Sunday, June 30, 2024

MIMPI

 MIMPI

(Tien Kumalasari)


Kutebas gelapnya malam

Kukayuh kakiku dalam gemerlap kilat

Biar hujan mengguyur

Biar kuyup tubuh dan jiwaku

Kuhempas letihku demi sebuah angan

Jangan berhenti langkah kaki

Dikaki langit diujung gunung

Kutemukan sebongkah mimpiku

Yang telah menjadi nyata

Mimpi tentang bidadari

Selamat pagiii


-----





Saturday, June 29, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 37

KUPETIK SETANGKAI BINTANG  37

(Tien Kumalasari)

 

Rohana berlinangan air mata, ketika mendekat ke arah Satria, dan kemudian menubruknya dengan tangis yang semakin keras.

“Ibu, mengapa Ibu begini? Ada jalan yang dengan mudah Ibu dapatkan, mengapa Ibu mempersulit keadaan? Terutama diri Satria?  Apa dosa Satria sehingga harus menanggung beban yang seharusnya Tomy yang memikulnya?”

“Satria, ada banyak pertimbangan, mengapa ibu harus malakukannya.”

“Banyak pertimbangan apa, Bu. Tomy selalu dimanja oleh Ibu, sehingga dosa Tomy pun Ibu ingin menimpakannya kepada Satria? Apa Satria bukan anak Ibu? Apa karena sejak bayi Ibu tidak pernah merawat Satria, sehingga Ibu tidak punya kasih sayang yang lengkap seperti kasih sayang Ibu kepada Tomy?”

“Bukan. Bukan begitu Satria. Ibu menyayangi kamu seperti ibu menyayangi Tomy, karena dua-duanya adalah darah daging Ibu. Tapi ada akibat yang harus ibu pikul kalau sampai ayah Tomy marah gara-gara kejadian ini.”

“Apakah Ibu juga akan kena marah sementara Tomy yang membuat ulah?”

“Satria, hidup ibu selama ini adalah karena ayah Tomy. Meskipun kami sudah bercerai, tapi dia masih memberi nafkah yang cukup untuk ibu, dan juga untuk Tomy. Tahukah kamu apa akibatnya kalau sampai ayah Tomy menghentikan nafkah itu untuk ibu, karena dianggapnya ibu tidak bisa mendidik Tomy? Ibu harus hidup yang seperti apa, Satria, apa kamu tidak kasihan pada ibumu ini?”

“Jadi Ibu takut hidup miskin sehingga harus mengorbankan Satria demi kehidupan Ibu agar selalu bergelimang harta?”

“Bukan. Jangan salah sangka. Ibu tidak mengorbankan kamu, Nak. Ibu hanya minta tolong. Mengertilah.”

“Apa bedanya itu?”

“Satria, ibu percaya, kamu adalah anak baik. Tolonglah ibu, Nak.”

Satria bergeming, ia melepaskan pelukan ibunya, kemudian melangkah pergi.

“Satria!”

Sampai kemudian mobil Satria menjauh, Rohana tak mendapatkan jawabannya.

Rohana masuk ke rumah dan menutup pintu dengan membantingnya.

Sinah yang ada di belakang tergopoh lari ke arah depan.

“Ada apa, Nyonya?”

Rohana tidak menjawab. Ia menghempaskan pantatnya ke sofa, lalu menyandarkan kepalanya di sandaran.

Sinah tak melanjutkan pertanyaannya. Ia melirik ke arah pintu, barangkali ada kaca pintu yang pecah akibat bantingan itu. Untunglah tidak.

Sinah kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya, tapi ia sedikit mengerti persoalan yang dihadapi majikannya. Ketika Rohana bertelpon, ia mendengar kata hamil, dan karena itu Rohana berteriak. Lalu ia mendengar perbincangan majikannya dengan Tomy. Hanya sedikit, karena ia kebetulan sedang membersihkan ruang makan, lalu pergi ke dapur karena tak ingin mendengar perbincangan yang tampaknya serius. Tapi Sinah bukan orang bodoh. Ia melihat perbuatan Tomy ketika membawa Monik ke kamar, beberapa bulan yang lalu, lalu ada yang berteriak ‘hamil’. Pasti itu adalah rentetan kejadian dari yang pernah dilihatnya sampai sekarang. Gadis itu sekarang menjadi hamil.

Sinah geleng-geleng kepala. Kelakuan tuan muda yang dimanja, benar-benar bejat. Umpatan itu yang selalu Sinah ucapkan walau hanya dalam hati. Tapi kenapa sang nyonya majikan justru menangis di hadapan tuan muda ganteng yang santun dan lembut hati itu? Keterlaluan kalau sampai tuan muda baik itu dijadikan korban.

Tapi Sinah hanya pembantu, apa yang bisa dilakukannya?

***

Semalaman Satria tak bisa tidur. Ia heran pada ibunya, mengapa harus dia yang dijadikan tumbal padahal Tomy yang melakukan dosa zina itu? Ia harus menikahi Monik? Gadis yang tak pernah membuatnya tertarik. Terbayang olehnya wajah gadis sederhana yang lugu, dan mulia hatinya. Ia bukan dari keluarga berada, tapi Satria tak bisa melupakannya. Ia pernah berterus terang bahwa dia mencintainya. Lalu sekarang ia harus membantu ibunya yang takut miskin itu, dengan menanggung beban dosa orang yang seharusnya bertanggung jawab?

Tapi tangis ibunya terus terbayang di benaknya. Lalu ia mencari nomor kontak Tomy. Ia harus bicara dengan Tomy.

Tapi berulang kali dia menelpon, Tomy tak mau mengangkatnya. Di panggilan yang ke sepuluh, Tomy malah mematikan ponselnya.

“Benar-benar keterlaluan. Kalau ini tidak ada hubungannya dengan ibu, aku tak sudi menghubungimu,” gumam Satria sambil membanting ponselnya ke kasur.

Lalu tiba-tiba ia ingin sekali mendengar suara Minar. Malam belum begitu larut, semoga Minar mau menerima telponnya.

Dan tidak harus menunggu lama, panggilan itu segera tersambung. Satria menghela napas lega.

“Assalamu’alaikum,” sambut Minar dari seberang. Satria seperti mendengar sebuah nyanyian indah dari langit sana.

“Wa’alaikumussalam, Minar. Kamu belum tidur?”

“Belum Mas, ada apa ini, tumben menelpon malam-malam.”

“Apa aku mengganggu?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Ada sesuatu yang penting?”

“Sangat penting,” jawab Satria mantap.

“Apa itu Mas.” Minar berdebar mendengarnya.

“Hanya ingin mendengar suaramu saja,” jawab Satria enteng.

Minar tertawa pelan. Tapi sesungguhnya dia sangat bahagia. Walau hatinya berkata tak mungkin, tapi mendengar suara Satriapun ia juga amat senang.

“Kok tertawa sih.”

“Memangnya suaraku kenapa sih Mas. Bagaimana bisa Mas katakan penting?"

“Suaramu seperti buluh perindu.”

Minar tertawa semakin keras.

“Mas Satria bisa saja.”

“Benar kok.”

“Bagaimana pekerjaan Mas?”

“Baik, atas doa kamu. Kamu sudah jadi bekerja di toko bunga itu?”

“Sudah seminggu lebih.”

“Senang melakukannya?”

“Senang Mas, kecuali setiap hari melihat bunga-bunga indah, aku juga selalu mencium wangi bunga. Itu sangat menenangkan.”

“Benarkah?”

“Benar.”

“Besok aku mau terbang kemari, untuk melihat kamu bekerja. Oh ya, kamu libur di hari Sabtu?”

“Tidak. Hari Minggupun saya belum tentu libur. Toko tetap buka, hanya saja yang berjaga di hari libur itu bergantian. Karena hari Minggu biasanya malah ramai pembeli.”

“Baiklah, tunggu aku ya.”

“Benar, mas mau datang kemari?”

“Kapan aku pernah bohong? Kalau aku bilang mau datang, ya aku pasti datang. Apa kamu senang?”

“Apa tidak mengganggu pekerjaan Mas?”

“Hari Sabtu aku libur, jadi aku bisa main kemari.”

“Baiklah. Aku ada di toko mulai jam sembilan pagi.”

Ketika menutup perbincangan santai di malam itu, hati Satria merasa sedikit tenang. Ia melupakan permasalahan ibunya, dan mulai membayangkan pertemuannya dengan Minar pada keesokan harinya. Ia juga heran kepada dirinya, mengapa tiba-tiba ia ingin menemui si buah hati? Tapi dia sudah mengatakannya, dan dia akan menepatinya.

***

Pagi-pagi sekali Rohana sudah bangun. Dia memasuki kamar Tomy, tapi kosong. Ia keluar, dan berpapasan dengan Sinah yang membawa segelas coklat susu panas.

“Saya letakkan di ruang makan, atau di ruang tengah, Nyonya?” Sinah bertanya karena majikannya tidak berjalan ke arah ruang makan, di mana biasanya ia menikmati minuman hangatnya setiap pagi.

“Di ruang tengah saja,” jawab Rohana yang kemudian menuju ke ruang tengah, diikuti Sinah.

“Tomy tidak pulang semalaman?”

“Kelihatannya tidak, Nyonya. Ketika saya membersihkan garasi, hanya ada mobil nyonya saja di sana.”

Rohana menghela napas kesal. Ia menghirup coklat susunya, kemudian menelpon Tomy.

“Hallo. Ibu, aku belum bangun.”

“Kamu di mana?”

“Di rumah bapak.”

“Di rumah ayahmu? Kenapa kamu tidak bilang sama ibu?”

“Biasanya kalau aku ke rumah bapak kan juga tidak usah bilang pada Ibu?”

“Tapi ini sedang ada permasalahan yang menyangkut perbuatanmu. Kamu mau kabur? Atau kamu sudah berterus terang pada ayahmu?”

“Tidak. Masa aku harus bilang  pada bapak? Bagaimana kalau bapak membunuhku?”

“Kamu bicara sembarangan. Kamu kira ini permasalahan sepele? Ibu sangat tertekan. Bagaimana kalau nanti Monik menelpon lagi?”

“Bu, banyak cara untuk terlepas dari masalah. Beri Monik uang, agar dia menggugurkan kandungannya. Selesai kan?”

“Mengapa kamu bicara segampang itu?”

“Jaman sekarang, menggugurkan kandungan itu tidak susah, asalkan ada uangnya.”

“Darimana kamu tahu? Kamu pernah melakukannya?”

Tomy terbahak, membuat Rohana semakin kesal.

“Tomy, pulanglah dulu, dan mari kita bicara.”

“Ibu jangan memaksa Tomy. Tomy tidak akan pulang. Apa ibu akan melaporkan Tomy pada polisi?” tantang Tomy tanpa merasa takut.

“Tomy!”

“Bu, kalau ibu memaksa Tomy, Tomy akan bilang pada bapak bahwa ibu masih berhubungan dengan Murtono.”

“Apa?” Rohana sangat terkejut.

“Tomy tahu, ibu telah mengambil uang yang lumayan besar, yang ibu berikan kepada Murtono bukan?”

“Kamu ngawur.”

“Tomy melihatnya waktu ibu di bank dan mentransfer sejumlah uang. Waktu itu Tomy ada di belakang Ibu. Tomy tahu karena Murtono pernah bilang bahwa dia memerlukan pertolongan Ibu. Ya kan?”

Rohana sangat terkejut. Jadi ketika Murtono menelpon, yang menerima adalah Tomy, sementara belum-belum Murtono sudah mengatakan bahwa ia butuh pertolongannya. Dan Tomy kemudian memblokir nomornya.

Rohana tak menjawab lagi, lalu segera menutup ponselnya.

***

Wini terkejut ketika tiba-tiba Satria muncul di rumahnya pagi hari itu.

“Mas Satria? Kok tiba-tiba ada di sini?”

“Aku kangen kota ini.”

“Kangen kota ini, atau kangen yang lain?”

Satria tertawa. Tapi Wini mencium sesuatu yang sedang dipikirkan Satria. Ada yang membuatnya sedih? Apa Minar terang-terangan menolaknya?

“Ada apa sebenarnya?” tanya Wini karena Satria kemudian hanya terdiam.

“Aku tak tahu harus berkeluh pada siapa. Ini kejadian yang membuatku bingung.”

“Ada apa? Masalah apa? Mas sudah ketemu Minar?”

“Belum, aku dari bandara langsung kemari. Malah belum kerumah.”

“Masalah serius?”

“Aku heran saja. Monik hamil.”

“Apa? Monik hamil? Mengapa mas Satria ikutan bingung? Bukan Mas Satria kan, pelakunya?”

“Astaga naga, mana aku bisa melakukan hal buruk itu?”

“Lalu mengapa? Siapa menghamilinya? Atau Mas difitnah?”

“Bukan. Ibuku minta tolong, karena … gampangnya saja Tomy tidak mau bertanggung jawab.”

“Tomy itu adik mas Satria?”

“Adik, lain ayah.”

“Kok enak, dia pelakunya, tapi Mas yang harus bertanggung jawab? Begitu?”

“Ibuku yang meminta.”

“Mas mau melakukannya?”

“Tentu saja tidak.”

“Lalu ….”

“Ibuku sampai nangis-nangis meminta agar aku mau menolongnya.”

“Aneh.” jawab Wini dengan wajah muram.

“Ini kejadian yang benar-benar aneh, tak masuk akal,” lanjut Wini.

“Aku masih belum menjawab permintaan ibuku.”

“Kok enak, Tomy yang melakukan, mas Satria yang harus memikul dosanya?”

“Ada beberapa pertimbangan mengapa ibuku melakukannya.”

“Lalu bagaimana?”

“Ya sudah, aku hanya ingin berkeluh di sini, jangan katakan apapun pada Minar.”

Sampai Satria meninggalkan rumahnya, Wini masih terpaku di tempat duduknya. Dalam hati dia berharap, Satria jangan sampai menerima perintah tak masuk akal itu dari ibunya.

***

Rohana merasa kesal. Ia tak bisa menelpon Satria, karena Satria memang mematikan ponselnya. Karena penasaran, Rohana pergi ke rumah Satria. Tapi rumah Satria terkunci rapat. Rohana mencoba lagi menelponnya, tapi tak bisa.

“Ke mana dia? Ini hari libur kan?” keluhnya sambil duduk di teras.

Ia menelpon Murtono. Tapi Murtono merasa bahwa Satria tidak datang ke rumah.

“Di rumahnya tidak ada, aku yakin dia datang kemari. Pasti menemui gadis kampungan itu,” kata Rohana dengan marah.

“Dia tidak datang ke rumah, atau belum, entahlah.”

“Mas tahu di mana rumah gadis itu?”

“Aku tidak tahu. Aku tak pernah menanyakannya.”

“Aneh Mas itu. Masa anaknya sendiri berhubungan dengan siapa, sama sekali tidak tahu,” omel Rohana.

“Aku tidak pernah ikut campur urusan anak muda. Aku punya urusan sendiri.”

“Kebangetan sih Mas. Anaknya bergaul dengan orang yang salah, tapi Mas tampak tak peduli. Bagaimana kalau tahu-tahu Satria minta dinikahkan, sementara gadis itu sama sekali bukan gadis yang pantas untuk anak kita?”

“Satria bukan laki-laki bodoh. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.”

“Dari mana Mas tahu kalau Satria bukan laki-laki bodoh? Buktinya dia memilih gadis yang sama sekali tidak menarik dan tidak akan bisa menjadi pasangan yang serasi.”

“Aku membesarkannya, dan tahu bagaimana sifatnya, kelakuannya. Dia anak yang baik. Dia tak pernah menyusahkan orang tua. Jadi biarlah dia memilih apa yang akan dijalaninya dalam hidup.”

“Baiklah, terserah Mas saja. Tapi kali ini, gantian aku minta tolong sama Mas.”

“Apa? Jangan bilang kamu mau meminta kembali uang kamu. Aku belum bisa mengumpulkan uang yang cukup.”

“Bukan. Aku sedang ada masalah. Tomy menghamili anak orang, tapi Tomy ingkar, pergi dan tidak pulang ke rumah sejak beberapa hari yang lalu.”

“Lalu apa? Kamu minta aku menikahi dia?”

“Apa maksudmu? Dia gadis muda cantik, yang Mas juga pernah melihatnya. Dia Monik. Kesenangan Mas kalau aku suruh menikahi dia. Lagi pula mana dia mau, duda jelek seperti Mas.”

“Lalu apa?”

“Bujuk Satria agar mau menikahi gadis itu, sebagai imbalan atas pertolonganku dulu itu.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

WANGI CINTA

 WANGI CINTA

(Tien Kumalasari)


Manisnya madu

Seperti manisnya janji yang terucap

Seperti kidung-kidung manis dari awang sana

Lalu bersama angin lalu

Semuanya bagai mimpi tentang indahnya janji

Tapi semua mimpi telah pergi

Kucium wangi cinta dari taman hati

Kucium aroma bunga 

Kucium karunia

Selamat pagiiii


------




Friday, June 28, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 36

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  36

(Tien Kumalasari)

 

Rohana terpana, beberapa saat lamanya dia tak mampu berkata-kata. Ia menatap Tomy tak berkedip.

“Ada apa?” tanya Tomy.

“Hallo Bu, apakah Ibu masih di sana?”

“Ap … apa? Kamu mengatakan apa?”

“Ibu, saya hamil.”

“Kamu hamil?”

“Iya Bu, saya harus meminta pertanggung jawaban di sini. Papa dan mama saya sangat marah. Kalau tidak ada jalan keluar, saya akan dibunuhnya,” kata Monik yang sekarang disertai isak.

“Baiklah, tenang dulu Monik, aku akan memikirkannya. Nanti aku kabari bagaimana hasilnya.”

Rohana langsung menutup ponselnya. Ia menatap tajam Tomy.

“Siapa yang hamil? Mengapa ibu menatap Tomy seperti itu?”

“Ini adalah ulahmu, Tomy. Kamu harus bertanggung jawab.”

“Tomy? Harus bertanggung jawab? Mana bisa Bu, dia juga mau kok. Tomy bukan memperkosa dia. Dia melakukannya dengan suka rela.”

“Bohong. Dia mengira kamu adalah Satria.”

“Tidak mungkin. Sesaat dia memang terkejut, tapi tidak menolak kok. Tidak mungkin dia mengira Tomy adalah Satria. Dia menerimanya dan suka.”

“Tomy! Bagaimanapun ini perbuatan kamu. Ibu memang tidak ingin kamu yang memperistrinya, karena ibu berharap dia menjadi istri Satria. Tapi ketika dia hamil, apa boleh buat.”

“Apa boleh buat apanya? Tomy tidak mau menikah dengan dia. Dia bukan gadis baik-baik. Tomy tahu itu.”

“Tapi kenyataannya dia hamil karena kamu.”

“Pokoknya Tomy tidak mau. Nanti bapak bisa membunuh Tomy kalau tiba-tiba Tomy punya istri. Dan kalau bapak sampai tahu, dia juga akan marah pada Ibu."

“Monik juga berkata begitu tadi. Kalau tidak ada yang bertanggung jawab, maka Monik akan dibunuhnya. Tapi kamu yang melakukannya, Tomy.”

Tomy berdiri, lalu keluar dan menuju garasi. Ia mengeluarkan mobilnya, lalu pergi begitu saja.

“Tomy!!”

Teriakan sang ibu tidak digubrisnya. Rohana merasa putus asa. Ia sebenarnya tahu, kalau sampai ayah Tomy mengetahuinya, pasti dia akan marah besar. Imbasnya adalah, bukan hanya Tomy yang akan kena marah, tapi juga kepada dirinya. Dan kalau dia marah, bagaimana kalau ia tak mau lagi memberinya uang? Baik untuk keperluan Tomy maupun untuk dirinya sendiri?

Rohana menelpon Satria, sambil menangis.

“Ada apa Bu, kan Satria sudah bilang, di waktu jam kerja, janganlah Ibu menelpon Satria. Satria itu orang baru di perusahaan ini, Satria harus berhati-hati.”

“Iya, tapi ini sangat mendesak. Tolong nanti kerumah ya.”

“Baiklah, dari kantor nanti Satria akan mampir ke rumah Ibu.”

Rohana merasa sedikit lega. Ia harus bicara pada Satria. Ia tak mampu memikirkannya seorang diri.

***

Sudah seminggu lamanya Minar bekerja di toko bunga milik Kirani. Toko bunga bernama SEKAR itu memang belum lama dibuka, tapi sudah memiliki banyak pelanggan, karena toko itu memiliki pelayan-pelayan yang ramah, yang dididik sendiri oleh Kirani, bagaimana cara menghadapi pelanggan, agar mereka suka dan ingin kembali ke sana pada saat membutuhkannya. Minar sangat senang karena dengan bekerja dia bisa bergaul dengan banyak orang.

Pada suatu hari, seorang wanita datang ke rumah bunga itu, dan membeli aneka bunga, yang katanya untuk hiasan rumahnya.

Minar menatap pelanggan itu dan terkejut, karena dia adalah Birah, ibunya. Birah terlihat sangat rewel dan sering kali tidak cocok ketika teman-teman kerja Minar memilihkan bunganya.

“Aku mau yang indah, bukan sekedar indah, tapi juga wangi,” katanya sambil menyingkirkan beberapa bunga yang sudah dipilihkan pelayan.

Minar meninggalkan ruangan kasir, lalu mendekati ibunya, membuat Birah sangat terkejut.

“Kamu ngapain di sini, Minar?”

“Saya bekerja di sini, Bu.”

“Kamu bekerja di sini? Baguslah, bisa membantu ayah kamu yang hanyalah seorang kuli bangunan,” kata Birah yang membuat Minar terkejut, karena semua teman-teman yang berdiri diantara mereka kemudian menatapnya. Pasti mereka juga berpikir aneh, benarkah Minar anak seorang kuli bangunan? Tapi dengan senyuman manis, Minar tidak membantahnya.

“Memangnya kenapa kalau ayahku adalah kuli bangunan? Apakah itu pekerjaan hina, Bu?”

“Hina atau tidak, ibu tidak bisa mengatakannya. Yang jelas dengan penghasilan minim, dia butuh tambahan bukan? Syukurlah kamu bisa menambah uang belanja.”

“Bu, tidak bagus membicarakan hal yang tak penting itu di sini. Ibu mau membeli bunga kan? Bunga apa yang ibu inginkan, dan untuk acara apa?”

“Bunga yang akan aku pasang di ruang tamuku, sebagai rasa lega dan gembira karena masa idah telah selesai. Jadi kalau calon suami ibu datang, hatinya akan senang kalau disambut dengan bunga cantik dan wangi. Karena itu aku minta dipilihkan bunga yang tidak hanya cantik, tapi wangi.”

Minar merasa, ibunya sangat berlebihan. Tapi dia tak berani membantah perkataan ibunya. Kalau hal itu dilakukannya, pembicaraan tak penting itu akan menjadi bertambah panjang.

Minar meraih setangkai bunga sedap malam, diulurkannya kepada ibunya.

“Ini cantik, dan wangi, bukan?”

“Baiklah, ibu suka.  Yang lainnya?”

“Bu, tidak semua bunga itu wangi. Tapi yang jelas dia pasti cantik. Pilihlah mawar-mawar, dan juga bunga sedap malam ini. Kalau ini jelas wangi, jadi ruangannya indah dan wangi,” kata Minar membujuk ibunya karena teman-temannya kelihatan agak kesal.

“Baiklah, aku ngikut kamu saja. Baik, berapa harganya?”

“Akan saya buatkan notanya Bu,” kata Minar.

“Dikorting kan? Sama ibunya masa nggak dikorting?”

“Ini sudah murah Bu, bukan Minar yang menentukan harga, aturannya ada,” kata Minar yang kemudian membuatkan nota pembelian.

Birah membacanya, dan membayar lebih. Malu kalau dikira nggak punya uang.

“Ini, kembaliannya untuk kamu,” kata Birah yang meninggalkan selembar uang ratusan, kemudian mengambil bunga yang dipesannya, dan berlalu.

Minar terpaku di tempatnya. Bukan malu karena dikatakan anak buruh bangunan, tapi malu pada sikap ibunya yang justru tidak tahu malu. Masa menceritakan masa idah segala di tempat umum? Pasti semuanya akan bertanya-tanya.

Tapi Minar tak perlu mengatakan apapun tentang keadaan keluarganya. Kemudian ia memasukkan uang ratusan ke laci, dan mengambil kembaliannya yang hanya tiga ribu rupiah. Ada senyuman tersungging di bibir Minar, mendapat pemberian uang tiga ribu rupiah dari ibunya.

***

Birah sedang menata bunga di sebuah vas yang dibelinya setelah membeli bunga. Ia menatanya, dan memang benar apa kata Minar, bunga indah, harum baunya memenuhi ruangan. Ia bersiap menelpon Murtono agar datang untuk merayakan  masa idah yang berakhir hari itu.

Tapi ketika ia meraih ponselnya, ada orang mengetuk pintunya.

Bergegas Birah melangkah ke depan. Rupanya bu Surya, pemilik rumah.

“Oo, bu Surya, silakan duduk, Bu,” kata Birah sambil tersenyum.

Bu Surya duduk, hidungnya kembang kempis karena mencium aroma wangi.

“Wangi sekali,” katanya.

“Iya, bu Surya, saya baru membeli bunga, untuk menyambut kedatangan calon suami saya, di hari yang istimewa ini.”

“Oh, rupanya ini hari istimewa? Bu Birah ulang tahun?”

“Bukan, bukan ulang tahun. Ini hari istimewa karena masa idah saya sudah habis.”

Bu Surya menatap Birah dengan perasaan heran.

“Masa idah?”

“Iya, bu Surya, saya kan baru bercerai dengan suami, dan menghabiskan masa idah di rumah ini, sambil menunggu kekasih saya menikahi saya.”

Bu Surya tersenyum dalam hati. Penyewa rumah bernama Birah ini bersikap seperti wanita muda saja, dan agak tak tahu malu. Menunggu kekasih datang di akhir masa idah? Dan Birah sungguh orang yang suka blak-blakan menceritakan kehidupannya, yang bagi orang lain pastilah merasa sungkan mengatakannya.

Tapi bu Surya mendiamkannya saja.

“Begini Bu, kedatangan saya kemari hanya untuk menanyakan, bulan depan kan bulan terakhir bagi ibu untuk menyewa rumah ini. Apakah mau dilanjutkan, atau berhenti di bulan depan itu saja, soalnya ada orang lain yang menanyakannya.”

“O, itu. Sebentar Bu, saya harus menunggu apa kata calon saya. Kalau pernikahan kami sudah beres, pastinya saya akan segera pindah ke rumahnya, tapi kalau belum, entah nanti ya Bu, secepat mungkin akan saya kabari.”

“Baiklah Bu, akan saya tunggu sampai besok pagi, saya mohon Ibu sudah memberikan kejelasan mengenai sewa menyewa ini.”

“Iya, tentu.”

Ketika bu Suryo pergi, Birah segera menelpon Murtono, tapi berkali-kali ia memutar nomornya, Murtono tidak pernah mengangkatnya.

***

Akhirnya Murtono datang juga untuk menemui Birah, membuat Birah merasa sangat bersuka cita. Dipeluknya Murtono erat sekali, tapi dengan halus Murtono melepaskannya.

“Kamu ada apa sih, menelpon tak henti-hentinya? Sudah aku katakan berkali-kali bahwa aku sedang sibuk membenahi perusahaan, tapi kamu terus saja mengganggu,” omelnya sambil duduk dengan wajah masam.

“Mas, sudah lama kita tidak bertemu, bukannya bersikap manis, malah mengomel, sementara aku sudah mengadakan penyambutan luar biasa atas kedatangan Mas.”

“Memangnya ada apa? Kamu meletakkan bunga segala di tempat ini?”

“Aku hanya ingin memberi tahu bahwa ini adalah hari istimewa.”

“Hari istimewa apa? Apa kamu ulang tahun?”

“Bukan Mas, ini adalah hari terakhir masa idahku, jadi harus dirayakan, bukan?”

“Apa maksudmu, masa idah harus dirayakan?”

“Mas, bukankah aku harus bergembira karena aku benar-benar sudah bisa melakukan pernikahan dengan Mas? Aku sudah benar-benar bebas.”

“Ahh, kamu,” bukannya menyambutnya senang, wajah Murtono justru menjadi gelap.

“Jangan dulu memikirkan pernikahan,” lanjutnya.

“Apa? Mengapa Mas berkata begitu?”

“Sudah aku bilang, bahwa aku sedang sibuk memikirkan banyak hal, terutama usahaku yang harus aku benahi.”

“Dari kemarin-kemarin, hanya membenahi usaha, tak henti-hentinya. Lalu sampai kapan aku harus menunggu?”

“Kamu harus bersabar. Dan jangan mengganggu dengan kata-kata pernikahan lagi.”

“Mas, mengapa Mas seakan sedang berusaha mengingkari janji?” kata Birah dengan wajah gelisah, karena ia tiba-tiba merasa bahwa Murtono benar-benar ingin menjauhinya.

“Kalau aku sedang sibuk, maka aku tak ingin diganggu. Berhentilah menggangguku,” katanya sambil berdiri.

“Mas, aku memasak sesuatu yang menjadi kesukaanmu. Ada udang asam manis … ada ayam goreng kremes yang lezat, ada sayur yang_”

“Tidak. Makanlah sendiri oleh kamu, aku sudah makan, dan sekarang ini aku sedang ditunggu oleh seseorang.”

Wajah Birah benar-benar menjadi pias oleh kecemasan yang tiba-tiba menghentak. Ini sebuah isyarat yang buruk. Murtono yang suka makan enak, yang dulu sering mengajaknya makan di restoran, sama sekali tidak tertarik pada iming-iming masakan yang dibuatnya dengan susah payah.

“Mas,” suara Birah bergetar menahan tangis.

“Birah, kamu bukan anak kecil lagi yang suka merengek kan?” Murtono hanya menoleh dan menatap sesaat pada Birah yang wajahnya pucat dan basah oleh air mata.

“Tadi bu Suryo datang kemari, menanyakan tentang sewa rumah ini. Bulan depan sudah habis masa sewanya,” dengan menahan tangis Birah masih bisa berkata-kata, karena ia ingat, bu Suryo menunggu keterangannya sampai besok pagi.

“Katakan saja bahwa akan aku perpanjang tiga bulan mendatang. Uangnya akan aku transfer seperti yang sudah. Oh ya, ini, tambahan uang untuk makan kamu,” Murtono kembali dan mengulurkan lima lembar uang ratusan ribu. Kemudian berlalu.

Birah menggenggam uang itu, kemudian terguguk di kursi, di mana di depannya tertata cantik bunga yang disiapkannya sejak pagi.

Birah meletakkan uangnya, meraih vas bunga di depannya, lalu melangkah ke depan, dan membuang vas berikut bunganya, dengan tangis yang tak henti-hentinya.

“Bagaimana kalau dia ingkar? Mengapa sikapnya menjadi seperti itu? Karena kesibukan yang tak pernah ada akhirnya? Lalu bagaimana nasibku?”

***

Satria menemui ibunya di sore hari, sepulang dari pekerjaannya. Dilihatnya wajah sang ibu yang murung, sambil duduk di depan televisi menyala, tapi tak sedikitpun ditatapnya acara di televisi itu.

“Bu, ada apa?”

“Satria, tolonglah ibu.”

“Ada apa? Apa yang harus Satria lakukan?”

“Monik hamil.”

“Apa? Mengapa ibu mengatakannya pada Satria?”

“Tolong menikahlah dengannya.”

“Apa?” Satria sampai berteriak saking terkejutnya.

“Tolong.”

“Apa ibu tidak bisa bertanya, siapa yang menghamilinya? Mengapa harus Satria yang menikahinya?” tanya Satria dengan mata menyala karena marahnya.

“Aku kan sudah bilang, minta tolong.”

“Menikah bukan hal main-main. Ada gadis hamil, lalu Satria harus menjadi korban dengan harus menikahinya?”

“Ini ulah adikmu.”

“Kalau begitu tinggal nikahkan saja dengan Tomy. Mengapa ibu bingung?”

Satria berdiri karena tak ingin melanjutkan perbincangan yang menurutnya tak masuk akal itu.

“Satria, tolonglah…” kata Rohana sambil terisak.

***

Besok lagi ya.

 

RINDU

 

RINDU

(Tien Kumalasari?


Apa kamu tahu?

Ketika angin berdesir mengayunkan dedaunan

Ketika hangat mentari pagi mengelus ladang

Ketika burung ramai berdendang

Ketika kaki tak pernah berhenti melangkah

Selalu ada degup manis didada ini

Aku namakan dia rindu

Selamat pagiiiii


-----




Thursday, June 27, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 35

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  35

(Tien Kumalasari)

 

Minar merasa senang melihat ibunya datang, setelah berbulan-bulan pergi tak tahu kemana dia berada. Bagaimanapun Birah adalah ibu kandungnya. Minar tak mungkin membencinya.

“Ibu, sambutnya sambil tersenyum.”

“Sedang apa kamu?”

“Sedang mau beres-beres. Ibu dari mana?”

Birah segera masuk dan duduk di kursi teras. Menatap keadaan sekeliling, masih seperti dulu. Ia melongok ke arah dalam dari sekat kaca yang memisahkan teras dengan ruang tamu. Masih seperti dulu, hanya lebih bersih dan rapi. Minar meletakkan vas bunga plastik di meja,  Dulu bunga itu tak ada. Rupanya Minar ingin mempercantik ruangan sederhana itu dengan meletakkan bunga di sana.

“Kamu sendirian”

“Iya Bu, dengan siapa lagi? Kalau Ibu tidak pergi, pastinya Minar bersama Ibu,” kata Minar menyindir kepergian sang ibu.

Birah tersenyum. Entah apa arti senyum itu. Tapi binar kebahagiaan yang dulu terlihat, tampak suram.

“Aku memang harus pergi. Lelah menjadi miskin.”

Minar kehilangan senyumnya. Ibunya masih lebih menyukai harta daripada keluarganya.

“Aku datang kemari untuk memberi tahu kamu dan juga ayahmu, bahwa sebentar lagi aku akan menikah.”

Minar menatap ibunya. Rasa tega yang dilakukan ibunya, mengurangi rindu yang sudah lama dipendamnya. Minar lebih menghargai ayahnya yang selalu memperhatikan keluarga.

“Aku harus menjalaninya. Barangkali memang aku ditakdirkan untuk hidup lebih layak. Tapi aku tak akan melupakan kamu. Sesekali aku akan memberimu uang, agar kamu bisa bersenang-senang.”

“Ibu tidak perlu memberikan apa-apa untuk Minar. Minar sudah merasa cukup,” katanya dengan wajah murung.

“Tidak mau menerima pemberian ibumu? Saat ini memang belum ada yang bisa ibu berikan kepadamu, karena ibu belum resmi menjadi istrinya. Tapi nanti kalau aku sudah menjadi nyonya kaya, mana mungkin aku melupakan kamu. Kamu adalah anakku satu-satunya. Biarpun aku tega meninggalkan kamu, tapi aku akan tetap mengingatmu.”

“Minar sudah merasa cukup. Bapak bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan Minar, jadi ibu tidak usah memikirkannya.”

“Penghasilan seorang buruh bangunan itu seberapa sih? Mana bisa cukup untuk bersenang-senang,” Birah mencibir.

“Senang itu kan letaknya bukan pada harta yang berlimpah.”

“Oh ya? Menurutmu apa?”

“Kalau kita bersyukur atas apa yang bisa kita terima, maka kita akan senang, tenang, nyaman dan bahagia, tentu saja.”

“Dasar bodoh. Kamu mengatakan itu karena kamu selamanya hidup bersama ayahmu yang miskin itu. Kalau kamu mengerti betapa nikmatnya hidup bergelimang harta, maka kamu akan tahu bahwa pemikiran kamu itu salah.”

“Tidak Bu, Minar memang merasa cukup dan bahagia dengan kehidupan yang Minar jalani bersama bapak.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Kamu sudah mengatakan bahwa kamu bahagia dengan kehidupan kamu dengan ayahmu yang miskin itu, jadi jangan salahkan ibu kalau ibu tidak akan memberikan apa-apa biarpun ibu punya harta berlimpah.”

“Minar buat minum dulu ya, ibu pasti haus,” kata Minar berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Tidak usah, nanti kamu kehabisan gula, kasihan ayahmu kalau harus membeli gula lebih gara-gara menjamu tamu,” kata Birah sambil berdiri.

“Ibu?” Minar menahan air matanya.

“Aku datang hanya untuk memberi tahu kamu bahwa aku akan segera menikah. Paling lama satu bulan lagi,” kata Birah sambil berlalu.

Minar tak menjawab, karena air mata yang tadinya mengambang, kemudian tumpah membasahi pipinya.

“Semoga ibu tidak menyesal dengan keputusannya,” katanya terisak, kemudian masuk ke dalam rumah. Rumah yang tak akan lagi didatangi oleh ibunya. Ibu yang membuatnya kecewa, yang menorehkan luka pada saat kerinduan akan seorang ibu lama ditahannya.

***

Murtono masih berada di kantornya, ketika lagi-lagi Birah menelponnya. Dengan menahan kekesalan, Murtono mengangkatnya.

“Ada apa lagi? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku masih sangat sibuk dan belum sempat memikirkan yang lain?” hardiknya.

“Mas, masa idahku hampir habis bulan depan, jadi_”

“Jangan bicara macam-macam dulu. Aku belum bisa memikirkannya.”

“Aku hanya mengingatkan, agar Mas bersiap-siap.”

“Bersiap-siap apa maksudmu? Menyewa gedung untuk resepsi? Memesan katering untuk dua ribu orang? Membeli baju pengantin dan memesan tukang rias?” katanya memotong perkataan Birah yang belum selesai diucapkannya.

“Bukan begitu, aku hanya mengingatkan. Mengapa Mas marah-marah?”

“Aku belum pikun, aku ingat dan mengerti. Tapi jangan tergesa-gesa berharap, aku belum bisa memikirkannya.”

“Tapi yang punya rumah sudah mengingatkan, apakah sewa akan diteruskan atau tidak, dan aku sudah bilang tidak akan meneruskannya, hanya sampai perjanjian sewa telah habis. Bukankah aku akan pindah ke rumah Mas, nantinya?”

“Bilang bahwa aku akan memperpanjang tiga bulan lagi.”

“Apa? Mengapa diperpanjang? Aku sudah tidak betah tinggal di sana. Lagi pula bukankah tidak sampai tiga bulan lagi kita menikah?”

“Kamu hanya memikirkan menikah dan menikah.”

“Mas ….”

“Aku belum bisa memikirkan. Tolong jangan menggangguku.”

Murtono menutup pembicaraan itu, kemudian memijit keningnya yang terasa berdenyut.

Ada dua janji yang sudah diucapkannya. Janji akan menikahi Birah setelah bercerai dengan suaminya, dan janji melepaskan Birah demi menyelamatkan usahanya.

“Sebel banget aku, kalau memikirkan Birah yang terus-terusan merongrong aku.”

Lalu cinta masa muda itu perlahan sirna. Dan ia hanya akan bisa menepati sebuah janji. Meninggalkan Birah. Agak sulit, karena ada yang membebaninya. Ia telah meminta Birah agar bercerai dengan suaminya. Kemudian dia akan mengingkari janjinya dengan meninggalkannya? Murtono belum menyiapkan jawaban kalau nanti waktunya tiba, dan Birah pasti akan menagih janjinya.

Dan saat ia sedang memijit-mijit kening itulah tiba-tiba Rohana menelponnya. Murtono hanya meliriknya, tapi enggan mengangkatnya.

“Perempuan-perempuan yang membuat ribet,” gerutunya sambil melanjutkan pekerjaannya, menghitung-hitung dan meneliti, di mana dan bagaimana supaya perusahaannya tidak merugi seperti sebelumnya.

***

Di kantor, ketika sedang istirahat, Kirani mengatakan kepada Sutar tentang keinginanya meminta Minar agar mau bekerja untuknya di toko bunga yang baru saja dibukanya.

“Apa Minar sudah mengatakan bahwa dia bersedia?” tanya Sutar.

“Belum, dia akan bicara lagi dengan ayahnya. Bagaimana menurut Mas?”

“Saya tidak bisa melarang suatu hal baik yang akan dilakukan Minar. Kalau memang dia bersedia, mengapa tidak? Pasti dia senang kalau bisa mendapat penghasilan sendiri.”

“Pasti dia memikirkan ayahnya. Kalau dia bekerja, perhatian kepada ayahnya pasti berkurang. Tapi aku yakin Minar bisa melakukannya. Melayani ayahnya kan hanya di waktu pagi sebelum ayahnya berangkat bekerja, dan sore ketika ayahnya pulang dari bekerja. Apa Mas keberatan?”

“Tidak. Saya bukan anak kecil, bu KIran, jadi tidak perlu dilayani di setiap saat atau tidak bisa ditinggalkan. Sebagian besar keperluan kan saya bisa melakukannya sendiri.”

“Bagus kalau begitu. Berarti besok pagi Minar sudah bisa memberi jawaban. Aku senang kalau Minar mau melakukannya, dan dengan demikian dia bisa melanjutkan kuliah dengan biaya yang diperolehnya sendiri. Bukankah itu yang diinginkannya? Dia anak baik, tidak mau menerima setiap pemberian, kecuali hanya makanan dan sesuatu yang tidak begitu besar.”

“Itu pula sebabnya, mengapa dulu itu temannya memberinya ponsel dengan cara rekayasa," kata Kirani sambil tersenyum.

“Iya, sebenarnya lucu, tapi rupanya temannya tidak kehabisan akal untuk bisa memberikannya.”

“Beberapa hari lamanya dia murung. Ingin mengembalikannya, tapi si pemberi sampai berlutut meminta maaf dan meminta agar Minar mau menerimanya.”

“Bukan main Minar,” kata Kirani sambil tersenyum.

“Saya bersyukur Minar punya pemikiran seperti itu. Menerima pemberian itu kan sebenarnya beban. Seperti ketika bu Kiran memberi saya pekerjaan. Ini juga beban bagi saya.”

“Mengapa begitu Mas?”

“Karena dengan begitu kan saya merasa punya hutang. Hutang benda atau harta itu bisa terbayarkan, tapi butang budi itu sangat berat.”

Kirani tertawa, menampakkan giginya yang putih. Diam-diam Sutar mengagumi Kirani, yang walau umurnya tidak terpaut banyak dengan dirinya, tapi masih tetap cantik menarik. Kalau berdekatan dengan Minar, mereka tampak seperti kakak adik saja. Sutar harus mengalihkan pandangannya karena terlalu lama memandang, ia merasa ada sesuatu debar aneh yang membuatnya malu. Bukankah dirinya tidak muda lagi? Alangkah memalukan kalau sampai dia jatuh cinta lagi.

“Mengapa Mas menatap aku seperti itu?”

“Apa? Tidak apa-apa. Saya hanya kagum, bu Kiran adalah wanita yang sangat baik. Bukan hanya kepada saya dan anak saya, tapi kepada setiap orang. Itu sebabnya bu Kiran sangat disegani dan dihormati oleh semua orang. Khususnya anak buah bu Kiran sendiri.”

Kirani kembali tertawa, dan Sutar sekarang menundukkan kepalanya, pura-pura mencari sesuatu di dalam laci mejanya.

“Mas Sutar berlebihan. Aku kira semua orang akan melakukan hal yang sama.”

“Tidak semua orang. Ada orang yang tidak peduli pada orang lain, dan yang hanya memikirkan dirinya sendiri.”

“Aku hanya kebetulan saja mendapat karunia rejeki yang bisa aku pergunakan untuk berbagi. Masa karunia sebegitu besarnya akan aku makan sendiri? Kan lebih baik bisa berbagi, jadi sama-sama bisa merasakan betapa besarnya dan agungnya Allah Yang Maha Pengasih.”

“Benar. Kalau saya bisa, saya juga ingin bisa melakukannya.”

“Mas Sutar pasti bisa, karena pada dasarnya Mas Sutar kan orang baik.”

“Aamiin.”

“Ya sudah, sekarang saatnya makan. Mas Sutar pasti lebih senang makan bekal yang dibawakan Minar kan?”

“Iya, agar Minar tidak kecewa, jerih payahnya disia-siakan ayahnya. Silakan Ibu makan dulu.”

“Iya, setelah ini kita akan melihat lahan yang kemarin ditawarkan. Mengapa harganya begitu murah? Jangan-jangan lokasinya yang tidak berada di tempat strategis.”

“Benar, ada baiknya kita lihat dulu saja.”

“Saya pulang dulu ya Mas.”

Ada kegembiraan di hati Sutar. Kehidupannya yang semakin membaik, apalagi setelah nanti Minar mulai bekerja. Berapapun penghasilannya, pasti akan menjadikan kehidupannya lebih tertata, jauh dari sebelumnya. Hal itu membuatnya tak pernah berhenti bersyukur. Lalu diam-diam dia menyesali kepergian Birah, yang dinilainya tidak sabar dalam menghadapi cobaan dalam hidup.

“Tapi Birah sudah menemukan kehidupan seperti yang diimpikannya. Ya sudah, aku tidak boleh menyesalinya,” gumamnya pelan, kemudian mengambil bekal makan siang yang dibawakan Minar.

***

Tomy baru keluar dari kamarnya, walaupun matahari sudah naik tinggi. Ia mendekati ibunya yang sedang duduk di depan televisi.

“Bu,” katanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu ibunya. Begitulah kalau Tomy sedang ingin sesuatu.

“Ada apa? Jangan mengganggu ibu. Ibu sedang bingung.”

“Mengapa bingung?”

“Ini karena ulah kamu.”

“Aku kenapa Bu? Tiba-tiba ibu marah terus pada Tomy, akhir-akhir ini,” kata Tomy sambil bangkit, lalu meraih sepotong roti yang terhidang di depan mereka.

“Kamu itu ya, jadi orang yang selalu menuruti kemauan kamu sendiri saja. Kelakuan kamu juga membuat ibu pusing. Apa kata ayah kamu nanti, kalau mendengar bahwa kamu belum juga menyelesaikan kuliah kamu.”

“Nanti kalau bapak marah, biar Tomy yang bicara. Sejak dulu Tomy tidak suka kuliah di bidang yang Tomy tidak suka, tapi bapak memaksa.”

“Oh ya? Sekarang katakan, mana yang kamu suka? Kamu tidak memberikan pilihan, mana mungkin ayahmu tahu?”

“Pokoknya Tomy tidak suka. Tomy ingin jadi pengusaha seperti bapak.”

“Kamu tidak bisa langsung menjadi orang, kalau tidak melalui pendidikan tinggi seperti yang diinginkan ayahmu. Ya sudah, itu sudah terlanjur. Nanti akan aku serahkan saja kamu pada ayahmu.”

Tomy terdiam. Baginya, kekayaan ayahnya pasti akan bisa menjamin hidupnya kelak. Untuk apa harus kuliah segala? Capek kan?

“Itu yang ke satu. Kedua, kamu sudah merusak hubungan kamu sama Satria. Monik itu milik Satria, tapi kamu merusaknya," lanjut Rohana.

“Ibu, itu sudah hampir dua bulan yang lalu, mengapa ibu masih mengungkitnya? Anggap saja itu kecelakaan. Siapa juga yang mencekoki Tomy dengan obat perangsang?” kata Tomy yang tidak mau disalahkan.

“Tomy tidak mau mengingat hal itu. Bukankah itu hal biasa yang bisa saja Tomy lakukan di mana saja?” lanjutnya.

“O, jadi kamu sudah sering melakukannya meskipun kamu masih begitu muda?”

Tomy tidak menjawab. Ia hanya cengar-cengir sambil mengunyah rotinya.

“Ibu seperti tidak pernah muda saja,” lanjutnya.

Rohana ingin menjawabnya, tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Monik.

“Monik? Lama sekali tidak berkabar. Bagaimana keadaan kamu?”

“Saya menunggu telpon dari ibu. Apa ibu marah pada Monik?”

“Tidak, kejadian itu nanti akan kita pikirkan bersama. Ibu sedang akan mendekati Satria lagi.”

“Tapi Bu, Monik ingin mengabarkan sesuatu pada Ibu. Monik hamil.”

“Hamil?”

***

Besok lagi ya.

 

MUTIARA INDAHKU

 MUTIARA INDAHKU

(Tien Kumalasari)


Mutiara indahku,

Aku merajutnya menjadi untaian cinta

Aku sematkan di dada

Sangat dekat dengan hati dan jiwa

Agar cemerlang pancarnya

Menghiasi sepanjang denyut nadiku

Sepanjang aliran darahku

Sepanjang hela napasku

Haiiii... selamat pagiiii


-----




Wednesday, June 26, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 34

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  34

(Tien Kumalasari)

 

Hari berlalu begitu cepat. Monik sudah kembali masuk kuliah beberapa minggu yang lalu. Hari ini ada kelas pagi, tapi ia merasa sangat malas. Ketika hampir semua mahasiswa masuk ke kelas, Monik masih duduk di bangku, dibawah sebuah pohon trembesi yang rindang di halaman kampus, sendirian. Sejak beberapa hari terakhir ini dia sangat malas melakukan sesuatu. Ia juga berniat meninggalkan bangku kuliahnya karena sesungguhnya ia tak ingin kuliah, kecuali dipaksa kedua orang tuanya.

Ketika itu Wini lewat di depannya, heran melihatnya masih ada di luar. Wini dan Monik memang tidak kuliah di jurusan yang sama.

“Monik, apa yang kamu lakukan?”

“Duduk, menurut kamu apa?”

“Bukan begitu, teman-teman kamu sudah pada masuk tuh, dosen juga segera datang, aku tadi berpapasan di jalan.”

“Aku nggak ikut. Mau pulang saja.”

Wini menatap Monik dan melihat wajahnya yang pucat.

“Kamu sakit?”

“Malas saja. Aku nggak sakit.”

“Tapi kamu kelihatan pucat. Kalau memang sakit, pulang saja, daripada terlanjur sakit beneran.”

“Iya, nanti aku pulang, aku mau memanggil taksi saja.”

“Aku antar, mau?”

“Kamu nggak kuliah?”

“Aku datang pagi, dosen nggak datang, jadi mau pulang dulu, nanti balik lagi.”

“Oh.”

“Ayuk, aku antar sekalian.”

“Kamu naik apa?”

“Motor lah, masa naik kereta?”

“Nggak usah, aku nggak biasa naik motor, lagi pula badanku sedang kurang enak, nanti kena angin malah parah.”

“Ya sudah, pulang saja dan istirahatlah,” kata Wini sambil berlalu, tapi dengan rasa kesal. Monik memang anak orang kaya, tapi dia sombong. Wini menyesal telah menawarkan boncengan sepeda motornya tadi.

Monikpun kemudian berjalan menuju ke arah depan. Dia benar-benar ingin pulang.

Sebenarnya sudah beberapa saat lamanya ia merasa kurang bersemangat. Kejadian ketika bersama Tomy sangat mengganggunya, dan harapan untuk mendekati Satria nyaris pupus setelah kejadian itu. Tampaknya Rohana juga sudah tidak begitu bersemangat untuk mengambilnya sebagai menantu, karena dia juga tidak pernah menerima telpon darinya.

***

Benarkah Rohana sudah tidak bersemangat untuk mengambilnya sebagai menantu? Sebenarnya tidak. Ia harus memisahkan Satria dan Minar, satu-satunya jalan adalah menjodohkan Satria dengan gadis lain. Sebenarnya Monik adalah pilihannya, tapi kekacauan telah terjadi dengan pulangnya Tomy lebih awal dan membuat kejadian buruk itu terjadi.

Siang hari itu Satria datang menemui ibunya, karena sang ibu wanti-wanti ingin bicara.

“Bu, kalau Satria sedang ada di kantor, jangan mengganggu Satria di jam-jam di mana para pekerja sedang bekerja.”

“Iya, ibu tahu. Ibu hanya akan ngomong sebentar saja mumpung kamu bersedia datang untuk menemui ibu.”.”

“Soal apa?”

“Apa kamu masih berhubungan dengan gadis itu?”

“Gadis yang mana Bu?”

“Yang kamu katakan sebagai calon istri kamu waktu itu.”

“Mengapa Ibu menanyakannya? Satria bukan anak kecil lagi, dan Satria berhak memilih apa dan mana yang Satria sukai.”

“Jangan bodoh Satria. Kamu itu anakku, kalau kamu sengsara, ibu juga sedih.”

“Satria sengsara karena apa Bu? Sejauh ini Satria merasa bahwa Satria baik-baik saja, bahkan merasa sangat bahagia.”

“Kalau kamu punya istri gadis seperti Minar, bukankah hidup kamu akan sengsara?”

“Mengapa Ibu mengatakan itu?”

“Satria, kita itu keluarga terpandang. Dan gadis itu, melihat penampilannya, dia hanyalah seorang yang terlahir dari keluarga miskin. Ibu melihatnya, dan itu memang benar kan?”

“Memangnya kenapa kalau dia terlahir dari keluarga miskin?”

”Mana bisa keluarga terpandang berbesan dengan kekuarga miskin?

Satria terdiam, ia yakin tak akan menang berdebat dengan ibunya. Ia merasa sudah punya pilihan, walau Minar belum menjawabnya, dan ia tetap akan memilihnya walau sang ibu menentangnya.

“Mengapa kamu diam? Bukankah kamu mulai merasa bahwa apa yang ibu katakan adalah benar?”

“Tidak Bu, maaf.”

“Satria. Ibu memilihkan gadis yang lebih segalanya daripada si miskin itu. Dan kamu merasa bahwa ucapan ibu tidak benar?”

“Siapa gadis lebih baik dari pilihan Satria? Monik?”

“Dia lebih pantas untuk kamu.”

“Setelah dia tidur dengan Tomy?”

Rohana tertegun. Satria mengetahuinya?

“Apa katamu?”

“Satria tahu apa yang sudah dilakukannya, tapi bukan itu yang membuat Satria menolak. Sebelum-sebelumnya Satria memang tidak suka, dan tidak akan pernah menyukainya.”

“Satria, Tomy hanya khilaf. Maafkanlah dia, karena bagaimanapun dia adalah adikmu.”

“Tidak Bu, Satria tidak bisa menerimanya. Dengan kejadian itu, ataupun tidak terjadi apapun.”

Rohana putus asa.

***

Di rumah Minar, Wini sedang menemaninya memasak. Dilarangpun Wini menolaknya. Sejak pertemuannya kembali pada acara reuni itu, Wini yang tadinya jarang berhubungan dengan Minar, kemudian sering menelpon dan menemuinya. Ia merasa menemukan kembali sahabatnya yang terpisah beberapa tahun setelah lulus dari SMA.

“Mengapa kamu suka mengganggu aku ketika memasak di dapurku yang buruk ini?”

“Minar, mengapa kamu suka merendahkan diri kamu? Dapur yang kelihatan sederhana ini memiliki tukang masak handal yang kalau sudah mau memasak maka lidah akan menari-nari,” kata Wini sambil mengangkat sayur asem-asem yang sudah matang.

“Ini adalah sayur asem-asem, dan ikan asin goreng yang sangat nikmat. Juga ada tempe goreng yang pasti gurih. Kamu harus bersiap memasak nasi lagi karena aku akan menghabiskannya.”

“Mengapa tidak? Senang sekali masakan sederhana ini bisa menjamu tamu cantik yang sebentar lagi akan menikah. Oh ya, itukah sebabnya maka kamu ingin sekali belajar memasak?”

“Kamu pintar, Minar. Memang itulah sebabnya, mengapa aku sering menemani kamu memasak. Biar kelak disayang suami,” kata Wini, kemudian keduanya terkekeh.

“Benar Minar, cinta bisa datang melalui lidah.”

“Apa maksudnya tuh?”

“Kalau kita pintar memasak, maka akan disayang suami.”

“Oh ya?”

Minar terdiam. Ia ingat perkataan Satria beberapa waktu yang lalu, ketika memujinya rajin memasak dan … ah ya, Satria yang dianggapnya sebagai bintang di langit tinggi, akan memetikkan bintang itu untuknya. Minar tersenyum dengan debar yang aneh. Satria ternyata bisa mengeluarkan kata-kata manis yang membuat hatinya terusik. Tapi alangkah sulit menerima ungkapan cintanya.

“Minar, kenapa kamu tersenyum-senyum? Ingat mas Satria ya? Dia pernah mengatakan padaku, katanya kamu rajin dan pintar memasak.”

“Apa? Dia mengatakan itu padamu?”

Wini mengangguk sambil tersenyum penuh arti, membuat Minar kemudian menghela napas panjang. Apakah sesulit ini menjadi gadis dari keluarga miskin, sehingga untuk jatuh cinta saja harus menghitung-hitung?

“Bukankah kamu harus kuliah hari ini?” tanya Minar untuk mengalihkan pembicaraan.

“Nanti aku kembali ke kampus, tadi dosen tidak datang, lalu daripada pulang, lebih baik main ke rumah kamu dan makan enak di sini, bukan?”

“Baiklah, sudah dibantu memasak, kamu boleh menghabiskan semuanya kalau perut kamu muat,” canda Minar.

Kemudian keduanya makan dengan nikmat.

“Tadi aku ketemu Monik.”

“Oh ya, apa kabarnya? Kapan dia kembali dari Jakarta?”

“Sepertinya sudah beberapa hari yang lalu, aku pernah melihatnya, hanya saja tidak sempat menyapanya.  Tadi itu dia hanya sebentar datang ke kampus, lalu pulang. Katanya badannya sedang tidak enak.”

“Sakit?”

“Mungkin sakit, entahlah, dia hanya merasa tidak enak badan, jadi ingin pulang.”

“Mas Satria harusnya bisa jadian dengan Monik.”

“Mengapa kamu berkata begitu? Bukankah mas Satria mencintai kamu?”

“Eh, kata siapa?”

“Beberapa hari yang lalu mas Satria datang kemari bukan? Dia menelpon aku, hanya saja tidak sempat bertemu. Dia mengatakan bahwa akan segera mulai bekerja, dan datang kemari hanya untuk menemui kamu.”

Minar tersenyum getir. Memang benar, apa yang dikatakan Wini, tapi Minar selalu merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk Satria. Lagi pula masalah ibunya dengan ayah Satria juga membuatnya terganggu.

“Aku mana pantas untuk dia?”

“Kamu selalu begitu. Padahal mas Satria tidak merasa bahwa kamu terlalu rendah untuk dirinya. Mas Satria tak pernah memikirkan tentang kedudukan seseorang. Buktinya dia menolak Monik, walau tahu Monik mengejarnya.”

Minar terdiam, rasa bahagia karena dicintai, tenggelam oleh rasa rendah diri dan rasa tertekan karena ulah ibunya.

***

Hubungan Murtono dan Birah semakin tampak hambar. Birah yang menunggu lewatnya masa idah, dan Murtono yang sibuk membenahi perusahaannya, tak pernah bertemu muka dalam suasana yang manis.

Setiap hari Rohana menelpon Murtono, bukan karena rindu, tapi karena dia selalu memantau Murtono agar tidak bisa menjadikan Birah sebagai istrinya.

Tapi hari itu Rohana menelpon Murtono, dan berkeluh tentang Satria, yang tak ingin melepaskan gadis yang tidak disukainya.

“Memangnya kenapa dengan gadis itu. Dia kan cantik? Memang sih, dia sederhana, tapi tetap saja dia cantik.”

“Huhh, aku kan sudah berkali-kali mengatakan bahwa Satria itu seperti Mas, seleranya sungguh rendah.”

“Yang penting dia gadis baik-baik. Dan Satria mencintainya, kita tak usah mengusiknya. Anak sekarang tidak bisa diatur untuk menuruti kemauan orang tuanya.”

“Aku tidak suka. Tetap tidak suka sampai kapanpun. Aku lebih suka Monik, Mas sudah pernah melihat gadis itu kan, ketika ke Jakarta?”

“Gadis itu memang cantik, tapi matanya genit, aku hampir yakin, dia bukan wanita yang setia. Nanti dia akan seperti kamu,” kata Murtono yang berkali-kali mengingatkan bahwa Rohana pernah menghkhianati cintanya.

“Melakukan hal yang pantas itu tidak ada salahnya. Monik tak akan berselingkuh karena Satria laki-laki yang sempurna. Baik wajah maupun kehidupannya yang pastinya akan mapan nantinya.”

“Jadi kamu meninggalkan aku karena aku tidak sempurna? Tidak setampan suami barumu?” geram Murtono.

Rohana terkekeh mendengar suara bekas suaminya yang kelihatan kalau sedang marah.

“Ingat Mas, biarpun aku meninggalkan kamu, tapi aku masih peduli sama kamu kan? Buktinya aku membantu menghidupkan kembali perusahaan kamu yang nyaris bangkrut.”

Murtono tak menjawabnya. Memang benar Rohana membantu, tapi dengan syarat dia harus mengingkari janjinya pada Birah. Murtono agak kecewa dengan syarat itu, tapi dia harus melakukannya.

“Mas, tolong jangan mengungkit yang sudah-sudah, saatnya memikirkan kehidupan anak kita.”

“Terlalu pusing memikirkan keinginan anak. Biarkan saja,” kata Murtono yang tidak peduli pada pilihan Satria.

Kemudian dia menutup pembicaraan itu. Ia tak peduli pada siapa yang dipilih Satria, karena dulu juga tak pernah memilih gadis yang entah dia miskin atau kaya, yang penting dia cinta. Bukankah Rohana dan Birah juga berasal dari keluarga sederhana, walau tidak bisa dibilang miskin?

***

Siang hari itu Minar terkejut karena tiba-tiba Kirani datang ke rumahnya. Ia baru akan memasak waktu itu.

“Minar, apa kamu sedang memasak?”

“Tidak Bu, baru selesai bersih-bersih rumah. Ibu mau dimasakin apa?”

“Tidak Minar, syukurlah kalau kamu belum memasak, aku membawa gudeg Jogja nih, bisa untuk makan siang dan malam.”

“Ibu mau makan?”

“Tidak, aku sudah makan. Ini untuk kamu dan ayah kamu saja. Ayo kita duduk di depan sebentar, ada yang ingin aku bicarakan.”

“Saya buatkan minum dulu, Bu.”

“Tidak usah, ayo bicara sebentar. Aku akan kembali ke kantor, setelahnya.”

Minar mengikuti Kirani yang sudah lebih dulu menuju teras, kemudian duduk berhadapan di sana.

“Minar, apa kamu mau bekerja?” Kirani tidak ingin membicarakan masalah kuliah, karena Sutar sudah mengatakan bahwa Minar tidak mau.

“Bekerja? Saya hanya lulusan SMA, bisa bekerja apa?”

“Dengar, aku baru saja membuka toko bunga di dekat-dekat sini. Kalau mau, bekerjalah di sana. Aku butuh karyawan yang bisa aku percaya untuk bertanggung jawab atas toko itu.”

“Saya harus mengerjakan apa?”

“Kamu akan menjadi kasir di sana. Nanti akan ada yang mengajari kamu mengoperasikan mesin penghitung di kasir.”

“Kapan saya bisa bekerja?”

“Mulailah secepatnya, toko itu sudah buka, tapi baru seorang yang bekerja di sana dan serabutan.”

“Bagaimana kalau besok? Saya belum bicara pada bapak.”

“Aku sudah bicara dengan ayahmu, dia setuju. Tapi nanti kamu bicara lagi juga tidak apa-apa. Yang penting kamu bersedia.”

“Besok pagi saya akan mengabari Ibu.”

“Baiklah, sekarang aku mau kembali ke kantor dulu, masih banyak yang akan aku kerjakan.”

Minar mengantarkan Kirani yang bergegas masuk ke dalam mobilnya.

“Bekerja?” gumamnya.

Minar berdebar. Kalau bekerja, dia akan bisa mendapatkan uang, lalu ia bisa menabung dan melanjutkan sekolah.

Tapi ketika ia akan kembali masuk ke rumah, dilihatnya seseorang memasuki halaman. Ibunya.

***

Besok lagi ya

 

MASIH ADAKAH MAKNA 08

  MASIH ADAKAH MAKNA  08 (Tien Kumalasari)   Tegar heran melihat Boy mendahului masuk. Setelah mengunci mobil ia bergegas mengikuti. Tomy ya...