KUPETIK SETANGKAI BINTANG 36
(Tien Kumalasari)
Rohana terpana, beberapa saat lamanya dia tak mampu berkata-kata. Ia menatap Tomy tak berkedip.
“Ada apa?” tanya Tomy.
“Hallo Bu, apakah Ibu masih di sana?”
“Ap … apa? Kamu mengatakan apa?”
“Ibu, saya hamil.”
“Kamu hamil?”
“Iya Bu, saya harus meminta pertanggung jawaban di sini. Papa dan mama saya sangat marah. Kalau tidak ada jalan keluar, saya akan dibunuhnya,” kata Monik yang sekarang disertai isak.
“Baiklah, tenang dulu Monik, aku akan memikirkannya. Nanti aku kabari bagaimana hasilnya.”
Rohana langsung menutup ponselnya. Ia menatap tajam Tomy.
“Siapa yang hamil? Mengapa ibu menatap Tomy seperti itu?”
“Ini adalah ulahmu, Tomy. Kamu harus bertanggung jawab.”
“Tomy? Harus bertanggung jawab? Mana bisa Bu, dia juga mau kok. Tomy bukan memperkosa dia. Dia melakukannya dengan suka rela.”
“Bohong. Dia mengira kamu adalah Satria.”
“Tidak mungkin. Sesaat dia memang terkejut, tapi tidak menolak kok. Tidak mungkin dia mengira Tomy adalah Satria. Dia menerimanya dan suka.”
“Tomy! Bagaimanapun ini perbuatan kamu. Ibu memang tidak ingin kamu yang memperistrinya, karena ibu berharap dia menjadi istri Satria. Tapi ketika dia hamil, apa boleh buat.”
“Apa boleh buat apanya? Tomy tidak mau menikah dengan dia. Dia bukan gadis baik-baik. Tomy tahu itu.”
“Tapi kenyataannya dia hamil karena kamu.”
“Pokoknya Tomy tidak mau. Nanti bapak bisa membunuh Tomy kalau tiba-tiba Tomy punya istri. Dan kalau bapak sampai tahu, dia juga akan marah pada Ibu."
“Monik juga berkata begitu tadi. Kalau tidak ada yang bertanggung jawab, maka Monik akan dibunuhnya. Tapi kamu yang melakukannya, Tomy.”
Tomy berdiri, lalu keluar dan menuju garasi. Ia mengeluarkan mobilnya, lalu pergi begitu saja.
“Tomy!!”
Teriakan sang ibu tidak digubrisnya. Rohana merasa putus asa. Ia sebenarnya tahu, kalau sampai ayah Tomy mengetahuinya, pasti dia akan marah besar. Imbasnya adalah, bukan hanya Tomy yang akan kena marah, tapi juga kepada dirinya. Dan kalau dia marah, bagaimana kalau ia tak mau lagi memberinya uang? Baik untuk keperluan Tomy maupun untuk dirinya sendiri?
Rohana menelpon Satria, sambil menangis.
“Ada apa Bu, kan Satria sudah bilang, di waktu jam kerja, janganlah Ibu menelpon Satria. Satria itu orang baru di perusahaan ini, Satria harus berhati-hati.”
“Iya, tapi ini sangat mendesak. Tolong nanti kerumah ya.”
“Baiklah, dari kantor nanti Satria akan mampir ke rumah Ibu.”
Rohana merasa sedikit lega. Ia harus bicara pada Satria. Ia tak mampu memikirkannya seorang diri.
***
Sudah seminggu lamanya Minar bekerja di toko bunga milik Kirani. Toko bunga bernama SEKAR itu memang belum lama dibuka, tapi sudah memiliki banyak pelanggan, karena toko itu memiliki pelayan-pelayan yang ramah, yang dididik sendiri oleh Kirani, bagaimana cara menghadapi pelanggan, agar mereka suka dan ingin kembali ke sana pada saat membutuhkannya. Minar sangat senang karena dengan bekerja dia bisa bergaul dengan banyak orang.
Pada suatu hari, seorang wanita datang ke rumah bunga itu, dan membeli aneka bunga, yang katanya untuk hiasan rumahnya.
Minar menatap pelanggan itu dan terkejut, karena dia adalah Birah, ibunya. Birah terlihat sangat rewel dan sering kali tidak cocok ketika teman-teman kerja Minar memilihkan bunganya.
“Aku mau yang indah, bukan sekedar indah, tapi juga wangi,” katanya sambil menyingkirkan beberapa bunga yang sudah dipilihkan pelayan.
Minar meninggalkan ruangan kasir, lalu mendekati ibunya, membuat Birah sangat terkejut.
“Kamu ngapain di sini, Minar?”
“Saya bekerja di sini, Bu.”
“Kamu bekerja di sini? Baguslah, bisa membantu ayah kamu yang hanyalah seorang kuli bangunan,” kata Birah yang membuat Minar terkejut, karena semua teman-teman yang berdiri diantara mereka kemudian menatapnya. Pasti mereka juga berpikir aneh, benarkah Minar anak seorang kuli bangunan? Tapi dengan senyuman manis, Minar tidak membantahnya.
“Memangnya kenapa kalau ayahku adalah kuli bangunan? Apakah itu pekerjaan hina, Bu?”
“Hina atau tidak, ibu tidak bisa mengatakannya. Yang jelas dengan penghasilan minim, dia butuh tambahan bukan? Syukurlah kamu bisa menambah uang belanja.”
“Bu, tidak bagus membicarakan hal yang tak penting itu di sini. Ibu mau membeli bunga kan? Bunga apa yang ibu inginkan, dan untuk acara apa?”
“Bunga yang akan aku pasang di ruang tamuku, sebagai rasa lega dan gembira karena masa idah telah selesai. Jadi kalau calon suami ibu datang, hatinya akan senang kalau disambut dengan bunga cantik dan wangi. Karena itu aku minta dipilihkan bunga yang tidak hanya cantik, tapi wangi.”
Minar merasa, ibunya sangat berlebihan. Tapi dia tak berani membantah perkataan ibunya. Kalau hal itu dilakukannya, pembicaraan tak penting itu akan menjadi bertambah panjang.
Minar meraih setangkai bunga sedap malam, diulurkannya kepada ibunya.
“Ini cantik, dan wangi, bukan?”
“Baiklah, ibu suka. Yang lainnya?”
“Bu, tidak semua bunga itu wangi. Tapi yang jelas dia pasti cantik. Pilihlah mawar-mawar, dan juga bunga sedap malam ini. Kalau ini jelas wangi, jadi ruangannya indah dan wangi,” kata Minar membujuk ibunya karena teman-temannya kelihatan agak kesal.
“Baiklah, aku ngikut kamu saja. Baik, berapa harganya?”
“Akan saya buatkan notanya Bu,” kata Minar.
“Dikorting kan? Sama ibunya masa nggak dikorting?”
“Ini sudah murah Bu, bukan Minar yang menentukan harga, aturannya ada,” kata Minar yang kemudian membuatkan nota pembelian.
Birah membacanya, dan membayar lebih. Malu kalau dikira nggak punya uang.
“Ini, kembaliannya untuk kamu,” kata Birah yang meninggalkan selembar uang ratusan, kemudian mengambil bunga yang dipesannya, dan berlalu.
Minar terpaku di tempatnya. Bukan malu karena dikatakan anak buruh bangunan, tapi malu pada sikap ibunya yang justru tidak tahu malu. Masa menceritakan masa idah segala di tempat umum? Pasti semuanya akan bertanya-tanya.
Tapi Minar tak perlu mengatakan apapun tentang keadaan keluarganya. Kemudian ia memasukkan uang ratusan ke laci, dan mengambil kembaliannya yang hanya tiga ribu rupiah. Ada senyuman tersungging di bibir Minar, mendapat pemberian uang tiga ribu rupiah dari ibunya.
***
Birah sedang menata bunga di sebuah vas yang dibelinya setelah membeli bunga. Ia menatanya, dan memang benar apa kata Minar, bunga indah, harum baunya memenuhi ruangan. Ia bersiap menelpon Murtono agar datang untuk merayakan masa idah yang berakhir hari itu.
Tapi ketika ia meraih ponselnya, ada orang mengetuk pintunya.
Bergegas Birah melangkah ke depan. Rupanya bu Surya, pemilik rumah.
“Oo, bu Surya, silakan duduk, Bu,” kata Birah sambil tersenyum.
Bu Surya duduk, hidungnya kembang kempis karena mencium aroma wangi.
“Wangi sekali,” katanya.
“Iya, bu Surya, saya baru membeli bunga, untuk menyambut kedatangan calon suami saya, di hari yang istimewa ini.”
“Oh, rupanya ini hari istimewa? Bu Birah ulang tahun?”
“Bukan, bukan ulang tahun. Ini hari istimewa karena masa idah saya sudah habis.”
Bu Surya menatap Birah dengan perasaan heran.
“Masa idah?”
“Iya, bu Surya, saya kan baru bercerai dengan suami, dan menghabiskan masa idah di rumah ini, sambil menunggu kekasih saya menikahi saya.”
Bu Surya tersenyum dalam hati. Penyewa rumah bernama Birah ini bersikap seperti wanita muda saja, dan agak tak tahu malu. Menunggu kekasih datang di akhir masa idah? Dan Birah sungguh orang yang suka blak-blakan menceritakan kehidupannya, yang bagi orang lain pastilah merasa sungkan mengatakannya.
Tapi bu Surya mendiamkannya saja.
“Begini Bu, kedatangan saya kemari hanya untuk menanyakan, bulan depan kan bulan terakhir bagi ibu untuk menyewa rumah ini. Apakah mau dilanjutkan, atau berhenti di bulan depan itu saja, soalnya ada orang lain yang menanyakannya.”
“O, itu. Sebentar Bu, saya harus menunggu apa kata calon saya. Kalau pernikahan kami sudah beres, pastinya saya akan segera pindah ke rumahnya, tapi kalau belum, entah nanti ya Bu, secepat mungkin akan saya kabari.”
“Baiklah Bu, akan saya tunggu sampai besok pagi, saya mohon Ibu sudah memberikan kejelasan mengenai sewa menyewa ini.”
“Iya, tentu.”
Ketika bu Suryo pergi, Birah segera menelpon Murtono, tapi berkali-kali ia memutar nomornya, Murtono tidak pernah mengangkatnya.
***
Akhirnya Murtono datang juga untuk menemui Birah, membuat Birah merasa sangat bersuka cita. Dipeluknya Murtono erat sekali, tapi dengan halus Murtono melepaskannya.
“Kamu ada apa sih, menelpon tak henti-hentinya? Sudah aku katakan berkali-kali bahwa aku sedang sibuk membenahi perusahaan, tapi kamu terus saja mengganggu,” omelnya sambil duduk dengan wajah masam.
“Mas, sudah lama kita tidak bertemu, bukannya bersikap manis, malah mengomel, sementara aku sudah mengadakan penyambutan luar biasa atas kedatangan Mas.”
“Memangnya ada apa? Kamu meletakkan bunga segala di tempat ini?”
“Aku hanya ingin memberi tahu bahwa ini adalah hari istimewa.”
“Hari istimewa apa? Apa kamu ulang tahun?”
“Bukan Mas, ini adalah hari terakhir masa idahku, jadi harus dirayakan, bukan?”
“Apa maksudmu, masa idah harus dirayakan?”
“Mas, bukankah aku harus bergembira karena aku benar-benar sudah bisa melakukan pernikahan dengan Mas? Aku sudah benar-benar bebas.”
“Ahh, kamu,” bukannya menyambutnya senang, wajah Murtono justru menjadi gelap.
“Jangan dulu memikirkan pernikahan,” lanjutnya.
“Apa? Mengapa Mas berkata begitu?”
“Sudah aku bilang, bahwa aku sedang sibuk memikirkan banyak hal, terutama usahaku yang harus aku benahi.”
“Dari kemarin-kemarin, hanya membenahi usaha, tak henti-hentinya. Lalu sampai kapan aku harus menunggu?”
“Kamu harus bersabar. Dan jangan mengganggu dengan kata-kata pernikahan lagi.”
“Mas, mengapa Mas seakan sedang berusaha mengingkari janji?” kata Birah dengan wajah gelisah, karena ia tiba-tiba merasa bahwa Murtono benar-benar ingin menjauhinya.
“Kalau aku sedang sibuk, maka aku tak ingin diganggu. Berhentilah menggangguku,” katanya sambil berdiri.
“Mas, aku memasak sesuatu yang menjadi kesukaanmu. Ada udang asam manis … ada ayam goreng kremes yang lezat, ada sayur yang_”
“Tidak. Makanlah sendiri oleh kamu, aku sudah makan, dan sekarang ini aku sedang ditunggu oleh seseorang.”
Wajah Birah benar-benar menjadi pias oleh kecemasan yang tiba-tiba menghentak. Ini sebuah isyarat yang buruk. Murtono yang suka makan enak, yang dulu sering mengajaknya makan di restoran, sama sekali tidak tertarik pada iming-iming masakan yang dibuatnya dengan susah payah.
“Mas,” suara Birah bergetar menahan tangis.
“Birah, kamu bukan anak kecil lagi yang suka merengek kan?” Murtono hanya menoleh dan menatap sesaat pada Birah yang wajahnya pucat dan basah oleh air mata.
“Tadi bu Suryo datang kemari, menanyakan tentang sewa rumah ini. Bulan depan sudah habis masa sewanya,” dengan menahan tangis Birah masih bisa berkata-kata, karena ia ingat, bu Suryo menunggu keterangannya sampai besok pagi.
“Katakan saja bahwa akan aku perpanjang tiga bulan mendatang. Uangnya akan aku transfer seperti yang sudah. Oh ya, ini, tambahan uang untuk makan kamu,” Murtono kembali dan mengulurkan lima lembar uang ratusan ribu. Kemudian berlalu.
Birah menggenggam uang itu, kemudian terguguk di kursi, di mana di depannya tertata cantik bunga yang disiapkannya sejak pagi.
Birah meletakkan uangnya, meraih vas bunga di depannya, lalu melangkah ke depan, dan membuang vas berikut bunganya, dengan tangis yang tak henti-hentinya.
“Bagaimana kalau dia ingkar? Mengapa sikapnya menjadi seperti itu? Karena kesibukan yang tak pernah ada akhirnya? Lalu bagaimana nasibku?”
***
Satria menemui ibunya di sore hari, sepulang dari pekerjaannya. Dilihatnya wajah sang ibu yang murung, sambil duduk di depan televisi menyala, tapi tak sedikitpun ditatapnya acara di televisi itu.
“Bu, ada apa?”
“Satria, tolonglah ibu.”
“Ada apa? Apa yang harus Satria lakukan?”
“Monik hamil.”
“Apa? Mengapa ibu mengatakannya pada Satria?”
“Tolong menikahlah dengannya.”
“Apa?” Satria sampai berteriak saking terkejutnya.
“Tolong.”
“Apa ibu tidak bisa bertanya, siapa yang menghamilinya? Mengapa harus Satria yang menikahinya?” tanya Satria dengan mata menyala karena marahnya.
“Aku kan sudah bilang, minta tolong.”
“Menikah bukan hal main-main. Ada gadis hamil, lalu Satria harus menjadi korban dengan harus menikahinya?”
“Ini ulah adikmu.”
“Kalau begitu tinggal nikahkan saja dengan Tomy. Mengapa ibu bingung?”
Satria berdiri karena tak ingin melanjutkan perbincangan yang menurutnya tak masuk akal itu.
“Satria, tolonglah…” kata Rohana sambil terisak.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteHoreeee
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 36_. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Salam sehat mbak Tien 🥰
Salam *ADUHAI*
🙏💞🩷
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
Sami2 jeng Ning
DeleteSelalu bahagia yaa
Alhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 36 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteYrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur suwun bu Tin
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteHoreee bu Iin ..
ReplyDeleteHoreee ibu Susi
Delete🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien, KaeSBe episode_36 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI...
👍👍🌹
Birah berulah....
Karena masa idahnya berakhir.....
Tapi kecewa puolllll
Ra direwes sama Murtono
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
Matur nuwun mas Kakek
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 36* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 36 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Iki piye ta Rohana...Monik halim..kok Satria sing dadi pelengkap penderita...ya jelas gemang no...Satria.
Tomy tuh yang hrs tanggung jawab
Aamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Hoooreeee..... tayang salam sehat utk bundaqu sayang
ReplyDeleteHoreeee
DeleteSalam sehat juga ibu Wiwik
Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSehat selalu kagen bunda..
Aamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun
ReplyDeleteSalam sehat penuh semangat
ReplyDeleteSalam kangen mbak Yanik
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih mas Satria.
ReplyDeleteNuwum pak Widay2
DeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰🌿💖
ReplyDeleteRuwet ya..
Birah yg seperti anak muda...
Rohana yg histeris ....
Mereka lupa kl punya Tuhan yang maha pengasih ,
Aamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Terima kasih mas Satria
ReplyDeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~36 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
This comment has been removed by the author.
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun pak Herry
Satria disuruh makan ampas? Tak usah ya... masih kinclong saja tidak mau, apa lagi sudah rusak.
ReplyDeleteMinar harus berterima kasih kepada ibunya, atas hadiah kembalian Rp. 3.000...kan bisa untuk bayar parkir motor.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
This comment has been removed by the author.
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Salam aduhai hai hai
Sami2 ibuE dah
DeleteAduhai hai deh
Maturnuwun bu Tien...
ReplyDeleteOalaaah tomy yg berbuat satria yg suruh tanggung jawab ... birah, rohana, monik menikmati hasil perbuatannya . Gak sabar nunggu lanjutannya
Salam sehat dan aduhai aduhai aduhai bunda Tien...
Sami2 ibu Sri
DeleteAduhai 3x
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteMatur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah Kuoetik Setangkai Bintang 36 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
This comment has been removed by the author.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Terima kasih bunda..slmt MLM dan slmt sehat selalu DRI sukabumi
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteLama nggak jumpa
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, ceritanya semakin seru. Semoga sehat selalu.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat2 selalu n tetap semangat
Salam aduhai
This comment has been removed by the author.
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun pak Arif
Waduh, kok gitu si jadi ibu, adik nya yg bikin masalah,kakaknya yg disuruh bertanggung jawab, aneh tpi nyata,dia sendiri yg bikin ulah anak yg kepradah, owalah rohana_ rohana...mks bun, maaf ya terbawa emosi hi...hi....selamat malam bun salam sehaaaat
ReplyDeleteSelamat malam juga ibu Supriyati
DeleteTambah seruuu.... terima kasih, bu Tien cantiik. Sehat selalu, ya💕🙏
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun jeng Mita
Alhamdulillah, maturnuwun, sehat selalu mbakyu
ReplyDeleteSami2 jeng Kun Yulia
ReplyDeleteAamiin
Alhamdulillah.....matursuwun Bu Tien, smg Bu Tien sehat dan bahagia selalu dg keluarga. Aamiin 💖
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiim
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah... cerbung kesayangan sudah tayang... terimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat juga
Mana mau Satria dijadikan 'korban' harus menikahi Monik karena perbuatan Tomy? Atau jangan-jangan nanti Rohana memakai tangan Murtono dan alasan bantuannya lagi ya? Hmmm...🤔😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Sehat selalu ya...🙏😀
Sami2 ibu Nana
DeleteAamiin doanya
Makasih mba Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Sul
DeleteTerimakasih Bunda Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan semangat serta bahagia bersama amancu
Sami2 ibu Nanik
ReplyDeleteSalam sehat juga
Ini logika aneh...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...