CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 03
(Tien Kumalasari)
Sinah tampak memperhatikan dan tentu saja mendengarkan pembicaraan antara Dewi dan Satria. Wajahnya keruh diliputi rasa cemburu yang membakar. Ia masih berdiri di balik pintu ketika Dewi memanggilnya.
“Nah … Sinah !”
Sinah bergegas masuk sambil mencoba menghilangkan wajah suram agar tak menimbulkan kecurigaan.
“Ya, Den Ajeng.”
“Sini, dekat-dekat aku sini,” katanya pelan. Sinahpun mendekat.
“Satria mau datang kemari kira-kira satu jam lagi. Tolong kamu jemput dia di pintu timur, lalu ajak ke taman di bawah pohon tanjung. Aku akan berdandan, lalu keluar menemuinya.”
“Den Ajeng, mengapa Den Ajeng mau menerima tamu laki-laki di taman keputren? Kalau ada yang tahu, lalu melaporkan kepada keng rama bagaimana?”
“Kalau kamu diam dan tidak mengatakannya kepada siapapun, tidak akan ada yang tahu. Pintu sebelah timur adalah pintu kecil, untuk jalan para abdi yang sedang ada tugas keluar. Tidak ada penjaga di sana. Kamu bisa membawanya langsung ke taman.”
“Den Ajeng, apakah Den Ajeng sadar bahwa sedang melakukan sebuah kesalahan?”
“Ya, kesalahan karena menerima tamu laki-laki di taman?”
“Bukan hanya itu. Den Ajeng lupa, Satria itu siapa, dan siapa pula Den Ajeng ini. Menurut saya, Satria tidak sepadan dengan Den Ajeng. Ingatlah, Den Ajeng adalah putri bangsawan yang sangat dihormati, sedangkan Satria adalah orang yang tidak punya derajat. Den Ajeng dan Satria bagaikan bumi dan langit.”
“Sinah, memangnya kamu itu siapa, maka bisa memberi aku petuah semacam itu? Aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Den Ajeng, mohon memaafkan saya. Saya mengatakan ini adalah demi kebaikan Den Ajeng,” kata Sinah sambil menundukkan kepala.
“Kamu menganut pengertian yang salah. Memang benar, orang tuaku memiliki darah bangsawan, demikian juga aku. Tapi hal itu tidak akan membuat perbedaan dalam kehidupan. Sebagai manusia, kita adalah sama dimata Tuhan.”
“Aduh … aduuh … Den Ajeng, ini paham yang keliru. Biarpun sama-sama manusia tapi kita dilahirkan dengan darah yang berbeda-beda.”
“Sinah, aku hanya memintamu agar menunggu Satria di pintu timur, kerjakan dan jangan banyak bicara,” kata Dewi tandas, yang tak urung membuat Sinah segera berdiri dan keluar dari ruangan.
“Dasar ngeyel … dikasih tahu nggak mau dengar. Nanti kalau den ayu mendengar, apalagi kalau den mas Adisoma mendengar, apa tidak membuat suasana rame, gaduh? Apalagi kan den mas itu sudah mempersiapkan suami untuk den ajeng Dewi? Ya kan? Dan Satria itu bagiannya Sinah, sama-sama pidak pedarakan. Tidak punya derajat,” kata suara hati Sinah yang semakin gila karena ingin merebut laki-laki yang rupanya juga disukai oleh majikannya.
Sinah sudah sampai di pintu timur. Pintu itu kecil, tidak kelihatan bahwa ada pintu di situ karena dikelilingi oleh tumbuhan perdu yang hampir menutupi badan pintu. Para abdi selalu keluar masuk dari pintu itu. Tapi kali ini ada tamu yang ditunggu Dewi yang diharapkan masuk melalui pintu tersebut.
Sinah sudah berdiri di luar pintu, menatap ke sekeliling, lalu lintas tidak begitu ramai yang terlihat.
“Mengapa tidak aku laporkan saja pada den ayu, supaya Satria segera di usir dari sana begitu dia datang nanti. Ah, tapi kasihan kalau dia kena marah, atau bahkan dipukul oleh para penjaga. Jadi bagaimana enaknya supaya Satria gagal menemui den ajeng Dewi ya?”
Sinah termangu sambil berpikir keras. Tiba-tiba ia melambaikan tangan ke arah seorang tukang kebun, anak buah Tangkil, yang kemudian setengah berlari mendekatinya. Ia membisikkan sesuatu, lalu tukang kebun itu membalikkan tubuhnya dan berlari menjauh.
Tiba-tiba senyumnya mengembang ketika sebuah sepeda motor mendekat ke arah pintu butulan.
“Sinah? Bukankah kamu sedang menunggu aku?” tanya Satria sambil turun dari motornya.
“Satria, maafkan aku, dan terutama sampeyan juga harus memaafkan den ajeng Dewi,” kata Sinah dengan wajah sendu, membuat Satria heran.
“Memangnya ada apa?”
“Den ajeng tidak bisa menemui sampeyan.”
“Baru saja kami bicara di telpon, dia akan menyuruh kamu menunggu aku, lalu mengajaknya ke taman. Kami akan bicara banyak.”
“Sesuatu tiba-tiba terjadi. Bahkan den ajeng juga tidak menduganya.”
“Apakah itu?”
“Apa sampeyan menyukai den ajeng Dewi?”
Satria mengangkat wajahnya, menatap Sinah dengan pandangan penuh rasa heran.
“Kami sudah lama saling menyukai, walaupun belum pernah mengucapkan perasaan itu dengan kata-kata. Tapi aku yakin bahwa dari cara kami saling menatap, ada perasaan yang lebih dari berteman diantara kami.”
“Apa sampeyan sadar, siapa den ajeng Dewi?”
“Tentu saja aku sadar. Barangkali untuk saat ini aku belum berani menemui orang tuanya yang keluarga bangsawan itu, tapi aku akan meneruskan kuliah aku, dan aku berjanji akan bisa menjadi orang yang pantas untuk Dewi, bukan anak orang sederhana yang tidak punya derajat seperti sekarang ini. Dewi juga berjanji akan melanjutkan kuliah agar kami bisa selalu bersama.”
“Hmh, mimpi sampeyan … “
“Apa maksudmu?”
“Den ajeng Dewi sudah dijodohkan dengan anak seorang tumenggung yang sekarang sedang kuliah di luar negri.”
“Apa?”
“Sebaiknya sampeyan tidak usah menanyakan banyak hal lagi. Perjodohan itu sudah diputuskan dan den ajeng Dewi tak akan bisa membantahnya.”
“Tapi kami sudah berjanji. Pertemuan ini nanti juga akan membahas bagaimana kalau dia ingin melanjutkan kuliah. Dan_”
“Jangan mimpi, Satria. Itu tidak akan terjadi. Dan sebaiknya sampeyan segera pergi saja karena ayahanda den ajeng sudah mencium adanya pertemuan ini. Banyak penjaga datang tak lama lagi, yang akan mengusir sampeyan jauh-jauh dari sini.”
“Tapi … tadi … Dewi tidak mengatakan apa-apa.”
“Berita itu begitu tiba-tiba. Den ajeng sedang dipaksa menghadap ayahandanya dan perjodohan akan segera dilakukan. Tolong cepat pergi. Aku tak ingin terjadi apa-apa atas diri sampeyan.”
“Ini keterlaluan. Aku tidak percaya Dewi akan mengingkari janji,” kata Satria yang mulai tampak gelisah.
“Mungkin den ajeng tidak akan mengingkari, tapi situasi sudah seperti ini, sampeyan tidak harus memaksakan kehendak. Den ajeng juga tidak akan bisa melakukan apa-apa.”
Satria merasa dunianya seakan bergoyang. Semuanya tidak terduga. Ini seperti aneh. Ia melongok ke dalam dan belum terlihat bayangan Dewi. Tadi Dewi berpesan, kalau sudah sampai di taman harus menghubunginya. Ia merogoh ponselnya, tapi Sinah cepat-cepat menghentikannya.
“Eh, Satria, lebih baik matikan ponsel itu.”
“Aku harus menghubungi Dewi.”
“Den ajeng sudah bersama kedua orang tuanya. Matikan saja ponsel itu karena keluarga den ajeng sudah tahu tentang sampeyan. Nanti sampeyan justru akan dimaki-maki. Aku tidak sampai hati, Satria. Sampeyan orang baik, dan maksud sampeyan baik. Cepat matikan ponsel itu sebelum mereka menelpon dan akan menyakiti hati sampeyan.
Dengan bingung Satria mematikan ponselnya. Tapi sebelum dia menghampiri motornya untuk pergi, teriakan beberapa laki-laki terdengar. Satria berhenti melangkah ketika mendengar teriakan mereka yang mengatakan bahwa dirinya maling.
“Maling … maliing … “ lalu beberapa orang yang membawa pentungan berlari mendekat.
Diteriaki maling, tentu saja Satria tidak terima.
“Aku bukan maling … bukan … aku teman Sinah ini … teman Dewi … “
Lalu sebuah pukulan mengenai kepalanya sampai berdarah. Melihat hal itu barulah Sinah menghetikannya.
“Sudah … sudah … hentikan, biarkan mereka pergi,” kata Sinah.
Satria mengusap darah yang membasahi pipinya, lalu berjalan ke arah motor dan memacunya menjauh.
“Katamu ada maling?” kata seorang penjaga.
“Maaf Man, aku salah sangka. Dia ternyata memang temanku sekolah. Sudah pergi dan lupakan saja. Maaf ya.”
Lalu beberapa penjaga pergi meninggalkan Sinah sambil mengomel panjang pendek. Ada yang merasa bingung, informasi dari mana sehingga Sinah mengira ada maling masuk ke taman di siang bolong seperti itu? Tapi mereka tak ambil pusing dengan apa dan mengapanya. Mereka segera melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing biarpun terkadang masih terdengar omelan salah satu dari mereka.
***
Sinah yang kembali ke keputren, melihat Dewi sedang duduk di atas kursi, sepertinya sedang menunggu. Dan memang Dewi sedang menunggu. Bukankah Satria akan datang kira-kira sejam lagi dari ketika dia menelpon? Melihat Sinah melenggang mendekatinya, Dewi tersenyum senang.
“Sudah ada di taman?” tanyanya riang.
“Maaf Den Ajeng.”
“Maaf kenapa?”
“Satria tidak datang.”
“Apa maksudmu?”
“Saya sudah menunggu lama, tapi dia tidak datang.”
“Mana mungkin? Tadi dia menelpon dan jelas-jelas mengatakan kalau dia akan datang sejam lagi dari waktu itu.”
”Barangkali karena ada penjaga di sana.”
“Penjaga? Biasanya tak ada penjaga berjaga di sana.”
“Memang tidak berjaga, mungkin dia sedang mau pergi atau menunggu apa, sehingga berdiri lama di sana.”
“Aneh. Aku akan menelponnya,” kata Dewi yang kemudian wajahnya menjadi muram, lalu menelpon nomor kontak Satria.
Tapi berkali-kali menelpon, tak ada tanda-tanda Satria merespon panggilan itu. Tampaknya ponsel Satria memang mati.
“Ponselnya mati,” keluh Dewi.
“Den Ajeng, sudahlah, barangkali Satria memang tidak sungguh-sungguh ingin menemui Den Ajeng.”
“Apa maksudmu?”
“Kalau dia bersungguh-sungguh, mengapa ponselnya dimatikan? Dia hanya bercanda. Dia sudah tahu bahwa tak mudah sembarang orang memasuki kediaman seorang bangsawan terkemuka di kota ini. Barangkali dia sudah keder duluan.”
“Mengapa juga ya, dia mematikan ponselnya?”
“Sudahlah Den Ajeng, lupakan saja Satria. Dia tidak pantas untuk Den Ajeng,” bujuk Sinah.
“Diam kamu Sinah. Aku tidak suka berkali-kali kamu mengatakan bahwa dia tidak pantas untuk aku,” kata Dewi yang kemudian masuk ke dalam keputren, meninggalkan Sinah yang cengar cengir sendirian.
Sinah terkejut ketika tiba-tiba mbok Manis menyentuh lengannya.
“Kamu kok senyum-senyum sendiri? Ketempelan dari mana ?”
“Wah, simbok. Bikin kaget saja.”
“Mana den ajeng? Ditunggu den ayu di ruang makan.”
“Simbok sendiri saja yang matur, aku mau keluar sebentar.”
“He, kamu mau ke mana?”
“Beli obat, tiba-tiba kepalaku pusing.”
“Kepala pusing kok bisa cengar-cengir sendirian. O, kepala pusingmu itu yang membuat kamu seperti orang sinting?”
“Simbok kok begitu. Ya sudah, aku mau pergi dulu,” kata Sinah yang kemudian pergi menjauh, sementara mbok Manis memasuki keputren untuk menemui Dewi.
***
“Aku makan di sini saja Mbok,” kata Dewi setelah mbok Manis menemuinya.
“Tapi den ayu menunggu. Nanti beliau kecewa.”
“Biasanya ada kanjeng rama.”
“Keng rama tidak pulang siang ini, karena ada kesibukan di kraton. Pulangnya baru nanti sore atau bahkan malam. Itu sebabnya den ayu menunggu Den Ajeng agar menemani makan siang.”
“Sebenarnya aku belum lapar.”
“Yang penting Den Ajeng datang menemui keng ibu lebih dulu.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Saya menunggu di sini, Den Ajeng.”
***
Satria sedang mengobati luka di kepalanya dengan obat merah, setelah membersihkan wajahnya dari darah yang semula membasahinya. Ia tak ingin orang tuanya melihat lukanya, ia tak mau mereka merasa khawatir. Karenanya ia terkejut ketika tiba-tiba seseorang muncul di pintu kamarnya.
“Sinah? Kamu datang kemari?”
“Satria, aku membawa obat luka untuk kamu.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteMatur nuwun ibu
ReplyDeleteSami2 pak Wirasaba
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien....
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sekeluarga sehat selalu....
Aamiin ...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Apip
Tera kasih bunda semoga sehat walafiat bahagia bersama keluarga tercinta
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur nuwun,mugi Bunda Tien tansah pinaringan kasarasan lan karahayon
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Isti
Sinah, Sinah kamu memang ular berbisa berkepala dua
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat 🤗🥰❤️
Sami2 ibu Ika
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 03 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Ooo...Sinah Sinah, ora memper ngrebut bagiane ndarane. Carane kasar nganggo banget.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
🍒🍉🍒🍉🍒🍉🍒🍉
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏 💞
Cerbung CJDPS_03
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja🦋🌸
🍒🍉🍒🍉🍒🍉🍒🍉
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Terima kasih, ibu. Sinah kejahatannya sudah terlihat banget. Gara2 juga mencintainya jadi, mengarang cerita pada, Satria dan Dewi.
ReplyDeleteSami2 ibu Linatun
DeleteAlhamdulillah🙏
ReplyDeleteNuwun ibu Umi
DeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat wal'afiat dan Bp. Tom segera pulih...sehat kembali....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari,
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Uchu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pakWedeye
Matur nuwun buTien.., kok sayabl gemes bgt sama modusnya.Sinah... saya jadi mbayangke.sengkuni😁
ReplyDeleteWalah2...Sinah mau bersaing dengan ndoronya nih...'menggunting dalam lipatan' critanya.😰
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat selalu.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Sinah saingannya beraat....Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu bersama keluarga tercinta
ReplyDeleteKatanya Sinah itu "pidak pedarakan" tapi mengatur-ngatur orang bangsawan...
ReplyDeleteMasih belum mengerti kehidupan Royal Family (Keraton)...
Terimakasih Mbak Tien...
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 03 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah fit , bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Matur nuwun Bu. Mugi rahayu ingkang pinanggih.........
ReplyDeleteSugeng dalu bu Tien
ReplyDeleteCintaku jauh di pulau seberang 04 kok nggak tayang2...
Kenapa yaa...
Matur nuwun