ADUHAI AH 34
(Tien Kumalasari}
Danarto tiba di tempat kost Hesti
saat Sarman sudah memberikan obat yang dibelinya, lalu oleh Desy segera
diminumkannya pada Hesti.
“Kenapa lagi dia?”
Sarman menceritakan sekilas yang
diketahuinya dan didengarnya tadi dari Sita, gadis yang sekarang duduk diluar pintu,
diam karena merasa sungkan kepada tamu-tamunya Hesti.
Danarto duduk ditepi pembaringan Hesti,
bersebelahan dengan sisi di mana Desy dan Sarman duduk.
“Hesti … “ panggil Danarto.
Hesti membuka matanya yang terlihat
sembab. Gurat kesedihan tampak pada wajah pucatnya.
“Maaf, saya merepotkan …” bisiknya
lirih.
“Tidak ada yang repot. Kami prihatin
karena kamu kembali sakit.”
“Aku ingin mati saja,” lirihnya lagi.
“Mengapa kamu mengulangi kata-kata
itu lagi?” tegur Desy.
“Maaf …”
“Kamu bukan pemilik kehidupan ini.
Kamu hanya manusia seperti juga kami yang ada di sekitarmu ini. Kami menjalani
hari demi hari, dalam gulungan peristiwa demi peristiwa, cobaan demi cobaan,
juga segala suka serta bahagia. Apa yang bisa kami lakukan? Mensyukuri
semuanya, bukan menentangnya karena memang kita tak akan mampu merubah garis
kehidupan yang sudah tersirat dalam suratan nasib kita,” lanjut Desy yang
merasa heran dirinya bisa berucap panjang lebar seperti itu.
Aku sudah ketularan ibu dan mbak Lala, kata batin Desy. Dan memang benar, Desy yang keras, sedikit galak, tegas, terkadang menghawatirkan Lala dan juga ibunya, karena pada suatu saat, Desy bisa tak terkendali. Tapi seiring berjalannya waktu, setiap kata bijak kakak dan ibunya ternyata mengendap dalam sanubarinya, kemudian bisa ditularkannya seperti saat ini, bak kata-kata seorang ibu kepada anaknya.
“Kamu harus tegar menghadapi
semuanya, bukan meratapinya terus menerus dan membuat sakit bukan hanya jiwamu,
tapi juga ragamu,” lanjutnya.
Danarto menahan senyum bangga nya
saat mendengar calon isterinya berkata-kata. Desy yang terkadang galak, bisa
berucap sangat manis dan lembut.
Hesti tampak menatap Desy dengan
tatapan sendu.
Desy mengambil kompres di dahi Hesti,
panasnya sudah berkurang, barangkali juga karena pengaruh obat yang sudah
diminumnya.
“Kamu mengerti apa yang dikatakannya,
Hesti?” tanya Danarto setelah Desy berhenti bicara.
Hesti mengangguk pelan.
“Aku ingin mengatakan sesuatu. Entah
kamu sudah mengetahuinya atau belum, tapi sebelumnya aku ingin bertanya, apakah
bu Sriani itu ibu kandung kamu?” lanjut Danarto.
Hesti mengangguk.
“Benar, menurutmu dia ibu kandung
kamu?”
“Tentu saja Mas,” jawabnya lirih.
“Ternyata itu tidak benar. Kamu bukan
anak kandungnya.”
Hesti terbelalak, menatap Danarto
dengan rasa tak percaya.
“Karena dia berlaku kejam sama aku?”
“Bukan.”
“Lalu … ?”
“Aku menemukan bukti bahwa kamu bukan
anak kandungnya. Bukti nyata.”
“Mas bohong kan?”
Bacalah surat ini baik-baik. Ini
surat yang aku temukan ketika sedang bersih-bersih almari mendiang ibuku.
Danarto mengulurkan amplop kumal yang
sudah berwarna kecoklatan kepada Hesti.
Desy dan Sarman menatapnya heran. Apa
sebenarnya isi surat itu.
Hesti perlahan mengeluarkan surat
itu, lalu membacanya dengan tangan gemetar.
Desy menatap Danarto, seakan
membutuhkan jawaban segera, tapi Danarto memberi isyarat, sampai Hesti selesai
membacanya.
Tiba-tiba tangan Hesti terkulai, dan
kertas surat yang dibacanya terjatuh di kasur.
“Jadi … jadi … aku anak tiri?”
“Itu yang tertulis dalam surat yang
kamu baca bukan?”
Desy dan Sarman terpaku di tempatnya
duduk. Semuanya tak pernah dibayangkan. Pantas saja perlakuannya sangat tidak
manusiawi, ternyata Hesti hanyalah anak tiri, yang ketika dewasa akan
diperalatnya untuk mendapatkan keuntungan.
“Apa Mas tahu, tadi ibunya meminta
Hesti untuk menanda tangani sebuah surat?” kata Sarman, sementara Desy
mengambil surat itu kemudian membacanya.
“Surat apa?”
“Hesti tidak membacanya karena ibunya
… eh … ibu tirinya terburu-buru.”
“Waduh, itu bahaya Hesti. Kamu
terlalu sembrono.”
“Aku terlalu bingung,” katanya sambil
memegangi kepalanya dengan kedua belah tangannya.
“Tenanglah Hesti, jadi menurut surat
ini, ketika masih bayi kamu dirawat oleh nenek kamu. Kamu mengenal nenek kamu
itu?”
“Ya Mbak, saya mengenalnya, karena
saat bapak masih ada, sering diajak ke sana. Tapi setelah bapak meninggal, ibu
jarang mengajak saya ke sana.”
“Kalau kamu sudah merasa kuat, temuilah
nenek kamu itu. Dimana beliau tinggal?”
“Di Surabaya juga, tapi agak jauh
dari rumah ibu.”
“Ada baiknya kamu menemui nenek kamu,
barangkali kamu akan mendapatkan banyak cerita dari nenek. Tentang adanya kamu,
bahkan tentang ibu kandungmu yang pastinya kamu belum mengetahuinya.”
Hesti mengangguk.
“Kamu tidak perlu sedih Hesti,
ternyata kamu masih punya kerabat. Lupakan orang yang mengakuimu sebegai
anaknya, tapi justru menyakitimu. Jangan menyesal kehilangan seorang jahat
seperti dia,” kata Sarman.
Hesti merasa, kehangatan merayapi
sekujur tubuhnya, hatinya, jiwanya. Banyak orang-orang baik disekelilingnya,
yang memperhatikannya, bahkan mendukungnya. Ia mencoba mengulaskan senyuman,
walau terasa pahit. Pahit karena menyadari bahwa ternyata dirinya adalah yatim
piatu.
“Hesti, lebih baik kamu pindah ke
rumah kami saja, bukankah ibuku sudah memintanya?” kata Desy.
“Takut menyusahkan. Mau cari tempat
kost yang murah saja,” katanya pelan.
“Di rumah aku, bukan hanya murah,
tapi gratis,” sambung Desy.
“Benar Hesti, disana kamu tidak akan
kesepian. Agak jauh dari kampus sih, tapi kan kamu punya motor, dan bisa bareng
Tutut juga.”
“Aku tidak bisa membayangkan kampus,
sepertinya lebih baik aku tidak kuliah, tapi bekerja.”
“Baiklah, itu bisa dipikirkan nanti,
yang penting sekarang kamu harus kuat dan sehat,” sambung Danarto.
Diluar pintu, ada yang merasa kecewa.
Kalau Hesti pindah, berarti tak ada peluang untuk bertemu Sarman dong.
***
“Kasihan anak itu,” gumam Tindy
ketika Desy menceritakan tentang Hesti yang kembali sakit.
“Iya Bu, Desy juga tidak mengira.”
“Segera suruh pindah kemari saja.
Boleh satu kamar sendiri, atau berdua sama Tutut. Kan ada beberapa kamar kosong
disini.”
“Saya sudah bilang, tapi tampaknya
dia baru akan memikirkannya.”
“Ya sudah, barangkali ia belum merasa
tenang. Rasa sungkan, pastinya ada, mengingat kalian belum lama kenal sama dia.”
“Benar Bu. Itu juga yang Desy
pikirkan.
“Sekarang ibu mau tanya, ada apa
dengan Danis?”
“Maksud Ibu apa sih?”
“Tampaknya dia suka sama Tutut. Apa
itu benar?”
“Desy belum tahu pasti, tapi Desy
melihat Danis punya usaha untuk mendekati Tutut. Seandainya iya, apakah Ibu
keberatan?”
“Menurutmu Danis itu bagaimana?”
“Dia itu baik kok, Cuma nasibnya yang
tidak begitu baik.”
“Tidak begitu baik, mengapa?”
“Baru setahun menikah sudah cerai.”
“Nah, itulah yang Ibu khawatirkan.
Apakah dia benar-benar seorang suami yang baik untuk Tutut.”
“Bukan salah Danis. Isterinya yang
meninggalkannya, pergi dengan bekas pacarnya.”
“Ya Tuhan, mengapa pernikahan dibuat
mainan?”
“Danis hanya korban. Korban pelarian
bagi isterinya, yang waktu itu ditinggal pacarnya. Maksudnya menolong, malah
dikhianati. Tapi tampaknya mereka memang tidak saling mencintai.”
“Itulah maksud ibu, pernikahan dibuat
mainan.”
“Tapi Danis itu baik Bu, dulu pernah
mendekati Desy, tapi kan Desy sudah dekat sama mas Danarto. Tapi belum jelas
juga, apakah dia benar-benar suka sama Tutut atau tidak. Tutut sendiri kan
masih seperti anak kecil.”
“Rupanya kamu mempromosikan Danis
supaya ibu suka sama dia ya?” canda Tindy.
Desy tertawa.
“Ibu kan bertanya, ya Desy jawab
dong.”
“Ya sudah, harapan ibu, anak-anak ibu
semuanya bisa menemukan hidup berbahagia.”
“Aamiin.”
“Lha itu dia datang,” teriak Desy ketika
melihat mobil Danis memasuki halaman.
“Danis?”
“Iya, panjang umur nih, baru
dibicarakan orangnya datang,” kata Desy sambil berdiri.
“Selamat malam Bu,” sapa Danis
setelah Desy membawanya naik ke teras.
“Selamat malam nak,” sambut Tindy
ramah.
Danis mencium tangan Tindy.
“Duduklah nak, ibu ke dalam dulu,”
kata Tindy yang kemudian masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih Bu,” katanya sambil
duduk.
“Kamu bukan sedang mencari aku kan?”
“Memang tidak, aku mencari simbok,”
canda Danis.
Desy tertawa.
“Benar nih? Mbooook,” teriak Desy.
“Eh, ya ampun Des, kamu nih …”
“Kan kamu bilang mencari simbok?”
“Ada apa Mbak?” simbok tiba-tiba
muncul.
“Ini, dicari dokter Danis.”
Simbok menatap Danis dengan heran.
“Mbok, maukah mengambilkan segelas air
putih dingin untuk saya?” kata Danis sambil tersenyum.
“Oh, tentu pak dokter, sebentar,
simbok ambilkan,” kata simbok sambil berlalu.
Desy menutup mulutnya sambil terkekeh.
“Desy, kamu jangan cengengesan dong.”
“Kan kamu sendiri yang bilang bahwa
kamu mencari simbok?”
“Sudah, jangan bercanda. Tutut mana?”
“Dia lagi belajar, besok mau ujian.”
“Oh, maaf kalau begitu. Sebenarnya
pengin nyulik dia.”
“O, jadi kamu tuh penculik?”
“Kalau yang diculik mau sih.”
“Jangan malam ini, culik aku saja,
aku sedang pengin makan di luar nih.”
“Oh, baiklah, siapa takut? Kalau
Danarto sekalipun tahu, aku juga tidak takut kok. Ayo bersiaplah, ini lebih
baik daripada mengganggu yang lagi mau ujian.”
“Baiklah, aku ganti baju dulu ya,
sambil pamit sama ibu dan bapak,” kata Desy sambil beranjak masuk.
“Pak dokter, ini minumnya,” kata
simbok sambil membawa nampan berisi segelas air putih.
“Terima kasih Mbok,” kata Danis yang
segera meraih gelas dan meminumnya.
Simbok tersenyum dan berlalu.
***
Sebenarnya Desy bukan sungguh-sungguh
pengin makan di luar. Ia ingin mengorek isi hati Danis terhadap Tutut, adiknya.
Seperti juga ibunya, ia berharap Tutut mendapatkan pria yang baik untuk
hidupnya, bukan yang hanya ingin mempermainkannya.
“Kamu serius, suka sama Tutut?” tanya
Desy sambil menikmati gado-gado yang dipesannya.
“Eh,
boleh ya?” kata Danis dengan mata berbinar.
“Yeee, siapa bilang boleh? Aku kan
baru bertanya?”
“Nggak tahu kenapa, aku suka sama
gadis cilik itu.”
“Tutut bukan gadis cilik, tahu.”
“Iya, dulu aku mengenalnya sebagai
gadis cilik, sekarang, melihatnya tumbuh dewasa, rasanya aku jatuh cinta.”
“Kalau kamu memiliki wanita lain, apakah
tidak akan ada masalah dengan bekas isteri kamu?”
“Masalah apa? Kami sudah bercerai,
dan dia sudah memilih pria yang dia cintai. Selesai kan? Tak ada ikatan apapun
antara aku dan dia, apalagi anak itu bukan darah dagingku.”
Biarpun dia pernah mendengarnya dari
Danarto tentang anak itu, tetap saja Desy menampakkan wajah terkejut.
“Kamu itu berarti dewa penolong bagi
dia.”
“Entahlah, waktu itu aku hanya merasa
kasihan. Mm … apakah kira-kira bapak sama ibu kamu keberatan punya menantu seorang duda?”
“Entahlah, tapi yang terpenting,
jangan sampai ada yang tersakiti. Orang tua kan selalu berharap agar anaknya
hidup bahagia?”
“Iya benar. Aku akan selalu
membahagiakannya.”
“Tapi aku juga tidak tahu bagaimana
Tutut. Dia sedang sibuk menghadapi kuliahnya yang tak kunjung selesai. Dia itu
kan seenaknya.”
“Baiklah, aku tidak akan
mengganggunya sampai dia menyelesaikan kuliahnya. Tapi mengajaknya jalan kan
tidak apa-apa, sesekali saja. Bukan mengajaknya pacaran lho.”
“Silakan saja, sekaligus saling
menjajaki hati masing-masing, soalnya Tutut itu terkadang masih
kekanak-kanakan, manjanya bukan main.”
“Iya aku tahu.”
“Aunty !!”
Sebuah teriakan nyaring terdengar, membuat
Danis dan Desy menoleh kearah datangnya suara. Wajah Desy berseri ketika
melihat dua anak kecil berlarian mendekatinya.
“Sayang, kamu sudah sehat?” tanya
Desy sambil memeluk dan mencium pipi Bunga.
“Sudah, Aunty.”
“Aunty!” si kecil Azka tak mau kalah,
menarik-narik baju Desy karena merasa tidak diperhatikan.
“Oh, sayangku, apa kabar?” lalu Desy
menciumi pipinya juga. Tapi ketika kemudian dia melihat kedua anak itu bersama
siapa, ia menatapnya heran. Demikian juga Danis.
Harun berjalan masuk agak di belakang
anak-anak itu, tapi dia tidak sendiri. Ada dokter Nisa bersamanya.
Desy menjabat erat tangan keduanya.
Dan Danis juga menyalaminya kemudian,
tapi dia berbisik ditelinga dokter Nisa.
“Selamat ya,” bisiknya sambil
tersenyum menggoda.
“Eh, selamat apa?” pekik dokter Nisa.
Saat Danis membisikkannya pelan, dokter Nisa malah menyambutnya dengan
teriakan.
“Selamat … selamat bertemu,” kata
Danis sambil tertawa.
“Silahan duduk,” sambut Desy sambil
menggendong Azka.
Dalam hati Desy bersyukur, tampaknya
Harun dan dokter Nisa semakin dekat. Semoga dokter cantik itu benar-benar bisa
menjadi ibu yang mengasihi kedua anak yang haus kasih sayang seorang ibu.
“Aku mau es krim,” tiba-tiba pekik
Bunga setelah duduk.
“Es klim!” Azka berteriak tak mau kalah.
“Sayang, kita makan dulu, setelah itu
baru makan es krim, ya?” kata dokter Nisa lembut.
Bunga mengangguk patuh. Lalu mereka
terlibat dalam sebuah perbincangan yang santai, yang terkadang diselingi
celoteh lucu kedua anak Harun.
***
Dua hari sudah berlalu. Hesti
kemudian pergi ke Surabaya, diantarkan Sarman yang tidak tega melepaskan Hesti
sendirian.
“Masih ingat rumah nenek ya?” tanya
Sarman ketika mereka sudah turun dari taksi, lalu berjalan memasuki sebuah
halaman yang cukup luas.
Ada sebuah rumah kuna yang pintunya
tertutup. Sepi di sekelilingnya. Keduanya terus mendekati rumah, lalu mengetuk
pintunya. Agak lama, tak ada sahutan.
“Nenekmu bepergian, rupanya.”
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat,
Sarman dan Hesti menoleh. Seorang laki-laki setengah tua mendekat.
“Mencari siapa Nak?” tanyanya.
“Mencari nenek, apa nenek bepergian?”
“Maksudnya, bu Mintarsih?”
“Iya Pak, dia kan nenek saya.”
“Owalah, kalau Nak ini cucunya,
mengapa tidak tahu kalau beliau sudah meninggal?”
Hesti terpaku di tempatnya berdiri.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteSelamat mbak Ting juara 1
DeleteManusang bu Tien, AA sdh tayang
DeleteSelamat buat bu Tingting Juara 1 malam ini
DeleteMatur nuwun bu Tien.....
Sugeng dalu .....
Nuwun dia restu perjalananku selamat sd Bojonegoro.
This comment has been removed by the author.
DeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAsyik sdah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah yg ditunggu sdh ada
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien. Semoga sehat selalu. Aamiiiin YRA
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 34 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Yesssss
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh datang
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
AA dah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 34 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdullilah AA 34 sdh tayang..terima ksih bunda Tien sayang..salam at mlm dan slmt istirahat..slm seroja sll dan tetap Aduhai dri 🙏🥰🌹🌹
ReplyDeleteTerima kasih Bu Wiwik, Pak Kakek 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah AA 34 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Aamiin
Matur nuwun, bu Tien. Salam ADUHAI
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteGimana selanjutnya ya?
Terimakasih bunda Tien AA 34 sdh tayang..
ReplyDeleteKlo udh hr senin rasanya kangeeen dg AA..
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..
Selamat beristirahat..
Semoga mimpi indah ya bundaa...
Aduhaiiii sekali...
Terima kasih sudah mengobati rindu pada mas Danar, Bu Tien. Semoga ibu selalu sehat dan aduhai selalu❤
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien .. 🌷🌷🌷🌷🌷
𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐞𝐩𝐬 34 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠..
ReplyDelete𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧.🙏🙏🙏
Alhamdulillah Aduhai Ah 34
ReplyDeletesudah tayang....tambah asyik crita nya matur nuwun bu Tien...salam sehat
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah AA 34 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, semoga sehat dan bahagia selalu. Aamiin🤲
Alhamdulillah.. AA34 sdh tayang, salam sehat dan bahagia selalu bunda Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah, sdh tayang....suwun Bu Tien.... salam sehat selalu..
ReplyDelete,😊🙏
Maturnuwun bunda Tien..
ReplyDeleteAA 34 telah hadir...tp 🙏
Aduh...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Ya Alloh...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien AAnya
Salam sehat selalu
Alhamdulillah matur nuwun bu Tien..
ReplyDeleteSalam sehat dan Aduhai..
Bam's Bantul
Trims Bu Tien AA udah hadir
ReplyDeleteMudah mudahan belum terlambat, dan ada cerita dibalik rencana Sriani yang tentu mendadak mau jadi tuan tanah.
ReplyDeleteHesti menyambangi rumah neneknya, bersama Sarman yang tidak tega melepas pergi sendirian, ternyata di paido sama orang orang setengah tua, yang menemuinya; cucunya kok nggak tahu kalau nenek nya sudah meninggal.
Lha Hesti memang nggak diberitahu, pergi nya daftar sekolah keluar kota saja kåyå di gabur.
Suarané kok kåyå Karto irånå; tukang pêthêk, wong jaman sêmånå nambani bu Hartå.
Cobå tulisên nganggo huruf Jåwå: 'bu hartå tibå kartå irånå réné.'
Wis kon måcå kancamu sing biså måcå, rak malah gawé gendrå.
Kadang kita juga nggak ngeh apa yang sudah terjadi bahkan mengartikan yang tersuratpun masih saja salah mengartikan.
Laiyå bapêr kok di umpluk - umpluk kåyå sabun, malah konangan atiné ora lêgåwå nadahi pêrkårå, ndadak digêlar digulung ngono på.
Lha saiki lênggah waé wis ora nganggo klåså, malah didudukan yå, mosok kon ndéprok.
Aduh senengnya; kelihatan lengkap, ada bapak ada ibu.
Kelihatannya Bunga dan Azka menikmatinya, syukurlah.
Lha ini Harun ketemu Desy kebetulan mesthi pas bersama Danis, ada apa dengan Desy.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke tiga puluh empat sudah tayang.
Sehat, semangat, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur nuwun Mbak Tienku sayangku. Yang kutunggu sudah datang. Smoga Mbak Tien selalu sehat. Aduhaiii....
ReplyDeleteWah ini ada kaitan ma surat yg di tt ma Hesti.krn Cucunya dari nenek papanya kasian di gondol ma ibu serakah
ReplyDeleteAh... Memang benar sepertinya bu Sriani ini, karakter nya suka menghalalkan segala cara. Mungkin juga dia mau nikah sama ayah Hesti dulu karena alasan hartanya.
ReplyDeleteHhhhmmmm...
Hatur nuhun ceritanya Bu Tien, semoga selalu sehat yaa 😘😘
Salam dari Bandung.
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteSemangat sehat dan bahagia ..