KUPETIK SETANGKAI BINTANG 35
(Tien Kumalasari)
Minar merasa senang melihat ibunya datang, setelah berbulan-bulan pergi tak tahu kemana dia berada. Bagaimanapun Birah adalah ibu kandungnya. Minar tak mungkin membencinya.
“Ibu, sambutnya sambil tersenyum.”
“Sedang apa kamu?”
“Sedang mau beres-beres. Ibu dari mana?”
Birah segera masuk dan duduk di kursi teras. Menatap keadaan sekeliling, masih seperti dulu. Ia melongok ke arah dalam dari sekat kaca yang memisahkan teras dengan ruang tamu. Masih seperti dulu, hanya lebih bersih dan rapi. Minar meletakkan vas bunga plastik di meja, Dulu bunga itu tak ada. Rupanya Minar ingin mempercantik ruangan sederhana itu dengan meletakkan bunga di sana.
“Kamu sendirian”
“Iya Bu, dengan siapa lagi? Kalau Ibu tidak pergi, pastinya Minar bersama Ibu,” kata Minar menyindir kepergian sang ibu.
Birah tersenyum. Entah apa arti senyum itu. Tapi binar kebahagiaan yang dulu terlihat, tampak suram.
“Aku memang harus pergi. Lelah menjadi miskin.”
Minar kehilangan senyumnya. Ibunya masih lebih menyukai harta daripada keluarganya.
“Aku datang kemari untuk memberi tahu kamu dan juga ayahmu, bahwa sebentar lagi aku akan menikah.”
Minar menatap ibunya. Rasa tega yang dilakukan ibunya, mengurangi rindu yang sudah lama dipendamnya. Minar lebih menghargai ayahnya yang selalu memperhatikan keluarga.
“Aku harus menjalaninya. Barangkali memang aku ditakdirkan untuk hidup lebih layak. Tapi aku tak akan melupakan kamu. Sesekali aku akan memberimu uang, agar kamu bisa bersenang-senang.”
“Ibu tidak perlu memberikan apa-apa untuk Minar. Minar sudah merasa cukup,” katanya dengan wajah murung.
“Tidak mau menerima pemberian ibumu? Saat ini memang belum ada yang bisa ibu berikan kepadamu, karena ibu belum resmi menjadi istrinya. Tapi nanti kalau aku sudah menjadi nyonya kaya, mana mungkin aku melupakan kamu. Kamu adalah anakku satu-satunya. Biarpun aku tega meninggalkan kamu, tapi aku akan tetap mengingatmu.”
“Minar sudah merasa cukup. Bapak bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan Minar, jadi ibu tidak usah memikirkannya.”
“Penghasilan seorang buruh bangunan itu seberapa sih? Mana bisa cukup untuk bersenang-senang,” Birah mencibir.
“Senang itu kan letaknya bukan pada harta yang berlimpah.”
“Oh ya? Menurutmu apa?”
“Kalau kita bersyukur atas apa yang bisa kita terima, maka kita akan senang, tenang, nyaman dan bahagia, tentu saja.”
“Dasar bodoh. Kamu mengatakan itu karena kamu selamanya hidup bersama ayahmu yang miskin itu. Kalau kamu mengerti betapa nikmatnya hidup bergelimang harta, maka kamu akan tahu bahwa pemikiran kamu itu salah.”
“Tidak Bu, Minar memang merasa cukup dan bahagia dengan kehidupan yang Minar jalani bersama bapak.”
“Baiklah, terserah kamu saja. Kamu sudah mengatakan bahwa kamu bahagia dengan kehidupan kamu dengan ayahmu yang miskin itu, jadi jangan salahkan ibu kalau ibu tidak akan memberikan apa-apa biarpun ibu punya harta berlimpah.”
“Minar buat minum dulu ya, ibu pasti haus,” kata Minar berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Tidak usah, nanti kamu kehabisan gula, kasihan ayahmu kalau harus membeli gula lebih gara-gara menjamu tamu,” kata Birah sambil berdiri.
“Ibu?” Minar menahan air matanya.
“Aku datang hanya untuk memberi tahu kamu bahwa aku akan segera menikah. Paling lama satu bulan lagi,” kata Birah sambil berlalu.
Minar tak menjawab, karena air mata yang tadinya mengambang, kemudian tumpah membasahi pipinya.
“Semoga ibu tidak menyesal dengan keputusannya,” katanya terisak, kemudian masuk ke dalam rumah. Rumah yang tak akan lagi didatangi oleh ibunya. Ibu yang membuatnya kecewa, yang menorehkan luka pada saat kerinduan akan seorang ibu lama ditahannya.
***
Murtono masih berada di kantornya, ketika lagi-lagi Birah menelponnya. Dengan menahan kekesalan, Murtono mengangkatnya.
“Ada apa lagi? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku masih sangat sibuk dan belum sempat memikirkan yang lain?” hardiknya.
“Mas, masa idahku hampir habis bulan depan, jadi_”
“Jangan bicara macam-macam dulu. Aku belum bisa memikirkannya.”
“Aku hanya mengingatkan, agar Mas bersiap-siap.”
“Bersiap-siap apa maksudmu? Menyewa gedung untuk resepsi? Memesan katering untuk dua ribu orang? Membeli baju pengantin dan memesan tukang rias?” katanya memotong perkataan Birah yang belum selesai diucapkannya.
“Bukan begitu, aku hanya mengingatkan. Mengapa Mas marah-marah?”
“Aku belum pikun, aku ingat dan mengerti. Tapi jangan tergesa-gesa berharap, aku belum bisa memikirkannya.”
“Tapi yang punya rumah sudah mengingatkan, apakah sewa akan diteruskan atau tidak, dan aku sudah bilang tidak akan meneruskannya, hanya sampai perjanjian sewa telah habis. Bukankah aku akan pindah ke rumah Mas, nantinya?”
“Bilang bahwa aku akan memperpanjang tiga bulan lagi.”
“Apa? Mengapa diperpanjang? Aku sudah tidak betah tinggal di sana. Lagi pula bukankah tidak sampai tiga bulan lagi kita menikah?”
“Kamu hanya memikirkan menikah dan menikah.”
“Mas ….”
“Aku belum bisa memikirkan. Tolong jangan menggangguku.”
Murtono menutup pembicaraan itu, kemudian memijit keningnya yang terasa berdenyut.
Ada dua janji yang sudah diucapkannya. Janji akan menikahi Birah setelah bercerai dengan suaminya, dan janji melepaskan Birah demi menyelamatkan usahanya.
“Sebel banget aku, kalau memikirkan Birah yang terus-terusan merongrong aku.”
Lalu cinta masa muda itu perlahan sirna. Dan ia hanya akan bisa menepati sebuah janji. Meninggalkan Birah. Agak sulit, karena ada yang membebaninya. Ia telah meminta Birah agar bercerai dengan suaminya. Kemudian dia akan mengingkari janjinya dengan meninggalkannya? Murtono belum menyiapkan jawaban kalau nanti waktunya tiba, dan Birah pasti akan menagih janjinya.
Dan saat ia sedang memijit-mijit kening itulah tiba-tiba Rohana menelponnya. Murtono hanya meliriknya, tapi enggan mengangkatnya.
“Perempuan-perempuan yang membuat ribet,” gerutunya sambil melanjutkan pekerjaannya, menghitung-hitung dan meneliti, di mana dan bagaimana supaya perusahaannya tidak merugi seperti sebelumnya.
***
Di kantor, ketika sedang istirahat, Kirani mengatakan kepada Sutar tentang keinginanya meminta Minar agar mau bekerja untuknya di toko bunga yang baru saja dibukanya.
“Apa Minar sudah mengatakan bahwa dia bersedia?” tanya Sutar.
“Belum, dia akan bicara lagi dengan ayahnya. Bagaimana menurut Mas?”
“Saya tidak bisa melarang suatu hal baik yang akan dilakukan Minar. Kalau memang dia bersedia, mengapa tidak? Pasti dia senang kalau bisa mendapat penghasilan sendiri.”
“Pasti dia memikirkan ayahnya. Kalau dia bekerja, perhatian kepada ayahnya pasti berkurang. Tapi aku yakin Minar bisa melakukannya. Melayani ayahnya kan hanya di waktu pagi sebelum ayahnya berangkat bekerja, dan sore ketika ayahnya pulang dari bekerja. Apa Mas keberatan?”
“Tidak. Saya bukan anak kecil, bu KIran, jadi tidak perlu dilayani di setiap saat atau tidak bisa ditinggalkan. Sebagian besar keperluan kan saya bisa melakukannya sendiri.”
“Bagus kalau begitu. Berarti besok pagi Minar sudah bisa memberi jawaban. Aku senang kalau Minar mau melakukannya, dan dengan demikian dia bisa melanjutkan kuliah dengan biaya yang diperolehnya sendiri. Bukankah itu yang diinginkannya? Dia anak baik, tidak mau menerima setiap pemberian, kecuali hanya makanan dan sesuatu yang tidak begitu besar.”
“Itu pula sebabnya, mengapa dulu itu temannya memberinya ponsel dengan cara rekayasa," kata Kirani sambil tersenyum.
“Iya, sebenarnya lucu, tapi rupanya temannya tidak kehabisan akal untuk bisa memberikannya.”
“Beberapa hari lamanya dia murung. Ingin mengembalikannya, tapi si pemberi sampai berlutut meminta maaf dan meminta agar Minar mau menerimanya.”
“Bukan main Minar,” kata Kirani sambil tersenyum.
“Saya bersyukur Minar punya pemikiran seperti itu. Menerima pemberian itu kan sebenarnya beban. Seperti ketika bu Kiran memberi saya pekerjaan. Ini juga beban bagi saya.”
“Mengapa begitu Mas?”
“Karena dengan begitu kan saya merasa punya hutang. Hutang benda atau harta itu bisa terbayarkan, tapi butang budi itu sangat berat.”
Kirani tertawa, menampakkan giginya yang putih. Diam-diam Sutar mengagumi Kirani, yang walau umurnya tidak terpaut banyak dengan dirinya, tapi masih tetap cantik menarik. Kalau berdekatan dengan Minar, mereka tampak seperti kakak adik saja. Sutar harus mengalihkan pandangannya karena terlalu lama memandang, ia merasa ada sesuatu debar aneh yang membuatnya malu. Bukankah dirinya tidak muda lagi? Alangkah memalukan kalau sampai dia jatuh cinta lagi.
“Mengapa Mas menatap aku seperti itu?”
“Apa? Tidak apa-apa. Saya hanya kagum, bu Kiran adalah wanita yang sangat baik. Bukan hanya kepada saya dan anak saya, tapi kepada setiap orang. Itu sebabnya bu Kiran sangat disegani dan dihormati oleh semua orang. Khususnya anak buah bu Kiran sendiri.”
Kirani kembali tertawa, dan Sutar sekarang menundukkan kepalanya, pura-pura mencari sesuatu di dalam laci mejanya.
“Mas Sutar berlebihan. Aku kira semua orang akan melakukan hal yang sama.”
“Tidak semua orang. Ada orang yang tidak peduli pada orang lain, dan yang hanya memikirkan dirinya sendiri.”
“Aku hanya kebetulan saja mendapat karunia rejeki yang bisa aku pergunakan untuk berbagi. Masa karunia sebegitu besarnya akan aku makan sendiri? Kan lebih baik bisa berbagi, jadi sama-sama bisa merasakan betapa besarnya dan agungnya Allah Yang Maha Pengasih.”
“Benar. Kalau saya bisa, saya juga ingin bisa melakukannya.”
“Mas Sutar pasti bisa, karena pada dasarnya Mas Sutar kan orang baik.”
“Aamiin.”
“Ya sudah, sekarang saatnya makan. Mas Sutar pasti lebih senang makan bekal yang dibawakan Minar kan?”
“Iya, agar Minar tidak kecewa, jerih payahnya disia-siakan ayahnya. Silakan Ibu makan dulu.”
“Iya, setelah ini kita akan melihat lahan yang kemarin ditawarkan. Mengapa harganya begitu murah? Jangan-jangan lokasinya yang tidak berada di tempat strategis.”
“Benar, ada baiknya kita lihat dulu saja.”
“Saya pulang dulu ya Mas.”
Ada kegembiraan di hati Sutar. Kehidupannya yang semakin membaik, apalagi setelah nanti Minar mulai bekerja. Berapapun penghasilannya, pasti akan menjadikan kehidupannya lebih tertata, jauh dari sebelumnya. Hal itu membuatnya tak pernah berhenti bersyukur. Lalu diam-diam dia menyesali kepergian Birah, yang dinilainya tidak sabar dalam menghadapi cobaan dalam hidup.
“Tapi Birah sudah menemukan kehidupan seperti yang diimpikannya. Ya sudah, aku tidak boleh menyesalinya,” gumamnya pelan, kemudian mengambil bekal makan siang yang dibawakan Minar.
***
Tomy baru keluar dari kamarnya, walaupun matahari sudah naik tinggi. Ia mendekati ibunya yang sedang duduk di depan televisi.
“Bu,” katanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu ibunya. Begitulah kalau Tomy sedang ingin sesuatu.
“Ada apa? Jangan mengganggu ibu. Ibu sedang bingung.”
“Mengapa bingung?”
“Ini karena ulah kamu.”
“Aku kenapa Bu? Tiba-tiba ibu marah terus pada Tomy, akhir-akhir ini,” kata Tomy sambil bangkit, lalu meraih sepotong roti yang terhidang di depan mereka.
“Kamu itu ya, jadi orang yang selalu menuruti kemauan kamu sendiri saja. Kelakuan kamu juga membuat ibu pusing. Apa kata ayah kamu nanti, kalau mendengar bahwa kamu belum juga menyelesaikan kuliah kamu.”
“Nanti kalau bapak marah, biar Tomy yang bicara. Sejak dulu Tomy tidak suka kuliah di bidang yang Tomy tidak suka, tapi bapak memaksa.”
“Oh ya? Sekarang katakan, mana yang kamu suka? Kamu tidak memberikan pilihan, mana mungkin ayahmu tahu?”
“Pokoknya Tomy tidak suka. Tomy ingin jadi pengusaha seperti bapak.”
“Kamu tidak bisa langsung menjadi orang, kalau tidak melalui pendidikan tinggi seperti yang diinginkan ayahmu. Ya sudah, itu sudah terlanjur. Nanti akan aku serahkan saja kamu pada ayahmu.”
Tomy terdiam. Baginya, kekayaan ayahnya pasti akan bisa menjamin hidupnya kelak. Untuk apa harus kuliah segala? Capek kan?
“Itu yang ke satu. Kedua, kamu sudah merusak hubungan kamu sama Satria. Monik itu milik Satria, tapi kamu merusaknya," lanjut Rohana.
“Ibu, itu sudah hampir dua bulan yang lalu, mengapa ibu masih mengungkitnya? Anggap saja itu kecelakaan. Siapa juga yang mencekoki Tomy dengan obat perangsang?” kata Tomy yang tidak mau disalahkan.
“Tomy tidak mau mengingat hal itu. Bukankah itu hal biasa yang bisa saja Tomy lakukan di mana saja?” lanjutnya.
“O, jadi kamu sudah sering melakukannya meskipun kamu masih begitu muda?”
Tomy tidak menjawab. Ia hanya cengar-cengir sambil mengunyah rotinya.
“Ibu seperti tidak pernah muda saja,” lanjutnya.
Rohana ingin menjawabnya, tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Monik.
“Monik? Lama sekali tidak berkabar. Bagaimana keadaan kamu?”
“Saya menunggu telpon dari ibu. Apa ibu marah pada Monik?”
“Tidak, kejadian itu nanti akan kita pikirkan bersama. Ibu sedang akan mendekati Satria lagi.”
“Tapi Bu, Monik ingin mengabarkan sesuatu pada Ibu. Monik hamil.”
“Hamil?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 35 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
Delete✨💖✨💖✨💖✨💖
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
KaeSBe_35 sdh tayang.
Matur nuwun Bu Tien,
semoga Bu Tien &
kelg, sehat & bahagia
selalu. Aamiin.
Salam aduhai...😍🤩
✨💖✨💖✨💖✨💖
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
ADUHAI DEH
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien 🙏
Sami2 ibu Ting..
DeleteMaturnuwun buuu
ReplyDeleteSamo2 ibu Ratna
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteKalah lg sama bu Iin
ReplyDeleteLari kencang ibu Susi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 35_. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Salam sehat mbak Tien 🥰
Salam *ADUHAI*
🙏💞🩷
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
Sami2 jeng Ning
DeleteSalam sehat dan ADUHAI
Terima kasih, bu Tien cantiiik.... sehat2 sekeluarga, yaa...
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasih jeng Mita
Alhamdulillah...terimakasih Bunda..semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Tutus
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
ReplyDeleteSyukron bu Tien, KaeSBe episode_35 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI...
👍👍🌹
Lha ra lidok, ta ....... ?
Monik hamil....
Seharian berkali-kali... masak sih, gak pembuahan?
Tomy memang OYE, thok cer bener......
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
Mstur nuwun mas Kakek
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga. Aamiin 🤲🏽
Salam ADUHAI . . .🌹❤️
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Aduhai deh
Matur nuwun bunda Tien..🙏🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Padmasari
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 35* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Maturnuwun .. Bu Tien .... sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Aduhai Minar.
ReplyDeleteNuwun pak Widay2
DeleteMatur nuwun salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 mbak Yanik
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... Aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~35 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun bu Tien, semoga sehat selalu 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun pak Bam's
Birah masih optimis akan dinikahi Murtono. Boleh saja, tapi apa tidak merasa was dengan sikap acuh Murtono..
ReplyDeleteSebentar lagi Minar kuliah karena rekayasa Kirani. Sebaliknya Monik berhenti kuliah dan harus momong anak. Apa Tomi mau tanggung jawab ya...
Sutar mulai deg deg plas ya, berdekatan dengan Kirani, lanjut saja..
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰🌿💖
ReplyDeleteDuh Birah,, ngotot bener ya
Nah,,satu lg yg bikin pusing Rohana Monik hamil,,, semakin aduhaiii
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih ibu Endah
DeleteAlhamdulillah u Tien
ReplyDeleteTerima kasih cerbunya yg aduhai Bu Tien Kumalasari salam sehat selalu dari Yogya
ReplyDeleteSami2 ibu Ninik
DeleteSalam sehat juga
Satria dari awal tidak tertarik pd Monik, apalagi sekarang hamil oleh Tomi, penasara.. apakah Tomi mau tanggung jawab??? Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai...
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
Terima kasih. Makin seru saja cerbungnya
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah... Sehat selalu mbakyu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun Yulia
Nah loh,....bener kan hamil lu makanya jangan kegenitan yaaa monik
ReplyDeleteMks bun KSB 35 nya .....smg sll sehat, bahagia bersama putro wayah n kelrg semua...aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Matur nuwun Bu Tien, tambah seru ceritanya. Tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Nah, kan...Monik hamil beneran...awas aja kalau masih ngotot minta dinikahi Satria...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏
Sami2 ibu Nana
ReplyDeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, semoga Bu Tien selalu sehat dan bahagia bersama keluarga tercinta 💖🌾
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alsmiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 35 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Sutar diam diam jatuh hati pada Kirani.
Nah lho...witing tresna jalaran saka kulina..ta ya, pupuk terus asmaramu ya..😁😁💐
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDeleteTerimakasih ... BundaTien ... Sehatselalu
ReplyDelete