JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 47
(Tien Kumalasari)
Guntur melanjutkan makan, hanya sekilas menatap Wanda. Sesungguhnya ia tak mengira ketika Wanda tiba-tiba minta cerai. Guntur justru teringat ketika ia mengucapkan itu di depan Kinanti. Apakah ini adalah balasan? Tapi Guntur tak menyesal seandainya ini benar-benar terjadi.
“Kamu mendengar, Guntur? Aku mau kita bercerai, begitu aku melahirkan.”
“Ya, aku mendengarnya,” Guntur mengelap bibirnya dengan tissue.
“Sebenarnya sekarangpun aku mau. Tapi aku tak ingin kelahiran anakku tidak ditunggui oleh ayah kandungnya. Itu permintaanku yang terakhir sebelum kita benar-benar berpisah.”
“Sudah kamu pikirkan?”
“Tentu saja sudah. Aku merasa kehidupan kita tidak seperti yang aku harapkan. Aku merasa berjalan diatas bara. Memang benar, itu semua salahku. Aku bermimpi tentang jatuhnya rembulan, tapi justru matahari menyengatku.”
Guntur tersenyum.
“Ungkapan yang bagus. Sejak kapan kamu pintar merangkai kata-kata indah?”
“Aku tidak sedang bercanda. Ceraikan aku. Aku tahu kamu senang mendengarnya. Aku tahu kamu tak pernah mencintai aku. Menyesal sekali baru sekarang aku sadari semuanya.”
“Kamu benar. Aku tak pernah mencintai kamu. Kamu adalah boneka yang menemani aku bermain,” kata Guntur enteng.
Mata Wanda menyala karena marah, walaupun dia sudah mengerti semuanya.
“Aku minta maaf,” lanjut Guntur bersungguh-sungguh.
“Kamu bisa kembali kepada wanita yang kamu cintai.”
“Semoga belum terlambat.”
“Kinanti juga sangat mencintai kamu.”
“Cinta yang ternoda, seperti kertas yang kusut. Susah untuk membuatnya menjadi mulus seperti semula.”
Wanda terdiam. Ia meneruskan makan, lalu bangkit tanpa mengatakan sesuatu lagi. Malam itu ia ingin pulang. Ia masuk ke dalam kamarnya, berkemas dengan susah payah, karena perutnya yang besar membuatnya tak mudah menata barang-barangnya.
“Mau ke mana?”
“Pulang.”
“Ini sudah malam, besok saja aku antarkan kamu.”
“Apa bedanya malam ini atau besok?” Wanda melanjutkan berkemas. Air matanya tiba-tiba tak lagi bisa ditahan, mengalir menganak sungai di sepanjang pipinya.
“Jangan menangisi keputusan yang sudah kamu katakan.”
“Aku menangisi kebodohanku.”
“Baiklah, aku bantu kamu berkemas, lalu aku antar kamu pulang. Sekalian aku mau bicara dengan ibumu.”
Wanda tak menjawab. Ia biarkan Guntur membantunya. Ia bangkit setelah semuanya selesai, saat malam sudah larut.
“Benar, mau pulang sekarang?”
Wanda menarik kopornya menuju depan. Ketika ia mengambil ponselnya untuk memanggil taksi, Guntur mencegahnya.
“Aku antar kamu. Ini sudah malam,” katanya datar.
***
Ketika sampai di rumah bu Wita, rumah sudah terkunci rapat. Wanda naik ke teras, Guntur membantu menarik kopornya. Ada rasa iba melihat Wanda yang perutnya membuncit, dan wajah sebam yang membuatnya tampak pucat.
“Aku minta maaf,” katanya sambil menunggu pintu dibuka.
“Jangan lupa permintaanku yang terakhir, tungguin saat aku melahirkan,” katanya lirih, menahan tangis.
“Aku akan menunggui kelahirkan anakku, aku akan bertanggung jawab, kamu tidak usah khawatir.”
Perpisahan menjelang perceraian, berjalan seperti langkah-langkah ringan. Begitu mudah, semudah ketika meronce dosa-dosa nikmat yang mereka lakukan. Guntur kembali teringat kata cerai yang dia ucapkan di hadapan Kinanti ketika itu. Setahun lebih telah berlalu. Sama seperti sekarang, saat kata cerai dituntut dari istrinya, lalu semuanya berjalan lancar. Cerai bukan beban yang bertele-tele. Hanya Guntur yang mengalaminya.
Ketika pintu dibuka, lalu bu Wita menatap heran, Guntur mendekat dan mencium tangan mertuanya.
Melihat kopor yang ditarik, bu Wita terkesiap. Ia segera merangkul anaknya. Ketika Guntur mengatakan ingin bicara, Bu Wita justru menutup pintunya.
Guntur yang terpaku di luar pintu, lalu membalikkan tubuhnya, menuju mobil dan berlalu. Ia merasa seperti mimpi-mimpi buruk menerpanya.
“Kehidupan macam apa ini?” keluhnya sambil menjalankan mobilnya menuju pulang.
***
Wahyu bangun tidur, dan melihat sang ibu berbaring di sampingnya. Ia mengucek matanya karena tak yakin pada apa yang dilihatnya.
“Ada ibu?” bisiknya.
Ia menubruk sang ibu dari samping, untuk meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah benar.
“Ibu?”
Wanda menggeliat. Ia tersenyum melihat Wahyu duduk bersimpuh di sampingnya.
“Awas, jangan menindih ibumu, lihat, ada adik di dalam sini,” kata Wanda.
“Kenapa Ibu tidur di sini?”
“Mulai sekarang ibu akan tidur di sini.”
“Benarkah?” mata Wahyu bercahaya. Anak mana yang suka berpisah dengan orang tuanya?
Wanda mengangguk.
“Sementara ibu tidur di sini dulu, nanti ibu akan membersihkan kamar sebelah, karena ibu datang sudah tengah malam, tak sempat bersih-bersih kamar,” kata Wanda sambil bangkit.
“Tidak usah Bu, Ibu tidur di sini saja bersama Wahyu.”
“Mana mungkin Wahyu, kamarmu sempit begini, nanti tidurmu tidak nyaman. Tidak apa-apa ibu tidur di kamar sebelah, ibu akan selalu menemani kamu sebelum tidur.”
Wahyu mengangguk.
“Mana om Guntur?”
“Ibu sudah berpisah. Itu sebabnya ibu kembali ke rumah ini.”
“Mengapa?”
“Sudahlah, jangan banyak bicara, saatnya kamu sekolah kan? Mandi sana, dan bersiap.”
“Oh, syukurlah Wahyu sudah bangun,” kata bu Wita yang melongok ke kamar Wahyu.
“Iya, Wahyu senang ibu kembali ke rumah,” kata Wahyu sambil melompat turun.
“Ini handuknya, biar eyang siapkan baju seragam kamu,” kata bu Wita.
Wahyu menarik handuk yang diulurkan neneknya, dan melangkah ke kamar mandi dengan bersemangat.
“Anakmu senang kamu pulang,” kata bu Wita sambil menyiapkan baju seragam Wahyu, seperti yang dilakukannya setiap hari.
“Kebahagiaan Wanda ternyata ada di sini,” kata Wanda sambil turun dari ranjang.
“Tak apa kalau ini memang yang terbaik. Bukankah ibu sudah mengatakannya?”
“Wanda salah selama ini, maaf ya Bu.”
“Jalani hidup kamu sebagai seorang ibu. Kesalahan adalah guru yang terbaik dalam menjalani kehidupan selanjutnya.”
Wanda mengangguk, lalu merangkul ibunya.
***
Berbulan-bulan telah berlalu, Guntur kembali menjadi duda, sendiri dan kesepian. Setelah menunggui anaknya lahir seperti janjinya, mereka benar-benar bercerai.
Sesal demi sesal menindihnya, membuatnya sakit. Bukan hanya sakit raganya, tapi juga jiwanya.
Ada banyak kegagalan yang membuatnya merasa hidupnya tak punya arti. Kebaikan keluarga Subono diabaikan, cinta Kinanti dikibaskan, pesan dan harapan sang ibu dilupakan.
“Manusia apa aku ini?”
Terguguk Guntur meratapi luka-luka di hatinya.
Tapi bukankah sesal tak berguna? Ada setitik harapan untuk kembali kepada Kinanti. Tapi apakah Kinanti mau memaafkannya? Manusia kotor tak kenal budi dan justru menyakiti, pantaskah dimaafkan?
Ia pernah berkata, bahwa kertas yang sudah kusut, tak mungkin bisa kembali mulus. Begitu juga cintanya.
***
Berbulan-bulan berlalu, hubungan Kinanti dan Suryawan sudah semakin dekat. Suryawan bahkan sudah memperkenalkan anak-anaknya kepada Kinanti, yang menyapa mereka dengan manis saat dipertemukan.
Apakah Kinanti merasa kacau sehingga duda beranak lima berhasil menaklukkan hatinya? Tentu bukan karena duda itu gagah dan tampan. Kebaikan dan perhatian yang ditunjukkannya, dan janji untuk selalu melindunginya, membuat Kinanti menemukan sesuatu yang dicarinya. Luka karena pengkhianatan Guntur harus dibalasnya dengan kebahagiaan dalam hidupnya. Kinanti seperti sangat dan berharap Guntur melihat kebahagiaan itu.
Barangkali kemudian harapan Kinanti itu terwujud, ketika ia sedang makan siang setelah bertugas, bersama Suryawan.
Keduanya berbincang dengan manis, tanpa sadar kalau sepasang mata menatapnya dari kejauhan. Sepasang mata itu milik Guntur, yang pernah bermimpi bisa mendapatkan maaf Kinanti. Tapi apakah yang dilihatnya? Siapa laki-laki perlente yang berbincang sangat mesra dengan Kinanti? Pasti bukan teman biasa. Kinanti menemukan laki-laki yang akan dijadikan pengganti dirinya?
Guntur menangis dalam hati. Barangkali cinta itu masih tersisa, tapi kembali terkoyak oleh apa yang dilihatnya.
Guntur urung menyendok makanannya. Ia melambai ke arah pelayan agar memberikan bilnya, kemudian membayarnya. Ia keluar dari pintu samping, membawa remah-remah cinta yang kemudian hampir tak bersisa.
Apakah semua itu salah Kinanti? Salahkah kalau kemudian Kinanti menemukan pengganti?
Laki-laki itu lebih tampan dan gagah. Jauh di atasnya. Guntur merasa kecil. Bukan saja karena merasa dirinya tak semenarik laki-laki itu, tapi juga merasa bahwa dirinya tak akan lagi memiliki makna.
Guntur pulang menahan lapar, dan tak menghiraukan perih yang melilit, karena hatinya lebih perih lagi.
Ia menghempaskan tubuhnya di ranjang, dan meratapi dirinya yang tak berhasil menata hidupnya.
***
Ardi sedang membaca berkas-berkas yang menumpuk di mejanya, ketika sekretarisnya mengetuk pintu.
Ardi mengangkat wajahnya.
“Maaf Pak, ada tamu ingin bertemu, apakah Bapak berkenan menerimanya?”
“Siapa?”
“Namanya Guntur, katanya sahabat Bapak.”
Ardi menutup map yang baru dibacanya.
“Persilakan beliau masuk.”
Sekretaris itu mengangguk, lalu seseorang muncul ketika sang sekretaris membukakan pintunya. Wajah yang sangat dikenalnya, tapi tampak kurus dan sedikit pucat.
“Guntur? Angin apa yang membawamu kemari?” sambut Ardi yang kemudian berdiri dan merangkul sahabatnya.
“Kamu sibuk? Apakah aku mengganggu?”
“Tidak … tidak … ayo duduklah,” Ardi membawa sahabatnya duduk di sofa.
“Kamu tidak praktek?” tanya Ardi setelah mereka duduk.
“Aku cuti seminggu ini.”
“Cuti karena mau jalan-jalan?”
“Bukan. Hanya ingin menemui kamu.”
“Alhamdulillah, setelah dua tahunan kita tak pernah bertemu. Bagaimana kabarmu? Kamu kelihatan kurus.”
“Buruk.”
“Buruk? Kamu sudah punya anak lagi dari Wanda kan? Apa istrimu tidak merawatmu dengan baik?”
“Kami sudah bercerai.”
“Bercerai lagi? Rupanya kamu menganggap pernikahan ini sebagai permainan.”
“Kehidupan yang mempermainkan aku. Aku menyesal, semua salahku.”
“Lalu apa? Hidup ini memang gampang-gampang susah. Susah kalau kamu salah merawatnya, menjaganya. Tapi gampang kalau kamu berjalan di jalur yang baik, yang lurus, yang_”
“Sudah, jangan mengguruiku lagi.”
“Kesal mendengar perjalanan hidup kamu. Tapi baiklah, aku mengata-ngatai kamu karena kamu adalah sahabatku.”
“Ya, aku tahu.”
“Aku kecewa karena kamu tidak bisa menjaga kepercayaanku untuk membahagiakan Kinanti.”
“Maaf, aku khilaf.”
“Khilaf dalam menjalani kehidupan itu fatal kan?”
Guntur mengangguk-angguk. Ardi menghidangkan minuman dingin dari dalam kulkas.
“Minumlah, jangan sedih. Ini hidup yang kamu pilih.”
Guntur meneguk minumannya.”
“Beberapa hari yang lalu, aku bertemu Kinanti.”
“Bagus, kalian berbicara tentang apa?”
“Aku melihatnya dari kejauhan.”
“Kamu samperin dia?”
“Dia sedang bersama seorang laki-laki gagah.”
“O, iya. Aku tahu.”
“Kamu tahu apa?”
“Kinanti sedang dekat dengan seseorang.”
“Sedekat apa?”
“Untuk apa kamu bertanya? Pastinya kamu sudah tahu. Kinanti sudah lama menjanda, dia berhak bahagia.”
“Siapa dia?”
“Namanya Suryawan, pimpinan di sebuah BUMN, duda.”
Guntur menghela napas, lalu meneguk lagi minumannya. Ia berharap minuman dingin bisa mengendapkan gemuruh di dadanya. Kinanti berhak bahagia, itu benar, mengapa ada api menyala di hatinya?
“Kamu masih mencintainya?”
“Entahlah. Aku tak berharga.”
“Kamu terlambat menyadari semuanya.”
Guntur menundukkan wajahnya.
“Jangan sedih, kamu masih muda, kegagalan tidak harus membuat kamu putus asa.”
***
Kinanti tak menyadari kalau Guntur melihatnya dalam pertemuannya dengan Suryawan. Ia juga sudah tak memikirkannya. Suryawan memberinya kebahagiaan di saat hatinya sedang kering kerontang. Apa salahnya duda beranak lima? Nasib membuat hidup Suryawan terasa sendirian setelah istrinya meninggal. Seperti dirinya, setelah sang suami meninggalkannya. Ia juga sendiri, sepi.
Tapi siang hari itu, entah mengapa tiba-tiba terpikirkan olehnya Guntur. Mengapa tiba-tiba ia teringat Guntur yang sudah lama dilupakannya? Cinta yang semula masih tersisa sudah tinggal remah-remah yang tak berujud.
“Semoga kamu bahagia,” bisiknya lirih, saat ia sedang bebenah untuk pulang.
Tapi tiba-tiba seseorang muncul. Dia lagi?
“Selamat siang, Kinanti.”
“Dokter Rifai? Saya sudah mau pulang,” kata Kinanti yang tak ingin berlama-lama dengan dokter bedah nan tampan itu. Pengalaman ketika istrinya datang membuatnya resah.
“Sebentar. Jangan takut, aku ingin mengabarkan sesuatu yang barangkali kamu perlu tahu.
Kinanti menunda keinginannya berdiri. Dokter Rifai duduk di depannya, dan Kinanti tak ingin bertatap berlama-lama. Tapi kemudian Kinanti menyadari, bahwa tatapan dokter Rifai sudah berbeda. Lebih santun.
“Ada apa?”
“Ada berita tentang dokter Guntur.”
“Ah, dia? Memangnya kenapa? Kami sudah tidak ada hubungan lagi.”
“Aku tahu. Seorang teman mengabari, kalau dia sedang dirawat karena sakit.”
“Sakit?” tak urung rasa ingin tahu Kinanti merebak.
Dokter Rifai mengambil ponselnya, membuka-buka, lalu menunjukkan sebuah gambar kepada Kinanti.
“Ini dia.”
Kinanti melihatnya, dan hatinya bergetar. Seseorang terbaring, dengan tubuh kurus kering. Dia Guntur.
***
Besok lagi ya.
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah JeBeBeeL eps 47, sudah hadir.
Terima kasih bu Tien, semoga sehat selalu.
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteSehat selalu
Terima kasih bu Tien cantiik... salam.sehat untuk sekeluarga, yaa💕
ReplyDeleteSami2 jeng Mita
DeleteApa kabar?
🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
JeBeBeeL_47 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja😍🦋
🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Hamdallah. Sampun..tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteTumben komen dikiiit
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Isti
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteKok jangan biarkan Hatiku Layu???
ReplyDeleteUdah diganti tuh
DeleteAlhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung "Jangan Biarkan Bungaku Layu
ReplyDelete"🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Pepatah jawa sptnya berlaku di jbbl ya mb Tien? Tega larane ora tega patine? Begitukah? Demi Emma & Emmi luruhkah hati Kinanti? Ditunggu eps berikutnya...slm aduhai sll dicuaca mlm yg dingin krn hjn dr siang.... Slm seroja selalu...
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Sapti
DeleteSelamat pagi
Alhamdulillah "JBBL~47" sdh tayang
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien , sehat2 dan bahagia selalu🍃🌹🌿
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulilah maturnuwun bu Tien, salam aduhai aduhai.bun
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteAduhai 2x
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah JBBL~47 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah.... bisa menikmati cerbung JBBL ke 47. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii....
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai
Mks bunJBBL 47 nya.....oalah guntur_ guntur, mbok ya sadar dari dulu ta le sekarang hdp kamu ketulo tulo sampai sakit sampai dirawat, terus gimana kamu kinanti iba gak setlh lihat guntur sakit...ayo dong tengok tuh belahan jiwa kamu....he..,he ko jadi ngelantur aku bun maaf ya....selamat malam bun salam sehat tetap semangat
ReplyDeleteSelamat malam juga ibu Supriyati
DeleteSalam sehat
Lebih rela Kinanti balik lagi ke Guntur.
ReplyDeleteBiarkan Suryawan mencari yang lain.
Biarkan Wanda dengan angan -angannya yang mulai jernih.
Ardi terus menerus nganggur...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),47 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Latief
Sama... Aku kuciwa....
ReplyDeleteHehee.. kan belum selesai jeng dokter
DeleteAlhamdulillah... terima kasih Bu Tien. Semoga sehat selalu.
ReplyDeleteTerima kasih, ibu. Makin seru ceritanya.
ReplyDeleteSami2 ibu Linatun
Delete"Tapi siang hari itu, entah mengapa tiba-tiba terpikirkan olehnya Guntur. Mengapa tiba-tiba ia teringat Guntur yang sudah lama dilupakannya? Cinta yang semula masih tersisa sudah tinggal remah-remah yang tak berujud."
ReplyDeleteGuntur dan Kinanti bukan orang yang jatuh cinta, tapi orang yang susah payah membangun cinta. Kata Buya Hamka, cinta bisa datang dari mana saja. Ada dari pintu sayang, ada dari pintu kasih, ada dari pintu rindu, tetapi yang paling aman dan kekal, adalah cinta yang melalui pintu kasihan itu. Dari pintu kasihan inilah dasar Kinanti mencintai Guntur...
Ayo Mbak Tien, pertemukan Kinanti dan Guntur dalam susana yang mengharukan. Buat pembaca berurai air mata. Curahkan pengalaman bathin Mbak Tien yang luas itu...
Terimakasih Mbak Tien..
Terima kasih MasMERa
DeleteTunggu, apakah anda juga penulis?
Tapi entah mengapa, tiba2 saya selalu menunggu komen Anda yang bukan sekedar mengucapkan terima kasih tapi juga memberi saran dan memberikan kritik membangun.
Top. 👍
Saya hanya penulis buku ajar saja Mbak. Buku berbau matematika.
DeleteSaya pernah menulis cerbung berdasarkan kisah nyata, hanya sampai 16 seri, kemudian bintangnya ngamuk. Saya trauma menulis jadinya. Di satu sisi saya bangga ada orang ngamuk. Itu artinya tulisan saya merasuki jiwa pembaca. Di sisi lain, saya jadi trauma. Kemudian saya membuat kata-kata indah, kemudian saya di-inbox janda. Saya berhenti pula. Sekarang saya jadi pembaca setia Kejora Pagi saja karena bermutu. Kalau di KBM banyak parno-nya.
Ya sudah memang berpisah dengan penuh emosi sangatlah sakit.
ReplyDeleteTeriakan cerai yang menyakitkan itu ditujukan pada tersayang nya yang bênêr bênêr menyayangi bahkan donatur utama dalam mencapai cita cita nya.
Kini dia sendiri yang mendengar langsung dari ratu sambelilèr yang pertumbuh manja, selalu terpenuhi apa maunya. Ternyata tidak semudah yang diangankan, bayang bayang hasil perjuangan sempat bangga, bahkan meracuni pemikiran Guntur yang sok têgar.
Perselisihan menanam dendam apalagi keangkuhan dengan segala macam teori akan meracuni daya tahan, sampai lupa insan manusia yang tersandang terlupakan; bukankah sadar diri akan perjalanan hidup terlewat melalui khilaf juga.
Wis kebacut yå sudah.
Mengais rasa kasih yang terbuang nampak jelas, kalau nggak segera ambil bagian peran sebagai insan manusia akan berat, bukan kah disana ada Sang Hyang Maha yang selalu perhatian bila ada ciptaannya tersesat melangkah.
Hi hi
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke empat puluh tujuh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏