ADA MAKNA 28
(Tien Kumalasari)
Wanda terus mengamati buku itu, dan kemarahan kemudian menyergap batinnya. Ia merasa dikhianati oleh sang anak. Bisa-bisanya punya tabungan tanpa sepengetahuan sang ibu. Beruntung transferan yang lebih besar belum tercatat di buku itu, karena Reihan tidak mencetakkan laporan rekeningnya di buku itu. Tapi pemberian sang ayah sejak awal, sudah lumayan banyak. Ada sepuluh juta lebih tertera di buku itu. Itu pemberian sang ayah yang pertama, ketika Reihan akan membayar uang ujian dan sesambat pada sang ayah karena sang ibu sakit dan kakak Wahyu sedang wawancara di luar kota sehingga tidak bisa dihubungi. Kalau saja transferan berikutnya yang hampir menghabiskan seluruh tabungan Guntur sudah tercatat di buku itu, maka entah apa lagi yang akan dilakukan Wanda. Yang jelas sekarang dia sangat marah karena merasa ditinggalkan sang anak dalam kepemilikan rekening di bank.
Reihan sedang bersiap pulang ketika itu, dan Wahyu akan mengantarkannya ke stasiun sambil berangkat kerja, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Baru saja dia mengangkatnya, suara sang ibu yang terdengar garang menghardiknya.
“Rei! Benar-benar kamu menyepelekan ibu. Ibu kecewa sama kamu!”
Reihan terkejut bukan alang kepalang. Tentu saja Reihan tidak mengerti mengapa sang ibu menghardiknya tiba-tiba.
“Ada apa Bu?”
“Ada apa … ada apa … kamu tidak merasa berbuat salah pada ibu?”
“Rei tidak mengerti, ini ada apa?”
“Sejak kapan kamu punya rekening di bank?”
Reihan terkejut. Bagaimana ibunya bisa tahu?
“Jawab! Sejak kapan??”
“Ibu, dari mana ibu tahu?”
“Dasar pembohong! Buku tabungan kamu ada di almari kan?”
“Iya … iya, maaf Bu. Reihan belum bicara sama ibu tentang tabungan itu.”
“Bagus sekali. Bukankah kamu memang ingin menyembunyikannya dari ibu?”
“Tapi Bu, maksud Rei ….”
“Dari mana uang itu?”
“Dari … dari bapak … untuk … “
”Dari bapakmu ya?”
“Itu untuk membayar_”
“Untuk apapun harus ibu tahu. Mulai sekarang, ibu yang akan memegang uangmu!”
“Bu, itu hanya ….”
“Pokoknya kalau ayahmu memberi kamu uang, ibu harus tahu. Karena itu biar ibu yang memegang uangmu. Nanti kalau pulang, serahkan ATM itu pada ibu.”
“Tapi Bu.”
Belum sempat Reihan menjawab lagi, ibunya sudah mematikan ponselnya.
“Ada apa?” tanya Wahyu.
“Ibu marah-marah, Rei punya rekening di bank tanpa sepengetahuan ibu.”
“Ibu menemukan buku tabungan kamu?”
“Ya. Di almariku. Ibu minta kartu ATM Reihan, minta agar dia yang mengelola uang Reihan kalau bapak sewaktu-waktu mengirim lagi uang.”
“Kamu sudah mencatatkan pengiriman bapak ke buku itu?”
“Yang terakhir belum.”
“Untung belum. Pengiriman terakhir berapa?”
“Ada sembilan puluh lima juta.”
“Kamu harus menyembunyikan uang itu. Kamu sendiri tahu, ibu itu kebutuhannya banyak, bukan hanya kebutuhan rumah.”
“Arisan … belanja-belanja …”
“Betul. Jadi kamu harus hati-hati dengan uang itu.”
“Apa yang harus Rei lakukan? ATM ini diminta ibu.”
“Apakah kamu percaya pada kakakmu ini?”
“Maksudnya …”
“Pindahkan pengiriman bapak yang terakhir ke rekening Mas. Itu kalau kamu percaya. Mas akan menjaganya dan tidak akan membohongi kamu.”
“Mas sangat menjaga aku, bahkan akan membiayai kuliah aku. Baguslah. Saya kira itu yang terbaik.”
“Benar. Jadi ketika kamu pulang dan ibu meminta ATM kamu, maka uang dari bapak yang terakhir akan aman di rekening Mas. Tapi Mas tidak memaksa.”
“Itu bagus. Sekarang saja Rei mengirimkannya. Aku minta nomor rekening Mas sekarang.”
“Sebaiknya kamu melakukannya sekarang. Mas akan membuka rekening baru, jadi yang nanti akan kamu pakai, tidak tercampur dengan uang Mas.”
“Sekarang? Sebelum pulang?”
“Aku ijin sebentar untuk terlambat masuk kantor, aku antarkan kamu ke bank. Atau ke ATM bank kamu itu.”
“Baiklah, terima kasih Mas.”
***
Reihan sudah sampai di rumah, dan sudah menyerahkan kartu ATM nya begitu sang ibu pulang dari mengajar, tapi tetap saja sang ibu mengomelinya panjang pendek.
“Dasar anak tidak tahu diri. Kamu pikir kamu itu jatuh dari langit? Tidak terlahir dari rahim ibumu ini? Bagaimana kamu bisa menyepelekan ibumu dan menyembunyikan hal keuangan dari ibumu? Kamu tidak percaya pada ibumu?”
“Percaya Bu, hanya saja Rei belum sempat.”
“Belum sempat? Sudah sejak lama kamu memiliki rekening ini, bagaimana mungkin kamu mengatakan belum sempat.. belum sempat?”
“Namanya juga lupa Bu.”
“Jangan seenaknya kamu sama ibu ya,” kata Wanda sambil memasukkan kartu ATM itu ke dalam tasnya.
“Jadi kalau Rei butuh sesuatu harus minta pada Ibu kan?”
Wanda tak menjawab, langsung masuk ke dalam kamarnya.
Reihan menghela napas. Saat itu ia benar-benar kesal pada sang ibu. Beruntung sekali kakak Wahyu memberi jalan terbaik untuk bisa menyimpan rapat agar terhindar dari gangguan sang ibu. Bukan karena pelit, tapi uang itu kan dari sang ayah untuk biaya kuliah.
***
Dalam sebuah pertemuan antar pengusaha, di mana Tia hadir mewakili perusahaan, tanpa diduga ia melihat Wahyu. Ia tak mengira Wahyu sudah bekerja dan ternyata berada di dalam satu atap dengan perusahaannya.
Wahyu yang semula merasa rendah diri karena pernah berbuat salah karena ulah ibunya, merasa sungkan untuk menegurnya. Tapi Tia yang merasa tak ada gunanya membenci, tetap menyapanya.
“Apa kabar, Wahyu?”
“Baik, atas doamu.”
“Senang akhirnya kamu bisa bekerja. Kita akan sering bertemu setelah ini, karena kita bekerja dibawah bendera yang sama.”
“Ya.”
“Kamu kost di sini?”
“Ya.”
“Di mana?
“Agak jauh.”
“Kamu luar biasa. Banyak dipuji atasan. Aku tak mengira bahwa Wahyu yang mereka sebut adalah dirimu. Kamu sudah diangkat menjadi wakil manager karena kepintaran kamu. Aku ikut senang,” sapa Tia yang berusaha ramah.
“Terima kasih,” jawab Wahyu, masih dengan nada sungkan.
Tia meninggalkannya, membiarkan Wahyu yang masih duduk termangu dengan seribu satu pertanyaan, mengapa Tia bersikap seramah itu. Apakah pak Suryawan tidak menceritakan kepadanya tentang kedatangan ibunya, bahkan dirinya sendiri?
“Aku akan menanyakannya, agar tidak terlalu sungkan nantinya, setelah Tia mengetahui lalu menetapkan sikap selanjutnya,” kata batin Wahyu.
***
Sudah agak sore ketika pertemuan bisnis itu berakhir. Tia melihat Wahyu seperti sedang menunggu sesuatu. Barangkali taksi. Tia mendekatinya. Melihat sikap Wahyu yang seperti sungkan, Tia justru merasa bersalah. Pasti tentang kedatangan ibunya ke rumah itu yang membuatnya sungkan. Tia mencoba mencairkan suasana canggung itu dengan menyapanya baik-baik. Bagaimanapun mereka akan sering ketemu.
"Mau pulang?"
"Eh.. iya. Sedang menunggu ojol."
"Ojol?"
"Ya. Hanya sendirian. Nggak apa-apa."
"Bareng aku saja."
"Terima kasih. Sudah pesen ojol. Mungkin sudah hampir sampai. Tuh, sudah datang."
"Ya sudah. Baiklah."
Tia menghampiri mobilnya, dan memacunya menuju pulang. Tak disangka ia melihat ojol yang ditumpangi Wahyu berhenti di sebuah gang sempit.
Tia berhenti di depan gang itu dan melihat Wahyu memasuki rumah yang sederhana. Sepertinya memang rumah kost tapi yang biasa-biasa saja.
Tia melanjutkan perjalanannya sambil berpikir tentang Wahyu. Dia seorang pintar yang wakil manager yang gajinya lumayan, mengapa menempati sebuah rumah kost yang sederhana ?
Sementara itu sebenarnya Wahyu melihat mobil Tia berhenti di depan gang sebelum dia masuk ke rumah. Wahyu merasa pasti Tia heran dia tinggal di rumah kost yang sederhana. Tapi Wahyu mengacuhkannya.
"Memangnya kenapa kalau rumah kostku sederhana dan buruk menurut kamu? Aku tidak perlu merasa malu," gumamnya sambil masuk ke dalam kamarnya.
Tapi Wahyu juga heran, mengapa Tia begitu baik terhadapnya? Padahal dia merasa sungkan setelah Wanda menemui ayah Tia dan berbicara macam-macam.
***
Malam hari itu Reihan menelpon. Ia mengatakan bahwa begitu pulang sang ibu memarahinya habis-habisan.
"Ya sudah, kamu yang sabar. Kartu ATM sudah diminta?"
"Langsung diminta. Aku pikir setelah kartu aku serahkan, ibu tidak marah lagi. Ternyata sama saja."
"Kamu jawab apa?"
"Aku hanya minta maaf dan bilang lupa. Tapi jawaban itu semakin membuatnya marah."
"Ya sudah. Yang penting uang kamu yang banyak bisa diselamatkan."
"Iya Mas. Aku bersyukur untuk itu. Ya sudah, aku mau bilang itu saja. Ini sudah malam. Mas istirahat ya."
"Kamu juga harus segera istirahat. Jangan lupa cari informasi untuk kelanjutan sekolah kamu."
Baik. Besok aku akan mengurusnya."
Wahyu menghela napas lega sebelum kemudian merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tapi bayangan Tia yang bersikap sangat baik selalu mengganggunya.
“Ada apa ini? Jangan bilang kamu mulai memikirkan dia lagi. Harapan untuk kamu sudah tumpas. Yang dia dan keluarganya pasti membencimu. Hilangkan pikiran yang membuat hatimu kusut, Wahyu, sadar diri, baginya, juga bagi keluarganya, kamu itu bukan laki-laki idaman. Lihat ibu kamu yang suka memfitnah, dan sifat itu jangan-jangan juga menurun kepadamu. Tidaaak, aku tidak suka memfitnah, aku justru mencela kelakuan ibuku,” gumamnya berkali-kali, sebelum akhirnya ketiduran karena lelah.
***
Pagi hari itu Wahyu terkejut ketika Tia masuk ke kantornya. Padahal kantor mereka berbeda tempat. Tia di kantor pusat sedangkan dia di kantor cabang.
“Selamat pagi,” sapa Tia.
“Pagi. Kamu di sini?”
“Ada urusan dengan pimpinan, beliau belum datang, jadi aku mampir dulu kemari.”
“Ohh ….”
“Sibuk?”
“Belum.”
“Aku sudah tahu di mana rumah kost kamu.”
“Aku tahu kamu mengikuti aku, kemarin.”
“Bukan mengikuti, kebetulan arah kita sama, lalu aku melihat ojol yang kamu tumpangi berhenti di situ.”
“Iya. Memangnya kenapa?”
“Kamu mengapa kost di situ? Ada tempat kost yang lebih baik di dekat kantor. Aku bisa membantu kamu mencarikannya.”
“Memangnya kenapa? Biar saja, aku lebih nyaman di situ.”
“Wahyu, ada tempat yang lebih baik. Milik teman kita juga.”
“Aku harus berhemat, Tia. Adikku mau masuk perguruan tinggi, aku berjanji akan membiayainya. Karena itu aku tidak memilih tempat yang labih layak, demi bisa menyisihkan uang untuk membantu biaya adikku.”
“O, adik kamu yang bernama … aduh … pernah dengar, tapi lupa. Mm.. ya, Reihan ya?”
“Iya, benar, Reihan. Dia ingin masuk fakultas kedokteran.”
“Iya, lumayan mahal. Tapi aku salut sama kamu, karena mau berkorban demi membiayai adik kamu.”
“Hanya sekedar membantu, karena dulu aku juga kuliah sambil bekerja. Tidak bisa menggantungkan orang tua terus menerus.”
“Bagus. Kamu kakak yang baik. Semoga adik kamu berhasil mencapai cita-citanya, agar kakaknya tidak kecewa.”
“Aku hanya ingin membantu.”
Ketika Tia ingin meninggalkan ruangannya, Wahyu memanggilnya.
Tia membalikkan tubuhnya, berjalan mendekati meja kerja Wahyu.
“Dulu ibuku pernah ke rumah kamu, bertemu ayah kamu. Apa kamu tahu?”
“Oh itu, tahu. Bapak cerita padaku. Selang beberapa hari kamu juga datang kan?”
“Maafkan, itu bukan kemauan aku.”
“Aku tahu, lupakan saja. Jangan hal itu membuat kamu berpikir bahwa aku kesal sama kamu.”
“Terima kasih, Tia.”
“Aku ke pimpinan dulu,” Tia akhirnya berpamit.
Wahyu menarik napas lega. Tia tidak membencinya. Tapi jangan berharap apapun. Dia sudah punya calon, bukan?
Wahyu membuka laptop untuk mulai bekerja.
***
Reihan sudah wisuda, urusan masuk ke perguruan tinggi sudah di urus.
Sore hari itu dengan gembira Reihan mengatakan kalau dia diterima di fakultas kedokteran, tapi swasta. Sang ibu terkejut mendengar biaya yang harus dikeluarkannya.
“Rei, jangan katakan ini pada ibu. Bilang pada ayahmu, bahwa kamu butuh biaya. Bukankah kamu punya nomor kontaknya?”
Reihan terdiam. Uang itu sudah ada, sebenarnya dia tak minta kepada ibunya.
“Ayo bilang, mana ponselmu. Biar ibu telpon dia melalui ponsel kamu saja. Kalau membaca nomor kontak ibu, dia tak akan mengangkatnya,” katanya sambil merebut ponsel Reihan.
***
Besok lagi ya.