Friday, May 9, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 06

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  06

(Tien Kumalasari)

 

Dewi berdiri lalu menatap tajam kepada siapa yang datang.

“Apa kabar, cantik?” sapa yang manis sebenarnya.

Senyuman tampan itu justru membuatnya bergidik. Dewi mundur beberapa langkah.

“Berapa kali aku menegurmu agar tidak sembarangan menyentuhku? Tidak sopan. Menyebalkan," sergah Dewi murka.

Laki-laki itu terkekeh lucu. Ucapan menyakitkan itu sama sekali tidak membuatnya sakit. Sikap seorang gadis yang baik, santun dan penuh dengan wibawa adalah gadis idaman yang pantas diimpikan.

“Dewi, aku melakukannya kepada calon istri aku, apa tidak boleh?”

“Siapa menjadi calon istri kamu, Listyo? Aku tidak pernah merasa menjadi calon istri siapapun.”

“Dewi, apa ayahandamu belum mengatakannya padamu?”

“Kamu masuk ke dalam taman keputren sembarangan, tanpa ijinku, perbuatan itu sangat melanggar. Bagaimana kalau sekarang aku mengusirmu?” kata Dewi kesal, tanpa menanggapi pertanyaan Sulistyo.

Sulistyo terbahak keras sekali.

“Dewi, aku tidak memerlukan ijin dari kamu untuk datang kemari, karena ayahanda dan ibundamu sudah membukakan pintu untuk aku.”

“Pergilah,” sengit Dewi.

“Jangan begitu Dewi, aku jauh-jauh datang kemari untuk melamar kamu, semua sudah aku persiapkan. Apa kamu punya permintaan? Katakan padaku, aku akan memenuhinya, asalkan kamu tidak meminta turunnya rembulan ke pangkuanmu,” katanya sambil selalu tersenyum. Senyuman memikat yang bisa menjatuhkan hati selaksa gadis, tapi tidak buat Dewi Pramusita. Ia selalu menganggap sikap Listyo terlalu genit, merasa sok paling tampan, tak ada yang mengalahkannya. Listyo juga merasa setiap perempuan pasti jatuh hati padanya. Itu yang membuat Dewi selalu kesal apabila didekati olehnya.

Dewi membalikkan tubuhnya, menjauhi Sulistyo untuk kembali masuk ke keputren, tapi Listyo segera menarik lengannya. Langkah Dewi terhenti, ia meronta sekuat tenaga tapi Listyo tak mau melepaskannya.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku, apa yang kamu inginkan? Jangan jatuhnya rembulan, pasti aku akan memenuhinya.”

“Aku ingin kamu pergi dari sini,” pekik Dewi, dan kali ini Sulistyo menjadi muram.

Ia melepaskan tangan Dewi, dan membiarkan Dewi masuk ke dalam keputren.

Sulistyo menatap pintu keputren yang kemudian tertutup, lalu bayangan gadis cantik itu menghilang dibaliknya.

Sulistyo masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika seseorang menyapanya.

“Bukan begitu cara merayu seorang gadis, Den.”

Sulistyo menatap laki-laki setengah tua yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Laki-laki itu membawa sapu lidi dengan gagang panjang, yang kemudian disandarkannya di sebuah dahan pohon tanjung.

“Man Tangkil?

“Bukannya saya mengintip Den, saya kebetulan sedang bersih-bersih, dan melihat den Listyo mencoba mendekati den ajeng Dewi.”

“Apa yang salah dengan apa yang aku lakukan? Dewi adalah calon istriku.”

“Bukankah den ajeng menolaknya?”

“Aku juga tidak mengerti. Tak pernah ada perempuan yang menolak aku dekati. Baru kali ini seorang gadis lari terbirit-birit menjauhi aku.”

“Den ajeng Dewi bukan gadis sembarangan. Sikap terlalu merayu itu justru membuatnya kesal.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Bersikaplah biasa saja. Seakan den Listyo tidak ingin mengejarnya, maka den ajeng pasti lebih bisa menerima.”

“Apa itu benar?”

“Coba saja.”

“Sekarang dia sudah masuk ke sana. Mana mungkin mau keluar lagi.”

“Benar, tak mungkin den ajeng mau keluar lagi setelah dibuat kesal oleh den Listyo. Tapi masih akan banyak kesempatan untuk bertemu lagi, karena den mas Adisoma sudah mengijinkan den Listyo menemuinya.”

“Sebentar lagi acara lamaran akan digelar, lalu tak lama lagi dia akan menjadi istriku.”

“Itulah, den Listyo harus bersabar menunggu hari bersejarah itu, jangan buru-buru merayu yang akibatnya hanya membuat den ajeng kesal.”

“Rupanya man Tangkil sudah biasa merayu perempuan ya?” canda Listyo.

“Saya kan pernah muda den? Dulu saya juga tampan lhoh. Itu sebabnya istri saya tiga. Tak ada yang menolak ketika saya menjadikannya istri.”

“Hahaa, tiga ya? Sekarang di mana mereka?”

“Masih di desa Den, selama saya mengabdi di sini, tidak pernah pulang lagi.”

“Man Tangkil tidak kangen pada mereka?”

“Saya sudah tua. Mereka bertiga hidup rukun dengan hasil sawah yang saya tinggalkan.”

“Istri tiga ditinggalkan.”

“Jelasnya saya ceraikan.”

“Kenapa?”

“Dulu saya mengejar gadis kota, anak tukang sate, tapi urung memperistri, karena ketahuan istri saya tiga. Padahal ketiga istri terlanjur saya ceraikan.”

Sulistyo terbahak mendengarnya.

“Lalu, patah hati kan Man?”

“Dulu awalnya merasa sakit, tapi saya kemudian bisa menerima nasib dan merasa bersalah. Ya sudah, saya sudah tentram mengabdi di sini, sampai tua.”

Sulistyo meninggalkan Tangkil sambil masih tersenyum-senyum. Terlanjur melepaskan tiga orang istri, yang digadang jadi istri muda menolak? Dasar bodoh. Kata batinnya.

***

Dewi duduk di balik jendela di kamarnya, sambil memandang kolam ikan yang terbentang di bawahnya. Ikan mas yang berseliweran dan terkadang menimbulkan kecipak nyaring. Tapi semua itu tak ada yang bisa menghiburnya. Acara lamaran yang ditentukan sudah semakin dekat. Bahkan Sulistyo sudah kembali dari luar negri. Lalu tak lama lagi dirinya akan menikah. Dewi merasa dunianya begitu sempit, tak ada ruang untuk bergerak. Ia benar-benar merasa seperti burung di dalam sangkar emas. Lingkungannya indah, tapi ia tak kuasa melakukan apapun.

“Den Ajeng, den ayu meminta agar Den  Ajeng ikut makan bersama. Den Listyo sudah menunggu.”

Dewi bergeming. Ia tahu Sinah sedang bersimpuh di dekatnya, tapi matanya terus menatap ke arah luar. Di kolam itu ikan-ikan berseliweran, kelihatan begitu gembira, tak ada beban. Alangkah inginnya dia menjadi ikan, yang bisa berenang ke sana kemari dengan riang.

“Den Ajeng ….”

“Aku tidak mau makan.”

“Tapi den ayu meminta agar Den Ajeng ikut makan bersama den Listyo juga.

“Aku sudah bilang tidak mau, ya tidak mau.”

“Kalau tidak makan, nanti Den Ajeng sakit, bagaimana?”

“Suruh mbok Randu membawa makanan aku kemari.”

“Tapi_”

“Lakukan apa yang aku minta,” kata Dewi tandas, membuat Sinah tak mau memaksanya lagi. Ia beringsut mundur lalu keluar untuk mencari mbok Randu.

Disetiap langkahnya tak henti-hentinya Sinah mengomel panjang pendek.

“Eh, ada apa kamu itu, mulut komat kamit seperti sedang mengusir demit,” tegur mbok Randu.

“Ya ampun, aku tuh mau mencari sampeyan Mbok, sampai jalan kebablasan.”

“Lhah kamu jalan sambil ngomel, ada apa?”

“Tuh, momonganmu rewel.”

“Den ajeng rewel?”

“Dipanggil den ayu agar makan bersama den Listyo tidak mau, malah minta agar makanannya dibawa ke sana, udah begitu yang disuruh sampeyan.”

“O alah, kasihan den ajeng itu.”

“Ya sudah, layani saja, aku harus melapor pada den ayu kalau den ajeng tidak mau,” kata Sinah sambil pergi meninggalkan mbok Randu.

***

Mbok Randu sudah membawa makanan ke dalam kamar Dewi. Puteri cantik itu masih saja duduk di balik jendela, menatap keluar dengan mata kosong.

“Makanan sudah siap Den Ajeng.”

Mendengar suara mbok Randu, Dewi menoleh. Mbok Randu menatap mata sayu tanpa cahaya itu dengan perasaan sedih. Bagaimanapun Dewi adalah momongannya sejak baru saja dilahirkan. Ikatan batin yang ada terasa begitu kuat. Mbok Randu mengasihinya seperti kepada darah dagingnya.

“Makan, Den Ajeng, simbok ambilkan?”

“Sebenarnya aku tidak lapar.”

“Harus makan, nanti Den Ajeng sakit, bagaimana?”

“Biar saja sakit, biar saja mati.”

“Eh, jangan begitu. Tidak baik bicara tentang kematian. Karena hidup dan mati itu bukan milik kita. Bukan kita yang bisa menentukan.”

“Ayo kita pergi dari sini Mbok.”

“Jangan neko-neko Den Ajeng, ayo makan, simbok ambilkan.”

“Suapin.”

Mbok Randu tersenyum. Rupanya Dewi ingin agar masa-masa kecil itu kembali lagi. Masa-masa dimana tak ada beban, tak ada apapun yang harus dipikirkan. Hanya bermain, bercanda dengan para abdi, indah sekali.

Mbok Randu melakukannya dengan senang hati. Apapun akan dilakukannya, asalkan sang momongan senang.

“Aku sudah kenyang,” katanya setelah beberapa suap.

“Baru sedikit, kok sudah kenyang? Lagi, tiga suap lagi,” mbok Randu memaksa.

Dan Dewi tak bisa menolaknya.

“Sudah.”

“Tiga lagi.”

“Nggak mau, aku kenyang.”

“Satu lagi kalau begitu, kalau nggak mau ya sudah, habis ini simbok nggak mau lagi melayani,” ancam mbok Randu.

Dewi menurut, dan sepiring yang disiapkan mbok Randu akhirnya habis.

“Mbok, ayo pergi dari sini.”

“Jangan neka-neka Den Ajeng.”

“Aku tidak mau menikah, aku mau pergi saja.”

“Tidak mudah pergi dari sini. Nanti kita malah celaka.”

“Carilah jalan, tolong Mbok,” kata Dewi memelas.

Mbok Randu menumpuk piring kotor dan sisa makanan ke atas baki, lalu keluar dari kamar dengan perasaan yang bercampur aduk tidak karuan.

***

Den ayu Saraswati sedang duduk di ruang tengah, setelah menjamu calon menantu dengan makan siang yang lezat. Ia tahu Sulistyo kecewa karena Dewi tidak bersedia makan bersamanya.

“Listyo, kamu harus bersabar. Dewi bukan seperti gadis biasa yang gampang dibujuk.”

“Iya, Bibi, saya sudah tahu. Ini adalah pertanda bahwa diajeng Dewi adalah gadis yang baik.”

“Syukurlah kalau kamu bisa mengerti. Percayalah, lambat laun dia akan bisa menerima perjodohan ini.”

“Dia tampak sangat membenci Listyo.”

“Dewi bukan benci. Dia kesal karena kamu sering mengganggunya sejak kalian masih kecil.”

“Iya, sebenarnya itu masa kanak-kanak yang indah. Saya dulu sangat nakal. Tidak pernah berhenti kalau diajeng Dewi belum menangis.”

“Tapi aku mau kamu berjanji, kelak kalau dia sudah menjadi istri kamu, jangan pernah membuatnya menangis lagi.”

“Saya berjanji akan menjaga dan mencintainya dengan sepenuh hati saya.”

“Terima kasih, Listyo. Aku percaya padamu. Semoga pilihan pamanmu atas dirimu tidak keliru.”

“Saya mencintai diajeng Dewi sudah lama sekali. Bahagia rasanya ketika akan segera bisa memilikinya.”

“Semoga kalian bahagia.”

“Terima kasih telah mempercayakan diajeng Dewi kepada Listyo.”

***

 Sore itu Sinah merasa sangat kesal. Sudah berminggu-minggu Dewi tidak mau dilayani olehnya. Ketika dia menanyakannya, Dewi hanya menjawab bahwa dia kangen dilayani mbok Randu. Sinah hanya bertugas bersih-bersih keputren, setelah itu dia tak punya pekerjaan lain.

Setelah mandi dia menyelinap keluar. Sudah lama dia tak menemui Satria, sejak mengobati luka di kepalanya.

Rumah Satria agak jauh. Ia harus mencari becak yang bisa mengantarkannya kalau ingin pergi ke sana, seperti pernah dilakukannya ketika dia membawa obat luka waktu itu.

Sinah sempat membeli buah-buahan segar yang akan diberikan kepada Satria. Ia yakin tak ada lagi harapan Satria untuk bisa bertemu Dewi, apalagi setelah Satria diberitahu bahwa Dewi akan segera menjadi menantu seorang tumenggung.

Rumah itu tampak sepi. Pintu depan tertutup. Sinah mengetuknya, tapi tak terdengar suara menyambut. Ia masuk melalui pintu samping, lalu mencium aroma harum seperti aroma teh yang wangi. Sinah memasuki sebuah pintu yang terbuka, dan melihat seorang perempuan sedang menyeduh minuman.

“Selamat sore,” sapa Sinah.

“Sore,” seorang wanita yang tidak lagi muda menyambut.

“Sedang sibuk, Bu?”

“Tidak, sedang menyeduh teh, untuk suami yang biasanya sudah datang di sore begini. Saya kok seperti pernah melihat nak yang cantik ini ya, lupa di mana?”

Sinah tersenyum senang, tentu saja. Perempuan mana yang tak senang dipuji cantik?

“Saya Sinah, dulu teman sekolah Satria.”

“O iya, sekarang aku ingat. Ayo duduk di depan, lewat sini saja. Sekalian saya buatkan teh untuk nak Sinah. Tapi Satria tidak ada. Dia sedang menyiapkan semua keperluannya untuk kuliah nanti. Ayo duduklah dulu, tehnya segera saya bawa ke depan.

“Saya membuat sendiri saja Bu. Oh ya, ini untuk Ibu.”

“Ini apa?”

“Buah-buahan, kebetulan tadi lewat, lalu saya beli untuk ibu.”

“Terima kasih ya Nak. Saya taruh di sini dulu, Satria paling suka makan buah,” katanya sambil meletakkan keranjang buah, lalu meraih sebuah cangkir.

“Biar saya buat sendiri saja Bu, sekalian saya buat untuk ibu juga,” kata Sinah yang dengan cekatan meminta cangkir yang dibawa bu Karti, ibu Satria.

“Ya ampun, nak Sinah ini kelihatan kalau rajin bekerja. Sudah cantik, rajin pula.”

“Ibu bisa saja. Bukankah sudah biasa perempuan melakukan pekerjaan dapur.”

“Tidak semua bisa cekatan seperti nak Sinah. Maukah menjadi menantu ibu?”

Sinah hampir menjatuhkan cangkir yang dipegangnya.

***

Besok lagi ya.

34 comments:

  1. Alhamdulillah "Cintaku Jauh di Pulau Seberang 06" sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tien🙏
    Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Sis

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 06 "
    🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  4. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda CJDPS sudah tayang semoga bunda dan keluarga sehat walafiat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah

      Delete
  5. Matur nuwun, Bu Tien. Sehat selalu nggih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Anik

      Delete
  6. 🍆🍑🍆🍑🍆🍑🍆🍑
    Alhamdulillah 🙏💝
    Cerbung CJDPS_06
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, tetap
    smangats berkarya &
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
    🍆🍑🍆🍑🍆🍑🍆🍑

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai

      Delete
  7. Alhamdulillah
    Cintaku jauh di pulau seberang eps 6 sdh hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  8. Maukah menjadi menantu ibu? He he he... kepala Sinah jadi besar. Seandainya yang mengucapkan Satria sendiri,. alangkah indahnya dunia ini.
    Beranikah Dewi pergi dari rumahnya? Terus mau kemana? Kalau sekedar pergi tanpa teman, tanpa tujuan yang pasti rasanya tidak baik, justru berbahaya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.


    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  9. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  10. Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 06..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.

    Dugaanku salah, bukan Satria yang msk di taman, tapi Listyo, murah deh wajah Dewi.

    Maukah jadi menantu ibu...kata ibu nya Satria, bertanya kepada Sinah. Sinah...pasti gembelengan...😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  11. Alhamdulillah, mtnw mbakyu.. Sehat selalu njih, Barokallah🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Kun

      Delete
  12. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu bunda Tien dan keluarga....

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 06 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  14. Alhamdulillaah, bacanya siang hari , tp masih asyik ,,,,😁
    Dapet durian runtuh rupanya Sinah, sedang Dewi lg uring 2an dg perjodohan nya

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya, mantab 👍,🤗🥰

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, salam hangat...sehat wal afiat selalu nggih Bu💖

    ReplyDelete
  16. Mbak Tien kok pakai Bahasa Indonesia Raya "neka-neka". Bahasa Indonesianya adalah "neko-neko" (KBBI)
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 29

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  29 (Tien Kumalasari)   Arum menyelesaikan administrasi dengan segera. Peringatan bahwa dia harus beristira...