Monday, May 30, 2022

ADUHAI AH 34

 

ADUHAI AH  34

(Tien Kumalasari}       

 

Danarto tiba di tempat kost Hesti saat Sarman sudah memberikan obat yang dibelinya, lalu oleh Desy segera diminumkannya pada Hesti.

“Kenapa lagi dia?”

Sarman menceritakan sekilas yang diketahuinya dan didengarnya tadi dari Sita, gadis yang sekarang duduk diluar pintu, diam karena merasa sungkan kepada tamu-tamunya Hesti.

Danarto duduk ditepi pembaringan Hesti, bersebelahan dengan sisi di mana Desy dan Sarman duduk.

“Hesti … “ panggil Danarto.

Hesti membuka matanya yang terlihat sembab. Gurat kesedihan tampak pada wajah pucatnya.

“Maaf, saya merepotkan …” bisiknya lirih.

“Tidak ada yang repot. Kami prihatin karena kamu kembali sakit.”

“Aku ingin mati saja,” lirihnya lagi.

“Mengapa kamu mengulangi kata-kata itu lagi?” tegur Desy.

“Maaf …”

“Kamu bukan pemilik kehidupan ini. Kamu hanya manusia seperti juga kami yang ada di sekitarmu ini. Kami menjalani hari demi hari, dalam gulungan peristiwa demi peristiwa, cobaan demi cobaan, juga segala suka serta bahagia. Apa yang bisa kami lakukan? Mensyukuri semuanya, bukan menentangnya karena memang kita tak akan mampu merubah garis kehidupan yang sudah tersirat dalam suratan nasib kita,” lanjut Desy yang merasa heran dirinya bisa berucap panjang lebar seperti itu.

Aku sudah ketularan ibu dan mbak Lala, kata batin Desy. Dan memang benar, Desy yang keras, sedikit galak, tegas, terkadang menghawatirkan Lala dan juga ibunya, karena pada suatu saat, Desy bisa tak terkendali. Tapi seiring berjalannya waktu, setiap kata bijak kakak dan ibunya ternyata mengendap dalam sanubarinya, kemudian bisa ditularkannya seperti saat ini, bak kata-kata seorang ibu kepada anaknya.

“Kamu harus tegar menghadapi semuanya, bukan meratapinya terus menerus dan membuat sakit bukan hanya jiwamu, tapi juga ragamu,” lanjutnya.

Danarto menahan senyum bangga nya saat mendengar calon isterinya berkata-kata. Desy yang terkadang galak, bisa berucap sangat manis dan lembut.

Hesti tampak menatap Desy dengan tatapan sendu.

Desy mengambil kompres di dahi Hesti, panasnya sudah berkurang, barangkali juga karena pengaruh obat yang sudah diminumnya.

“Kamu mengerti apa yang dikatakannya, Hesti?” tanya Danarto setelah Desy berhenti bicara.

Hesti mengangguk pelan.

“Aku ingin mengatakan sesuatu. Entah kamu sudah mengetahuinya atau belum, tapi sebelumnya aku ingin bertanya, apakah bu Sriani itu ibu kandung kamu?” lanjut Danarto.

Hesti mengangguk.

“Benar, menurutmu dia ibu kandung kamu?”

“Tentu saja Mas,” jawabnya lirih.

“Ternyata itu tidak benar. Kamu bukan anak kandungnya.”

Hesti terbelalak, menatap Danarto dengan rasa tak percaya.

“Karena dia berlaku kejam sama aku?”

“Bukan.”

“Lalu … ?”

“Aku menemukan bukti bahwa kamu bukan anak kandungnya. Bukti nyata.”

“Mas bohong kan?”

Bacalah surat ini baik-baik. Ini surat yang aku temukan ketika sedang bersih-bersih almari mendiang ibuku.

Danarto mengulurkan amplop kumal yang sudah berwarna kecoklatan kepada Hesti.

Desy dan Sarman menatapnya heran. Apa sebenarnya isi surat itu.

Hesti perlahan mengeluarkan surat itu, lalu membacanya dengan tangan gemetar.

Desy menatap Danarto, seakan membutuhkan jawaban segera, tapi Danarto memberi isyarat, sampai Hesti selesai membacanya.

Tiba-tiba tangan Hesti terkulai, dan kertas surat yang dibacanya terjatuh di kasur.

“Jadi … jadi … aku anak tiri?”

“Itu yang tertulis dalam surat yang kamu baca bukan?”

Desy dan Sarman terpaku di tempatnya duduk. Semuanya tak pernah dibayangkan. Pantas saja perlakuannya sangat tidak manusiawi, ternyata Hesti hanyalah anak tiri, yang ketika dewasa akan diperalatnya untuk mendapatkan keuntungan.

“Apa Mas tahu, tadi ibunya meminta Hesti untuk menanda tangani sebuah surat?” kata Sarman, sementara Desy mengambil surat itu kemudian membacanya.

“Surat apa?”

“Hesti tidak membacanya karena ibunya … eh … ibu tirinya terburu-buru.”

“Waduh, itu bahaya Hesti. Kamu terlalu sembrono.”

“Aku terlalu bingung,” katanya sambil memegangi kepalanya dengan kedua belah tangannya.

“Tenanglah Hesti, jadi menurut surat ini, ketika masih bayi kamu dirawat oleh nenek kamu. Kamu mengenal nenek kamu itu?”

“Ya Mbak, saya mengenalnya, karena saat bapak masih ada, sering diajak ke sana. Tapi setelah bapak meninggal, ibu jarang mengajak saya ke sana.”

“Kalau kamu sudah merasa kuat, temuilah nenek kamu itu. Dimana beliau tinggal?”

“Di Surabaya juga, tapi agak jauh dari rumah ibu.”

“Ada baiknya kamu menemui nenek kamu, barangkali kamu akan mendapatkan banyak cerita dari nenek. Tentang adanya kamu, bahkan tentang ibu kandungmu yang pastinya kamu belum mengetahuinya.”

Hesti mengangguk.

“Kamu tidak perlu sedih Hesti, ternyata kamu masih punya kerabat. Lupakan orang yang mengakuimu sebegai anaknya, tapi justru menyakitimu. Jangan menyesal kehilangan seorang jahat seperti dia,” kata Sarman.

Hesti merasa, kehangatan merayapi sekujur tubuhnya, hatinya, jiwanya. Banyak orang-orang baik disekelilingnya, yang memperhatikannya, bahkan mendukungnya. Ia mencoba mengulaskan senyuman, walau terasa pahit. Pahit karena menyadari bahwa ternyata dirinya adalah yatim piatu.

“Hesti, lebih baik kamu pindah ke rumah kami saja, bukankah ibuku sudah memintanya?” kata Desy.

“Takut menyusahkan. Mau cari tempat kost yang murah saja,” katanya pelan.

“Di rumah aku, bukan hanya murah, tapi gratis,” sambung Desy.

“Benar Hesti, disana kamu tidak akan kesepian. Agak jauh dari kampus sih, tapi kan kamu punya motor, dan bisa bareng Tutut juga.”

“Aku tidak bisa membayangkan kampus, sepertinya lebih baik aku tidak kuliah, tapi bekerja.”

“Baiklah, itu bisa dipikirkan nanti, yang penting sekarang kamu harus kuat dan sehat,” sambung Danarto.

Diluar pintu, ada yang merasa kecewa. Kalau Hesti pindah, berarti tak ada peluang untuk bertemu Sarman dong.

***

“Kasihan anak itu,” gumam Tindy ketika Desy menceritakan tentang Hesti yang kembali sakit.

“Iya Bu, Desy juga tidak mengira.”

“Segera suruh pindah kemari saja. Boleh satu kamar sendiri, atau berdua sama Tutut. Kan ada beberapa kamar kosong disini.”

“Saya sudah bilang, tapi tampaknya dia baru akan memikirkannya.”

“Ya sudah, barangkali ia belum merasa tenang. Rasa sungkan, pastinya ada, mengingat kalian belum lama kenal sama dia.”

“Benar Bu. Itu juga yang Desy pikirkan.

“Sekarang ibu mau tanya, ada apa dengan Danis?”

“Maksud Ibu apa sih?”

“Tampaknya dia suka sama Tutut. Apa itu benar?”

“Desy belum tahu pasti, tapi Desy melihat Danis punya usaha untuk mendekati Tutut. Seandainya iya, apakah Ibu keberatan?”

“Menurutmu Danis itu bagaimana?”

“Dia itu baik kok, Cuma nasibnya yang tidak begitu baik.”

“Tidak begitu baik, mengapa?”

“Baru setahun menikah sudah cerai.”

“Nah, itulah yang Ibu khawatirkan. Apakah dia benar-benar seorang suami yang baik untuk Tutut.”

“Bukan salah Danis. Isterinya yang meninggalkannya, pergi dengan bekas pacarnya.”

“Ya Tuhan, mengapa pernikahan dibuat mainan?”

“Danis hanya korban. Korban pelarian bagi isterinya, yang waktu itu ditinggal pacarnya. Maksudnya menolong, malah dikhianati. Tapi tampaknya mereka memang tidak saling mencintai.”

“Itulah maksud ibu, pernikahan dibuat mainan.”

“Tapi Danis itu baik Bu, dulu pernah mendekati Desy, tapi kan Desy sudah dekat sama mas Danarto. Tapi belum jelas juga, apakah dia benar-benar suka sama Tutut atau tidak. Tutut sendiri kan masih seperti anak kecil.”

“Rupanya kamu mempromosikan Danis supaya ibu suka sama dia ya?” canda Tindy.

Desy tertawa.

“Ibu kan bertanya, ya Desy jawab dong.”

“Ya sudah, harapan ibu, anak-anak ibu semuanya bisa menemukan hidup berbahagia.”

“Aamiin.”

“Lha itu dia datang,” teriak Desy ketika melihat mobil Danis memasuki halaman.

“Danis?”

“Iya, panjang umur nih, baru dibicarakan orangnya datang,” kata Desy sambil berdiri.

“Selamat malam Bu,” sapa Danis setelah Desy membawanya naik ke teras.

“Selamat malam nak,” sambut Tindy ramah.

Danis mencium tangan Tindy.

“Duduklah nak, ibu ke dalam dulu,” kata Tindy yang kemudian masuk ke dalam rumah.

“Terima kasih Bu,” katanya sambil duduk.

“Kamu bukan sedang mencari aku kan?”

“Memang tidak, aku mencari simbok,” canda Danis.

Desy tertawa.

“Benar nih? Mbooook,” teriak Desy.

“Eh, ya ampun Des, kamu nih …”

“Kan kamu bilang mencari simbok?”

“Ada apa Mbak?” simbok tiba-tiba muncul.

“Ini, dicari dokter Danis.”

Simbok menatap Danis dengan heran.

“Mbok, maukah mengambilkan segelas air putih dingin untuk saya?” kata Danis sambil tersenyum.

“Oh, tentu pak dokter, sebentar, simbok ambilkan,” kata simbok sambil berlalu.

Desy menutup mulutnya sambil terkekeh.

“Desy, kamu jangan cengengesan dong.”

“Kan kamu sendiri yang bilang bahwa kamu mencari simbok?”

“Sudah, jangan bercanda. Tutut mana?”

“Dia lagi belajar, besok mau ujian.”

“Oh, maaf kalau begitu. Sebenarnya pengin nyulik dia.”

“O, jadi kamu tuh penculik?”

“Kalau yang diculik mau sih.”

“Jangan malam ini, culik aku saja, aku sedang pengin makan di luar nih.”

“Oh, baiklah, siapa takut? Kalau Danarto sekalipun tahu, aku juga tidak takut kok. Ayo bersiaplah, ini lebih baik daripada mengganggu yang lagi mau ujian.”

“Baiklah, aku ganti baju dulu ya, sambil pamit sama ibu dan bapak,” kata Desy sambil beranjak masuk.

“Pak dokter, ini minumnya,” kata simbok sambil membawa nampan berisi segelas air putih.

“Terima kasih Mbok,” kata Danis yang segera meraih gelas dan meminumnya.

Simbok tersenyum dan berlalu.

***

Sebenarnya Desy bukan sungguh-sungguh pengin makan di luar. Ia ingin mengorek isi hati Danis terhadap Tutut, adiknya. Seperti juga ibunya, ia berharap Tutut mendapatkan pria yang baik untuk hidupnya, bukan yang hanya ingin mempermainkannya.

“Kamu serius, suka sama Tutut?” tanya Desy sambil menikmati gado-gado yang dipesannya.

“Eh,  boleh ya?” kata Danis dengan mata berbinar.

“Yeee, siapa bilang boleh? Aku kan baru bertanya?”

“Nggak tahu kenapa, aku suka sama gadis cilik itu.”

“Tutut bukan gadis cilik, tahu.”

“Iya, dulu aku mengenalnya sebagai gadis cilik, sekarang, melihatnya tumbuh dewasa, rasanya aku jatuh cinta.”

“Kalau kamu memiliki wanita lain, apakah tidak akan ada masalah dengan bekas isteri kamu?”

“Masalah apa? Kami sudah bercerai, dan dia sudah memilih pria yang dia cintai. Selesai kan? Tak ada ikatan apapun antara aku dan dia, apalagi anak itu bukan darah dagingku.”

Biarpun dia pernah mendengarnya dari Danarto tentang anak itu, tetap saja Desy menampakkan wajah terkejut.

“Kamu itu berarti dewa penolong bagi dia.”

“Entahlah, waktu itu aku hanya merasa kasihan. Mm … apakah kira-kira bapak sama ibu kamu keberatan punya menantu seorang  duda?”

“Entahlah, tapi yang terpenting, jangan sampai ada yang tersakiti. Orang tua kan selalu berharap agar anaknya hidup bahagia?”

“Iya benar. Aku akan selalu membahagiakannya.”

“Tapi aku juga tidak tahu bagaimana Tutut. Dia sedang sibuk menghadapi kuliahnya yang tak kunjung selesai. Dia itu kan seenaknya.”

“Baiklah, aku tidak akan mengganggunya sampai dia menyelesaikan kuliahnya. Tapi mengajaknya jalan kan tidak apa-apa, sesekali saja. Bukan mengajaknya pacaran lho.”

“Silakan saja, sekaligus saling menjajaki hati masing-masing, soalnya Tutut itu terkadang masih kekanak-kanakan, manjanya bukan main.”

“Iya aku tahu.”

“Aunty !!”

Sebuah teriakan nyaring terdengar, membuat Danis dan Desy menoleh kearah datangnya suara. Wajah Desy berseri ketika melihat dua anak kecil berlarian mendekatinya.

“Sayang, kamu sudah sehat?” tanya Desy sambil memeluk dan mencium pipi Bunga.

“Sudah, Aunty.”

“Aunty!” si kecil Azka tak mau kalah, menarik-narik baju Desy karena merasa tidak diperhatikan.

“Oh, sayangku, apa kabar?” lalu Desy menciumi pipinya juga. Tapi ketika kemudian dia melihat kedua anak itu bersama siapa, ia menatapnya heran. Demikian juga Danis.

Harun berjalan masuk agak di belakang anak-anak itu, tapi dia tidak sendiri. Ada dokter Nisa bersamanya.

Desy menjabat erat tangan keduanya.

Dan Danis juga menyalaminya kemudian, tapi dia berbisik ditelinga dokter Nisa.

“Selamat ya,” bisiknya sambil tersenyum menggoda.

“Eh, selamat apa?” pekik dokter Nisa. Saat Danis membisikkannya pelan, dokter Nisa malah menyambutnya dengan teriakan.

“Selamat … selamat bertemu,” kata Danis sambil tertawa.

“Silahan duduk,” sambut Desy sambil menggendong Azka.

Dalam hati Desy bersyukur, tampaknya Harun dan dokter Nisa semakin dekat. Semoga dokter cantik itu benar-benar bisa menjadi ibu yang mengasihi kedua anak yang haus kasih sayang seorang ibu.

“Aku mau es krim,” tiba-tiba pekik Bunga setelah duduk.

“Es klim!” Azka berteriak tak mau kalah.

“Sayang, kita makan dulu, setelah itu baru makan es krim, ya?” kata dokter Nisa lembut.

Bunga mengangguk patuh. Lalu mereka terlibat dalam sebuah perbincangan yang santai, yang terkadang diselingi celoteh lucu kedua anak Harun.

***

Dua hari sudah berlalu. Hesti kemudian pergi ke Surabaya, diantarkan Sarman yang tidak tega melepaskan Hesti sendirian.

“Masih ingat rumah nenek ya?” tanya Sarman ketika mereka sudah turun dari taksi, lalu berjalan memasuki sebuah halaman yang cukup luas.

Ada sebuah rumah kuna yang pintunya tertutup. Sepi di sekelilingnya. Keduanya terus mendekati rumah, lalu mengetuk pintunya. Agak lama, tak ada sahutan.

“Nenekmu bepergian, rupanya.”

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat, Sarman dan Hesti menoleh. Seorang laki-laki setengah tua mendekat.

“Mencari siapa Nak?” tanyanya.

“Mencari nenek, apa nenek bepergian?”

“Maksudnya, bu Mintarsih?”

“Iya Pak, dia kan nenek saya.”

“Owalah, kalau Nak ini cucunya, mengapa tidak tahu kalau beliau sudah meninggal?”

Hesti terpaku di tempatnya berdiri.

***

Besok lagi ya.




42 comments:

  1. Replies
    1. Manusang bu Tien, AA sdh tayang

      Delete
    2. Selamat buat bu Tingting Juara 1 malam ini

      Matur nuwun bu Tien.....
      Sugeng dalu .....
      Nuwun dia restu perjalananku selamat sd Bojonegoro.

      Delete
    3. This comment has been removed by the author.

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien . .

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah yg ditunggu sdh ada

    ReplyDelete
  5. Terima kasih Bu Tien. Semoga sehat selalu. Aamiiiin YRA

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah ADUHAI-AH 34 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah sdh datang
    Matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 34 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah AA 34 sdh tayang..terima ksih bunda Tien sayang..salam at mlm dan slmt istirahat..slm seroja sll dan tetap Aduhai dri 🙏🥰🌹🌹

    ReplyDelete
  10. Terima kasih Bu Wiwik, Pak Kakek 🙏

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah AA 34 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  12. Makasih mba Tien.
    Gimana selanjutnya ya?

    ReplyDelete
  13. Terimakasih bunda Tien AA 34 sdh tayang..
    Klo udh hr senin rasanya kangeeen dg AA..
    Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..
    Selamat beristirahat..
    Semoga mimpi indah ya bundaa...
    Aduhaiiii sekali...

    ReplyDelete
  14. Terima kasih sudah mengobati rindu pada mas Danar, Bu Tien. Semoga ibu selalu sehat dan aduhai selalu❤

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah
    Matur nuwun Mbak Tien .. 🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  16. 𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐞𝐩𝐬 34 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠..
    𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧.🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah Aduhai Ah 34
    sudah tayang....tambah asyik crita nya matur nuwun bu Tien...salam sehat

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah AA 34 sdh hadir
    Terima kasih mbak Tien, semoga sehat dan bahagia selalu. Aamiin🤲

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah.. AA34 sdh tayang, salam sehat dan bahagia selalu bunda Tien..

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, sdh tayang....suwun Bu Tien.... salam sehat selalu..
    ,😊🙏

    ReplyDelete
  21. Maturnuwun bunda Tien..
    AA 34 telah hadir...tp 🙏

    ReplyDelete
  22. Aduh...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  23. Ya Alloh...
    Alhamdulillah, matursuwun bu Tien AAnya
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah matur nuwun bu Tien..
    Salam sehat dan Aduhai..
    Bam's Bantul

    ReplyDelete
  25. Mudah mudahan belum terlambat, dan ada cerita dibalik rencana Sriani yang tentu mendadak mau jadi tuan tanah.

    Hesti menyambangi rumah neneknya, bersama Sarman yang tidak tega melepas pergi sendirian, ternyata di paido sama orang orang setengah tua, yang menemuinya; cucunya kok nggak tahu kalau nenek nya sudah meninggal.

    Lha Hesti memang nggak diberitahu, pergi nya daftar sekolah keluar kota saja kåyå di gabur.

    Suarané kok kåyå Karto irånå; tukang pêthêk, wong jaman sêmånå nambani bu Hartå.
    Cobå tulisên nganggo huruf Jåwå: 'bu hartå tibå kartå irånå réné.'
    Wis kon måcå kancamu sing biså måcå, rak malah gawé gendrå.

    Kadang kita juga nggak ngeh apa yang sudah terjadi bahkan mengartikan yang tersuratpun masih saja salah mengartikan.

    Laiyå bapêr kok di umpluk - umpluk kåyå sabun, malah konangan atiné ora lêgåwå nadahi pêrkårå, ndadak digêlar digulung ngono på.
    Lha saiki lênggah waé wis ora nganggo klåså, malah didudukan yå, mosok kon ndéprok.

    Aduh senengnya; kelihatan lengkap, ada bapak ada ibu.
    Kelihatannya Bunga dan Azka menikmatinya, syukurlah.
    Lha ini Harun ketemu Desy kebetulan mesthi pas bersama Danis, ada apa dengan Desy.


    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tiga puluh empat sudah tayang.
    Sehat, semangat, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  26. Matur nuwun Mbak Tienku sayangku. Yang kutunggu sudah datang. Smoga Mbak Tien selalu sehat. Aduhaiii....

    ReplyDelete
  27. Wah ini ada kaitan ma surat yg di tt ma Hesti.krn Cucunya dari nenek papanya kasian di gondol ma ibu serakah

    ReplyDelete
  28. Ah... Memang benar sepertinya bu Sriani ini, karakter nya suka menghalalkan segala cara. Mungkin juga dia mau nikah sama ayah Hesti dulu karena alasan hartanya.
    Hhhhmmmm...

    Hatur nuhun ceritanya Bu Tien, semoga selalu sehat yaa 😘😘
    Salam dari Bandung.

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien..
    Semangat sehat dan bahagia ..

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...