Thursday, February 27, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 48

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  48

(Tien Kumalasari)

 

Dokter Rifai berdiri, lalu meminta ponsel yang masih dipegang Kinanti.

“Aku tidak akan lama, segera pamit. Istriku menunggu di rumah,” kata dokter Rifai sambil tersenyum. Kinanti menatapnya, dan ada sedikit rasa senang. Tampaknya dokter Rifai ingin mengatakan bahwa dia sudah berdamai dengan istrinya sejak lama.

“Terima kasih dokter, salam saya buat ibu,” kata Kinanti sambil mengulurkan ponselnya. Dokter Rifai mengangguk.

“Tengok dia, beri semangat. Kata temanku, dia sangat tidak punya semangat hidup. Sangat lemah,” katanya kemudian berlalu.

Kinanti terpaku di tempat duduknya. Urung bangkit karena berbagai pemikiran berkecamuk dalam batinnya. Guntur sakit, badannya kurus kering, dan kata dokter Rifai, dia sangat tidak bersemangat. Mengapa juga Kinanti harus memikirkannya? Bukankah sejak lama dia sudah menghapus ingatan tentang bekas suaminya itu? Tapi melihat keadaannya di dalam foto yang baru saja dilihatnya, tampak kuyu dan pucat, mengapa tiba-tiba hatinya merasa tersentuh?

“Kamu yang menyakiti, sekarang kamu sendiri sakit, dan aku ikut merasa pahit?” gumamnya lirih. Puskesmas sudah sepi, para dokter sudah pulang, punggawa puskesmas yang tersisa hanyalah seorang satpam yang bertugas bergiliran. Dan petugas bersih-bersih yang mulai melakukan tugasnya. Kinanti masih duduk di ruangannya.

Lalu diraihnya ponselnya. Dia memutar nomor kontak Ardi, yang langsung mendapat tanggapan.

“Assalamu’alaikum,” sapanya.

“Wa’alaikumussalam.”

“Ada apa nih? Tumben menelpon? Kangen ya?”

“Apa aku mengganggu?”

“Tidak, katakan, ada apa. Maaf agak lama tidak datang melihatmu, dan juga tidak menelponmu.”

“Tidak apa-apa, aku mengerti.”

“Apa yang bisa aku bantu? Aku yakin pasti kamu sudah kangen berat sama aku,” canda Ardi.

“Kangen, itu pasti.”

“Bahagianya dikangenin dokter cantik,” kata Ardi sambil tertawa.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan. Tentang Guntur.”

“Ah ya, kira-kira sebulan yang lalu Guntur datang ke kantor aku, lupa tidak mengabari kamu. Akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Maaf. Tapi tidak ada yang penting, kecuali dia mengatakan bahwa sudah bercerai dengan Wanda. Badannya kurus, wajahnya pucat. Apa waktu itu dia sudah merasakan sakit ya?”

“Oh ya?”

“Dia tampak menyesali apa yang terjadi. Kasihan juga ya, tapi bukankah sesal itu datang ketika kegagalan menimpa? Dia sedang mengunduh apa yang ditanamnya.”

“Saat ini dia sakit, dan dirawat.”

“Dirawat? Sakit apa? Beratkah?”

“Entahlah. Besok kan hari libur, maukah menemani aku menengoknya?”

“Kinan, rupanya kamu masih peduli pada dia? Bagaimana dengan Suryawan?”

“Ini tidak ada hubungannya dengan dia, kenapa sih kamu bawa-bawa dia?”

“Maaf, tapi kamu kan mengatakan bahwa sudah melupakannya?”

“Hanya menjenguk saat dia sakit, apa salah?”

“Tidak, kamu tidak salah. Rupanya hatimu masih tersentuh mendengar dia menderita. Tapi sebenarnya siapa yang mengabari kamu?”

“Dokter Rifai. Dia mendengar dari temannya.”

“O, dia. Apa kabar dia?”

“Baik. Aku senang dia sudah baikan dengan istrinya. Tapi kamu belum mengatakan tentang permintaanku tadi. Maukah menemani?”

“Besok ya? Bisa, apa sih yang enggak buat kamu?”

“Baiklah, terima kasih. Kalau bisa berangkat pagi, supaya pulangnya tidak kesiangan.”

“Siap, laksanakan,” canda Ardi.

“Ya sudah, besok aku tunggu.”

“Ini kamu sudah di rumah?”

“Tidak, masih di tempat kerja. Sudah mau pulang.”

“Aku jemput?”

“Tidak, aku akan naik taksi. Kelamaan menunggu kamu.”

***

Sampai kemudian memasuki rumahnya, Kinanti masih memikirkan sakitnya Guntur.

“Tidak bersemangat, kata dokter Rifai? Apa karena perceraian itu? Ah, entahlah, aku hanya ingin sekedar menjenguk saja, sebagai teman. Salahkah?” gumamnya.

Baru saja memasuki kamarnya, ponsel Kinanti berdering. Dari Suryawan.

“Kinanti, besok libur kan? Aku datang ya, mau masak-masak di rumah kamu, aku sudah menyiapkan sayur dan daging yang akan aku bawa besok,” kata Suryawan yang langsung mengutarakan niatnya.

“Maaf Mas, besok aku tidak ada di rumah.”

“Kemana?” terdengar nada kecewa dari sana.

“Ke luar kota.”

“Jalan-jalan? Bersama keluarga?”

“Tidak, hanya menengok teman sakit di Semarang.”

“Aku antar?”

“Tidak, terima kasih, sudah bersama teman yang lain.”

“Oh, baiklah kalau begitu. Bisa lain kali saja. Atau biar saja aku datang, aku akan masak bersama ibu, sehingga kalau kamu datang tinggal mencicipnya.”

“Tapi aku belum tahu akan pulang jam berapa.”

“Tidak masalah, sampai malampun masakan aku masih segar kok.”

“Baiklah, terserah Mas Suryawan saja.”

Kinanti menutup ponselnya. Suryawan sudah sangat dekat dengan ibunya, dan akrab dengan anak-anaknya. Suryawan juga sering membawa anak-anaknya ke rumah.

“Kamu baru pulang?” tiba-tiba bu Bono muncul di kamar Kinanti.

“Iya Bu. Anak-anak rewel?”

“Tidak. Mereka sedang tidur siang.”

“Besok mas Suryawan mau datang kemari.”

“Apa kamu ingin memasak sesuatu?”

“Dia justru ingin memasak di sini. Katanya sudah menyiapkan sayur dan entah apa lagi.”

“Sangat menyenangkan, laki-laki suka masak, walau hanya kalau sedang senggang.”

“Iya. Dia juga sangat memperhatikan anak-anaknya.”

“Apa kamu serius, melanjutkan hubungan dengan dia?”

“Bagaimana menurut Ibu?”

“Kelihatannya dia baik. Rasa kebapakannya sangat tinggi, dan itu menunjukkan bahwa dia orang yang penuh kasih sayang.”

“Benar.”

“Tapi mengasuh tujuh anak yang masih kecil-kecil, pikirkanlah semuanya baik-baik.”

“Iya, Kinan mengerti.”

“Jam berapa nak Suryawan mau kemari? Kamu bisa belajar memasak dari dia.”

“Besok Kinan mau pergi ke Semarang dengan Ardi.”

“Ada urusan pekerjaan?”

“Tidak, besok kan hari Minggu. Kinanti akan membezoek Guntur.”

“Apa?” bu Bono terperanjat, Kinanti masih memikirkan Guntur.

“Guntur sakit, kelihatannya agak parah, entahlah. Kinan mendengar dari dokter Rifai.”

“Kamu masih memikirkan Guntur?”

“Memikirkan dalam arti peduli sebagai teman. Kasihan ketika Kinanti melihat fotonya saat terbaring di rumah sakit.”

“Kamu harus hati-hati, jangan sampai istrinya salah paham.”

“Mereka sudah bercerai.”

“Bercerai? Pernikahan macam apa itu?”

“Entahlah, Kinanti juga tak ingin tahu tentang permasalahannya.”

“Dia gagal menjadi suami,” gumam ibunya sambil beranjak pergi.

Kinanti menghela napas panjang. Memang benar, Guntur gagal menjadi suami.

***

Ardi sudah datang menjemput sebelum jam delapan, dan mereka langsung berangkat karena Kinanti sudah siap sejak pagi sekali.

Tak lama setelah mereka pergi, Suryawan datang, sendirian.

“Kinanti sudah pergi Bu?” katanya sambil mencium tangan bu Bono.

“Baru saja berangkat bersama temannya.”

“Saya pikir masih bisa bertemu sebelum dia berangkat.”

“Mereka ingin berangkat pagi-pagi.”

“Rupanya yang sakit teman dekatnya ya Bu?”

“Dia … bekas suaminya.”

“Bekas suaminya?”

“Hanya karena mengingat bahwa dia ayah dari anak-anaknya, pastinya. Tapi dia tidak sendiri kok.”

Suryawan mengangguk mengerti.

“Silakan duduk Nak.”

“Saya datang untuk masak-masak di sini, apa Kinanti tidak mengatakannya pada Ibu?”

“Dia mengatakan kok. Apa mau langsung ke dapur?”

“Boleh Bu, saya sudah menyiapkan semuanya. Biasanya saya hanya mengirimkan masakan saya, tapi saya ingin menunjukkan bahwa saya benar-benar memasak semuanya sendiri.”

“Luar biasa nak Suryawan ini. Laki-laki pintar memasak.”

“Sebenarnya tidak pintar-pintar amat Bu, biasa saja. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa saya juga memperhatikan anak-anak saya. Saya ingin agar mereka mengerti bahwa saya bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka.”

“Saya kagum pada nak Suryawan.”

“Kasihan, dia sudah kehilangan ibunya,” kata Suryawan sambil mengikuti bu Bono ke dapur.

Di ruang tengah, ada anak-anak Kinanti yang menyambutnya.

“Ada om Suryawan … ada om Suryawan …”

Suryawan berhenti melangkah. Ia meletakkan bungkusan sayur yang dipegangnya, kemudian menggendong keduanya di tangan kiri dan kanannya.

“Anak cantik, wangi amat, sudah mandi semuanya?”

“Sudah, Om.”

“Bagus sekali. Sekarang om mau masak dulu sama nenek, kalian main sama bibik ya,” kata Suryawan sambil menurunkan mereka, lalu mengulurkan dua buah coklat yang tadi disimpan di sakunya, membuat mereka berteriak kegirangan.

“Apa yang harus disiapkan ini Nak,” kata bu Bono setelah sampai di dapur.

“Biar saya keluarkan dulu belanjaan saya ya Bu.”

“Luwes sekali nak Suryawan ini, semuanya dibelanjakan pembantu?”

“Tidak Bu, saya belanja sendiri semuanya, walaupun di hari kerja pembantu saya yang memasak.”

“Bukan main. Senang dong kelak yang jadi istrinya.”

Suryawan menatap bu Bono sambil tersenyum.

“Kalau diijinkan, saya ingin melamar Kinanti.”

Bu Bono tersenyum.

“Kalau saya sih, terserah Kinanti saja. Yang penting saya tahu bahwa orang yang melamarnya adalah orang baik, dan yang lebih penting bisa mencintai anak-anak Kinanti juga.”

“Saya sanggup menjalaninya Bu, saya akan mencintai mereka seperti kepada anak kandung saya sendiri.”

“Nanti kita akan bicarakan kalau Kinanti ada. Saya sebagai orang tua hanya berharap yang terbaik bagi anak saya. Kinanti sudah pernah gagal dalam berumah tangga, jangan sampai hal itu terulang kembali. Saya tidak sanggup melihat anak saya menderita."

“Saya berjanji akan mencintai dan menjaga Kinanti dan anak-anaknya, sampai akhir hayat saya,” kata Suryawan mantap, sambil menaruh brokoli di dalam air garam. Katanya, hal itu penting untuk menghilangkan ulat atau hama yang mungkin terselip diantara rumpun hijaunya.

***

Dalam perjalanan itu, Ardi tampak lebih banyak diam, kalau Kinanti tidak mengajaknya bicara.

“Hari ini kamu tampak lain. Kamu tidak suka mengantarkan aku?”

“Bukan, mengapa kamu berpikir begitu? Sejak awal aku sanggup, dan tentu saja aku sanggup. Guntur juga sahabatku, aku ikut prihatin dengan keadaannya.”

“Aku percaya, kamu memang penuh perhatian kepada kami, bahkan sejak masih sekolah dulu.”

“Kinanti, boleh aku bertanya?” kata Ardi yang kemudian tergerak untuk mengatakan sesuatu.

“Boleh saja, mau bertanya tentang apa?”

“Kamu semakin dekat dengan Suryawan. Kamu serius melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih matang?”

“Baru saja ibuku juga bertanya tentang itu.”

“Lalu apa jawabmu?”

“Bagaimana menurutmu?”

“Aneh kamu ini, ditanya belum dijawab malah balik bertanya. Aku hanya ingin kamu bahagia, Kinan. Kalau kamu serius dengan seseorang, kamu harus benar-benar tahu tentang dia. Bagaimana perasaannya terhadapmu. Benar-benar cinta atau hanya karena melihat kamu cantik. Dan yang lebih penting adalah apakah dia juga bisa mencintai anak-anakmu seperti anak kandungnya sendiri. Mengingat satu hal yang juga penting, yaitu bahwa dia juga punya anak-anak, lima anak yang masih kecil-kecil.”

“Iya, aku mengerti.”

“Aku bukan menghalangi. Kamu tahu Kinan, aku hanya ingin melihat kamu bahagia. Jangan sampai dia akan menyakiti kamu lagi. Aku tak mau hidupmu menderita.”

Kinanti menatap Ardi penuh haru. Kalau pantas, ingin sekali dia memeluknya erat sebagai ungkapan terima kasih.

“Aku tahu bahwa kamu sangat menyayangi aku, Ardi,” kata Kinanti dengan air mata berlinang.

Ardi menatapnya dan tersenyum.

“Mengapa menangis, Kinan? Apa aku menyakiti kamu?”

“Kamu membuat aku terharu. Kamu adalah satu-satunya orang yang selalu menjaga dan memperhatikan aku. Kamu adalah satu-satunya orang yang dengan tulus menyayangi aku.”

“Buat hidupmu bahagia, dan aku juga akan bahagia. Berjanjilah.”

“Aku janji, aku akan bahagia agar kamu juga bahagia,” kata Kinanti dengan suara bergetar.

Ada rasa dari keduanya yang mereka sebenarnya tidak bisa memaknai, rasa apakah itu? Barangkali hati mereka yang bicara, entahlah. Rasa apa itu, juga entahlah.

***

Mereka sampai di rumah sakit yang dimaksud. Berdebar hati Kinan ketika melangkah memasuki lorong-lorong rumah sakit itu, untuk menemukan ruang rawat di mana dokter Guntur dirawat.

Ketika kemudian mereka menemukannya, lalu memasukinya, ada haru yang melekat, melihat Guntur tergolek lemas dengan selang infus di lengannya. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus. Matanya terpejam.

Kinanti mendekat, lalu menyapanya lembut.

“Guntur …”

Mata yang semula terpejam, kemudian terbuka. Sayu, tanpa cahaya. Ia terus menatap Kinanti, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya.

“Guntur … aku datang bersama Ardi,” kata Kinanti lirih, sedikit bergetar.

Wajah itu bukan wajah Guntur yang pernah dikenalnya. Wajah tegar bersemangat, sekarang tak lagi tampak. Benar kata dokter Rifai, Guntur tampak tak bersemangat. Ia masih menatap Kinanti sambil bibirnya bergerak-gerak.

“Kamu tidak mengenali aku?”

“Kinanti … “ akhirnya ucapan itu terlontar, lemah.

“Aku mendengar kamu sakit. Lalu mengajak Ardi kemari.”

Guntur menatap Ardi yang berdiri tegak di samping Kinanti.

“Mengapa datang kemari? Aku tidak pantas … aku penuh dosa pada kamu … pada anak-anakku …” suara bergetar itu kemudian diiringi air mata yang menetes.

“Semua sudah berlalu, lupakanlah. Jalani hidupmu dan semangat. Langkah masih panjang, mengapa kamu habiskan hidupmu dengan rasa sesal?”

“Aku ,,, tak ingin hidup lebih lama, titip anak-anakku … “ suara itu semakin lemah. Tak tahan, Kinanti meraih tissue dan mengusap air matanya.

“Mana Guntur yang dulu penuh semangat?” sambung Ardi.

“Titip … anak-anakku … jangan sampai mereka mengenal ayahnya … yang … penuh dosa …”

“Jangan begitu, Guntur. Semangat, dan sehatlah.” tak urung mata Kinantipun menjadi basah.

“Satu yang kamu harus tahu, Kinanti ...  aku … masih … mencintai … kamu,” lalu air matanya bertambah deras.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

49 comments:

  1. Alhamdulillah JBBL~48 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
    Semoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah jbbl tayang gasik...trmksh mb Tien ...slm aduhai d seroja selalu

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 48 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Sami2 ibu Sri
      Salam hangat dan aduhai 2x

      Delete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  5. 🎊🎉🎊🎉🎊🎉🎊🎉
    Alhamdulillah 🙏💝
    JeBeBeeL_48 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai 🦋😍
    🎊🎉🎊🎉🎊🎉🎊🎉

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Sami2 jeng Susi
      Aduhai deh

      Delete
  6. Alhamdulillah bunda Tien tayangan cerbungnya, slmt m3njalankan saum ramadhan mhn maaf lahir n batin, smg bunda Tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Sami2 ibu Wiwik
      Selamat menjalankan saum juga. Mohon maaf lahir batin

      Delete
  7. Alhamdullilah bundaqu..jbbl 48 sdh tayang..terima ksih dan salam sehat sll unk bunda sekeluarga🙏🌹🥰❤️

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun Bu Tien... Sugeng ndalu

    ReplyDelete
  9. Terimakasih bunda Tien no
    Semoga bunda selalu sehat

    ReplyDelete
  10. Terima kasih bu Tien ... JBBL ke 48 sdh tayang ... Dalam sehat dan semangat buat bu Tien & kelrg tercinta .

    ReplyDelete
  11. Ajaklah anakmu kinanti agar tahu mereka punya Bapak
    Terimakasih Bu Tien.
    Sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Sami2 ibu Kus
      Apa kabar?

      Delete
  12. Tampaknya Guntur akan dimatikan. Terus Kinanti lanjut dengan Suryawan.
    Ardi tetap men-jomblo.
    Wanda...
    Ganti cerita apa lagi ya..

    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),48 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.....
    Wah tenan ki, Guntur gak bakal lama lagi, sdh titip anak²nya pada Ardi dan Kinanti.

    Kinanti InshaaAllah berjodoh dgn Suryawan
    Matur nuwun Bu Tien.

    ReplyDelete
  17. “Satu yang kamu harus tahu, Kinanti ... aku … masih … mencintai … kamu,” lalu air matanya bertambah deras.
    Guntur itu meskipun mau mati tapi serangannya mematikan. Bisa² Kinan tak bisa tidur memikirkan kata² Guntur itu. Kinan merasa kasihan pada Guntur. Ingat Kinan, cinta yang paling kekal itu adalah cinta yang berdasarkan kasihan.
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  18. Mbak Tien sebagai malaikat maut cerbung ini, jangan cabut nyawa Guntur. Menghilangkan Guntur dari cerbung ini, akan menghilangkan ruh cerbung ini...

    ReplyDelete
  19. Waduh kok sudah pesan dan kesan nich Guntur, lha itu ditengok Kinanti dan Ardi; malah kaya serah terima gitu, jangan² nunggu detik² proklamasi, acaranya.
    Gimana lagi; beralasan tergoda dan harus terpaksa nikahi, Bu Raji malah seolah nggak mengakui itu anaknya; mumet ora.
    Mau menjelaskan kalau perceraian ini maunya Wanda, malah Bu Wita jadi 'bibi-tutup-pintu'.
    Merenungi jalan hidupnya amburadul jadi drop.
    Akan kah 'bendera menyerah' berkibar.

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke empat puluh delapan sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah "JBBL 48" sudah tayang
    Matursuwun Bu Tien
    Semoga sehat bahagia selalu

    ReplyDelete
  21. Walaah...masa Kinanti bakalan ngerawat 7 anak?😳
    Sudah...sama Ardi yg jomlo akut aja, cinta sejati si joko ting2.😁

    Terima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏🏻

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung "Jangan Biarkan Bungaku Layu
    "🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete

ADA MAKNA 42

  ADA MAKNA  42 (Tien Kumalasari)   Wahyu saling pandang dengan sang istri. Tia mengambil seikat mawar itu lalu membawanya ke kamar penganti...