Saturday, April 5, 2025

ADA MAKNA 28

ADA MAKNA  28

(Tien Kumalasari)

 

Wanda terus mengamati buku itu, dan kemarahan kemudian menyergap batinnya. Ia merasa dikhianati oleh sang anak. Bisa-bisanya punya tabungan tanpa sepengetahuan sang ibu. Beruntung transferan yang lebih besar belum tercatat di buku itu, karena Reihan tidak mencetakkan laporan rekeningnya di buku itu. Tapi pemberian sang ayah sejak awal, sudah lumayan banyak. Ada sepuluh juta lebih tertera di buku itu. Itu pemberian sang ayah yang pertama, ketika Reihan akan membayar uang ujian dan sesambat pada sang ayah karena sang ibu sakit dan kakak Wahyu sedang wawancara di luar kota sehingga tidak bisa dihubungi. Kalau saja transferan berikutnya yang hampir menghabiskan seluruh tabungan Guntur sudah tercatat di buku itu, maka entah apa lagi yang akan dilakukan Wanda. Yang jelas sekarang dia sangat marah karena merasa ditinggalkan sang anak dalam kepemilikan rekening di bank.

Reihan sedang bersiap pulang ketika itu, dan Wahyu akan mengantarkannya ke stasiun sambil berangkat kerja, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Baru saja dia mengangkatnya, suara sang ibu yang terdengar garang menghardiknya.

“Rei! Benar-benar kamu menyepelekan ibu. Ibu kecewa sama kamu!”

Reihan terkejut bukan alang kepalang. Tentu saja Reihan tidak mengerti mengapa sang ibu menghardiknya tiba-tiba.

“Ada apa Bu?”

“Ada apa … ada apa … kamu tidak merasa berbuat salah pada ibu?”

“Rei tidak mengerti, ini ada apa?”

“Sejak kapan kamu punya rekening di bank?”

Reihan terkejut. Bagaimana ibunya bisa tahu?

“Jawab! Sejak kapan??”

“Ibu, dari mana ibu tahu?”

“Dasar pembohong! Buku tabungan kamu ada di almari kan?”

“Iya … iya, maaf Bu. Reihan belum bicara sama ibu tentang tabungan itu.”

“Bagus sekali. Bukankah kamu memang ingin menyembunyikannya  dari ibu?”

“Tapi Bu, maksud Rei ….”

“Dari mana uang itu?”

“Dari … dari bapak … untuk … “

”Dari bapakmu ya?”

“Itu untuk membayar_”

“Untuk apapun harus ibu tahu. Mulai sekarang, ibu yang akan memegang uangmu!”

“Bu, itu hanya ….”

“Pokoknya kalau ayahmu memberi kamu uang, ibu harus tahu. Karena itu biar ibu yang memegang uangmu. Nanti kalau pulang, serahkan ATM itu pada ibu.”

“Tapi Bu.”

Belum sempat Reihan menjawab lagi, ibunya sudah mematikan ponselnya.

“Ada apa?” tanya Wahyu.

“Ibu marah-marah, Rei punya rekening di bank tanpa sepengetahuan ibu.”

“Ibu menemukan buku tabungan kamu?”

“Ya. Di almariku. Ibu minta kartu ATM Reihan, minta agar dia yang mengelola uang Reihan kalau bapak sewaktu-waktu mengirim lagi uang.”

“Kamu sudah mencatatkan pengiriman bapak ke buku itu?”

“Yang terakhir belum.”

“Untung belum. Pengiriman terakhir berapa?”

“Ada sembilan puluh lima juta.”

“Kamu harus menyembunyikan uang itu. Kamu sendiri tahu, ibu itu kebutuhannya banyak, bukan hanya kebutuhan rumah.”

“Arisan … belanja-belanja …”

“Betul. Jadi kamu harus hati-hati dengan uang itu.”

“Apa yang harus Rei lakukan? ATM ini diminta ibu.”

“Apakah kamu percaya pada kakakmu ini?”

“Maksudnya …”

“Pindahkan pengiriman bapak yang terakhir ke rekening Mas. Itu kalau kamu percaya. Mas akan menjaganya dan tidak akan membohongi kamu.”

“Mas sangat menjaga aku, bahkan akan membiayai kuliah aku. Baguslah. Saya kira itu yang terbaik.”

“Benar. Jadi ketika kamu pulang dan ibu meminta ATM kamu, maka uang dari bapak yang terakhir akan aman di rekening Mas. Tapi Mas tidak memaksa.”

“Itu bagus. Sekarang saja Rei mengirimkannya. Aku minta nomor rekening Mas sekarang.”

“Sebaiknya kamu melakukannya sekarang. Mas akan membuka rekening baru, jadi yang nanti akan kamu pakai, tidak tercampur dengan uang Mas.”

“Sekarang? Sebelum pulang?”

“Aku ijin sebentar untuk terlambat masuk kantor, aku antarkan kamu ke bank. Atau ke ATM bank kamu itu.”

“Baiklah, terima kasih Mas.”

***

Reihan sudah sampai di rumah, dan sudah menyerahkan kartu ATM nya begitu sang ibu pulang dari mengajar, tapi tetap saja sang ibu mengomelinya panjang pendek.

“Dasar anak tidak tahu diri. Kamu pikir kamu itu jatuh dari langit? Tidak terlahir dari rahim ibumu ini? Bagaimana kamu bisa menyepelekan ibumu dan menyembunyikan hal keuangan dari ibumu? Kamu tidak percaya pada ibumu?”

“Percaya Bu, hanya saja Rei belum sempat.”

“Belum sempat? Sudah sejak lama kamu memiliki rekening ini, bagaimana mungkin kamu mengatakan belum sempat.. belum sempat?”

“Namanya juga lupa Bu.”

“Jangan seenaknya kamu sama ibu ya,” kata Wanda sambil memasukkan kartu ATM itu ke dalam tasnya.

“Jadi kalau Rei butuh sesuatu harus minta pada Ibu kan?”

Wanda tak menjawab, langsung masuk ke dalam kamarnya.

Reihan menghela napas. Saat itu ia benar-benar kesal pada sang ibu. Beruntung sekali kakak Wahyu memberi jalan terbaik untuk bisa menyimpan rapat agar terhindar dari gangguan sang ibu. Bukan karena pelit, tapi uang itu kan dari sang ayah untuk biaya kuliah.

***

Dalam sebuah pertemuan antar pengusaha, di mana Tia hadir mewakili perusahaan, tanpa diduga ia melihat Wahyu. Ia tak mengira Wahyu sudah bekerja dan ternyata berada di dalam satu atap dengan perusahaannya.

Wahyu yang semula merasa rendah diri karena pernah berbuat salah karena ulah ibunya, merasa sungkan untuk menegurnya. Tapi Tia yang merasa tak ada gunanya membenci, tetap menyapanya.

“Apa kabar, Wahyu?”

“Baik, atas doamu.”

“Senang akhirnya kamu bisa bekerja. Kita akan sering bertemu setelah ini, karena kita bekerja dibawah bendera yang sama.”

“Ya.”

“Kamu kost di sini?”

“Ya.”

“Di mana?

“Agak jauh.”

“Kamu luar biasa. Banyak dipuji atasan. Aku tak mengira bahwa Wahyu yang mereka sebut adalah dirimu. Kamu sudah diangkat menjadi wakil manager karena kepintaran kamu. Aku ikut senang,” sapa Tia yang berusaha ramah.

“Terima kasih,” jawab Wahyu, masih dengan nada sungkan.

Tia meninggalkannya, membiarkan Wahyu yang masih duduk termangu dengan seribu satu pertanyaan, mengapa Tia bersikap seramah itu. Apakah pak Suryawan tidak menceritakan kepadanya tentang kedatangan ibunya, bahkan dirinya sendiri?

“Aku akan menanyakannya, agar tidak terlalu sungkan nantinya, setelah Tia mengetahui lalu menetapkan sikap selanjutnya,” kata batin Wahyu.

***

Sudah agak sore ketika pertemuan bisnis itu berakhir. Tia melihat Wahyu seperti sedang menunggu sesuatu. Barangkali taksi. Tia mendekatinya. Melihat sikap Wahyu yang seperti sungkan, Tia justru merasa bersalah. Pasti tentang kedatangan ibunya ke rumah itu yang membuatnya sungkan. Tia mencoba mencairkan suasana canggung itu dengan menyapanya baik-baik. Bagaimanapun mereka akan sering ketemu. 

"Mau pulang?"

"Eh.. iya. Sedang menunggu ojol."

"Ojol?"

"Ya. Hanya sendirian. Nggak apa-apa."

"Bareng aku saja."

"Terima kasih. Sudah pesen ojol. Mungkin sudah hampir sampai. Tuh, sudah datang."

"Ya sudah. Baiklah."

Tia menghampiri mobilnya, dan memacunya menuju pulang. Tak disangka ia melihat ojol yang ditumpangi Wahyu berhenti di sebuah gang sempit.

Tia berhenti di depan gang itu dan melihat Wahyu memasuki rumah yang sederhana. Sepertinya memang rumah kost tapi yang biasa-biasa saja.

Tia melanjutkan perjalanannya sambil berpikir tentang Wahyu. Dia seorang pintar yang  wakil manager yang gajinya lumayan, mengapa menempati sebuah rumah kost yang sederhana ?

Sementara itu sebenarnya Wahyu melihat mobil Tia berhenti di depan gang sebelum dia masuk ke rumah. Wahyu merasa pasti Tia heran dia tinggal di rumah kost yang sederhana. Tapi Wahyu mengacuhkannya. 

"Memangnya kenapa kalau rumah kostku sederhana dan buruk menurut kamu? Aku tidak perlu merasa malu," gumamnya sambil masuk ke dalam kamarnya.

Tapi Wahyu juga heran, mengapa Tia begitu baik terhadapnya? Padahal dia merasa sungkan setelah Wanda menemui ayah Tia dan berbicara macam-macam.

***

Malam hari itu Reihan menelpon. Ia mengatakan bahwa begitu pulang sang ibu memarahinya habis-habisan.

"Ya sudah, kamu yang sabar. Kartu ATM sudah diminta?"

"Langsung diminta. Aku pikir setelah kartu aku serahkan, ibu tidak marah lagi. Ternyata sama saja."

"Kamu jawab apa?"

"Aku hanya minta maaf dan bilang lupa. Tapi jawaban itu semakin membuatnya marah."

"Ya sudah. Yang penting uang kamu yang banyak bisa diselamatkan."

"Iya Mas. Aku bersyukur untuk itu. Ya sudah, aku mau bilang itu saja. Ini sudah malam. Mas istirahat ya."

"Kamu juga harus segera istirahat. Jangan lupa cari informasi untuk kelanjutan sekolah kamu."

Baik. Besok aku akan mengurusnya."

Wahyu menghela napas lega sebelum kemudian merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tapi bayangan Tia yang bersikap sangat baik selalu mengganggunya.

“Ada apa ini? Jangan bilang kamu mulai memikirkan dia lagi. Harapan untuk kamu sudah tumpas. Yang dia dan keluarganya pasti membencimu. Hilangkan pikiran yang membuat hatimu kusut, Wahyu, sadar diri, baginya, juga bagi keluarganya, kamu itu bukan laki-laki idaman. Lihat ibu kamu yang suka memfitnah, dan sifat itu jangan-jangan juga menurun kepadamu. Tidaaak, aku tidak suka memfitnah, aku justru mencela kelakuan ibuku,” gumamnya berkali-kali, sebelum akhirnya ketiduran karena lelah.

***

Pagi hari itu Wahyu terkejut ketika Tia masuk ke kantornya. Padahal kantor mereka berbeda tempat. Tia di kantor pusat sedangkan dia di kantor cabang.

“Selamat pagi,” sapa Tia.

“Pagi. Kamu di sini?”

“Ada urusan dengan pimpinan, beliau belum datang, jadi aku mampir dulu kemari.”

“Ohh ….”

“Sibuk?”

“Belum.”

“Aku sudah tahu di mana rumah kost kamu.”

“Aku tahu kamu mengikuti aku, kemarin.”

“Bukan mengikuti, kebetulan arah kita sama, lalu aku melihat ojol yang kamu tumpangi berhenti di situ.”

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Kamu mengapa kost di situ? Ada tempat kost yang lebih baik di dekat kantor. Aku  bisa membantu kamu mencarikannya.”

“Memangnya kenapa? Biar saja, aku lebih nyaman di situ.”

“Wahyu, ada tempat yang lebih baik. Milik teman kita juga.”

“Aku harus berhemat, Tia. Adikku mau masuk perguruan tinggi, aku berjanji akan membiayainya. Karena itu aku tidak memilih tempat yang labih layak, demi bisa menyisihkan uang untuk membantu biaya adikku.”

“O, adik kamu yang bernama … aduh … pernah dengar, tapi lupa. Mm.. ya, Reihan ya?”

“Iya, benar, Reihan. Dia ingin masuk fakultas kedokteran.”

“Iya, lumayan mahal. Tapi aku salut sama kamu, karena mau berkorban demi membiayai adik kamu.”

“Hanya sekedar membantu, karena dulu aku juga kuliah sambil bekerja. Tidak bisa menggantungkan orang tua terus menerus.”

“Bagus. Kamu kakak yang baik. Semoga adik kamu berhasil mencapai cita-citanya, agar kakaknya tidak kecewa.”

“Aku hanya ingin membantu.”

Ketika Tia ingin meninggalkan ruangannya, Wahyu memanggilnya.

Tia membalikkan tubuhnya, berjalan mendekati meja kerja Wahyu.

“Dulu ibuku pernah ke rumah kamu, bertemu ayah kamu. Apa kamu tahu?”

“Oh itu, tahu. Bapak cerita padaku. Selang beberapa hari kamu juga datang kan?”

“Maafkan, itu bukan kemauan aku.”

“Aku tahu, lupakan saja. Jangan hal itu membuat kamu berpikir bahwa aku kesal sama kamu.”

“Terima kasih, Tia.”

“Aku ke pimpinan dulu,” Tia akhirnya berpamit.

Wahyu menarik napas lega. Tia tidak membencinya. Tapi jangan berharap apapun. Dia sudah punya calon, bukan?

Wahyu membuka laptop untuk mulai bekerja.

***

Reihan sudah wisuda, urusan masuk ke perguruan tinggi sudah di urus.

Sore hari itu dengan gembira Reihan  mengatakan kalau dia diterima di fakultas kedokteran, tapi swasta. Sang ibu terkejut mendengar biaya yang harus dikeluarkannya.

“Rei, jangan katakan ini pada ibu. Bilang pada ayahmu, bahwa kamu butuh biaya. Bukankah kamu punya nomor kontaknya?”

Reihan terdiam. Uang itu sudah ada, sebenarnya dia tak minta kepada ibunya.

“Ayo bilang, mana ponselmu. Biar ibu telpon dia melalui ponsel kamu saja. Kalau membaca nomor kontak ibu, dia tak akan mengangkatnya,” katanya sambil merebut ponsel Reihan.

***

Besok lagi ya.

 

Friday, April 4, 2025

ADA MAKNA 27

 ADA MAKNA  27

(Tien Kumalasari)

 

Sesaat Guntur tak bisa berkata apa-apa. Bagaimanapun, Emmi adalah darah dagingnya. Kalau tega memarahinya, pasti tak tega mendengarnya sakit, apalagi operasi, yang berarti adalah sakit yang serius.

“Operasi apa?” tanyanya setelah beberapa saat lamanya.

“Ada perdarahan otak.”

“Dia jatuh? Kapan?”

“Menurut ibu Kinanti, pernah jatuh waktu masih kecil. Tapi operasi sudah selesai dan berhasil baik.”

“Alhamdulillah. Dokter Dian menungguinya?”

“Saya beberapa kali datang ke sana, ketika operasi saya menungguinya bersama kedua orang tua dan adik-adiknya.”

“Syukurlah. Mohon saya dikabari kalau ada apa-apa. Biarpun tak bertemu orangnya, tapi kalau mendengar berita baiknya, saya sudah senang.”

“Baiklah.”

“Dokter sudah bertemu keluarganya?”

“Sudah, mereka sangat baik. Adik-adiknya juga baik.”

“Saya berharap, dokter bisa menjadi keluarga mereka. Apakah Emmi sudah pernah mendengar dari dokter bahwa dokter menyukainya?” kata Guntur berterus terang.

“Saya belum pernah mengatakannya. Tapi sikapnya baik.”

“Saya pernah mengatakannya.”

“Dia menjawab apa? Semoga tidak ada penolakan,” kata dokter Dian sambil tersenyum.

“Tidak terlihat begitu. Tapi dia ingin menyelesaikan kuliahnya. Semoga dalam setahun ini bisa selesai.”

“Aamiin.”

“Saya berharap masih hidup ketika Emmi menikah.”

“Dokter jangan berkata begitu. Dokter akan sehat dan kuat.”

“Saya tahu apa yang saya derita.”

“Semangat adalah obat.”

Guntur tersenyum. Ia merasa tak ada yang bisa diharapkannya. Hidupnya adalah milik dirinya sendiri. Siapa yang peduli? Tapi kemudian dia ingat Reihan. Ia sudah memberikan hampir semua tabungannya untuk Reihan. Nanti pasti ia bisa menambahinya lagi kalau diperlukan. Untuk itulah kemudian Guntur merasa hidup.

“Saya punya anak laki-laki. Dokter pernah bertemu bukan?”

“O iya, pernah bertemu ketika dia menemui dokter. Tapi tunggu, mengapa kita tidak bisa menyebut masing-masing dengan nama saja? Seperti sangat resmi.”

“Jadi ….”

“Panggil saya Dian, saya akan memanggil Dokter dengan Bapak.”

“Begitu ya?”

“Begitu lebih baik, Bapak.”

Keduanya tersenyum. Rasanya memang lebih nyaman. Apalagi mereka berada dalam suasana seperti keluarga.

“Terima kasih, Nak.”

Mereka berbincang agak lama. Dokter Dian pergi ketika hari menjelang sore, setelah memberikan sejumlah vitamin yang berguna untuk kesehatannya.

***

Hari berjalan begitu cepat. Hubungan Emmi dengan dokter Dian sudah semakin dekat. Ketika liburan, dokter Dian selalu memerlukan datang menemui Emmi demi melepas rasa kangen yang entah dari mana datangnya rasa itu, sementara sebelumnya tak pernah mereka rasakan.

Tapi satu yang dokter Dian tidak mau mengatakannya, ialah ketika Emmi menanyakan di mana ayahnya berada.

“Mengapa Mas tidak mau mengatakannya?”

“Aku sudah berjanji pada bapak, dan tidak berani mengingkarinya.”

“Apakah bapak sangat membenci aku?”

“Bukan, mana ada seorang bapak membenci darah dagingnya? Bapak hanya ingin tenang.”

“Apakah kehadiranku membuatnya tidak tenang?”

“Ada sebuah perasaan dari seorang pria yang tidak diketahui wanita. Perasaan itu tersembunyi. Tak ingin ia mengatakannya pada siapapun, jadi aku harap, hormatilah keinginannya. Yang jelas, bapak baik-baik saja.”

“Bulan depan adalah saat aku di wisuda. Aku ingin bapak ada didekatku, melihat aku berhasil menyelesaikan studiku. Melihatku dengan sebuah kebanggaan orang tua, menampakkan senyuman cerah karena aku tidak mengecewakannya.”

“Nanti aku akan datang.”

“Bukan. Mas bukan ayahku.”

“Tapi aku calon suami kamu.”

“Mas akan melihatku dengan perasaan yang berbeda. Kebanggaan seorang tua dan kebanggaan seorang suami itu berbeda.”

“Baiklah, nanti aku akan bicara.”

“Mas punya nomor kontaknya kan? Boleh aku minta. Biarkan aku bicara sendiri dengan bapak.”

“Emmi, tolonglah. Aku tidak ingin mengecewakan bapak. Kalau ketemu, nanti aku akan menyampaikan semua keinginan kamu.”

Emmi menghela napas panjang. Berpikir sampai lelahpun ia tetap tak bisa mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan ayahnya.

Tapi kemudian Emmi teringat sesuatu, ada seseorang yang barangkali memiliki nomor kontak ayahnya. Ia harus mencobanya.

***

Reihan sedang berada di rumah kost kakaknya hari itu, ketika ia sedang libur. Setelah ujian, ia banyak punya waktu senggang. Kamar kost Wahyu kecil dan sederhana, sementara dia memiliki jabatan di perusahaannya.

“Mengapa Mas memilih kamar kost yang kecil seperti ini?”

“Memangnya kenapa? Kamar ini bisa membuat aku istirahat atau tidur dengan nyaman.”

“Tapi Mas kan bisa menyewa tempat yang lebih bagus?”

“Ini cukup Rei. Mas harus berhemat, karena mas ingin menyekolahkan kamu, sampai kamu berhasil menjadi orang. Jadi harus selalu ada uang tersisa yang cukup untuk menabung. Bukankah kamu sudah ujian?”

Reihan memeluk sang kakak dengan penuh haru.

“Aku kan punya uang yang dari bapak. Seandainya kurang, aku kira tidak akan banyak. Mas tidak usah menyiksa diri seperti ini.”

“Apa? Menyiksa? Hanya karena sebuah kamar yang sederhana kamu mengatakan kakakmu ini tersiksa? Tidak Reihan, ini cukup untuk aku. Bapak sudah pensiun, pasti uangnya tidak lagi banyak, belum untuk kebutuhannya yang lain. Sementara ibu tidak pernah bisa memegang uang, karena kebutuhannya sendiri juga banyak. Tapi ada aku yang akan selalu mencukupi kebutuhan kamu.”

Ketika itu ponsel Reihan tiba-tiba berdering. Wajah Reihan berseri.

“Mbak Emmi?”

“Apa kabar Rei?”

”Aku baik.”

“Syukurlah. Pastinya kamu sudah selesai ujian, ya kan?”

“Iya, doakan aku lulus ya Mbak.”

“Pasti. Mbak akan selalu mendoakan kamu.”

“Apa Mbak tahu, saat ini aku ada di Solo.”

“Benarkah? Dalam rangka apa? Jalan-jalan karena banyak waktu luang?”

“Aku mengunjungi mas Wahyu. Apa Mbak tahu, mas Wahyu bekerja di sini sudah beberapa bulan ini.”

“Oh ya, syukurlah.”

“Mbak ingin ketemu?”

“Tidak Rei, mbak sedang sibuk. Kamu jadi melanjutkan kuliah kan?”

“Iya, kalau bisa. Bapak memberikan sejumlah uang di rekeningku. Kata bapak untuk membantu biaya kuliahku.”

Emmi tertegun. Akhirnya sang ayah memberikan uangnya sendiri untuk Reihan. Apakah karena keinginan itu, maka ayahnya marah ketika ada yang ingin membantu? Emmi mulai meraba-raba.

“Mbak Emmi masih di situ?”

“Eh, iya. Baguslah Rei, kamu punya uang untuk masuk ke perguruan tinggi nanti.”

“Semoga saja ya MBak.”

“Rei, kamu punya nomor kontak bapak kan?”

“Oh ya, aku punya, bapak memberikannya. Katanya kalau aku butuh sesuatu harus menghubunginya.”

“Boleh aku minta Rei? Aku malah tidak punya nomor kontak bapak.”

“Baiklah, nanti Rei kirimkan untuk Mbak.”

“Rei, selalu berkabar untuk Mbak ya. Kalau kamu punya waktu, boleh main ke rumah. Kamu belum kenal adik-adik Mbak, kan?”

“Tentu. Oh ya, ini ada salam dari mas Wahyu.”

“Katakan, salam kembali. Sudah dulu ya, kirimkan nomor kontak bapak segera,” kata Emmi yang kemudian menutup ponselnya.

“Hei, apa katamu? Siapa yang mengirim salam?” kata Wahyu dengan wajah kesal atas kelancangan adiknya.

Reihan hanya tertawa.

“Siapa tahu bisa bersambung, nanti,” katanya sambil menuliskan nomor kontak ayahnya yang segera dikirimkannya kepada Emmi.

“Ngawur!!”

Reihan hanya cengar-cengir didamprat kakaknya.

***

Emmi sudah berdandan sore itu, karena dokter Dian akan mengajaknya jalan-jalan. Tapi ia memerlukan waktu untuk menelpon ayah Guntur. Reihan sudah mengirimkannya tadi, tapi Emmi belum sempat menghubunginya. Ia duduk di teras, lalu memutar nomor ponsel sang ayah.

Nada panggil itu terdengar, tapi tak ada tanda-tanda panggilan itu diangkat. Berkali-kali Emmi mencobanya, dan yang terakhir ponsel sang ayah malah dimatikan.

Berlinang air mata Emmi.

“Bapak benar-benar tak mau menerima panggilan dari aku? Apa bapak tahu kalau ini adalah nomor kontakku? Sepertinya selama melayani bapak di rumah sakit aku belum pernah memberikan nomor kontakku.”

Karena terpaku pada panggilan yang tak diangkat, dia tak tahu kalau dokter Dian sudah lama berdiri di teras.

“Emmi.”

Emmi terkejut. Ia segera mengusap matanya yang berair.

“Nggak tahu ada Mas di situ. Kok nggak bilang-bilang sih?”

“Kamu kenapa? Menangis?”

“Aku mencoba menelpon bapak, tidak diangkat, ponselnya malah dimatikan. Begitu bencinya bapak padaku,” ujarnya sedih.

“Memangnya bapak tahu bahwa yang menelpon itu kamu?”

“Entahlah. Tahu nggak ya?”

“Bapak tidak pernah mau menerima telpon. Bukan karena benci sama kamu.”

“Oh ya?”

“Ya, jadi jangan sakit hati. Bapak tidak tahu siapa yang menelpon, dan memang tidak ingin berhubungan dengan siapapun.”

“Tapi bapak memberikan nomornya pada Reihan.”

“Kamu tahu nomor bapak dari Reihan?”

Emmi mengangguk.

“Reihan juga mengatakan diberi uang bapak di rekeningnya.”

“Bapak senang bisa melakukan itu.”

“Mengapa? Bukankah bapak marah ketika ada yang ingin membantunya?”

“Kamu ini calon sarjana tapi tidak bisa mengupas sebuah sikap. Karena itulah kamu selalu merasa sakit hati.”

“Aku bodoh ya?”

“Benar,” kata dokter Dian sambil tertawa, membuat Emmi cemberut.

“Nanti saja sambil jalan aku mau bicara, sekarang aku mau ketemu bapak atau ibu, kita jalan sekarang ya, lapar nih," kata dokter Dian santai.

“Baiklah, aku panggil bapak sama ibu dulu,” kata Emmi sambil beranjak masuk ke dalam.

***

Dalam perjalanan itu, Emmi mendesak dokter Dian agar mengatakan mengapa dirinya dibilang bodoh.

“Bapak itu seorang laki-laki. Bapak merasa gagal selama ini, karena sebuah kesalahan yang dibuatnya. Melihat anak-anaknya tumbuh besar dan pintar, bukan membuat dirinya bangga, karena semua itu bukan karena dia. Ia merasa menjadi kecil dan tak berdaya. Lalu ketika bapak ingin membantu biaya untuk Reihan, kamu mengatakan bahwa ayahmu, pak Ardi, ingin membantunya. Apa menurutmu semua bantuan itu menyenangkan?”

“Tidakkah? Bukankah itu juga meringankan beban bapak sendiri.”

“Itu kan menurut kamu. Tapi sebagai seorang ayah, bapak ingin melakukan sesuatu bagi anaknya. Lalu kamu membuatnya kecewa dengan janji ayahmu akan membantunya. Kamu sudah bisa mengerti?”

Emmi terdiam. Ia sudah mulai meraba-raba sejak menelpon Reihan. Sekarang ia bisa mengerti.

“Bagaimana?”

“Bapak ingin punya arti dengan memberikan biaya untuk Reihan. Bapak merasa sakit hati ketika ada orang yang ingin membantunya.”

“Kamu pintar sekarang. Itulah jawabannya. Jadi kamu tidak perlu sedih.”

Emmi mengangguk-angguk. Orang tua memang rumit, bukan?

***

Reihan sedang makan malam bersama Wahyu. Mereka berbincang tentang apa yang harus dilakukan Reihan untuk mencapai cita-citanya.

“Kamu sudah mencari informasi tentang persyaratan masuk ke perguruan tinggi?”

“Sudah. Tapi aku ingin kuliah di sini saja.”

“Bagaimana dengan ibu?”

“Ibu tak akan keberatan, apalagi kalau aku tidak perlu memberatkan ibu.”

“Terserah kamu saja. Kalau kamu kuliah di sini, kamu bisa kost bersama mas.”

“Di kamar sempit itu? Aku tidur di bawah saja, aku sudah tahu kalau Mas tidur, polahnya banyak. Bisa-bisa aku terlempar jatuh kalau tidur seranjang. Apalagi ranjang sempit seperti yang Mas pakai itu.”

Wahyu tertawa. Tapi tawa itu kemudian terhenti, ketika melihat seseorang masuk.

“Bukankah itu mbak Emmi?”

Reihan sudah ingin berteriak, ketika tiba-tiba Wahyu menutup mulutnya dengan telapak tangan.

“Mmmh.”

Wahyu mengarahkan pandangannya ke arah Emmi, dan Reihan kemudian tahu bahwa Emmi tidak sendiri.

“Itu pacar mbak Emmi?” tanya Reihan pelan.

“Menurutmu apa?”

“Itu aku seperti pernah melihatnya. Dia seorang dokter di rumah sakit, dimana aku dioperasi dulu.”

“Dokter?”

“Sepertinya ya.”

“Owh.”

“Kalau begitu bersiaplah untuk patah hati,” kata Reihan enteng. Membuat Wahyu melotot ke arahnya.

***

Wanda sedang merapikan baju-baju Reihan yang baru dikirim dari laundry, lalu akan memasukkannya ke dalam almari.

“Ini kan baju-baju sekolah, sebentar lagi tidak akan dipakai,” katanya sambil menurunkan baju-baju seragam sekolah yang menumpuk di almari Reihan.

Tiba-tiba Wanda melihat sesuatu.

“Buku tabungan?”

Wanda membukanya.

“Sejak kapan Reihan punya buku tabungan?”

***

Besok lagi ya.

Thursday, April 3, 2025

ADA MAKNA 26

 ADA MAKNA  26

(Tien Kumalasari)

 

Wanda tertegun. Panggilan sudah sempat dijawab, tapi kemudian terputus. Lalu mencoba lagi, tidak tersambung. Berkali-kali Wanda mencoba tapi benar-benar tak bisa nyambung.

“Ada apa ini? Apa benar, Guntur tidak mau lagi berhubungan denganku? Apa dia lupa bahwa Reihan terlahir dari rahimku?"

Karena kesal ia mengirimkan pesan panjang lebar, yang isinya mengumpat Guntur yang tidak tahu berterima kasih karena darah dagingnya dia sendiri yang membesarkannya. Uang pemberiannya sebelum pergi, sudah habis untuk menyekolahkan dan membiayai semua kebutuhan Reihan. Ia juga menyatakan kemarahannya karena kedatangannya diterima dingin, bahkan dengan menahan sakit hati mendengar Guntur mengatakan bahwa dia tidak mencintainya. Wanda menambahkan lagi, bahwa semua itu karena ada kehadiran gadis sombong yang bernama Emmi. Banyak yang ditulisnya, tapi ternyata nomornya telah diblokir.

Wanda membanting ponselnya, kemudian bersiap pergi bekerja. Sudah berhari-hari dia meninggalkan kewajibannya sebagai pengajar.

Walau dengan pikiran kacau, Wanda tetap berangkat, agar tidak terkena sanksi karena kenyataannya, alasan kalau Reihan sakit sudah tidak berlaku lagi. Bukankah Reihan sudah masuk sekolah setelah dia selesai dioperasi?

***

Wahyu pulang setelah selesai mengantarkan Reihan, dan mendapati ibunya tak ada, berarti sang ibu sudah mulai masuk bekerja. Begitu memasuki kamar, ponselnya berdering.

Wahyu sangat bersyukur, telpon itu adalah sebuah panggilan kerja di sebuah perusahaan. Tapi letaknya di kota Solo. Berdebar hatinya, karena kota itu mengingatkannya pada dua orang gadis yang pernah merajai hatinya. Tia dan Emmi. Apakah pada suatu saat ia akan bertemu mereka?

Wahyu mengibaskan pemikiran tentang mereka. Ia bersiap, karena besok pagi-pagi sekali ia sudah harus berangkat. Tapi Wahyu merasa bahwa berangkat nanti sore lebih nyaman. Ia akan menginap di hotel dan ia tidak perlu tergesa-gesa untuk memulai langkahnya ke arah pekerjaan yang akan digelutinya.

Reihan terkejut karena merasa keberangkatan sang kakak begitu terkesan mendadak.

“Mengapa tiba-tiba sudah mau pergi Mas?”

“Bukan tiba-tiba, Sudah beberapa waktu yang lalu mas melamar, dan menjalani wawancara beberapa hari yang lalu. Besok pagi sudah mulai bekerja. Jadi lebih baik nanti sore mas berangkat.”

“Sepi kalau Mas nggak ada di rumah.”

Wahyu tersenyum sambil menepuk bahu adiknya.

“Mas kan tidak bekerja di tempat yang jauh. Seperti ke luar negri saja. Kalau kamu kangen, atau mas yang kangen, hanya beberapa jam perjalanan sudah bisa saling bertemu.”

“Iya sih.”

“Kamu jangan seperti anak kecil dong Rei. Sudah hampir lulus dan jadi mahasiswa, masa harus selalu dekat dengan mas? Bukankah ada ibu?”

“Ibu sering bepergian.”

“Tidak apa-apa. Dan kamu tidak usah khawatir. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa menelpon mas. Kita bisa selalu berkomunikasi kan?”

Tiba-tiba ponsel Reihan berdering. Reihan gembira karena nomor itu adalah nomor ayahnya.

“Bapak ….”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam, Pak.”

“Biasakan mengucapkan salam kalau bapak menelpon.”

“Maaf Pak.”

“Kamu masih di sekolah?”

“Sudah di rumah. Kalau di sekolah mana bisa menerima telpon?”

“Syukurlah.”

“Rei baru akan menelpon Bapak sepulang sekolah ini tadi. Mengapa Bapak pulang?”

“Tidak apa-apa, bapak bisa merawat diri sendiri. Bapak menelpon juga hanya ingin mengatakan kalau bapak sudah pulang, jadi kamu tidak usah mencari bapak di rumah sakit.”

“Bapak harus cepat sehat ya.”

“Teruslah mendoakan bapak. Kamu belajar yang rajin, dan gapai cita-cita kamu. Semoga bapak masih hidup ketika kamu menjadi dokter.”

“Bapak jangan begitu. Bapak akan berumur sangat panjang.”

“Aamiin. Ya sudah, kabari bapak kalau butuh sesuatu.”

“Katakan, Bapak ada di mana sekarang?”

“Kamu tidak perlu tahu, yang penting bapak selalu ada untuk kamu.”

Reihan ingin memprotes tapi Guntur sudah menutup ponselnya. Reihan menelponnya, tapi ponsel sang ayah sudah tidak aktif lagi.

Berlinang air mata Reihan karena sedih dan kecewa.

“Kenapa?” tanya Wahyu.

“Bapak tidak mau mengatakan dia ada di mana,” katanya pilu.

“Barangkali bapak memang tak ingin diganggu. Yang penting bapak masih mau berkomunikasi sama kamu.”

Reihan mengangguk.

"Bapak memberi uang banyak di tabungan Reihan. Bapak mendukung keinginan Reihan untuk menjadi dokter."

“Baguslah, kita tidak usah membebani ibu untuk biaya sekolah, seperti mas yang kuliah sambil bekerja. Kamu tidak usah khawatir, nanti mas juga akan membantu biaya kamu kuliah.”

“Terima kasih Mas. Ibu juga sering tidak punya uang. Kalau bisa Rei juga akan kuliah sambil bekerja."

“Tidak apa-apa. Ibu juga punya kebutuhan, dan kita sudah bukan anak kecil lagi.”

***

Ketika keduanya sedang makan siang, sang ibu pulang, lalu ikut makan bersama kedua anaknya.

“Mas Wahyu nanti sore mau ke Solo,” kata Reihan tiba-tiba.

“Ke Solo? Kamu sudah bisa berkomunikasi dengan Tia, Wahyu?” kata Wanda dengan wajah berbinar.

“Kok Tia sih Bu?”

“Ke Solo, kalau bukan Tia siapa lagi? Jangan bilang kamu mendekati gadis sombong itu,” sungut Wanda.

“Wahyu ke sana karena mendapat panggilan kerja, bukan karena siapa-siapa.”

“Oh, kerja di sana? Mengapa di sana?”

“Kantornya ada di sana, mau bagaimana lagi?”

“Tapi pesan ibu wanti-wanti, jangan sekali-sekali kamu mendekati gadis galak itu lagi. Tia gadis yang pantas menjadi menantu ibu. Barangkali kalau kamu sudah bekerja, dia dan orang tuanya mau menerima kamu.”

“Bukankah ayahnya mengatakan bahwa Tia sudah punya calon?”

“Ah, ibu kira itu hanya alasan saja. Yang jelas adalah karena kamu belum bekerja.”

“Ibu suka sekali bermimpi.”

“Wahyu, ibu serius. Dia gadis yang baik.”

Wahyu merasa kesal. Ia tak menjawab agar tidak bertambah panjang perkataan ibunya tentang Tia.

“Mas Wahyu sudah tidak memikirkan mbak Tia lagi,” kata Reihan menimpali.

“Kamu tahu apa?”

“Gadis cantik bukan hanya satu. Ya kan Mas?”

Wahyu mengangguk sambil tersenyum.

“Awas saja kalau kamu mendekati gadis sombong itu.”

“Maksud Ibu, mbak Emmi?” Reihan masih membuat sang ibu bicara banyak. Padahal Wahyu sudah memelototinya.

“Iya. Siapa lagi?”

“Mbak Emmi itu sangat baik.”

“Karena kamu diberinya uang?” sergah sang ibu.

“Bukan itu. Dia memang baik dan cantik.”

“Sudah, diam. Kamu juga, besok kalau cari istri jangan yang seperti dia.”

“Wahyu duluan, mau berkemas,” kata Wahyu sambil berdiri, lalu beranjak ke kamarnya.

“Bagus sekali Wahyu sudah bekerja. Dia bisa membantu mencukupi kebutuhan ibu.”

“Mas Wahyu akan membiayai kuliah Reihan nanti.”

“Ibu juga butuh uang, tidak tergantung gaji ibu saja.”

“Untuk arisan? Dan kumpul-kumpul dengan teman-teman Ibu?”

“Eh, kamu tidak boleh mencela apa yang ibu lakukan. Kalau ibu tidak pergi-pergi mencari hiburan, ibu bisa pikun, bagaimana?”

Reihan diam. Ia tak berani menjawab karena kalau sang ibu marah, ia bisa melihat api di matanya.

***

Hari itu Emmi jadi dioperasi. Ardi dan Kinanti menungguinya. Ada dokter Dian juga di sana, yang kemudian mengenal ibu dan ayah sambung Emmi dengan baik. Dari sikap dan perhatian dokter Dian kepada Emmi, Kinanti dan Ardi tahu bahwa sang dokter muda jatuh cinta kepada anak gadisnya. Mereka senang, karena dokter Dian sangat baik dan sudah mapan.

Emma dan Nuri duduk di dekat dokter Dian, setelah dokter muda itu menemui dokter yang menangani operasi untuk Emmi. Nuri yang suka ceplas-ceplos, tak sungkan mengganggu dokter muda itu dengan celotehnya yang lucu.

“Saya baru tahu, mas Dokter adalah pacar mbak Emmi,” kata Nuri.

Dokter Dian tertawa pelan.

“Dari mana Nuri tahu?” tanya dokter Dian.

“Jauh-jauh datang kemari dan beberapa kali nyamperin mbak Emmi, sudah kelihatan kalau mas Dokter bukan teman biasa,” kata Nuri lagi, yang walaupun Emma mencubit lengannya tetap saja nyerocos.

“Ih, mbak Emma, kenapa sih mencubit Nuri, sakit tahu,” sungut Nuri.

“Kamu bicara yang enggak-enggak. Semua orang sedang prihatin menunggui mbak Emmi operasi,” kata Emma.

“Nuri tuh ngomong untuk mengurangi ketegangan. Kalau semuanya diam, jadi tegang terus menerus. Deg-degan itu nggak enak lhoh, ya kan mas Dokter?”

“Kamu benar,” kata dokter Dian sambil tersenyum.

“Tuh, benar kan? Nuri juga pengin jadi dokter lhoh.”

“Benarkah?” kata dokter Dian.

“Iya. Susahkah sekolah dokter?”

“Yang susah akan menjadi mudah kalau kita mau belajar.”

“Bagus sekali. Nuri akan rajin belajar mulai sekarang.”

Dokter Dian tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

Ia tahu, keluarga Emmi adalah keluarga yang kompak dan bahagia. Ia juga tahu bahwa ayah sambung Emmi sangat mencintai istri dan anak-anaknya, tidak pilih kasih antara mereka yang anak kandung dan yang bukan.

Diam-diam ia merasa iba mengingat dokter Guntur, yang karena sebuah langkah keliru, membuat hidupnya nelangsa dan nyaris putus asa. Ia juga merasa rendah diri dan merasa tak berarti. Kebahagiaan anak-anak dan bekas istrinya justru mencabik-cabik batinnya, karena rasa ketidak berdayaannya. Tanpa terasa dokter Dian menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah lama dia tidak menjenguk dokter Guntur seperti janjinya, karena mendengar Emmi mau operasi.

“Mengapa mas Dokter menggeleng-gelengkan kepala? Mas dokter tidak percaya saya akan sungguh-sungguh belajar?” kata Nuri tiba-tiba.

“Eh, apa katamu? Bukan … bukan apa-apa, mas hanya sedang memikirkan sesuatu yang lain.”

“Bukan memikirkan ucapan Nuri?”

“Bukan. Mas senang mendengar Nuri bertekad bisa mencapai cita-cita. Mas akan mendukung kamu.”

“Sungguh?”

Lagi-lagi dokter Dian mengacungkan kedua jempolnya sambil tersenyum.

Ketegangan itu berakhir, ketika ruang operasi terbuka, dan seorang dokter keluar dari dalamnya. Dian bergegas mendekat.

Ardi dan Kinanti mengikutinya, dan merasa lega ketika dokter mengatakan bahwa operasi itu berhasil dengan baik.

***

Guntur tidak lagi berpraktek di rumahnya yang lama. Ia tak ingin lagi ada keluarga Kinanti yang mendatanginya, yang walau sebenarnya ia tahu bahwa maksudnya baik, tapi hatinya sendiri selalu merasa sakit.

Hanya dokter Dian yang tahu keberadaannya, itupun dengan janji agar tetap merahasiakan keberadaan itu.

Rumah kecil yang dihuni itu berada di dekat rumah bu Simah. Entah bagaimana, Guntur memilih tempat itu, yang dirasa lebih jauh dari keramaian. Ia mengurus tempat praktek yang baru, bukan untuk mencari uang semata, tapi untuk membunuh sepi yang seringkali melanda. Untunglah bu Simah yang merasa senang karena berdekatan dengan dokter Guntur, sering mengunjunginya, dan mengoceh yang terkadang bisa membuatnya tertawa. Mereka sangat akrab seperti keluarga.

Guntur juga dimanjakan dengan berbagai buah-buahan hasil kebun bu Simah, yang hampir setiap hari ada.

Hari itu bu Simah tergopoh-gopoh mendekati sebuah mobil yang berhenti di depan rumah dokter Guntur.

“Pak, mau ketemu pak dokter?” katanya setelah pengemudinya, yang ternyata dokter Dian, turun dari dalam mobil.

“Mau periksa ke dokter Guntur?” tanyanya lagi.

“Tidak, saya temannya.”

“Oh, teman?”

“Iya. Benar ini kan rumahnya?”

“Iya, benar. Sebentar. Biasanya jam segini pak dokter masih tidur, akan saya bangunkan dulu,” kata bu Simah sambil bergegas mendekati rumah Guntur, langsung ke arah belakang melewati samping, karena pintu depannya tertutup.

“Dokter … dokter … ada tamu,” katanya langsung masuk melewati pintu belakang.

Guntur tidak sedang tidur. Ia sedang membaca-baca buku di ruang tengah.

“Tamu?”

“Iya, naik mobil, katanya bukan mau periksa. Apa benar dia teman dokter? Masih muda, ganteng pula.”

Guntur bergegas keluar, dan melihat dokter Dian sudah berdiri di depan pintu.

“Dokter Dian, silakan masuk.”

Bu Simah merasa senang ada tamu untuk dokter Guntur yang dikaguminya.

“Dokter, saya buatkan minum, dan ada pepaya masak, boleh saya hidangkan?” kata bu Simah.

“Baik Bu, terima kasih,” jawab Guntur.

“Dokter punya pembantu?” tanya dokter Dian.

“Eh, bukan. Dia tetangga sebelah.”

“Oh, maaf.”

Keduanya berbincang tentang keadaan masing-masing, lalu bu Simah datang membawa nampan berisi minuman hangat dan irisan pepaya jingga di atas piring.

“Silakan, ini hasil kebun saya.”

“Terima kasih, Bu.”

“Bu Simah, ini juga dokter, dokter Dian namanya. Beliau yang merawat saya ketika sakit di Semarang.”

“O, ya ampuun, sama-sama dokter. Saya Simah, tetangga sebelah,” kata bu Simah memperkenalkan diri.

“Terima kasih sudah disuguhin pepaya segar.”

“Silakan dinikmati,” kata bu Simah sambil berlalu ke belakang.

“Sebenarnya sudah lama saya ingin menengok keadaan Dokter, tapi terhambat karena mendampingi Emmi operasi,” kata dokter Dian.

“Emmi? Operasi apa?” tak urung Guntur terkejut mendengarnya.

***

Besok lagi ya.

 

Wednesday, April 2, 2025

ADA MAKNA 25

 ADA MAKNA  25

(Tien Kumalasari)

 

Wanda masih berdiri di depan petugas rumah sakit, sambil menatap tak percaya.

“Benarkah? Masa dia sudah pulang?”

“Masa kami berbohong Bu? Kalau tidak percaya, silakan lihat sendiri, apakah dokter Guntur masih ada di dalam, atau tidak,” kesal perawat jaga yang diajaknya bicara.

Wanda membuka pintunya perlahan, dan tersenyum senang. Ia melihat seseorang terbaring sendirian. Lalu bergegas mendekat dengan wajah berseri.

“Dasar pembohong,” serunya kesal. Ia merasa dibohongi oleh perawat itu.

Seseorang itu tidur membelakangi arah dia masuk. Tiba-tiba saja Wanda memeluk dari belakang.

“Bagaimanapun kamu bilang membenci aku, tapi aku tetap menyayangi kamu,” katanya tanpa melepaskan pelukannya.

Tapi tiba-tiba terdengar suara wanita mendekat. Ia baru keluar dari kamar mandi.

“Heiii! Kamu siapa?”

Wanda terkejut, pelukan itu dilepaskan, dan laki-laki yang semula terbaring miring kemudian telentang. Itu bukan Guntur, dan wanita itu adalah wanita asing yang menatapnya penuh kemarahan.

“Jadi kamu perempuan selingkuhan suami aku, yang membuat dia jatuh sakit?” hardik perempuan itu lagi, sambil mendekati Wanda penuh ancaman.

“Ap … apa? Buk … bukan, aku tidak …  iiini .. aku salah …”

“Mau tidak mengaku? Telingaku bukan tuli, aku mendengar dengan jelas bahwa kamu mengatakan sayang … sayang …”

“Aku salah … aku … salah …”

Wanda berusaha melangkah menyimpang untuk menghindari perempuan yang menatapnya garang, tapi sebuah tamparan mengenai pipi kirinya.

Plaaakkk!!

“Aauughh!”

“Bu … Bu … kamu salah orang … aku .. tidak kenal dia,” teriak si laki-laki.

”Pembohong!! Kamu sudah sakit seperti itu, tapi masih mau mengingkari perbuatan busuk kamu Pak?”

Wanda berusaha mendorong wanita yang menghalangi jalannya, tapi sekali lagi sebuah tamparan yang menimbulkan suara nyaring terdengar, lalu iapun menjerit lagi.

Plaakk!!

“Dasar gila!!” Wanda mengumpat.

“Kamu yang gila! Jelas-jelas sudah ketahuan, masih berani mengumpat!!”

Wanda mendorong perempuan itu sekali lagi, lalu berlari keluar sambil memegangi pipinya yang kemerahan.

“Orang gila!!” katanya sambil membanting pintu.

Perawat jaga terkejut.

“Kenapa Bu? Kan saya sudah bilang bahwa dokter Guntur tidak ada lagi di sini. Ibu kenapa?”

“Kenapa … kenapa … ? Di dalam ada perempuan gila!” katanya sambil masih memegangi pipinya, dan meninggalkan tempat itu untuk menuju keluar.

Perawat yang penasaran segera masuk ke dalam ruangan, dan mendengar pasiennya bertengkar hebat dengan istrinya.

Pertengkaran itu mereda ketika perawat mengatakan bahwa wanita yang baru saja keluar itu salah masuk, mengira kerabatnya masih dirawat di ruangan itu.

“Tapi dia bilang sayang … sayang pada suami aku.”

“Dia salah orang, aku kan menghadap kesana, tahu-tahu memeluk dari belakang,” jawab laki-laki yang cedera sebelah kakinya karena terjatuh.

Perawat itu keluar sambil tersenyum geli.

“Mengapa ya, wanita itu selalu membuat onar?” gumamnya yang disambut senyuman lucu dari teman-temannya, begitu dia menceritakan apa yang terjadi.

***

Wanda mengomel tak berhenti, ketika menunggu taksi yang dipanggilnya. Tiba-tiba dia terkejut, ketika seseorang menyapa.

“Bu Wanda?”

Wanda menoleh, seorang wanita menyapanya. Dia adalah ibu dari salah seorang murid di sekolahnya.

“Sudah seminggu lebih bu Wanda tidak masuk ya? Waktu rapat orang tua murid kemarin, banyak yang membicarakannya.”

“Oh, iya. Anak saya sakit, dioperasi, lalu saya sendiri juga habis sakit.”

“Iya, mereka juga berkata begitu, tapi mereka tidak bisa membezoek putra bu Wanda karena bu Wanda tidak mengatakan di mana putra bu Wanda dirawat.”

“Iya, saya tidak ingin mereka repot. Hanya teman-teman sekolahnya yang datang membezoek.”

“Putra bu Wanda masih di rumah sakit?”

“Tidak, sudah di rumah dan sudah masuk sekolah.”

“Bu Wanda sakit apa? Pipinya bengkak begitu?”

“Oh, saya sakit gigi. Permisi, taksi saya sudah datang.”

Wanda bergegas masuk ke dalam taksi yang kemudian membawanya pulang. Ia sampai lupa menanyakan, ke mana Guntur pulang, gara-gara bertemu perempuan yang dianggapnya gila, padahal dirinya sendiri yang salah orang.

***

Ketika Wanda sampai di rumah, dilihatnya Wahyu sudah lebih dulu pulang. Wahyu melihat pipi sang ibu bengkak kemerahan, dan merasa heran.

“Ibu dari mana?”

“Dari rumah sakit.”

“Ibu benar-benar sakit? Apa kata dokter?”

“Bukan untuk periksa sakit ibu.”

“Lalu kenapa ke rumah sakit?”

“Sedianya ingin menemui Guntur.”

“Ketemu?”

“Nggak.”

“Masih dilarang menemui?”

“Tidak. Dia sudah pulang.”

“Sudah sembuh? Bukankah kemarin Reihan juga ke sana?”

“Ya, karena itulah ibu ingin ke sana, soalnya gadis jahat itu kata Reihan sudah pulang. Aku pikir kalau sudah tidak ada dia, maka aku bisa menemuinya. Ternyata dia sudah pulang.”

“Kemana bapak Guntur pulang?”

”Entahlah, aku lupa menanyakannya. Apa Reihan tahu ya? Dia tidak mengatakan kalau ayahnya sudah mau pulang.”

“Untuk apa lagi Ibu ingin bertemu bapak?”

“Namanya bekas suami, bagaimanapun ibu ingin menanyakan keadaannya. Kalau tidak dihalangi gadis setan itu pasti ibu sudah bisa berbincang.”

“Lebih baik tidak usah memikirkannya lagi, yang penting Reihan sudah bisa bertemu ayahnya. Lalu kenapa pipi ibu itu? Agak bengkak dan kemerahan?”

“Sakit gigi.”

“Ibu belum bisa bekerja lagi dong?”

“Besok ibu mau bekerja. Bagaimana wawancara kamu?”

“Masih harus menunggu hasilnya.”

“Ibu masih berharap kamu bisa berjodoh dengan Tia. Tapi ayahnya sombong sekali.”

“Ibu terkadang aneh. Wahyu tidak suka Ibu bersikap begitu. Masalah jodoh biar Wahyu sendiri memikirkannya. Wahyu sedang fokus mencari pekerjaan,” katanya sambil pergi meninggalkan sang ibu.

Wanda merasa kesal. Kesal gagal bertemu Guntur, kesal karena maksud baiknya juga tidak diterima baik oleh anaknya. Sejak kepulangannya menemui Suryawan, sikap Wahyu terhadap ibunya juga berubah.

***

Sepulang dari bekerja, Kinanti sudah melihat Emmi pulang dari rumah sakit. Ardi juga ada di rumah. Ia meninggalkan pekerjaannya karena harus mengantarkan Emmi periksa banyak macam di rumah sakit, termasuk ct scan juga.

“Sudah pulang? Bagaimana hasilnya?”

“Kata dokter ada perdarahan otak,” jawab Ardi.

“Perdarahan otak? Separah apa?”

“Kata dokter tidak parah, tapi harus operasi.”

“Ya Tuhan,” keluh Kinanti dengan tatapan sedih.

Ardi menyerahkan hasil pemeriksaan laborat.

“Apakah ini akibat jatuh waktu Emmi masih kecil? Bodohnya aku, tidak merasa bahwa akan menjadi separah ini.”

“Tidak parah, kata dokter tidak perlu khawatir. Nanti aku mau konsultasi lagi dengan dokter yang memeriksa kemarin. Kalau perlu ditangani, biar segera ditangani.”

“Pantesan dia sering sekali merasa pusing. Nanti sore aku mau ikut ke dokternya. Aku harus tahu bagaimana penanganan selanjutnya.”

“Baiklah, tapi kamu tidak usah merasa khawatir dulu. Sekarang ilmu kedokteran sudah sangat canggih. Semoga semuanya bisa diatasi dengan baik,” hibur Ardi sambil menepuk-nepuk bahu istrinya.

***

Emmi tidak begitu takut kalau memang harus menjalani operasi. Nanti ayah dan ibunya akan membawanya lagi ke dokter yang kemarin memeriksanya. Ia gadis yang kuat dan tabah, tidak seperti sang ibu yang mungkin karena masa lalunya, kemudian menjadi seperti ringkih, sehingga apa yang dikatakan suaminya membuatnya sedikit khawatir. Sebenarnya Emmi masih memikirkan ayah Guntur,  sejak ia meninggalkan sang ayah di rumah sakit. Ia belum bisa memahami kemarahan sang ayah, walaupun bapak Ardi dan ibunya sudah menerangkannya. Rasa rendah, rasa tidak dihargai, atau tidak berharga, belum bisa diterimanya. Menurut Emmi, sebuah maksud baik seharusnya diterima dengan baik. Mengapa justru marah?

Tiba-tiba ponselnya berdering, dari dokter Dian.

“Selamat sore, Dok.”

“Kok masih dok lagi sih?” tegur dokter Dian.

“Mas Dian.”

“Nah, begitu lebih manis kedengarannya.”

“Ada berita apa? Bagaimana keadaan bapak?”

“Dokter Guntur memaksa pulang hari ini.”

“Pulang? Benar-benar pulang?”

“Aku tidak bisa mencegahnya. Dia juga seorang dokter, dia tahu apa yang harus dilakukannya.”

“Apakah karena bapak masih marah pada Emmi?”

“Tidak sepenuhnya begitu, hanya saja kita harus bisa memahami keinginan orang tua. Dan itu pasti bukan tanpa alasan.”

“Apakah sebenarnya bapak sudah sembuh?”

“Kalau sembuh sih, juga belum bisa dikatakan sembuh, tapi kita harus percaya bahwa bapak akan bisa menyembuhkan dirinya sendiri.”

“Maksudnya apa karena dia dokter?”

“Bukan hanya dokter. Setiap orang bisa melakukannya. Yang penting bagi penderita seperti bapak itu adalah rasa tenteram dan nyaman. Sebaiknya kita biarkan saja dulu apa yang diinginkannya. Saya janji akan mengawasinya dari jauh, dan menjenguknya setiap senggang.”

“Apa saya harus menemui bapak, dan meminta maaf?”

“Sementara ini biarkan dulu. Jangan diganggu. Biarkan saya mengawasi kesehatannya.”

“Sebenarnya di mana bapak sekarang? Pulang ke Wonosobo?”

“Maaf, saya tidak berani mengatakannya, karena bapak bilang tidak ingin diganggu.”

“Baiklah  Mas, saya mohon dikabari tentang perkembangannya. Saat ini saya sendiri juga sakit.”

“Kamu sakit?”

“Kemarin periksa ke dokter, saya diperiksa macam-macam, katanya ada perdarahan otak.”

“Kamu?” dokter Dian berteriak.

“Katanya sih tidak parah. Mungkin harus dioperasi.”

“Saya akan menghubungi lagi nanti, kalau mungkin saya akan datang ke rumah. Sebentar, ada pasien nih. Nanti saya hubungi lagi.”

Ketika pembicaraan selesai, Emmi masih saja termenung. Bukan karena sakitnya sendiri, tapi karena keinginan ayah Guntur yang memilih pulang.

Bahkan ketika pulang dari dokter, dan sang dokter menyarankan untuk dioperasi, Emmi masih tidak memikirkan dirinya sendiri, tapi memikirkan sang ayah yang entah sekarang berada di mana.

***

Malam hari itu ketika sudah setengah tidur, Emmi terkejut karena merasa ada yang memeluknya. Ketika ia membuka mata, ternyata sang ibu berbaring di sampingnya.

“Ibu?” Emmi membuka matanya.

“Maafkan ibu,” kata Kinanti lirih.

“Mengapa Ibu harus minta maaf? Emmi tidak mengerti.”

“Ketika kamu terjatuh saat masih kecil, ibu tidak memperhatikannya. Sekarang kamu baru merasakannya.”

“Ibu, mengapa berpikir sejauh itu? Emmi tidak merasa bahwa itu kesalahan Ibu. Penyakit bisa datang kapan saja bukan?”

“Ibu tidak ingin kalian sakit, menderita, atau apapun yang membuat kalian sedih.”

“Tapi Emmi tidak sedih. Dokter mengatakan bahwa sakit Emmi tidak parah.”

“Tapi kamu sering merasa pusing.”

“Tidak apa-apa. Emmi masih bisa melakukan banyak hal. Emmi tidak takut seandainya harus dioperasi.”

“Tapi ibu takut.”

“Ibu, jangan begitu. Emmi akan sembuh.”

“Ibu ini sangat ringkih, rapuh. Sudah banyak penderitaan yang ibu rasakan. Ibu hanya ingin hidup tenang di hari tua ibu.”

“Tentu saja. Bukankah ibu memiliki keluarga bahagia? Suami yang mencintai, anak-anak yang menyayangi, apa lagi yang kurang dari kehidupan kita?”

“Tapi kenapa kamu tiba-tiba sakit?”

Emmi mengusap air mata yang meleleh dipipi sang ibu, lalu memeluknya erat.

“Emmi tidak akan apa-apa. Emmi kuat dan tidak takut menghadapi apapun, jadi ibu juga tidak boleh khawatir.”

Ketika tiba-tiba pintu kamar Emmi terbuka, Emmi melepaskan rangkulannya.

“Ternyata Ibu di sini?” tanya Ardi.

Kinanti bangkit, lalu beranjak turun.

“Bapak mencari aku?”

“Iyalah, tiba-tiba kamu menghilang. Aku kira ke dapur mengambil minum atau apa, ternyata ada di sini. Kamu habis menangis?”

“Ibu memikirkan sakitnya Emmi,” kata Emmi sambil tersenyum.

“Ibu ini kenapa, kan dokter bilang bahwa operasi itu tidak berbahaya. Emmi saja tidak takut,” kata Ardi sambil merangkul istrinya dan diajaknya keluar dari kamar.

Emmi terharu atas perhatian ibunya.

“Sebenarnya ibuku sangat rapuh,” bisiknya penuh haru, lalu kembali membaringkan tubuhnya.

***

Reihan sedang bersiap mau berangkat ke sekolah, ketika tiba-tiba Wanda menghentikannya.

“Rei, kamu tahu bahwa ayahmu sudah pulang kemarin pagi?”

“Bapak sudah pulang?”

“Iya, siangnya ibu ke sana, bapakmu sudah tidak ada.”

“Kok bapak tidak bilang apa-apa ketika Reihan ke sana?”

“Kamu punya nomor kontak ayahmu?”

“Ada.”

“Ibu minta dong.”

Klakson mobil bertalu-talu terdengar, rupanya Wahyu sudah menunggu Reihan untuk diantar ke sekolah.

Reihan bergegas ke arah depan.

“Rei, nomor kontaknya dulu.

“Nanti Reihan kirimkan sambil jalan.”

Wanda senang ketika sudah mendapatkan nomor bekas suaminya. Ia segera memutar dan menelponnya dengan sebuah harapan yang menggebu-gebu.

Ia juga senang ketika panggilannya diterima, tapi begitu dia menyapa’hallo’, ponsel itu segera dimatikan. Wanda mencobanya lagi, tapi benar-benar ponselnya sudah tak bisa tersambung lagi.

***

Besok lagi ya.

ADA MAKNA 28

ADA MAKNA  28 (Tien Kumalasari)   Wanda terus mengamati buku itu, dan kemarahan kemudian menyergap batinnya. Ia merasa dikhianati oleh sang ...