang sudah duduk di depan bengkel kecil itu.

“Emma, aku ada perlu nih, tidak apa-apa kalau kamu aku tinggal di sini?”

“Nggak apa-apa, pergi saja,” katanya singkat. Wajah itu sungguh tampak tidak ceria seperti sebelumnya. Wahyu jadi serba salah.

“Biar aku bayar dulu ongkosnya,” kata Wahyu sambil mengambil dompetnya.

“Tidak, jangan. Biar aku saja. Sudah sana, pacar Mas menunggu tuh,” kata Emma dengan wajah cemberut.

“Maaf ya,” kata Wahyu yang kemudian meninggalkan Emma, lalu masuk ke dalam mobil, dimana Tia masih menunggu.

“Gadis itu tampak kecewa,” kata Tia sambil mengemudikan mobilnya.

“Tidak, dia kesal menunggu Reihan tadi. Entah mengapa, ponselnya tidak diangkat setelah ditelpon berkali-kali.”

“Sepertinya dia marah karena kamu tidak menemaninya.”

“Nggak, tadi dia ke rumah mencari Reihan kok. Aku hanya membantu membawa motornya ke bengkel itu.”

“Tampaknya dia juga ada rasa sama kamu.”

“Jangan mengada-ada,” sergah Wahyu.

“Kalau iya, kenapa? Orang suka itu bebas kok.”

“Baiklah, tapi sebaiknya membahas apa yang dikatakan bapak tadi saja. Nggak penting membahas sesuatu yang tak penting,” kata Wahyu sambil tersenyum.

Tak urung Tia agak terhibur mendengar Wahyu yang tampaknya benar-benar tak  ada hubungan apapun dengan Emma, saudara rumitnya.

“Kata bapak, kalau kamu serius, bapak ingin kamu segera mempersiapkan semuanya. Tampaknya bapak sudah sangat kebelet punya menantu,” kata Tia.

“Dan cucu,” sambung Wahyu yang kemudian melirik ke arah Tia, yang membalasnya sambil tersipu.

***

Sepeda motor itu sudah selesai ditambal. Sekali lagi Emma menelpon Reihan, dan lagi-lagi panggilan itu tak diangkat.

“Aneh, lagi sibuk apa sih Reihan, sehingga tak sempat menjawab panggilan aku?” omel Emma sambil naik ke atas sepeda motornya.

Tapi sebelum Emma sempat menstarter motornya, sebuah panggilan mengejutkannya.

“Emma?”

Emma menoleh, lalu wajahnya berseri tiba-tiba.

“Feri?”

Feri melangkah lebih cepat untuk mendekati Emma. Mereka teman sekolah saat SMA, dan sempat sangat dekat. Tapi mereka terpisah karena Feri melanjutkan kuliah di Jogya.

“Kok kamu ada di sini?”

“Baru pulang kemarin, dua harian yang lalu. Apa kabar kamu? Semakin cantik saja,” seru Feri.

“Kamu juga semakin ganteng.”

Keduanya tertawa riang.

“Ayuk omong-omong di warung itu, yuk,” ajak Feri.

“Baiklah, aku sudah terlanjur duduk di sini nih, aku boncengin kamu saja,” kata Emma.

“Nggak mau, masa aku diboncengin perempuan cantik. Ayo mundur, biar aku yang bawa.”

Emma menurut, lalu turun dan duduk di boncengan.

***

“Lama sekali kita nggak ketemu,” kata Feri setelah mereka duduk menghadapi hidangan yang mereka pesan.

“Kamu jarang pulang?”

“Iya, jarang. Aku ingin ketemu kamu, tapi mau menelpon takut mengganggu.”

“Masa cuma menelpon saja bisa mengganggu.”

“Kamu kan calon dokter, pasti hari-harimu penuh dengan kesibukan belajar. Sekolah dokter itu kan susah?”

“Kata siapa? Sama saja tuh, belajar apapun kalau belum bisa ya susah. Kapan kembali ke Jogya?”

“Masih dua atau tiga harian lagi. Kata bapak disuruh menunggu. Baru saja tadi ada yang mau melamar mbak Tia.”

“Oh ya? Tadi aku melihat mbak Tia.”

“Di mana?”

“Di situ, ketemu dengan teman sekantornya,” jawab Emma.

“Katanya dia mau menemui mas Wahyu.”

Emma tersedak tiba-tiba, membuat Feri jadi kebingungan.

“Eh, hati-hati. Kamu minum dengan tergesa-gesa sih,” kata Feri sambil mengulurkan botol air agar diminum Emma.

“Ya ampun, maaf. Aku kurang hati-hati.”

Emma memang terkejut. Feri menyebut mas Wahyu, menyebut lamaran, apa Wahyu memang calon suami Tia? Itu yang membuatnya tersedak karena terkejut.

“Lain kali pelan-pelan kalau minum.”

“Kamu tadi bilang … ada yang melamar mbak Tia?”

“Iya, sebenarnya hubungan mereka cukup lama, tapi entah mengapa, baru berani ketemu bapak hari ini. Mas Wahyu orang yang baik.”

“Owh.” Emma meneguk minuman sebanyak-banyaknya. Ada yang membuatnya terganggu, dan berharap minuman itu bisa menenangkannya.

“Kamu tiba-tiba seperti gelisah begitu.”

“Nggak, aku baik-baik saja.”

“Syukurlah, ayo diminum lagi dan dimakan. Sebenarnya aku tadi tuh pamit sebentar mau menemui teman kuliah aku yang rumahnya di sekitar tempat dimana aku melihat kamu, tapi dia malah pergi ke luar kota. Jadi aku jalan mau cari ojol untuk pulang. Kebetulan ketemu kamu.”

“Nanti aku antar kamu.”

“Benar?”

Emma mengangguk. Lalu mereka berbincang sangat akrab. Maklum, dulu sahabatan dan sangat dekat. Feri tak bisa melupakan ketika dia ulang tahun dan mendapat hadiah sepeda kayuh dari Emma. Apakah kedekatan itu menjadi berubah warna setelah masing-masing dari mereka tumbuh semakin dewasa?

***

Besok lagi ya.

 

 

KEJORAKU BERSINAR LAGI

KEJORAKU BERSINAR LAGI

(Tien Kumalasari)


Apa kamu tahu?

Saat gelap merambah hati dan jiwa

Saat aku tak sempat melihat gemerlap bintang di langit

Saat mawar mekar tak lagi membuatku menari diantara wangi dan indahnya

Saat angin yang bertiup membawa kebekuan dalam tubuhku

Membuatku menggigil tanpa daya

Membuat ragaku teronggok letih dan lemah

Aku menjerit dalam papa

Ya Allah.. Ya Allah .. Ya Allah..

Hatiku tinggal semenir beras

Tanganku menggapai dalam udara yang kosong

Apakah jeritku tak ada arti?

Lalu sejuta tangan mengelus jiwaku

Dalam harap dan doa yang bergaung menyentuh langit

Lalu setitik terang menyiratkan harap

Lalu hati dan tangan- tangan mulia merengkuhku dalam cinta yang tak berbatas.

Aduhai .. aduhai .. aduhai .

Apalah aku ini .. yang terpuruk ringkih dengan tulang dan kulit keriput

Lalu derai air mata yang kemudian mengalir, adalah rasa syukur.

Kejora telah kembali bersemayam di singgasana pagi yang teduh.

Kulihat langit, banyak cinta diantara kerdipan bintang.

**Terima kasih telah membuatku kuat.**


-------










Friday, April 25, 2025

ADA MAKNA 39

 ADA MAKNA  39

(Tien Kumalasari)

 

Emma tersenyum lucu, melihat Wahyu kaget mendengar permintaannya.

“Mas Wahyu, aku hanya bercanda. Aku hanya ingin tahu rumah kost Reihan. Masa rumah kost adiknya sampai aku tidak tahu?”

Wahyu membalas senyuman itu dan sedikit sungkan. Ia tahu Emma anak orang kaya, sedangkan rumah kost yang ditempatinya bersama Reihan sangatlah sederhana.

“Ini rumah kost sederhana, untuk apa kamu ingin melihatnya?” kata Wahyu.

“Rumah kost sederhana itu seperti apa? Maksudnya bukan rumah mewah, dengan perlengkapan yang serba ‘wah’ … begitu?”

“Ya, seperti itulah.”

“Tidak masalah bagi aku. Aku hanya ingin melihat, apa tidak boleh?” kata Emma ngeyel. Lalu iapun mengikuti Wahyu dan Reihan yang sudah berjalan mendahuluinya.

Dalam berjalan itu ia menatap punggung Wahyu yang tegap dan gagah. Ada perasaan aneh menyelinap. Lalu Emma merasa malu sendiri.

“Bodoh, norak, kenapa aku ini?” kata batinnya.

Mereka berhenti di sebuah kamar, yang kemudian dibuka oleh Reihan. Sesungguhnya Emma merasa prihatin, kamar itu tidak begitu besar. Sekitar tiga kali empatan meter, lalu ada tempat tidur susun, sebuah almari dan meja tempat beberapa barang, khususnya makanan dan minuman. Lalu ada rak dari plastik berisi buku-buku, pastilah itu milik Reihan. Ada lagi sebuah kompor di sudut yang lain, dengan cerek tertumpang diatasnya.

“Nah, kamu heran, ada kamar sekecil ini untuk berdua?” tanya Wahyu.

“Kalau masak di mana?”

“Masak apa? Ada sebuah kompor, itu hanya untuk memasak air minum. Kami tidak pernah memasak. Beli makan di luar, seperti nasi bungkus, itu lebih irit,” terang Wahyu.

“Kamar mandi di mana?”

“Di luar. Satu kamar mandi untuk tiga kamar inap.”

“Jangan melongo Mbak, berbeda dengan rumah mewah yang kamu miliki bukan?” kata Reihan yang kemudian menggelar tikar plastik dilantai, lalu mempersilakan Emma duduk.

“Tidak masalah tempat tinggal yang bagaimanapun bentuknya, yang penting nyaman ditempati,” kata Emma sambil tersenyum.

“Aku suguhkan minuman, tapi bukan minuman dingin. Nggak ada kulkas di sini,” kata Wahyu sambil mengambilkan air dalam botol kemasan.

Emma menerimanya dengan wajah riang, sedikitpun tak tampak rasa kecewa ataupun tak suka. Ia bahkan langsung membuka tutup botolnya lalu meneguknya dengan lahap.

“Segar.”

“Padahal tadi sudah minum es kelapa muda,” kata Reihan.

“Tapi aku masih haus, soalnya udara benar-benar panas.”

“Di sini juga tidak ada AC,” kata Wahyu sambil menyalakan kipas angin yang terletak di pojok ruangan.

“Bukan masalah AC, memang udara sedang panas-panasnya,” kata Emma.

“Mas Wahyu memang mengurangi beban pengeluaran, karena dia membantu biaya kuliah aku,” kata Reihan membanggakan kakaknya.

“Mas Wahyu luar biasa,” puji Emma sambil menatap Wahyu, lalu mengacungkan jempolnya.

“Tidak begitu banyak. Reihan sudah punya penghasilan sendiri. Yah, semuanya berjalan lancar. Aku berharap dia berhasil dalam kuliahnya.”

“Reihan terkenal pintar. Dia nanti bisa lulus bareng aku lhoh.”

“Ah, mbak Emma terlalu memuji. Aku sih biasa saja. Mbak Emma juga pintar, mana mungkin aku bisa mengejarnya.”

“Ayah kalian adalah orang yang pintar, sejak masih sekolah dulu. Tak heran putra putrinya juga pintar.”

“Kok mas Wahyu tahu?” tanya Emma.

“Ibuku yang cerita,” katanya. Lalu wajahnya menjadi muram karena teringat pada ibunya.

“Owh.”

Emma pun terdiam. Sedikit banyak dia sudah tahu tentang wanita bernama Wanda yang melahirkan laki-laki baik bernama Wahyu. Laki-laki yang dikaguminya karena memiliki perhatian besar kepada saudaranya.

Setelah berbincang agak lama, Emma kemudian berpamitan.

“Biar aku antar.”

“Eh, bagaimana caranya? Aku kan bawa motor sendiri?”

Wahyu tampak berpikir.

"Bagaimana kalau aku antar kamu, lalu sepedanya aku bawa pulang, lalu besok biar Reihan membawanya ke kampus setelah nyamperin kamu.”

“Bagus sekali, baiklah. Usul yang baik,” kata Emma sambil berdiri.

Wahyu membawa motor Emma dengan perasaan aneh. Bagaimanapun dia pernah tertarik pada gadis itu, yang disangkal Reihan karena dirinya suka karena wajahnya mirip Emmi. Walau begitu ia merasa senang bisa berboncengan dengan Emma. Ternyata rasa terarik itu masih ada.

***

Kinanti yang duduk di depan rumah melihat sepeda motor Emma memasuki halaman, tapi ada seseorang yang memboncengkannya. Agak khawatir perasaan Kinanti, menduga sang anak sakit. Ia segera berdiri menyambut.

“Emma, ada apa?” tanyanya langsung.

“Tidak ada apa-apa. Tadi Emma main ke rumah kost Reihan. Pulangnya diantar mas Wahyu, kakak Reihan.”

Wahyu mendekat lalu mencium tangan Kinanti dengan santun. Kinanti segera tahu, anak muda itu anak Wanda. Ia mengibaskan perasaan tak suka yang tiba-tiba muncul, lalu menerimanya dengan senyuman hangat.

“Emma menyusahkan kamu, bukan?” tanyanya.

“Tidak Bu, saya sendiri yang bermaksud mengantar, karena hari mulai gelap.”

“Terima kasih banyak ya Nak, tapi bagaimana nanti kamu pulangnya?”

“Saya_”

“Biar motor Emma dibawa mas Wahyu, besok Reihan akan membawanya ke kampus,” potong Emma.

“Oh, begitu? Baiklah. Ayo masuk, biar bibik membuatkan minum,” kata Kinanti ramah.

“Terima kasih Bu, saya akan langsung pulang saja. Ini tadi baru pulang dari kantor, belum mandi juga,” kata Wahyu.

“Tuh, Emma, kamu merepotkan saja. Apa nggak kasihan, Wahyu malah belum mandi tapi harus mengantarkan kamu,” tegur Kinanti.

“Tidak apa-apa, Bu. Tidak repot kok. Sungguh,” kata Wahyu.

“Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan,” kata Kinanti sambil menerima kembali uluran tangan Wahyu yang kemudian lagi-lagi menciumnya.

Diam-diam Wahyu kagum kepada Kinanti. Wanita yang lembut dan baik, tapi ibunya berkata lain. Ia sudah tahu kalau sang ibu berbohong dan hanya ingin menjatuhkan nama baik Kinanti, yang sebenarnya justru dilukai oleh ibunya dengan menggoda suaminya.

“Hati-hati ya Mas,” pesan Emma sambil mengantar Wahyu sampai ke dekat motornya.

“Iya, aku akan hati-hati. Jangan sampai motor kamu lecet atau rusak,” canda Wahyu.

“Bukan itu. Hati-hati menjaga keselamatan Mas, bukan memikirkan motornya, gitu lhoh.”

Wahyu tertawa sambil menstarter motornya.

“Iya, aku tahu.”

Emma masih berdiri ditempatnya, sampai bayangan Wahyu hilang di balik pagar.

***

Ketika kembali ke teras, sang ibu menatapnya heran.

“Sejak kapan kamu dekat dengan Wahyu?”

“Apa maksud Ibu? Emma kenal mas Wahyu juga karena Reihan. Karena Reihan saudara satu ibu dengan mas Wahyu.”

“Oowh.”

“Mas Wahyu itu baik,” lanjutnya.

“Dia menyewa sebuah rumah kost kecil dan sederhana, karena harus berhemat demi membiayai kuliah Reihan. Emma melihat rumah kost itu dan merasa prihatin. Kamarnya kecil, ditinggali berdua dengan sebuah ranjang susun. Tak ada perabot mewah, misalnya kulkas, atau sebuah tempat masak. Hanya ada satu kompor hanya untuk menjerang air minum. Kalau makan mereka jajan, seringnya nasi bungkus.” kata Emma lagi yang menurut Kinanti, anak gadisnya sedang mempromosikan seseorang yang dikaguminya. Kinanti hanya mengangguk-angguk, sambil menatap sang putri penuh selidik.

“Dia seorang kakak yang bertanggung jawab. Dia ingin agar adiknya berhasil menjadi dokter,” Emma masih bersemangat untuk bercerita.

“Ayahnya menjual rumah untuk membiayai kuliah Reihan, kan?” kata Kinanti yang mengetahui perihal kepergian Guntur dengan meninggalkan sejumlah uang untuk biaya kuliah Reihan.

“Iya, Emma juga tahu itu. Tapi terkadang masih ada biaya lain yang dibutuhkan. Sikap mas Wahyu itu seperti sebuah tanggung jawab demi adiknya, walau Reihan punya uang banyak untuk biaya kuliahnya.”

“Iya, dia anak baik. Sekarang sudah maghrib, ceritanya dilanjutkan nanti. Bapak sudah menunggu di mushola.”

“Baik, Emma ke kamar mandi dulu.”

Sambil berjalan ke kamar mandi itu, Emma merasa bahwa cerita tentang Wahyu belum selesai. Ia tidak sadar bahwa sang ibu sedang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya ada di dalam hati anak gadisnya. Kalau benar ada pertalian cinta di antara keduanya, apakah Kinanti akan menerima? Berbesan dengan Wanda? Rasanya tak mungkin. Sang hati akan menolaknya.

***

“Mas Wahyu tadi ketemu siapa di rumah mbak Emma?”

“Ibunya sedang ada di teras. Barangkali memang sedang menunggu kepulangan Emma.”

“Mas pernah ketemu ibu Kinanti kan, waktu mbak Emmi menikah?”

“Iya.”

“Bukankah sikapnya baik?”

“Tadi juga baik. Dia lembut, dan sangat ramah.”

“Benar. Mengapa ibu membencinya ya? Bukankah ibu sebenarnya yang salah karena merusak rumah tangga ibu Kinanti?”

“Ya, tapi nggak usah dibahas lagi sajalah, tak ada gunanya. Kita sudah tahu bagaimana ibu. Tapi sejelek-jeleknya ibu, dia adalah wanita yang telah melahirkan kita, dan membesarkan kita. Ya kan?”

“Iya.”

“Ya sudah, lanjutkan belajarmu. Mas mau istirahat, ngantuk sekali setelah seharian di kantor banyak sekali pekerjaan,” katanya sambil membaringkan tubuhnya di tempat tidur.

“Kelihatannya mbak Emma menaruh perhatian pada Mas,” rupanya Reihan masih ingin mengobrol.

“Apa katamu?”

“Ini bisa kacau.”

“Apa?”

“Mas jangan sampai terpengaruh dengan keadaan ini. Harus fokus pada niatan Mas semula, yaitu melamar mbak Tia.”

“Apa maksudmu?”

“Jangan sampai karena sikap mbak Emma yang manis terhadap Mas, bisa menggoyahkan hati Mas.”

“Kamu itu harusnya tidak sekolah dokter, tapi sekolah sastra, lalu jadi pengarang.”

Reihan terkekeh.

“Itu bukan karangan, tapi perasaan. Cara memandang mbak Emma pada Mas itu berbeda. Pokoknya Mas harus hati-hati.”

“Cerewet!!” kesal Wahyu sambil mengubah posisi tidurnya dengan membelakangi adiknya yang masih belum berhenti nyerocos tentang Emma.

Walau begitu dia sebenarnya juga merasakan sikap Emma yang begitu manis terhadapnya. Seperti bukan sikap yang biasa. Benarkah Emma menyukai dirinya?

Tidak. Wahyu tidak mau lagi bermain-main seperti saat lalu, di mana dia mendekati dua gadis sekaligus, yaitu Tia dan Emmi.

“Itu masa lalu, sekarang saatnya menentukan pilihan. Sekali Tia, tetap Tia,” kata batinnya.

Lalu Wahyu mencari-cari hari baik yang sekiranya pas untuk menemui Suryawan, ayah Tia.

***

“Mengapa kamu begitu yakin kalau aku akan mengijinkan anak gadisku untuk berjodoh denganmu?” kata Suryawan ketika Wahyu datang menemuinya.

“Sesungguhnya saya tidak yakin.”

“Jadi kamu masih ragu-ragu?”

“Maksud untuk memperistri Tia itu tidak saya ragukan. Yang membuat saya ragu adalah apakah Bapak akan mengijinkan, ataukah tidak.”

“Mengapa kalau kamu ragu, tapi tetap saja menemui aku?”

“Saya menginginkan mendapat kepastian. Saya menyadari semua kekurangan yang saya miliki. Bukan tentang diri saya, tapi juga latar belakang keluarga saya. Pasti Bapak masih teringat pada ibu saya.”

“Tentu, aku mengingatnya.”

“Apakah itu akan menjadi penghalang untuk saya melangkah?”

“Bagaimana menurut kamu?”

“Apakah latar belakang orang tua yang buruk akan berpengaruh kepada langkah anak-anaknya dalam kehidupan ini? Kalau begitu halnya maka mereka akan takut untuk melangkah. Merasa rendah diri dan tidak berharga, dan akhirnya akan berjalan ditempat, merasa tak berhak menjangkau apapun,” saat mengatakan itu Wahyu benar-benar merasa sedih. Sedih mengingat apa yang telah dilakukan sang ibu, yang sebenarnya memang membuatnya merasa rendah diri, yang untunglah kemudian Tia mengingatkannya, sehingga akhirnya dia berani menghadap Suryawan.

“Angkat wajahmu,” kata Suryawan ketika melihat Wahyu kemudian menundukkan mukanya.

Wahyu mengangkatnya. Air mata yang menggenang tertangkap oleh mata tua Suryawan. Sudah lama Suryawan tahu bahwa Wahyu memang anak baik, sejak kedatangannya setelah Wanda.

“Apa kamu yakin bahwa kamu mencintai anakku?”

“Dengan sepenuh hati saya.”

“Sebagai orang tua, aku hanya ingin agar anakku hidup bahagia. Ketika aku sudah tiada, ada orang yang selalu menyayangi dan menjaganya, seperti aku melakukannya.”

“InsyaaAllah saya akan melakukannya.”

“Dan mohon maaf, sebelumnya aku akan berterus terang sama kamu, bahwa aku kurang suka pada tabiat ibumu.”

Wahyu menekan rasa sakit, tapi kemudian dia mengangguk. Siapa yang tidak sakit mendengar ibunya tidak disukai? Tapi apa boleh buat. Wahyu bisa memahaminya.

“Maaf ya,” ulang Suryawan.

“Saya mengerti.”

Tapi sebelum berpamit itu, ponsel Wahyu berdering. Ia tahu siapa yang menelponnya, tapi karena perasaan tak enak, dia mematikannya.

***

Besok lagi ya.

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 28

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  28 (Tien Kumalasari)   Saraswati menatap tajam suaminya. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. “Kang...