CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 04
(Tien Kumalasari Widayat)
Sejenak Satria tertegun, melihat Sinah tiba-tiba duduk di sampingnya dan ikut membersihkan lukanya.
“Mengapa kamu melakukannya, Sinah?”
“Satria, aku tak sampai hati melihatnya seperti ini. Aku langsung mengejar sampeyan setelah membeli obat di apotek. Luka ini lumayan parah, tapi lukanya tidak dalam. Diamlah, biar aku obati, aku membawa obat dan alat-alatnya lengkap,” kata Sinah sambil dengan cekatan membersihkan luka lebih cermat, dan memberinya obat seperti di sarankan dari apotik.
Satria terpana, tak bisa berkata-kata. Ia hanya menurut, sambil meringis menahan perih.
“Sakitkah?”
Satria menggeleng.
“Bagaimana kamu tiba-tiba sampai di tempat ini?”
“Aku kan sudah tahu rumah sampeyan. Diluar tak ada orang, aku langsung masuk. Aku mencium bau alkohol di sebuah kamar, dan benar, sampeyan ada di sini.”
“Kamu tidak bertemu siapapun? Ibuku?”
“Tidak, sepi di depan.”
“Oh, syukurlah.”
“Ada apa memangnya kalau ada ibu sampeyan? Dimarahi kalau ada perempuan nyamperin anaknya?”
“Bukan itu. Aku tidak mengatakan pada orang tuaku kalau aku terluka, aku tak ingin membuat mereka khawatir.”
“Ya ampuun, tapi pasti kelihatan ya, kan ini nanti setelah diobati aku tutup dengan plester?”
“Aku bisa pakai topi atau peci.”
“Sampeyan anak yang baik dan sangat menyayangi orang tua. Aku kagum sama sampeyan,” kata Sinah tanpa sungkan.
“Ah, bukankah sudah biasa kalau anak itu sayang pada orang tuanya?”
“Tapi menurutku sampeyan itu berbeda,” kata Sinah sambil menutup luka Satria dengan plester.
“Sudah, sekarang aku mau pulang.”
“Tunggu dulu, aku masih ingin bertanya tentang Dewi. Tapi ayo duduk di depan saja, tidak enak berduaan di dalam kamar,” kata Satria sambil mengambil topi lalu dikenakannya. Mereka keluar dari kamar lalu duduk di teras. Memang Satria tak melihat ibunya ada di sekitar tempat itu. Barangkali sedang ke warung atau entahlah. Sedangkan ayahnya pasti belum pulang dari bekerja.
“Sinah, bagaimana dengan Dewi?” tanya Satria setelah mereka duduk.
“Satria, mengapa sampeyan masih ingin bertanya tentang den ajeng? Sudah jelas tertutup kemungkinan untuk bisa mendekati dia. Maaf Satria, sampeyan harus tahu diri. Orang biasa seperti kita tak mungkin bisa meraih bintang,” kata Sinah sambil menatap laki-laki ganteng yang sederhana itu tanpa berkedip.
Satria menundukkan wajahnya. Halangan yang ada, entah bagaimana semakin memperkuat rasa cintanya, bukan membuatnya surut.
“Aku akan berusaha meraih bintang itu,” bisiknya pelan.
“Satria, aku harap sampeyan segera sadar. Tak lama lagi den ajeng akan menjadi milik orang lain, tak akan ada yang menghalanginya, bahkan kalau den ajeng sendiri menentangnya. Perintah ayahandanya tak akan ada yang bisa menentangnya. Sampeyan harus sadar, Satria.”
Satria hanya mengangguk pelan, tapi sinar matanya tak menunjukkan bahwa niyatnya surut.
“Apa yang bisa dilakukan oleh orang kecil seperti kita? Carilah gadis yang sepadan, Satria. Banyak gadis cantik yang menyukai kamu,” kata Sinah sambil menampakkan senyuman yang barangkali menurutnya adalah senyuman termanis yang dimilikinya.
Tapi Satria justru memalingkan wajahnya, untuk menutupi kesedihannya.
“Satria, aku akan selalu ada di dekat sampeyan, dan menghibur sampeyan, sampai sampeyan bisa melupakan dia.”
“Terima kasih,” kata Satria, dengan suara tersendat.
***
Ketika kembali ke kaputren, Sinah mendapat omelan dari mbok Randu, karena sejak siang tiba-tiba Sinah menghilang.
“Ke mana saja kamu? Den ajeng dahar kamu tidak melayani, tak ada yang tahu ke mana kamu pergi. Yu Manis bilang kamu sedang sakit dan beli obat. Sakit apa? Tadi kelihatan baik-baik saja.”
“Ya memang tidak kelihatan mbok, aku pusing sekali. Tiba-tiba merasa pusing, lalu beli obat,” jawab Sinah sambil memegangi kepalanya.
“Memangnya kenapa, tiba-tiba pusing?”
“Ya nggak tahu. Namanya juga penyakit, datang tak diundang,” jawab Sinah yang langsung memasuki keputren meninggalkan mbok Randu yang masih mengomel.
“Anak itu lama-lama nglunjak. Ngomong sama orang tua nggak ada hormat-hormatnya, apa karena sekolah tinggi bersama den ajeng lalu sudah merasa hebat.”
***
Ketika memasuki kamar, dilihatnya Dewi sedang termenung. Ia selalu ingat tentang Satria yang tiba-tiba seperti menghilang. Bahkan tanpa pesan. Ini terkesan sangat aneh. Dewi merasa ada sesuatu yang terjadi, yang membuat Satria tiba-tiba pergi.
“Den Ajeng,” sapa Sinah sambil bersimpuh di depannya.
“Kamu dari mana saja? Sejak tadi tak kelihatan?”
“Tadi merasa sangat pusing, lalu saya keluar membeli obat.”
“Begitu lamanya?”
“Apotek ramai sekali.”
Dewi diam, ia sedang tak ingin berdebat tentang sesuatu yang dianggapnya tak penting. Sinah yang mengeluh pusing nyatanya baik-baik saja, wajahnya tak memperlihatkan bahwa dia sakit. Dewi mengira Sinah hanya kecapekan atau masuk angin biasa.
“Mengapa Den Ajeng tampak sedih? Masih memikirkan Satria?”
“Aku merasa sesuatu yang aneh telah terjadi.”
“Apa maksud Den Ajeng?”
“Tak mungkin Satria tiba-tiba menghilang begitu saja.”
Sinah agak bingung mencari alasan. Dewi bukan gadis bodoh yang mudah menerima apa adanya. Sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya.
“Den Ajeng, barangkali Satria tiba-tiba merasa rendah diri.”
“Tiba-tiba?”
“Ya, tiba-tiba.”
“Harusnya dia mengatakan sesuatu. Mengapa ponselnya tiba-tiba mati?” Ketika kamu keluar, apa tidak ketemu dia sama sekali?”
“Ti … tidak … “
“Padahal dia baru saja menelpon.”
“Mungkin dia tiba-tiba sadar diri.”
“Sinah, kamu kan sudah tahu di mana rumah Satria? Kita pernah lewat ketika pulang sekolah bukan? Tidak hanya sekali.”
“Ya, Den Ajeng, lalu kenapa?”
“Cobalah datang ke sana Sinah, tanyakan apa yang terjadi sehingga dia mengingkari janji,” kata Dewi memelas.
“Mohon ampun, Den Ajeng, saya tidak berani.”
“Apa maksudmu tidak berani?”
“Nanti kalau ada yang tahu bagaimana?”
“Kamu akan aku suruh membeli sesuatu, misalnya makanan kesukaan aku, ceriping pisang atau emping, tapi kamu bisa mampir ke sana. Aku ingin mendengar apa yang dikatakannya.”
Sinah terdiam. Ternyata sebuah kebohongan harus diikuti oleh kebohongan yang lain. Itu sudah pasti.
“Sinah, aku sedang bicara sama kamu.”
“Iya, Den Ajeng, saya mendengarnya.”
“Kalau begitu jalankan. Ambil kotak uangku, beli apa yang aku minta,” titah Dewi tandas.
Sinah beringsut menuju laci meja, dimana Dewi selalu menyimpan uangnya. Ia memberikan kotak uang itu sambil berpikir tentang kebohongan apa lagi yang akan dilakukannya. Yang jelas Satria tidak boleh mencintai Dewi. Satria harus menjadi miliknya, dan cepat atau lambat ia yakin akan bisa mendapatkannya.
***
Ketika keluar dari keputren itu, Sinah tidak langsung keluar tapi menemui mbok Randu, yang tentu saja menanyakan Sinah mau ke mana.
“Ini Mbok, den ajeng minta agar aku membelikan camilan kesukaannya.”
“Camilan apa lagi? Mbokmu sudah belanja semua kesukaan den ajeng.”
“Tadi minta dibelikan emping, sama keripik pisang.”
“Tidak usah, bilang sama mbok mu, dia sudah menyiapkan semua itu di almari makanan. Nanti biar mbok Manis membawanya ke kaputren.”
“Benarkah?” Sinah mendadak merasa sangat gembira. Dia punya alasan untuk tidak usah keluar lalu harus menemui Satria yang entah apa nanti yang akan dikatakannya. Hal itu tidak perlu. Den ajeng Dewi harus bisa menerima alasannya.
Ketika dia kembali ke kaputren, Dewi menatapnya heran.
“Cepat sekali kamu sudah kembali? Atau belum berangkat?”
“Ampun Den Ajeng, sebelum saya keluar, saya ketemu mbok Randu, dia mengatakan apa yang akan saya beli itu semuanya sudah ada. Jadi tidak usah beli.”
Wajah Dewi muram tiba-tiba. Ada kemarahan tersirat pada mata beningnya. Ia kesal karena Sinah tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik.
Sinah bukan tak tahu artinya. Ia mengerti, sang junjungan sedang kesal dan marah, karenanya dia segera bersimpuh dan menundukkan wajahnya di depannya.
“Mohon ampun Den Ajeng, kebetulan tadi saya ketemu mbok Randu, lalu mengatakan yang sebenarnya. Saya tidak biasa berbohong, Den Ajeng.”
“Ya sudah, pergilah,” kata Dewi tandas. Sudah jelas Sinah tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik.
Sinah beringsut mundur. Tak lama setelah itu Mbok Manis datang.
“Den Ajeng, simbok sudah membelikan semua kesukaan Den Ajeng, jadi Den Ajeng tidak usah membelinya. Akan simbok siapkan di meja sebagian, yang sebagian lagi akan simbok masukkan ke dalam almari,” kata mbok Manis yang langsung melakukan apa yang harus dilakukannya.
Dewi hanya mengangguk. Wajahnya sangat muram. Mbok Manis mendekatinya lalu bersimpuh di hadapannya.
“Den Ajeng, mengapa Den Ajeng tampak begitu sedih? Kecuali mengantarkan cemilan kesukaan Den Ajeng, saya juga membawa pesan dari keng ibu, bahwa Den Ajeng harus bersiap-siap menyambut kepulangan keng rama sore ini.”
“Tapi aku sedang tidak enak badan,” Dewi memberi alasan.
“Hanya menyambut kedatangan keng rama, karena kemarin Den Ajeng sudah tidak menghadap dengan alasan tidak enak badan. Nanti kalau sudah berbincang sebentar, Den Ajeng bisa langsung pamit, bukan? Tapi sebaiknya Den Ajeng ke sana dulu.”
Dewi hanya mengangguk, lalu mbok Manis beringsut mundur.
Ketika menuju dapur, dia melihat mBok Randu sedang menyapu ruang tidurnya.
“Den Ajeng tampak sangat muram, ada apa ya?”
“Benarkah? Tadi suruhan Sinah beli cemilan kesukaannya, tapi kan cemilan itu sudah ada?”
“Entahlah. Ketika aku meletakkan cemilan itu di meja, juga tidak segera disentuhnya.”
“Aku tahu, tampaknya den ajeng memikirkan perkataan den ayu tentang perjodohan itu, dan den ajeng tidak suka.”
“Nah, itulah. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau den mas sudah memerintahkan untuk berjodoh, siapa yang bisa menentangnya?”
“Den Listyo itu ganteng, pintar. Tapi dia tuh agak … gimana gitu. Sejak dulu den ajeng tidak suka. Den Listyo suka mengganggu.”
“Ah, ya sudahlah, kita itu hanya abdi. Mudah-mudahan semuanya baik-baik saja.”
***
Dewi sudah menghadap ayahandanya. Ia duduk sebentar setelah menyambut kepulangannya, lalu buru-buru berpamit dengan alasan tidak enak badan. Tapi sang ayahanda menahannya.
“Tunggu dulu. Ada hal penting yang ingin aku katakan.”
Dewi berdebar, ia sudah tahu apa yang akan dikatakannya, dan ingin menghindar, tapi ayahandanya menahannya ketika ia hampir berdiri dan berpamitan.
“Bukankah ibumu sudah mengatakan tentang Sulistyo?”
Dewi tak menjawab, hanya menundukkan wajahnya.
“Bukankah kamu sedikit banyak sudah mendengar bahwa kamu sudah dijodohkan dengan Sulistyo?”
“Mohon ampun, Kanjeng Rama, Dewi belum ingin menikah,” katanya lirih.
“Apa maksudmu belum ingin menikah? Kamu itu sudah dewasa, sudah saatnya meladeni seorang suami. Dan aku sudah menyiapkan seorang suami yang baik dan sepadan untuk kamu.”
“Kalau boleh, hamba ingin kuliah.”
“Apa? Keinginan macam apa itu? Kamu itu perempuan. Calon suami kamu sudah kuliah dan akan menjadi orang ternama di negeri ini. Tidak ada gunanya perempuan sekolah tinggi.”
“Tapi Kanjeng Rama.”
“Jangan teruskan. Keluarga sudah berbicara secara matang. Apa yang menjadi perintah ayahandamu adalah mutlak. Jadi kamu harus menjalani, tidak boleh membantah. Mengerti?”
“Ayahanda,” Dewi akhirnya menangis. Sang ibu menepuk pundaknya lembut.
“Orang tua pasti memilihkan yang terbaik untuk anaknya. Jalani saja, dan kamu akan bahagia. Tidak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya ke dalam kehidupan yang susah.”
“Tidak usah banyak bicara Diajeng, yang aku katakan harus dijalankan. Bulan depan keluarga adi tumenggung akan menggelar lamaran. Kita harus bersiap menyambutnya,” kata den mas Adisoma tandas, kemudian berdiri meninggalkan ruangan, dimana sang istri sedang membujuk putrinya.
“Berhentilah menangis. Itu tak ada gunanya.”
“Dewi tidak mau, Kanjeng Ibu,” isaknya.
“Kamu tidak boleh menolak. Tak ada penolakan atas perintah orang tua di dalam tradisi keluarga kita. Dulu kanjeng ibu juga dijodohkan. Awalnya ibu tidak mau, tapi kemudian kami hidup berbahagia dan memiliki kamu. Sudah, kembali ke keputren. Mana Sinah?”
Den ayu Saraswati memanggil Sinah agar mengantarkan putrinya kembali ke kaputren.
***
Sesampainya di kaputren, Dewi langsung masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Sinah membiarkannya. Lalu ia beringsut pergi.
Dewi yang wajahnya bersimbah air mata, tiba-tiba ingin sekali menghubungi Satria. Lalu Dewi berdebar. Bisa tersambung?
***
Besok lagi ya.
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Mtnw mbakyu, sehat selalu... Juga keng roko
ReplyDeleteAlhamdulillah CJDPS_04 sdh tayang.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien.....
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI
Matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien , semoga sehat selalu 🤲
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Dipulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien semoga bunda dan pak tom widayat semakin sehat walafiat
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 04 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏
🍅🥝🍅🥝🍅🥝🍅🥝
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_04
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🍅🥝🍅🥝🍅🥝🍅🥝
Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat ya,,,🤗🥰💖
ReplyDeleteSabar ya Dewi, sdh menjadi adat istiadat para priyayi mengatur perjodohan . 😁🤭
Terima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sehat selalu.
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dr Yk....
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 05..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Sinah...nglunjak...
Semoga Dewi dapat bertelpon ria dengan Satria dan rindu nya terobati...
05...yang benar...04...he..he
ReplyDeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 04 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDelete"Ternyata sebuah kebohongan harus diikuti oleh kebohongan yang lain. Itu sudah pasti." Sepertinya Mbak Tien mengikuti perkembangan politik juga ya...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...