Tuesday, February 25, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 46

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  46

(Tien Kumalasari)

 

Kinanti dan Suryawan saling bertatapan, dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kaget karena tak mengira bertemu, ada debar aneh saat bertatapan, ada rasa malu, entahlah. Kinanti mengendapkan perasaannya dengan merangkul anaknya.

“Emmi takut,” kata Emmi lirih.

“Sayang, kenapa takut? Om tidak menggigit kan?” kata Suryawan sambil menowel pipi gembul Emmi.

“Maaf, anak saya suka berlarian kalau ikut belanja,” kata Kinanti.

“Ini anakmu?”

“Iya, kok pak Suryawan belanja sayur sendiri?”

Suryawan tertawa sedikit tersipu.

“Ini pekerjaan perempuan ya? Maklum, saya kan duda dengan lima anak yang masih kecil-kecil. Kalau libur saya suka masak sendiri, walau ada pembantu,” kata Suryawan panjang lebar.

“Oo…” Kinanti ingin mengatakan oo.. duda? Tapi hanya terhenti sebelum mengatakan ‘duda’. Ada rasa prihatin. Kasihan, masak sendiri. Tapi bukankah itu gambaran seorang ayah yang baik? Barangkali ia ingin menunjukkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya, melalui masakan buah tangan cekatannya.

“Kok ‘oo’ … heran karena ternyata saya duda? Kinanti kira saya masih perjaka?” lalu Suryawan terkekeh. Kinanti juga tersenyum lucu. Masa iya dirinya mengira Suryawan perjaka? Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan bahwa dia sudah berumur. Tapi masih kelihatan gagah dan cakap. Lalu Kinanti malu karena diam-diam menilai lawan bicaranya.

“Silakan dilanjutkan belanja Pak, saya juga sedang memilih-milih,” kata Kinanti.

“Baiklah, saya juga sedang mencari brokoli. Anak-anak suka sekali ca brokoli. Itu sehat bukan?”

“Di sana ada, rupanya,” kata Kinanti menunjukkan, dan Suryawan mengangguk senang.

“Sayang, namamu siapa?” tanya Suryawan sambil berjongkok di hadapan Emmi.

Emmi menatap ibunya, dan Kinanti memberi isyarat agar Emmi menjawabnya.

“Emmi …” jawabnya sambil masih bergayut pada baju sang ibu.

“Aduh, bagus sekali namanya. Kamu suka es krim?”

Mendengar kata es krim, wajah Emmi berseri.

“Suka?” Suryawan mengulang pertanyaannya. Emmi mengangguk malu-malu.

“Baiklah, ada yang jual es krim di atas, nanti kita makan es krim setelah belanja ya.”

Emmi menatap sang ibu, dan tanpa menunggu jawaban sang ibu, Emmi mengangguk.

“Baiklah, ayo kita lanjutkan belanjanya, lalu sama-sama mengantarkan Emmi beli es krim,” ajak Suryawan dan Kinanti yang entah mengapa sulit menolaknya.

***

Mereka sedang duduk bertiga di sebuah warung es krim. Emmi duduk di kursi tinggi yang disediakan di warung itu, menjilat es krim pesanannya dengan nikmat.

“Anakmu lucu. Baru satu?”

“Dua. Yang satu masih kecil.”

“Kenapa belanja sendiri, tidak diantar suami? Ini hari libur kan?” tanya Suryawan.

Kinanti terdiam. Ia menyendok es krimnya, melumatnya pelan. Wajah Kinanti tampak muram, dan Suryawan melihatnya.

“Maaf kalau Kinanti anggap tidak pantas.”

“Tidak apa-apa. Saya tidak punya suami,” katanya lirih.

“Oo … maaf. Dia sudah meninggal? Maaf ya, saya tidak bermaksud membuat Kinanti teringat tentang …”

“Sudah menikah lagi,” jawabnya masih dengan wajah muram.

“Haa?” Suryawan heran. Isteri secantik ini, ditinggalkan suami untuk menikah lagi? Anaknya dua dan masih kecil-kecil pula. Apa suaminya buta? Paling tidak buta hatinya. Apa yang kurang dari wanita di depannya itu. Cantik, lembut, keibuan.

“Tidak apa-apa. Saya bisa menghidupi anak-anak saya.”

“Maaf ya, sungguh saya tidak ingin membuat Kinanti teringat tentang hal yang tidak menyenangkan.”

“Sudah, maafnya. Nanti saya kehabisan maaf kalau terus-terusan diminta,” kata Kinanti yang perlahan bisa menghilangkan muram di wajahnya.

Suryawan terbahak. Ia merasa Kinanti sedang membalasnya. Pada pertemuan pertama, dialah yang mengatakan bahwa maafnya akan habis kalau terus-terusan Kinanti minta maaf.

“Ibu, boleh minta lagi?” tiba-tiba Emmi menghentikan tawa Suryawan.

“Oh, mau lagi, boleh kok. Boleh, mau lagi?”

“Kebanyakan … nanti pilek … bagaimana?” kata Kinanti.

“Sedikiiiit,” kata Emmi.

“Iya, biar saya pesankan yang cup kecil ya,” kata Suryawan yang kemudian minta pelayan untuk menambahkan 1 cup kecil untuk Emmi.

Ia juga memesan beberapa kotak, untuk anak-anaknya di rumah, lalu diberikannya yang dua kotak untuk Emmi.

“Anak saya ada lima, yang terbesar baru kelas lima SD saat ibunya meninggal tiga tahun yang lalu,” katanya sambil menyerahkan dua kotak yang sudah dibungkus sendiri, kepada Emmi.

“Di simpan di kulkas, jangan dihabiskan sekaligus ya?” pesan Suryawan, yang membuat wajah Emmi berseri kegirangan.

“Terima kasih, pak Suryawan,” kata Kinanti, sambil tak berhenti mengagumi Suryawan. Tiga tahun menjadi duda, merawat lima anaknya yang masih kecil-kecil. Bukan main.

***

Kali itu Kinanti tak bisa menolak ketika Suryawan mengantarkannya pulang. Tapi Suryawan menolak ketika Kinanti mempersilakannya mampir.

“Lain kali saya akan main kemari. Boleh?”

“Silakan saja, asalkan hari libur.”

“Maaf, bekerja di mana?”

“Di puskesmas.”

“O, dokter?”

“Dokter gigi.”

“Astaga, rupanya saya bertemu wanita yang luar biasa.”

“Mengapa luar biasa? Banyak orang menjadi dokter gigi,” sergah Kinanti sebelum turun dari mobil.

“Seorang dokter gigi, merawat dua anaknya yang masih kecil-kecil.”

“Ah, sudahlah. Ada-ada saja. Terima kasih sudah memberi tumpangan. Saya tahu pak Suryawan harus segera pulang dan memasak untuk anak-anak,” kata Kinanti sambil turun, karena Suryawan sudah membukakan pintu untuknya.

“Iya benar. Lain kali akan saya tunjukkan bagaimana rasa masakan saya,” kata Suryawan.

“Senang sekali.”

Kinanti melambaikan tangan ketika Suryawan menjalankan mobilnya menjauh.

Ketika Kinanti melangkah sambil membawa belanjaan, ia melihat ada mobil Ardi diparkir di sana, dan Ardi langsung turun dari teras menyambutnya.

“Wah … wah, siapa tuh yang mengantarkan tuan putri pulang dari belanja?” tanya Ardi sambil menggendong Emmi, lalu mereka melangkah mendekati rumah.

“Namanya om Suryawan,” justru Emmi yang menjawabnya.

“Oh, om Suryawan? Siapa dia?” tanya Ardi sambil menatap Kinanti.

“Seorang kenalan. Duduklah dulu, biar aku membawa belanjaan ke belakang,” kata Kinanti.

Ardi menurunkan Emmi, ketika Kinanti menyuruhnya untuk cuci kaki tangan dan berganti baju.

“Bibiiiikkk …” teriak Emmi sambil berlari masuk ke dalam.

Ardi duduk sendirian di ruang tamu. Ia melihat wajah ceria Kinanti tadi. Karena seseorang yang dipanggil Emmi ‘om Suryawan’? Seorang kenalan. Kenal di mana dia? Lalu Ardi teringat tentang cerita Kinanti saat pulang kerja dan berjalan kaki, lalu kehausan, lalu …. Oo… itu dia, pertemuan itu berlanjut? Apakah mereka kencan?

Kinanti sudah keluar dengan mambawakan  dua gelas es krim, yang tadi dibelikan Suryawan untuk Emmi, tidak apa-apa dikurangi dua gelas, kan kotaknya besar, kata batin Kinanti.

“Minumlah sekarang, sebelum lumer,” kata Kinanti sambil menarik satu gelas untuk dirinya sendiri.

“Ini oleh-oleh dari kencan kamu?” ejek Ardi sambil meraih gelasnya.

“Kencan apaan? Aku belanja dengan mengajak Emmi, lalu ketemu dia yang juga sedang belanja sayur.”

“Belanja sayur? Dia anak kost?”

“Bukan, dia belanja karena ingin masak untuk anak-anaknya.”

“O, istrinya tidak bisa memasak, sehingga suaminya harus belanja sendiri lalu memasaknya juga?”

“Istrinya sudah meninggal.”

“Oo, duda?”

“Mengapa kamu menatapku seperti itu?” kata Kinanti sambil mengusap bibirnya yang berlepotan es krim.

Ardi tertawa lucu.

“Sudah pas, janda ketemu duda,” katanya enteng.

“Apa maksudmu?”

“Bukankah benar, janda ketemu duda?”

“Hanya kenalan biasa, apa yang kamu pikirkan?”

“Ada lagunya tuh … mulanya biasa saja … ,” kata Ardi sambil menyenandungkan sebait lagu.

Kinanti terkekeh.

“Aku sudah bilang kalau suara kamu itu sember, jelek … “

Ardi cemberut, lalu mencecap es krimnya, dan menghabiskannya.

“Jangan marah, walau suaramu jelek, tapi hatimu baik kok. Aku suka itu. Tak ada sahabat sebaik kamu.”

“Ngomong-ngomong … apa kamu menyukai laki-laki bernama Suryawan itu?”

“Apa? Kami hanya kebetulan bertemu, berkenalan, apa yang aneh dari itu semua?”

“Bukan aneh, aku hanya mengingatkan kamu, hati-hati dekat dengan laki-laki. Terkadang dia kelihatan baik, tapi ada sesuatu dibalik itu semua yang kamu tidak tahu, kecuali setelah semuanya menjadi terlanjur. Dokter Rifai, misalnya.”

“Iya, aku tahu. Kamu tidak usah khawatir.”

“Aku tidak suka melihat kamu kecewa, bersedih, apalagi sampai menangis.”

“Iya, Ardi, aku akan berhati-hati.”

“Kebahagiaan kamu, adalah kebahagiaan aku. Duka kamu, juga dukaku. Kamu mengerti?”

“Sangat mengerti. Aku percaya sama kamu. Kamu adalah tempat aku bersandar ketika aku terpuruk, aku tak bisa melupakannya. Kamu sahabat sejatiku,” kata Kinanti bersungguh-sungguh.

Ardi menatapnya sambil tersenyum. Betapa sayangnya dia pada wanita cantik didepannya. Bahkan sejak mereka masih duduk dibangku sekolah. Bahagiamu adalah bahagiaku, dukamu adalah dukaku. Ardi mengulang kata-kata itu di dalam hatinya.

***

Ber hari-hari Wanda ngambeg, membiarkan Guntur melayani dirinya sendiri. Kandungannya sudah besar, menginjak sembilan bulan. Sesungguhnya di saat mengandung seperti itu, Wanda membutuhkan perhatian lebih dari sang suami. Tapi semenjak menikah, sikap Guntur sudah sangat berbeda. Wanda salah mengira, ketika keinginannya tersampaikan, maka ia akan merasa gembira, bahkan bahagia. Tapi apa? Bahagia itu hanya angan-angannya. Bahwa Guntur akhirnya menjadi miliknya, itu karena dirinya yang tak pernah berhenti merayu dan merayunya. Cinta? Barangkali Guntur tak pernah mencintainya. Wanda sekarang mengerti, bahwa Guntur menikahinya karena terlanjur menghamilinya. Cinta itu hanya bayangan dan angan-angannya. Ia melambai di atas langit, bergoyang diterpa angin, terkadang lenyap ditelan mega kehitaman, lalu ia tak lagi tampak.

Sekarang Wanda mengerti, cinta tidak tercipta karena rayuan. Senyum dan nafsu, tak berarti mengandung cinta. Nafsu adalah nafsu, sedangkan cinta adalah rasa yang murni walau terkadang tak tampak nyata.

Sekarang Wanda juga mengerti, bahwa omelan demi omelan yang dilontarkan sang ibu, bukan hanya omong kosong belaka. Menyesal? Tentu sesal itu ada.

Lihatlah, sikap Guntur yang tak acuh walau tak ada makanan yang disiapkan. Ia menanak nasi sendiri, membeli lauk sambil pulang dari tempat kerja, itu sudah biasa. Tapi Guntur masih mau menawarkannya pada sang istri.

“Makanlah, aku beli di warung dekat rumah sakit,” katanya sambil menatanya di atas meja, lalu tanpa menunggu sang istri, ia langsung meletakkan dua piring di meja itu.

“Makanlah, jangan sampai kamu lapar. Kasihan bayi di dalam perutmu,” katanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

Itu bukan karena perhatiannya kepada sang istri yang sedang mengandung. Itu adalah basa basi semata.

“Nggak makan?” tanyanya karena sang istri hanya berdiri menatapnya.

Wanda tak menjawab, tapi sesungguhnya dia lapar. Ia sudah membawa lauk dari sang ibu, tapi Guntur tidak menjamahnya. Ia kemudian duduk, lalu makan tanpa mengucapkan apapun. Ia meraih makanan yang dibawanya dari sang ibu, tanpa menyentuh lauk yang dibeli Guntur sepulang kerja.

***

Bu Wita sedang bersiap menjemput Wahyu, ketika Wanda datang habis mengajar.

“Makanan sudah ibu siapkan di atas meja. Ibu mau menjemput Wahyu, tapi mampir belanja dulu.”

Wanda tiba-tiba merangkul sang ibu sambil menangis, membuat bu Wita mengurungkan kepergiannya, lalu membawa Wanda duduk di sofa.

“Ada apa?”

“Ibu, aku menyesal menjalani hidup seperti ini.”

“Apa maksudmu?”

“Ternyata aku tidak bahagia.”

“Bukankah ini adalah pilihanmu sendiri?”

“Ternyata semua tidak seperti yang Wanda bayangkan. Yang berhasil diraih, tidak selalu menggembirakan.”

“Seandainya kamu mengejar layang-layang yang sedang terbang saat beradu, kamu berhasil mendapatkan layang-layang itu, bukankah itu menyenangkan karena bisa dikatakan kamu memenangkannya?”

“Layang-layang itu sudah terkoyak diterpa angin.”

“Ya sudah. Hidup memang pilihan. Apa yang sudah kamu temukan, haruslah kamu mensyukurinya. Pernikahan bukan permainan. Bukan layang-layang terkoyak lalu dibuang. Kamu mengerti?”

“Apa yang harus Wanda lakukan?”

“Yang terbaik adalah kata hatimu. Sudah, ibu mau menjemput Wahyu dulu, nanti terlambat, dia bisa marah-marah.”

Wanda termenung memaknai kata-kata ibunya. Setelah mengambil masakan yang sudah disiapkan sang ibu, ia beranjak kembali pulang.

***

Ketika Guntur pulang, Wanda sedang menikmati makan siangnya. Agak terlambat dan dia sudah kelaparan. Konon wanita yang hamil tua, cenderung ingin makan lebih banyak. Ia membiarkan saja suaminya meletakkan makanan di atas meja. Ia tak berhenti menyuapkan makanannya.

“Syukurlah sudah makan. Aku beli sate lontong, kalau mau, ambillah.”

“Setelah makan, aku mau bicara,” kata Wanda tanpa menyentuh lontong pembelian suaminya.

“Sekarang saja, sambil makan bicara juga tidak apa-apa.”

“Baiklah, aku juga sudah lapar, ayo bicaralah.”

“Setelah melahirkan, kita cerai.”

Guntur menatap istrinya lekat-lekat.

***

Besok lagi ya.

61 comments:

  1. 🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    Alhamdulillah JeBeBeeL eps 46, sudah hadir.

    Terima kasih bu Tien, semoga sehat selalu.
    Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.

    🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas Kakek
      ADUHAI

      Delete
  2. Alhamdulillah JBBL~46 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
    Semoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  4. Akhirnya yg ditunggu datang juga.. Matur nuwun Mbak Tien sayang

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun Bu Tien, sugeng ndalu.

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun bunda, smg sehat2 selalu

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung "Jangan Biarkan Bungaku Layu
    "🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  9. Terima kasi bu Tien ... JBBL ke 46 sdh tayang ... Smg bu Tien & kelrg happy fan sehat selalu .. Salam Aduhai.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah ..
    Hasil intip² akhirnya...🥰🥰
    Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
    Sehat selalu njih bun...🤲🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Padma Sari

      Delete
  11. Yang ditunggu akhirnya datang juga. Matur nuwun Mbak Tien sayang

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah....
    Matur nuwun Bu Tien.....

    Semoga Bu Tien sekeluarga sehat selalu...
    Aamiin...

    Ngapunten jarang menyapa....🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Apip
      Mulai sekarang harus sering menyapa yaa

      Delete
  13. Kinanti bukan contoh yang baik. Sudah menikah malah suaminya disuruh mondok. Ketemu Suryawan terus jatuh cinta, padahal belum tau latar belakang maupun sifat sifatnya.
    Wanda si Pelakor menganggap pernikahan hanya permainan.
    Guntur si pria brengsek yang katanya dokter.
    Kasian Ardi yang baik hati suka menolong malah tidak mendapat apa-apa.
    Tapi semua dapat berubah tergantung sang pembuat nasib.
    He he he he...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  15. Wah... Wanda pingin cerai nanti sama siapa yaa...punya 2 anak dari bapak yang beda hanya dg gaji guru ya.. ??

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 46 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Kinanti hrs waspada thd orang yng baru dia kenal, benar nasehat nya Ardi s sahabat sejati.

    Guntur dan Wanda mau cerai.
    Boleh jadi Guntur kepengen rujuk dengan Kinanti, tinggal Kinanti nya mau apa tidak, tetapi klu demi anak anak, sebaiknya Kinanti pertimbangkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  17. Alhamdulillah JBBL~46 telah hadir.. matursuwun.Bu Tien 🙏
    Semoga senantiasa sehat dan bahagia bersama AMANCU.
    Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
  18. Ya gimana lagi.
    Bukankah sudah Bu Wita katakan jawaban itu ada dalam dirimu.
    Terserah pilihan mu nda.
    Yå wis dikukus waé
    Dipupus.. kliru kuwi olèhmu nulis, iyå cèn senengané tal tul waton nutul.
    Yèn lêgå lunga pasar manuk yèn wis kuat ngisis yå, heèh.
    Paling ora seratus hari pertama, mengko bèn netizen pådå kojah.
    Nggolèk sing biså manggung åpå sing waton gawé ramé.
    Ocèh ocèhan bèn nyuara terus, oh kuwi mangkéné arané bacingah, jaré wong kunå.
    Kok wong kunå; iyå mêrgå 'aku durung ånå', berarti luwih tuwå kinå yå, nalaré; 'kaki durung ånå', sakarepmu.
    Hm
    Suryawan yang kebetulan ketemu, wah lebih berliku dan ngatur nada; kaya mau ikut aubade, biar nggak fals, gempita itu biar lebih jelas tampak.
    Pédékaté dimasa senja, perlu ancang ancang nich.
    Walaupun bagaimana, têtêp aja jaga jaga, kalau nggak, bisa jantungan, kan bapak pucung.
    Memang kadang bisa ketus juga, lah terus; Ardi kan datang ingin ikutan, biarin aja kan suka anak², merasa senang kalau deket bocah; suruh momong aja. Itu wong nriman.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke empat puluh enam sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah JBBL - 46 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin

    ReplyDelete
  20. Puji syukur ya Allah, kamidan keluarga masih diberi kesempatan untuk baca cerita bersambung dsri Ibu Tien, semoga Ibu Tien diberi kesehatan dan kekuatan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Tugiman
      Teruslah membaca

      Delete
  21. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat dan bahagia selalu...

    ReplyDelete
  22. "Bahagiamu adalah bahagiaku, dukamu adalah dukaku." Kok bisa keluar kata-kata ini? Apakah ini pengalaman Mbak Tien, atau karena membaca novel orang lain?....
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak ah. Meniru tulisan orang lain membuat tidak ada rasa puas diri.
      Terima kasih MasMERa

      Delete
  23. Slmt siang bundaaqu..terima ksih cerbu jbbl nya..maaf telat comen🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete

ADA MAKNA 36

  ADA MAKNA  36 (Tien Kumalasari)   Wahyu menatap Reihan tak berkedip. Ucapannya sedikit mengejutkan. Ia meraba apa yang diinginkan sang adi...