CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 02
(Tien Kumalasari)
Sinah masih terus mengoceh, yang sekilas tampak seperti sedang merasa sayang kepada Dewi, tapi sesungguhnya ada maksud tertentu dibalik apa yang dikatakannya.
“Apakah dia teman sekolah Dewi?”
“Benar Den Ayu, teman sekolah den ajeng Dewi. Tapi dia itu sangat kurang ajar sekali, menganggap den ajeng seperti teman sederajatnya. Saya sungguh tidak rela, Den Ayu. Mohon Den Ayu mengingatkan den ajeng agar tidak lagi mau menemui dia.”
“Apakah dia sering menemui anakku?”
“Kalau datang kemari belum pernah, Den Ayu. Tapi dengan pertemuan sore tadi itu, siapa tahu kemudian den ajeng membuka hatinya, kemudian bersedia menemuinya. Semua itu karena dia sangat pandai merayu.”
“Siapa sebenarnya dia?”
“Namanya Satria, anak orang biasa, tidak punya derajat, apalagi pangkat. Itu sebabnya saya tidak rela den ajeng berdekatan dengan dia.”
“Nanti akan aku tanya momongan kamu itu.”
“Tapi saya mohon, Den Ayu jangan mengatakan kalau saya matur yang macam- kepada Den Ayu. Nanti saya kena marah.”
“Iya, sudah. Kamu boleh pergi.”
Sinah pun pergi mengundurkan diri, dengan berjalan sambil jongkok, sampai keluar ruangan.
Den ayu Saraswati termenung sejenak. Laporan Sinah membuatnya kesal. Kalau sampai sang suami mendengar penuturan Sinah, pasti dirinya yang akan disalahkan, karena mengijinkan Dewi berjalan-jalan.
Maka iapun berjalan ke arah keputren, dimana Dewi bersama para pengasuhnya tinggal.
***
“Kelamaan kamu Nah, dari mana saja, tidak segera membantu aku mandi juga? Sampai mbok Randu yang memandikan aku,” tegur Dewi sambil membentangkan tangannya ketika Sinah memakaikan kain jarik.
“Tadi begitu masuk, den ayu memanggil saya, jadi ya terpaksa ke sana dulu.”
“Kanjeng ibu bilang apa?”
“Hanya menanyakan, tadi kita ke mana saja.”
“Apakah kanjeng ibu marah?”
“Tadinya iya, tapi setelah saya menghiburnya, kemarahannya sudah mereda.”
“Kamu menghibur kanjeng ibu dengan apa?”
“Hanya mengatakan, bahwa pastinya Den Ajeng juga butuh melihat-lihat suasana di luar sana, kasihan kalau harus berdiam di keputren terus.”
“Lalu kanjeng ibu tidak jadi marah?”
“Tentu saja Den Ajeng, seorang ibu tidak ingin melihat putrinya bersedih.”
Dewi tersenyum. Sinah mengambil kebaya berwarna merah marun lalu dikenakan kepada momongannya.
Ketika den ayu Saraswati memasuki keputren, dilihatnya Sinah masih sibuk mendandani putrinya.
Aroma pandan dan kembang wangi menguar ke segenap penjuru ruangan. Senyum Dewi merekah ketika melihat ibundanya memasuki ruangan.
“Kanjeng Ibu, Dewi sedang berdandan. Mohon maaf tadi pulang agak terlambat.”
“Ke mana saja tadi?”
“Hanya keluar untuk melihat Pasar Gede, senang melihat lampion-lampion masih bergelantungan. Kata Sinah semua itu adalah bekas perayaan imlek beberapa hari yang lalu.”
“Oh, iya. Sebenarnya waktu itu kanjeng ibu juga ingin melihat perayaan Imlek, biasanya ada Liong dan Barongsai di sepanjang jalan. Itu sangat indah.”
“Mengapa Kanjeng Ibu tidak mengajak Dewi jalan-jalan untuk melihat keramaian itu? Dewi ingin sekali, tapi kanjeng rama tidak mengijinkan.”
“O iya, karena waktu itu di rumah sedang ada tamu kan?”
“Iya, Dewi tahu. Tamu paman tumenggung Ranuwirejo. Dewi agak kurang suka pada dia.”
“Dia sahabat kanjeng ramamu, mengapa tidak suka?”
“Entahlah, mungkin karena mas Listyo suka mengganggu Dewi.”
“Dewi, Sulistyo itu satu-satunya putra pamanmu. Dia ganteng dan pintar. Sekarang sedang kuliah di luar negri.”
“Memangnya kenapa kalau dia ganteng dan pintar, lalu kuliah di luar negri?” sengit Dewi menjawab ucapan ibundanya.
“Ketika datang waktu itu, sebenarnya ayahanda dan pamanmu itu sedang membicarakan hal yang sangat penting.”
“Pasti urusan keraton yang tak ada habis-habisnya. Dewi tidak ingin tahu.”
“Dengar, pembicaraan itu bukan tentang keraton, tapi tentang perjodohan.”
“Perjodohan apa?”
“Perjodohan antara kamu dan Sulistyo.”
“Apa?” Dewi membelalakkan matanya, sementara Sinah yang mendengar tersenyum simpul, sambil menyingkirkan baju kotor yang tadi dipakai momongannya.
“Kamu sudah dewasa Dewi, sudah saatnya menikah. Ayahandamu memilihkan jodoh yang tepat untuk kamu.”
“Tidak mau. Dewi tidak mau menikah.”
“Dewi, memang ayahandamu belum mengatakannya pada kamu, tapi entah nanti atau besok, kamu juga pasti akan mendengarnya.”
“Tidak mau.”
“Apa kamu berani menentang kalau itu perintah ayahandamu?”
“Dewi belum ingin menikah. Dewi justru ingin matur pada kanjeng rama bahwa Dewi ingin kuliah.”
“Apa maksudmu?” sekarang den ayu Saraswati yang ganti terkejut.
“Dewi ingin kuliah, kanjeng ibu.”
“Permintaan macam apa itu? Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Perempuan itu tugasnya hanya melayani suami, mengatur rumah tangga, memiliki anak yang banyak,” sergah sang ibu.
“Kanjeng Ibu, jaman sudah berubah. Perempuan berhak memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Kalau laki-laki bisa sekolah tinggi, perempuan demikian juga.”
“Jangan ikut-ikutan memahami aturan bubrah semacam itu. Kamu itu putri yang masih keturunan priyayi luhur, bukan anak orang sembarangan. Lalu untuk apa perempuan sekolah tinggi kalau akhirnya hanya akan menjadi istri? Dan kewajiban istri itu kan melayani suami.”
“Perempuan jaman sekarang beda dengan gadis pingitan Bu. Jaman sekarang perempuan juga boleh bekerja. Bahkan ada yang jadi tentara, atau_”
“Stop … stoop. Aduh … aduuh, putri kanjeng ibu kok pintar-pintarnya menjawab. Kamu itu gadis yang bukan gadis sembarangan. Mana pantas bekerja di luaran, bahkan menjadi tentara? Jangan mempermalukan keluargamu. Kamu itu pantasnya duduk di rumah, dilayani, lalu setelah suami pulang kewajibanmu adalah melayani suami. Itu sudah cukup. Dan hidupmu tidak akan kekurangan.”
“Kanjeng ibu ….”
”Kalau kamu bekerja, berarti kamu itu menjadi bawahan. Mana pantas puteri den mas Adisoma yang dihormati lalu menjadi bawahan, diperintah orang, melakukan hal-hal rendah lainnya? Malu, Dewi. Ibu malu.” kata sang ibunda tandas.
“Kanjeng Ibu harus ingat, ini bukan jaman kuno, dimana seorang gadis hanya harus bersimpuh di hadapan suami.”
“Sebenarnya siapa yang mengajari kamu dengan kalimat-kalimat tak masuk akal seperti itu? Katakan siapa? Kalau sampai ayahandamu mendengarnya, bisa geger seisi rumah,” kata sang ibunda dengan nada tinggi.
Dewi Pramusita menundukkan wajahnya. Setitik air matanya menetes. Sekilas wajah Satria melintas. Ia banyak memberi contoh tentang perempuan masa kini yang tidak harus mengabdi hanya kepada suami, tapi juga harus berpendidikan tinggi. Bahkan sejajar dengan kaum laki-laki, walau kodrat mengatakan bahwa tetap saja seorang istri harus ada di bawah laki-laki.
Sang ibunda yang merasa kesal kemudian meninggalkan keputren, setelah berpesan kepada mbok Randu agar bisa mengajari Dewi agar bisa menerapkan kewajiban seorang putri yang sebenar-benarnya.
***
Dewi Pramusita duduk di tepi pembaringan, sambil mengusap air matanya. Sinah yang bersimpuh dibawahnya membantu membetulkan kain jariknya yang berantakan akibat dibawanya berlari menuju kamar setelah sedikit ‘bertengkar’ dengan sang ibunda.
“Sudah, den ajeng, jangan menangis lagi. Sebentar lagi denmas Adisoma akan datang, dan pasti den ajeng akan dipanggil untuk menghadap. Masa den ajeng mau menghadap dengan wajah gelap penuh air mata begitu?” kata mbok Randu.
“Aku tidak mau menghadap kanjeng rama.”
“Lhoh, lha nanti kalau Den Ajeng tidak mau menghadap, keng rama duka bagaimana?”
“Pokoknya tidak mau,” sentaknya.
“Den ajeng … ada apa sebenarnya, apa Den Ajeng memikirkan Satria?” kata Sinah pelan.
“Mengapa kamu berpikir begitu?”
“Den Ajeng mau dijodohkan dengan seorang laki-laki, putra tumenggung, ganteng pintar kuliahnya saja di luar negri. Mengapa tidak mau?”
Barangkali karena Sinah lebih suka melihat momongannya menjadi istri yang putra tumenggung daripada Satria yang dikaguminya, maka dia selalu mendorong Dewi agar mau menerima perjodohannya dengan pilihan orang tuanya. Tapi betapa kesalnya Sinah karena ternyata Dewi tidak peduli pada apapun. Sinah yakin bahwa sang majikan pasti lebih duka bercintaan dengan Satria, yang anak kampungan dan anak orang biasa,
Sinah mulai berpikir, bagaimana caranya agar Dewi tidak lagi peduli pada Satria, tapi menuruti kehendak orang tuanya.
“Sinah, lepaskan pakaianku, aku mau istirahat saja.”
“Den Ajeng, bukankah keng rama sudah datang dan pasti sedang menunggu kedatangan den ajeng?”
“Kalau kanjeng rama menanyakan, katakan bahwa aku sedang tidak enak badan.”
“Tapi saya takut Den Ajeng, berbohong pada den mas Adisoma adalah dosa, Bagaimana kalau saya dipecat dan tidak boleh lagi mengabdi di sini?”
”Saya pasti akan membela kamu, Nah. Jangan takut.”
Barangkali karena Dewi memperlakukan Sinah bukan seperti pembantu, apalagi ketika Sinah juga diijinkan bersekolah bersamanya, maka Sinah agak lebih berani menentang Dewi yang dalam pendidikan, majikannya adalah teman sekolah.
“Sinah, bantu aku melepaskan pakaianku,” Dewi mengulang perintahnya.
Tapi tiba-tiba mbok Randu nyelonong masuk.
“Den Ajeng, ditunggu keng rama di pringgitan … “
“Apa? Mengapa di pringgitan?”
“Kelihatannya mau bicara penting dengan Den Ajeng,”
”Mbok, bilang pada kanjeng rama, aku sedang tidak enak badan.”
“Den Ajeng sakit?”
“Iya Mbok, tolong bilang pada kanjeng rama ya mbok. Tadi aku sudah siap-siap mau sowan, tapi kemudian badanku rasanya tidak enak. Sinah, lanjutkan melepas jarikku, ambilkan baju tidur saja, lalu gosok badanku dengan minyak telon,” perintahnya kemudian kepada Sinah, yang kali ini tidak berani membantah.
“Baiklah, kalau Den Ajeng masuk angin, saya mau matur keng rama apa adanya,” kata mbok Randu sambil beringsut mundur, lalu keluar dari ruangan.
***
“Mana den ajeng?” tanya denmas Adisoma yang masih duduk menunggu.
“Mohon ampun Den Mas, den ajeng tidak bisa kemari karena sedang tidak enak badan,” kata mbok Randu.
“Dia sakit?”
“Tapi tadi ketika aku ke sana, dia sudah siap berdandan, menunggu kedatangan kangmas,” kata den ayu Saraswati.
“Lalu tiba-tiba dia sakit?”
“Kelihatannya masuk angin, tadi menyuruh Sinah untuk menggosok tubuhnya dengan minyak telon,” lanjut mbok Randu.
“Ya sudah, ya sudah ….”
Mbok Randu beringsut mundur, sementara denmas Adisoma masih duduk bersama sang istri.
“Tadi aku ketemu lagi, dimas Tumenggung menunggu jawaban dari kita,” katanya kepada sang istri.
“Iya, saya mengerti. Pasti dia sedang menunggu.”
“Apakah Diajeng sudah mengatakan semuanya pada Dewi?”
“Baru sekilas.”
“Dia senang bukan? Calon suaminya tidak mengecewakan. Aku sudah mantap untuk menjadikannya menantu.”
“Entahlah, tentang senang atau tidak, nanti Kangmas bisa bertanya langsung pada dia, kalau dia sudah merasa lebih sehat.”
“Tapi orang senang atau tidak kan kelihatan, Diajeng?”
“Saya tidak bisa menangkap apa yang dirasakannya. Dewi masih sangat muda. Dia punya keinginan yang aneh-aneh.”
“Keinginan yang aneh-aneh itu apa?”
“Katanya ingin melanjutkan kuliah,” kata sang istri agak takut, karena kalau suaminya marah, suaranya akan sekeras guntur musim kemarau.
“Apa? Siapa yang mengajarinya sehingga dia punya pemikiran semacam itu?” katanya keras sekali, benar seperti perkiraan sang istri.
“Itu baru wacana saja, Kangmas. Bukankah semua akan tergantung pada Kangmas?”
Wajah denmas Adisoma muram bagai tertutup mendung.
“Besok pagi sebelum aku berangkat, suruh dia menemui aku. Tapi tidak, jangan pagi, karena aku harus ke kantor pagi-pagi sekali. Sore setelah aku pulang, dia sudah harus menunggu. Aku akan bicara serius dengannya,” katanya sambil berdiri lalu masuk ke dalam rumah.
Sang istri mengikuti dari belakang dengan patuh.
***
Pagi hari itu ketika sedang berdandan di depan cermin, ponsel Dewi berdering. Dewi segera meraihnya, dari Satria.
Dewi menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan bahwa tak ada orang di sekitarnya, lalu ia menerima telpon itu.
Tapi Dewi tak mengira, Sinah sedang berdiri di depan pintu, dan diam-diam mendengarkannya.
***
Besok lagi ya.
Matur sembah nuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Wirosobo
DeleteMantap
ReplyDeleteTopp
DeleteAlhamdulillah, matur nuwun Bu Tien.
ReplyDeleteNgantuk nunggu CeJeDePeEs no.2
Sami2 pak Subandi
DeleteKalau nggak gini bapak nggak komen. Hehee
🪴🎋🪴🎋🪴🎋🪴🎋
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_02
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🪴🎋🪴🎋🪴🎋🪴🎋
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Alhamdulillah CJDPS akhirnya tayang meskipun malam..
ReplyDeleteMatur bwn bu Tien, semoga sehat selalu 🤲
Sami2 pak Bam's
DeleteAamiin atas doanya
Wah wah...sudah muncul sejak awal nih si tokoh antagonisnya...Sinah memang penjilat dan pengadu.😰
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien menulis kali ini dengan tema yang berbeda. Sehat2 selalu, ibu...🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Sami2 ibu Nana
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteMaaf telat, Dhe.
Pun setahun mboten koment di blog mbk,
ReplyDeleteKoment ne langsung face to face
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 02 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerima kasih, ibu.
ReplyDeleteSami2ibu Linatun
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 02 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah fit , bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteWah cerbung baru.... Walaupun telat bukanya yg penting masih bisa ngikuti...
ReplyDeleteMafue nuwun bTien.... Sehat selalu...!!!
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun sanget Cak
Alhamdulillaah , cerita priyayi keraton yg masih keras aturan nya
ReplyDeleteDuh Sinah kamu jd ular berbisa ya yg punya dua kepala. ,😁,🤭 Tapi seru juga .
Màtur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat ya 🤗🥰❤️
Aduh saya belum mengerti tentang kehidupan Royal Family (Keraton) ini. Jadi masih manggut-manggut saja.
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...