Monday, February 24, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 45

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  45

(Tien Kumalasari)

 

Ardi sangat marah melihat perempuan cantik yang memarahi Kinanti dengan tak jelas permasalahannya.

“Nyonya itu wanita terhormat. Mengapa melakukan hal yang sangat memalukan?”

“Yang tidak tahu malu itu dia. Merayu laki-laki beristri sampai-sampai laki-laki itu mau menceraikan istrinya.”

“Saya tidak pernah merayu suami Nyonya. Suami nyonya yang mengejar-ngejar saya,” kata Kinanti tandas.

“Jadi saya harap Nyonya segera pergi, kalau tidak kami akan melaporkan Nyonya dengan tuduhan pencemaran nama baik,” ancam Ardi.

“Silakan, laporkan saja, siapa takut?” balas nyonya Rifai. Tapi kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan cepat, membuat Ardi dan Kinanti saling pandang, kemudian tersenyum lucu.

“Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, kasihan juga bu Rifai itu. Aku bisa memaklumi kalau dia sangat marah. Wanita mana sih yang mau berbagi cinta?” gumam Kinanti.

“Salahnya dialah, dia menuduh membabi buta.”

“Aku tidak pernah menanggapi apapun yang dikatakannya. Tapi dia mengira aku yang merayunya.”

Tapi tiba-tiba Kinanti berlari mengejar.

“Kinanti!” teriak Ardi yang kemudian mengikuti.

Kinanti mengejar nyonya Rifai yang ternyata masih berada di luar dan belum masuk ke dalam mobilnya.

“Tunggu, Nyonya,” kata Kinanti.

 “Mau apa kamu? Menahan aku supaya kamu bisa memanggil polisi lalu akan menangkapku?”

“Tidak, sabarlah. Mari kita bicara baik-baik,” bujuk Kinanti.

“Bicara baik-baik apa? Supaya aku dengan suka rela menyerahkan suami aku pada kamu? Dengar, dia mengancam akan menceraikan aku, kamu puas?”

“Nyonya, saya sama sekali tidak menyukai dokter Rifai.”

“Bohong.”

“Saya berani bersumpah.”

“Jangan begitu gampang mengucapkan sumpah. Kemakan sumpahmu sendiri tahu rasa kamu.”

“Saya mengatakan itu, karena saya memang tidak ada hubungan dengan suami Nyonya.”

“Apa aku buta? Apa aku tuli? Suami aku mengaku bahwa dia mencintai kamu. Kamu pura-pura tidak dengar, dan mengira akupun tuli?”

“Sabar Nyonya. Saya menghentikan Nyonya agar Nyonya mengerti. Mengerti bahwa sesungguhnya saya dan dokter Rifai tidak ada hubungan apapun kecuali kami sama-sama dokter di bawah atap yang sama, bedanya saya di puskesmas dan dokter Rifai di rumah sakit pusat.”

“Tidak ada hubungan dan suami aku berlutut di depan kamu lalu kamu membiarkannya dengan suka cita?”

“Dia baru saja melakukannya. Dia yang mengejar-ngejar saya. Kalau dia mengatakan cinta, itu dia, bukan saya.”

Mendengar perkataan Kinanti, mata kilat di wajah sang nyonya dokter menjadi melunak.

“Percayalah pada saya, Nyonya.”

“Tapi suami aku mau menceraikan aku, dia mencintai kamu,” lirih suaranya ketika mengucapkan itu.

“Sebaiknya Nyonya lebih bersabar menghadapinya. Barangkali ada hal yang membuat dokter Rifai berbuat begitu.”

“Aku mandul.”

Kinanti menatapnya iba. Ia sudah mendengar dari dokter Rifai tentang hal itu.

“Banyak solusi untuk mengatasi hal itu. Bicaralah pada suami, misalnya dengan usaha bayi tabung, atau mengadopsi anak yatim piatu. Lagipula saya sudah punya calon suami, jadi Nyonya tidak usah khawatir, dia seorang pengusaha,” kata Kinanti pelan sambil membayangkan wajah Ardi.

“Laki-laki itu?” kata nyonya Rifai sambil menunjuk ke arah belakang, dan Kinanti terkejut ketika melihat Ardi berdiri sambil bersedakap di belakangnya. Apa? Dia mengakui bahwa Ardi adalah calon suaminya? Kinanti hampir menampar mulutnya sendiri. Dia hanya ingin menenangkan kemarahan nyonya dokter. Dan Ardi mendengarnya? Mengapa juga dia mengikutinya? Wajah Kinanti berubah merah karena malu. Malu dong, mengakui seorang laki-laki yang bukan siapa-siapanya sebagai calon suami?

Tapi tanpa diduga, Ardi mengangguk seakan menjawab pertanyaan sang nyonya dokter.

“Kalau begitu maafkanlah saya.”

“Semoga ada solusi terbaik untuk Nyonya. Perceraian bukan satu-satunya jalan hanya karena istri tidak bisa melahirkan keturunan baginya,” itu kata Ardi yang tiba-tiba nimbrung.

“Doakan agar kami bisa berbaikan,” katanya sambil masuk ke dalam mobil.

Kinanti membalikkan tubuhnya.

“Heii, tunggu aku. Bukankah aku calon suami kamu?” ledek Ardi sambil terkekeh.

“Konyol!”

“Kamu sendiri yang bilang tadi, kan?”

“Mana mungkin aku mau punya suami konyol seperti kamu?”

“Kamu mengingkari ucapan kamu sendiri. Sebenarnya kamu cinta sama aku kan?”

“Kamu ini mengigau atau apa? Aku tidak suka laki-laki konyol seperti kamu. Harus diulang lagi?” kata Kinanti sambil melotot ke arah Ardi yang cengengesan.

“Baiklah, aku tahu kok. Kamu hanya ingin menenangkan istri dokter itu, supaya tidak terus menerus mencemburui kamu kan? Lalu kamu menjadikan aku korban,” kata Ardi yang tiba-tiba kehilangan senyumnya.

Kinanti terkekeh.

“Hei, apa kamu marah? Bagus kalau sudah tahu. Dengar Ardi, aku menyayangi kamu, lebih dari pada saudara. Aku harap kamu mengerti. Rasa sayangku tak ada duanya lhoh.”

“Iya, aku tahu, dan kamu harus percaya kalau aku ingin selalu menjagamu. Aku hanya ingin kamu bahagia.”

Lalu mereka berpandangan sambil tersenyum.

Keduanya kembali duduk di teras, lalu Ardi menghabiskan jus mangganya yang benar-benar tidak dingin. Yang dingin adalah perasaannya. Lalu Ardi bertanya kepada dirinya sendiri, apa benar dia mencintai Kinanti seperti cinta seorang laki-laki kepada lawan jenisnya? Bukan hanya sebagai sahabat atau saudara? Entahlah, kata batinnya.

***

Guntur menutup kamar prakteknya, karena hari sudah malam dan pasien sudah habis di sore itu. Ia melihat Wanda duduk di ruang tengah sambil melihat ke arah televisi.

“Sudah selesai?” tanyanya ketika Guntur meraih minuman di gelas yang disediakan olehnya.

“Kamu kan tahu, aku malas sekali masak. Kita makan di luar yuk,” kata Wanda.

“Aku lelah sekali, makan seadanya saja.”

“Mengapa kamu akhir-akhir ini kelihatan lesu begitu?”

“Tidak apa-apa, hanya lelah.”

“Kamu menyesali perceraian dengan Kinanti?”

“Kamu jangan lagi menyebut-nyebut nama dia. Kinanti tak bersalah.”

“Tapi kamu tampak tak bersemangat.”

“Banyak beban menimpa pundakku.”

“Beban apa? Jangan bilang kamu juga menyesal menikah denganku.”

“Apa kamu lupa? Aku juga baru saja kehilangan ibuku, dan itu karena kesalahan aku.”

“Guntur, ibumu tidak menyukai aku, dan itu yang kamu anggap sebagai kesalahan kamu, sehingga ibumu meninggal?”

“Entahlah,” Guntur menyandarkan kepalanya di sofa.

“Aku pikir setelah menikah, kita akan bahagia. Ternyata aku salah sangka. Aku sedih melihat sikapmu yang kaku dan seperti tak bersemangat.”

“Apa lagi yang kamu inginkan?”

“Berbahagialah dengan pernikahan ini. Lihat perutku, ada janin buah cinta kita. Ingatlah anak ini, jangan memikirkan yang lain.”

“Iya, aku tahu. Aku tidak akan mengingkarinya. Sekarang aku mau istirahat saja,” katanya sambil bangkit.

“Tapi kita belum makan, aku lapar dan menunggumu sampai selesai praktek.”

“Baiklah, ayo kita makan.”

“Adanya masakan siang tadi. Sayur yang aku ambil dari rumah ibu.”

“Tidak apa-apa, aku biasa makan seadanya, lalu aku ingin segera beristirahat.”

“Sudah tidak enak, aku lupa memanasinya tadi.”

“Adanya apa?”

“Hanya telur, masa kita hanya makan nasi dan telur?”

“Tidak apa-apa, aku mau.”

“Tapi aku tidak mau Guntur, aku mau makan diluar,” kata Wanda setengah berteriak.

“Mengapa kamu berteriak? Aku lelah, kamu tidak mendengarnya?” sergah Guntur dengan kesal.

“Aku juga lelah, aku sedang mengandung dan kalau aku ingin sesuatu maka  harus dipenuhi. Aku ingin makan diluar.”

“Kalau begitu kamu makan sendiri saja, aku akan makan di rumah dan menggoreng telur.”

“Guntur!”

Wanda berteriak ketika Guntur berjalan ke arah dapur. Geram sekali ketika melihat Guntur mulai menyalakan kompor dan mengambil sebutir telur.

“Kamu benar-benar mengesalkan! Tidak peduli pada istri yang sedang mengandung.”

“Apa istri yang sedang mengandung selalu rewel? Dulu Kinanti tidak begitu,” kata Guntur enteng sambil mulai memecahkan telur ke dalam wajan setelah diberinya mentega.

Mata Wanda menyala marah.

“Kamu bandingkan aku dengan Kinanti?”

“Tidak. Kamu tak sebanding,” kata Guntur seenaknya.

Wanda benar-benar marah. Ia mengambil piring yang terletak di rak, lalu membantingnya ke lantai, sehingga pecah berserakan.

Guntur tak peduli, ia membalikkan telur, dan tak lama kemudian sudah dipindahkannya ke piring, lalu menyendok nasi di rice cooker, dan berjalan ke meja makan. Ia meraih kecap, lalu mengucurkannya di atas telur setengah matang di piringnya, lalu menyendoknya dengan tenang.

“Kamu keterlaluan. Kamu sudah menceraikannya, dan sudah menikahi aku, tapi kamu memuji-muji dia di depanku?”

“Itu kenyataan. Ayo makanlah. Telur sama kecap ini enak sekali,” Guntur mulai menyendok makanannya.

“Mau aku gorengkan sebutir lagi? Atau dua butir?” kata Guntur sambil mengunyah makanannya. Tak peduli sang istri yang menatapnya garang. Bahkan tak peduli pada pecahan piring yang berserakan.

“Kalau mau biar aku saja yang menggoreng, kasihan kalau kakimu terluka,” katanya.

Wanda tak menjawab, dia masuk ke kamar, mambanting pintunya, dan menangis meraung di sana.

Guntur melanjutkan makan. Ia tak ingin memikirkan apapun. Pikirannya kosong, dan seperti mimpi ia menjalani kehidupannya yang sekarang. Dulu ia pernah ingin agar bisa setiap hari bersama Kinanti, tapi tak berhasil karena Kinanti membutuhkan ibunya yang membantu merawat anak-anaknya, sementara Kinanti tak bisa meninggalkan si kecil hanya bersama sang nenek. Menurutnya hidup bersama istri pasti lebih nyaman. Sekarang apa? Ia sudah hidup bersama istri, tidak capek mengurus dirinya sendiri, tapi mana kenyamanan itu? Mengapa hatinya justru merasa tidak tenang, seperti ada dosa yang mengejar-ngejarnya. Dosa kepada istri dan anak-anaknya, dosa kepada ibunya.

Guntur meletakkan sendoknya, kemudian ke dapur untuk mencuci piringnya sendiri. Ternyata Wanda tidak begitu perhatian pada keadaan rumahnya. Bersih-bersih juga malas, apalagi masak. Alasannya adalah karena sedang mengandung. Apakah wanita mengandung selalu begitu? Guntur mengalah melakukan semuanya. Merapikan yang belum rapi, membersihkan yang belum bersih.

Setelah mencuci piring, Guntur membersihkan pecahan piring yang berserakan.

Raungan sang istri tak terdengar lagi. Barangkali kelelahan lalu tidur dengan sendirinya. Guntur tak ingin memanjakan sang istri. Guntur juga tak ingin memenuhi setiap permintaannya. Wanda harus lebih dewasa ketika sudah berani menempuh kehidupan berumah tangga. Guntur sadar sesadar-sadarnya, bahwa dia menikahi Wanda bukan karena cinta.

Setelah beristirahat sebentar, dia kemudian tertidur di sofa. Sedikitpun ia tak menjenguk sang istri yang sudah sejak tadi masuk ke dalam kamar.

***

Setelah pulang dari mengajar, seperti biasa Wanda mampir ke rumah sang ibu, untuk mengambil masakan yang dibuat ibunya. Wanda tidak pernah memasak, atau memang tidak suka. Ia terbiasa menjadi gadis manja, dan sejak menikah dengan suaminya yang dulupun dia tidak pernah melakukannya.

 “Mengapa wajahmu pucat? Kamu sakit?” tanya bu Wita.

“Sakit hati.”

“Apa maksudmu?”

“Apa ibu tahu, sebenarnya Guntur masih selalu memuja istrinya, siapa yang tidak kesal, coba.”

“Ibu bilang juga apa. Kamu menyukai laki-laki yang sudah beristri, dengan alasan mereka mau bercerai. Sekarang kamu mengeluh begitu. Bukankah harusnya sejak awal kamu menyadari bahwa suami kamu tidak sepenuhnya menyukai kamu?”

“Wanda mengira dia mencintai Wanda.”

“Orang berkeluarga, sudah punya anak, tidak mungkin bisa melupakan semuanya dengan mudah. Sekarang kamu sudah berhasil menjalaninya, ya sudah terima saja apa yang terjadi. Ibu tidak ikutan, kan ibu sudah mengingatkan sejak awal?”

Wanda merasa kesal. Ia mengira sang ibu akan membelanya, ternyata malah menyalahkannya. Ia melangkah ke dapur, mengambil rantang yang selalu sudah disiapkan ibunya, lalu pergi begitu saja.

Bu Wita menghela napas panjang.

Mana mungkin sang ibu tidak merasa prihatin ketika mengetahui anaknya tidak bahagia dalam hidupnya? Tapi sudah berkali-kali diingatkan, dan Wanda tetap menerjang palang peringatannya. Apa yang harus dilakukannya? Tak mungkin ia menyarankan anaknya untuk bercerai.

***

Hari itu hari Minggu. Kinanti mengajak Emmi belanja ke super market. Emmi senang bukan main. Ia berlarian ke sana kemari, membuat sang ibu khawatir, karena di sana sedang ramai pengunjung.

“Emmi, sini … dekat-dekat sama ibu,” teriak Kinanti.

“Emmi melihat lihat baju lucu. Nanti beli buat adik Emma ya.”

“Nanti saja, ibu mau belanja sayur.”

“O iya, bukankah sayur itu sehat? Emmi mau bantu ibu memilih sayur,” kata Emmi tapi ia masih saja sambil berlari-lari.

Emmi ingin menarik tangannya, tapi Emmi keburu menabrak seorang laki-laki yang sedang memilih-milih sayur, sehingga Emmi terjatuh.

“Eitt, hati-hati Nak,” kata laki-laki itu, sambil mengangkat Emmi yang ketakutan.

Kinanti terbelalak mengetahui laki-laki itu. Bukankah dia pak Suryawan?

Emmi merosot dari gendongan laki-laki yang ditabraknya, lalu berlari menghampiri sang ibu.

“Kinanti?”

***

Besok lagi ya.

 

59 comments:

  1. 🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    Alhamdulillah JeBeBeeL eps 45, sudah hadir.

    Terima kasih bu Tien, semoga sehat selalu.
    Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.

    🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 45 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  5. Suwun Bu Tien, JBBL nya

    Sehat sll Ibu …🤝🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Wiwik

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Win

      Delete
  7. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung "Jangan Biarkan Bungaku Layu
    "🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  8. 🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
    Alhamdulillah 🙏🤩
    JeBeBeeL_45 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam seroja😍🦋
    🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂

    ReplyDelete
  9. Wah.. ada pak Suryawan, saingan berat bagi Ardi. Kasihan Ardi yang sejak sekolah sudah jadi bodyguard bagi Kinanti. Ayo Kinanti, buka hatimu untuk Ardi yang baik hati.
    Guntur serba salah, atau memang dasarnya salah, diteruskan dengan Wanda tidak suka, diputusin tidak mungkin karena si jabang bayi.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Ardi apa p Suryawan yg cocok jd ayahnya Emma d Emmi? Mb Tien selalu aduhai menghadirkan tokoh baru... Smg jodoh terbaik utk Kinanti tp bukan berarti rujuk dg Gunturkan mb Tien? Trmksh utk jbblnya sdh tyg .
    Smg seroja sll utk kita semua

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah JBBL~45 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
    Semoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
  12. Alhamdullilah ..jbbl 45 sdh hadir..terima ksih bundaku..slmt mlm slnt istrht .salam seroja dri skbmi 🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  13. Keadaan Guntur dulu sekarang dialami Kinanti, banyak yang menyukainya...
    Semoga Kinanti tak tergoda dengan Suryaman. Tunggulah Guntur selesai mencuci dosanya, baru kembali padanya...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 MasMERa
      Selalu suka baca komennya..
      Terima kasih juga ya

      Delete
  14. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 45 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Wanda..Wanda...sdh berumah tangga tdk bisa masak, tdk bisa nyuci, tdk bisa mrantasin gaweyan omah, beda banget lho sama Kinanti...

    Oh iya Kinan, carilah pengganti Guntur yang seperti Ardi, setia dan melindungi.

    Klu pak Suryawan, blm jelas...asal usul nya dari mana, silsilah kel nya juga kamu tdk tahu, jadi jangan terkesima dengan kebaikannya ya...he...he...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  15. Aku maunya sama ardi aja... Kasian bu kelamaan jomblo dipake buat pipis doank nungguin kinanti yang dinanti nanti... Hehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heheee... jeng dokter lucu deh.
      Ketularan Ardi ya?

      Delete
  16. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),45 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰💖

    Penyesalan Guntur baru terasa,, setelah menikah dg Wanda

    Bgm kl pak Suryawan dg Kinanti seperti nya baik dg anak 2nya 🤭

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillaah JBBL- 45 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bshagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲
    Salam Aduhai Bunda🙏

    ReplyDelete
  20. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Wedwye

    ReplyDelete
  21. Petualangan Wanda
    Sebuah pengharapan setelah sekian lama; mungkin sekedar mencurahkan keluh kesah yang menumpuk dihati, bertemu seorang yang dikaguminya.
    Padahal kekaguman itu yang menjadikan tidak bisa menilai, berhasil menggapai, tapi ternyata tidak sesuai dengan angan angannya.
    Kembali hanya menjalani saja.
    Kinanti berani menyatakan apa yang terjadi sebenarnya pada orang yang pernah menyakiti sekalipun.
    Ardi bukan dikorbankan, justru dia merasa sudah ambil bagian dari keinginannya mendampingi sahabatnya.
    Bukan main

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke empat puluh lima
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  22. Guntur menyesal melepas Kinanti yang bersinar seperti berlian dan memilih Wanda yang suram seperti pecahan genting, wkwk...sesal kemudian tidak berguna. Sudahlah...Kinanti menerima cinta Ardi saja...lebih nyaman dicintai daripada mencintai kok...☺️

    Terima kasih, ibu Tien yang baik hati. Semoga sehat dan bahagia selalu.🙏🏻🌹😘😘

    ReplyDelete
  23. Bakso di smrg itu, *sabar menantu*

    ReplyDelete

ADA MAKNA 28

ADA MAKNA  28 (Tien Kumalasari)   Wanda terus mengamati buku itu, dan kemarahan kemudian menyergap batinnya. Ia merasa dikhianati oleh sang ...