CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 05
(Tien Kumalasari)
Dewi berdebar. Sambil mengusap air matanya, ia menunggu sampai panggilannya diangkat.
“Satria … angkat Satria … aku harus mendengar suaramu … mendengar alasanmu … aku menunggu Satria … “
Beberapa menit kemudian panggilan itu mendapat jawaban. Belum juga ada yang menyapa dari seberang, Dewi sudah berteriak.
“Satria?”
“Ya, ini aku, Dewi.”
“Satria, mengapa sejak siang kamu mematikan ponsel? Aku ingin mendengar suaramu, aku ingin mendengar alasan kamu, mengapa kamu tidak datang untuk memenuhi janjimu?”
“Apakah itu perlu, Dewi?”
“Pertanyaan macam apa itu Sat? Aku menunggu kamu dengan penuh harap.”
“Aku sudah datang.”
“Kamu sudah datang?”
"Beberapa penjaga mengusir aku, bahkan ada yang sempat memukul kepalaku.”
“Apa? Kamu dipukul oleh mereka?”
“Kepalaku terluka, lalu aku pergi, karena Sinah menyuruhku pergi.”
“Sinah mengetahuinya? Aneh, mengapa Sinah tidak mengatakan apapun padaku?” kesal Dewi. Ia heran mengapa Sinah harus membohonginya. Dan bagaimana tiba-tiba ada penjaga mengetahuinya?
“Aku tidak pantas untuk kamu, aku hanya orang rendah, bukan seperti dirimu. Kamu tinggi jauh di sana, seperti bintang. Apa aku sanggup meraihnya?”
“Satria, bukankah harusnya kita bertemu dan berbicara?”
“Apakah itu perlu?”
“Satria,” sekarang Dewi terisak.
“Tidak ada gunanya semua ini. Lupakan saja aku, meskipun aku tak mungkin bisa melupakan kamu.”
Dewi masih terisak.
“Dewi, ada yang lebih pantas menjadi pendampingmu, aku tak ingin mengganggumu, Den Ajeng.”
“Satria, mengapa tiba-tiba kamu berubah? Jangan menyiksaku dengan perkataan itu, Sat. Aku tetap Dewi seperti saat kita sama-sama bersekolah.”
“Tidak sama, Den Ajeng, sekarang aku sudah tahu di mana aku harus duduk, dan di mana aku harus berdiri. Aku akan berbahagia untuk kamu,” sendu suara Satria, dan Dewi merasakannya.
“Satria, bawalah aku pergi,” memelas suara Dewi.
“Apa maksudmu? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya? Aku hanya manusia sudra. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya bermimpi tentang bidadari, yang terbang diantara pelangi senja, melambai menyiratkan harapan hampa.”
“Aku serius, Sat. Aku tak tahan lagi, bawa aku pergi.”
“Apa kamu sadar apa yang kamu katakan?”
“Aku sadar Satria, aku tak mau hidup di lingkungan yang mengungkungku dan menghambat gerakku, langkahku, keinginanku dan cita-citaku.”
“Sesungguhnya kamu adalah seorang putri, yang tidak layak hidup diluaran, yang jauh dari kemewahan. Tak akan ada yang menyembahmu, bersujud di hadapanmu.”
“Aku bukan Tuhan, Satria, aku manusia biasa. Siapa yang akan menyembahku dan bersujud kepadaku? Itu tidak benar.”
“Kamu seorang junjungan di istanamu.”
“Bukan, ini hanyalah sangkar emas yang panas dan gerah. Aku ingin pergi Satria, tolong bawa aku pergi."
“Dewi, ada hal lain yang harus kamu jalani, yaitu kamu adalah calon istri seorang petinggi.”
“Satria, itu kamu juga mendengarnya?”
“Berita dari sebuah ndalem agung akan cepat sekali tersebar ke mana-mana. Aku akan berbahagia untukmu.”
“Ternyata kamu tidak mencintai aku seperti aku mencintaimu,” tangis Dewi.
“Cinta tidak cukup untuk bisa memiliki kamu, Dewi. Kamu akan berbahagia, aku akan mendoakanmu.”
“Satria, aku tidak mau menikah, bawa aku pergi,” tangis Dewi semakin menjadi.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Dari pelan kemudian menjadi semakin keras.
Dewi menutup ponselnya.
“Den Ajeng … Den Ajeng … “
Itu suara mbok Randu. Inang pengasuhnya sejak Dewi masih bayi. Panggilan itu terdengar begitu merdu dan lembut. Berbeda dengan suara Sinah, teman sepermainannya.
“Den Ajeng bicara dengan siapa?”
Dewi turun dari pembaringan. Ia membutuhkan bahu untuk bersandar. Ia membutuhkan pelukan hangat agar menjadi kuat. Dulu, ketika masih kecil, setiap kali mainannya rusak, lalu Dewi menangis, mbok Randu yang selalu menghiburnya, menggendongnya, memeluknya. Setelah dewasa, dia punya teman main yang sebaya, tapi Dewi sedang merasa kecewa padanya, gara-gara Sinah gagal menemui Satria seperti perintahnya. Dan ternyata menyembunyikan sesuatu ketika Satria datang.
“Den Ajeng …”
Dewi sudah sampai di depan pintu, ia membukanya pelan. Mbok Randu masuk, lalu tiba-tiba Dewi menubruknya sambil menangis sesenggukan.
Sebelah tangan mbok Randu memeluk tubuh Dewi yang terkulai di pundaknya, sebelahnya lagi dipergunakan untuk menutup dan mengunci pintu. Lalu ia membawa Dewi agar duduk di kursi, tapi Dewi merosot lalu bersimpuh di lantai.
“Den Ajeng, duduklah di atas.”
“Aku ingin tidur di pangkuanmu, Mbok.” Lalu Dewi pun ambruk di pangkuan mbok Randu, yang kemudian mengelus punggungnya lembut.
“Apa yang terjadi, Den Ajeng? Apa keng rama memarahi Den Ajeng? Atau keng ibu?”
“Mbok, aku tidak mau menikah. Aku tidak mau mbok.”
“Mengapa Den Ajeng? Bukankah den Listyo laki-laki tampan dan pintar?”
“Aku tidak suka dia, aku juga belum ingin menikah.”
“Tapi ini adalah perintah dari keng rama. Tadi sudah ada perintah untuk bersiap-siap, karena sebentar lagi akan ada lamaran resmi dari ndara tumenggung. Hanya menunggu kepulangan den Listyo saja. Den Ajeng akan mendapat pasangan yang pas, serasi.”
“Aku tidak suka dia.”
“Den Ajeng tahu? Cinta itu bisa datang dengan berjalannya waktu. Simbok masih ingat, ketika keng ibu harus menikah dengan keng rama, setiap malam selalu menangis, karena tidak suka. Tapi lambat laun, dengan kelembutan dan kasih sayang, cinta itu tumbuh, lalu lahirlah seorang putri cantik, yaitu Den Ajeng Dewi Pramusita, yang kemudian menjadi bunga wangi yang menghiasi istana kecil ini. Percayalah Den Ajeng, kelak Den Ajeng akan hidup berbahagia. Sepertinya den Listyo sudah lama menyukai Den Ajeng.”
“Mbok, cinta itu seperti apa?”
“Cinta adalah rasa suka yang sulit digambarkan. Suka yang tak ada bandingnya. Selalu ingin bertemu, selalu ingin bersama, selalu ingin membuat orang yang kita cintai itu bahagia, selalu ingin menjaga dan melindungi. Itu sangat indah.”
“Apa simbok pernah jatuh cinta?”
“Ya, sebelum simbok mengabdi di istana kecil ini, simbok pernah menikah dengan carik desa. Simbok bahagia, karena simbok memang sangat mencintai dia.”
“Kemana dia sekarang?”
“Simbok merana karena suami simbok selingkuh dengan janda desa yang lebih memikat. Simbok tidak mau dimadu, lalu simbok pergi kekota, ketemu mbok Manis, lalu bisa mengabdi di sini, momong Den Ajeng yang ketika simbok datang, keng ibu sedang mengandung tua.”
“Kalau begitu cinta tidak selalu abadi bukan? Bisa pergi setiap saat.”
“Itu tergantung dari bagaimana kita memeliharanya. Simbok selalu mencintai suami simbok, tapi dia tidak. Dia hanya mengincar harta milik orang tua simbok, kemudian mencampakkan simbok.”
Dewi bangkit, lalu duduk berhadapan dengan mbok Randu.
“Tapi Den Ajeng tidak perlu takut akan mengalami nasib seperti simbok. Simbok dilahirkan tidak begitu cantik, sehingga suami bisa berpaling. Tapi Den Ajeng sangat cantik dan sempurna sebagai gadis, tak mungkin orang yang memiliki Den Ajeng akan mencampakkan Den Ajeng. Den Ajeng tak ada duanya. Jadi jangan takut menikah. Simbok akan selalu meladeni Den Ajeng, kemanapun Den Ajeng pergi.”
Dewi kembali menitikkan air mata. Mbok Randu mengusap dengan selendangnya, seperti dulu selalu dilakukannya ketika Dewi sedang rewel.
“Mbok, bagaimana kalau aku mencintai orang lain?”
Mbok Randu sangat terkejut, sampai matanya terbelalak.
“Den Ajeng jangan bercanda.”
“Itu benar. Ada seorang pemuda yang membuat aku jatuh cinta.”
“Den Ajeng?”
“Dia sangat tampan dan pintar.”
“Dia siapa? Putera dari pembesar siapa? Simbok mengenal semua pembesar keraton karena dulu sering mengantarkan keng ibu ketika mengikuti keng rama masuk ke dalam keraton.”
“Bukan pembesar, dan juga bukan anak pejabat keraton. Dia orang biasa.”
“Apa maksud Den Ajeng? Bagaimana mungkin Den Ajeng menyukai pemuda biasa? Ingat, Den Ajeng itu seorang putri yang sangat terhormat.”
“Tapi aku dan dia saling mencintai. Aku tidak mau menikah kecuali dengan dia.”
“Ya Gusti Allah, Ya Tuhanku. Ini akan menjadi huru hara. Keng rama akan murka Den Ajeng. Mohon menurutlah,” kata mbok Randu sambil merangkul momongannya.
“Aku akan lari dari sini.”
“Apa? Jangan begitu Putri Ayu, jangan membuat istana menjadi ajang kemurkaan keng rama ya. Kalau keng rama murka, semua orang akan kena getahnya. Bisa-bisa simbok akan dibunuh sampai mati,” kata mbok Randu ketakutan.
“Kalau begitu ayo lari bersama aku, Mbok.”
“Apa?”
“Kalau simbok tidak mau pergi bersamaku, aku akan pergi sendiri.”
Mbok Randu mengusap air mata nyang mengalir di sepanjang pipi tuanya. Ia tak mengira kalau momongannya akan punya pemikiran begitu mengejutkan, sekaligus menakutkan.
“Tapi simbok jangan mengatakan kepada siapapun tentang pembicaraan kita ini. Aku tidak percaya kepada siapapun, bahkan kepada Sinah sekalipun.”
“Sekarang malam sudah larut, lebih baik Den Ajeng istirahat, agar ketika bangun nanti, bisa merasa lebih segar.
Mbok Randu menarik tangan Dewi, dimintanya untuk berdiri, lalu dibimbingnya ke peraduan.
“Tidur dan endapkan semua gejolak rasa yang mengganggu, Den Ajeng,” kata mbok Randu sambil menyelimuti tubuh Dewi, lalu mematikan lampu kamar yang benderang, menggantinya dengan yang redup agar sang momongan bisa segera terlelap dalam tidur.
Mbok Randu tidak segera keluar. Ia masih bersimpuh di lantai, menunggu momongannya benar-benar sudah terlelap.
Ketika keluar, ada sinar redup memancar dari mata di wajah tuanya. Sungguh ia merasa sangat khawatir, entah karena apa, ada yang membuatnya merasa takut.
***
Pagi hari itu ketika Sinah memasuki kamar Dewi dan bermaksud membantunya mandi, tiba-tiba Dewi menolaknya. Ia kesal kepada Sinah yang telah membohonginya, tapi ia tak mau menegurnya. Ia merasa lelah, bahkan untuk marah sekalipun.
“Den Ajeng tidak ingin mandi? Saya sudah menyiapkan air hangat dan menaburkan bunga bunga wangi.”
“Aku ingin mbok Randu melayani aku mandi.”
“Mengapa Den Ajeng? Bukankah biasanya saya yang melayani?”
“Aku kangen pada mbok Randu. Dulu waktu aku kecil, mbok Randu yang selalu melayani aku. Entah mengapa, tiba-tiba aku kangen dimandikan mbok Randu.”
Sinah mengundurkan diri, setelah sempat melihat wajah junjungannya yang sembab. Apakah semalaman den ajengnya menangis, pikirnya. Tapi sedikit banyak dia menduga, pasti karena pembicaraan tentang perjodohan itu yang membuatnya menangis. Dalam mencari keberadaan mbok Randu, diam-diam Sinah bersyukur dalam hati.
“Mbok, den ajeng minta simbok yang melayani den ajeng.”
“Ada apa?” tanya mbok Randu.
“Katanya kangen dimandikan simbok. Cepatlah, aku mau bersih-bersih saja,” kata Sinah sambil meninggalkan mbok Randu, yang kemudian bergegas pergi ke kaputren.
“Putri Ayu, ada apa?”
“Bantu aku mandi Mbok.”
“Kangen dimandikan simbok ya?” kata mbok Randu sambil tersenyum, lalu menggandeng momongannya ke arah kamar mandi, dimana tadi Sinah sebenarnya sudah mempersiapkannya.
“Semalam Den Ajeng tidur nyenyak?”
“Tidak, Mbok. Sebentar-sebentar aku bangun.”
“Den Ajeng tidak boleh memikirkan hal-hal buruk. Pikirkan bahwa Den Ajeng akan hidup bahagia.”
“Mana mungkin Mbok.”
Mbok Randu melepas semua pakaian Dewi, kemudian membantunya masuk ke dalam bak besar dengan air hangat dan bunga-bunga wangi tersebar di permukaannya.
“Jangan sedih, nanti cantiknya hilang. Yakinlah bahwa Den Ajeng akan bahagia.”
Mbok Randu menggosok tubuh momongannya dengan racikan daun segar yang wangi.
“Mengapa tidak mau dilayani Sinah?”
“Mulai sekarang aku ingin dimandikan simbok, seperti ketika aku masih kecil.”
Mbok Randu tersenyum senang.
“Simbok akan melakukannya, asalkan Den Ajeng tidak bersedih.”
***
Berhari-hari berikutnya, berkali-kali Dewi menghubungi ponsel Satria, tapi rupanya Satria benar-benar mematikan ponselnya.
Dewi yang merasa sedih, sedang berpikir apa yang harus dilakukannya. Ia duduk di taman, sendirian. Tiba-tiba sebuah sentuhan lembut mengelus lengannya. Dewi terkejut melihat siapa yang datang.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Sis
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTksh Bu Tien - CJDSP sudah tayang …🤝
ReplyDeleteSehat sll …!
Aamiin
DeleteMatur nuwun Mbah Wi
Syukron Bu Tien...
ReplyDeleteSehat terus ya Bu, jaga kesehatan.
Ngrawat pasien harus lebih sehat.
Jika capek, mbokyao nyerate ditunda kami ngerti kok ... Dua hari sekali juga gapapa
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Iya.. gampang nanti .. kalau bisa ya gpp
Alhamdulillah.. Cintaku Di Pulau Seberang - 05 sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, sem9ga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
💝🌷💝🌷💝🌷💝🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏 💞
Cerbung CJDPS_05
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja🦋🌸
💝🌷💝🌷💝🌷💝🌷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur nuwun Bu Tien.....semoga Ibu sehat wal'afiat dan Bp. Tom semakin membaik kesehatannya....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 05 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun , Bu Tien.
ReplyDeleteSemoga selalu sehat , demikian juga dengan pak Tom
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 05..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Siapa yang msk di taman ya, Satria kah.
Klu iya, Dewi pasti sumringah. Dewi ingin pergi berdua dengan Satria, keluar dari tembok Kadipaten.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah... Mtnw... Sehat selalu❤
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Kun
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah... Matursuwun... Sehat selalu Bu Tien❤
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 05 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Oh Satria yang datang atau Listyo?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...