SEBUAH JANJI 06
(Tien Kumalasari)
Diseberang sana, Barno gemetar memegang ponselnya. Ia
tak menduga, non Sekar yang mengangkatnya.
“Hallo, Barno kan? Kok diam?”
“Oh, iya non, maaf. Saya hanya kaget.”
“Lhoh, kaget kenapa?”
“Nggak nyangka kalau non Sekar yang mengangkat.”
Sekar tertawa lirih.
“Soalnya aku mendengar suara panggilan di ponsel
bibik, lalu aku angkat, barangkali ada yang perlu. Bibik lagi ke warung
sebentar.”
“Oh, iya non. Maaf mengganggu.”
“Tidak kok. Masa begitu saja mengganggu. Bagaimana
skripsi kamu? Kata bibik sekarang sedang mengerjakan skripsi?”
“Iya non, sedikit lagi. Ini lagi istirahat sebentar,
tiba-tiba kangen simbok.”
“Kalau kangen datang saja kemari.”
Dan undangan itu lagi-lagi membuat Barno gemetar. Barno
khawatir kalau Sekar bisa mendengar degup jantungnya yang sangat kencang,
karenanya ia menjauhkan ponselnya dari tubuhnya. Dan karenanya pula Sekar
berteriak-teriak memanggil karena tidak mendengar apa-apa di seberang sana.
“Barno … kamu masih di situ?” setelah teriakan yang kesekian
kali itu Barno baru mendekatkan lagi ponselnya. Ia memarahi dirinya sendiri
karena melupakan pesan simboknya.
“Kamu hanya anaknya simbok, jangan bermimpi yang
muluk-muluk. Tapi siapa sangka perasaan hati tak mau berhenti?” gumam Barno
yang untunglah hanya dalam hati, karena kemudian Sekar kembali berteriak.
“Barno, kamu masih di situ?”
“Oh, eh … iya Non, ini … anu …”
“Kok tiba-tiba diam?”
“Ini Non, buku saya .. jatuh di lantai … baru saya
punguti … “ bohong Barno.
Sekar kembali tertawa. Barangkali kalau Barno melihat
betapa manisnya Sekar kalau tertawa, maka dia akan pingsan selama setahun.
“Makanya kok diam, aku kira kamu ketiduran,” canda
Sekar.
Barno tertawa. Rupanya Non cantik pujaan hatinya itu
juga suka bercanda.
“Non tadi bilang apa ya?”
“Tadi … ooh … itu, kalau kamu kangen sama bibik,
kenapa nggak datang saja kemari.
Istirahat sambil jalan-jalan kemari kan bisa menyegarkan pikiran kamu,
sehingga nanti saat ingin mengerjakan tugas lagi, sudah lebih fresh.”
“Bolehkah? Apakah tidak mengganggu?”
“Ya tidak lah Barno, bibik pasti senang kalau anaknya
datang. Sesibuk apapun, masih ingat menjenguk orang tua, itu kan menyenangkan.
Jangan bibik terus yang nyamperin kamu.”
“Iya Non, baiklah. Saya akan bersiap-siap.
Dan di sana, Barno sedang berlenggang riang menuju
kamar mandi. Lupa pada pesan simboknya agar dia ingat siapa dirinya.
“Jatuh cinta itu kan tidak dosa?” gumamnya perlahan
sambil meraih handuk di sampingnya.
***
Ketika ponsel diletakkan, bibik muncul dari arah
belakang.
“Lhah, bibik terlambat,” kata Sekar.
“Terlambat apa Non?”
“Barusan Barno telpon.”
“Oh ya? Mau ngapain, pagi-pagi telpon?”
“Katanya kangen sama bibik.”
“Anak manja. Minggu yang lalu kan bibik baru pulang.”
“Aku suruh saja dia datang kemari.”
“Apa? Non suruh datang kemari?”
“Iya, kalau kangen dan hanya mendengar suara di
telpon, kan kurang puas.”
“Anak itu bilang kalau sedang sibuk sekripsi.”
“Iya, tadi sedang istirahat, saya suruh saja dia
kemari.”
“Ya sudah, kalau dia mau kemari, bibik nggak usah
menelpon dia saja.”
“Iya Bik, tungguin, dan masakin kesukaan dia.”
Bibik tertawa. Alangkah baiknya si non cantik ini,
kata batinnya. Bibik ingin, besok kalau punya menantu, semoga sebaik non
Sekar.
“Masakan sisa sarapan masih ada, mengapa harus
dimasakin juga.”
“Ya nggak apa-apa Bik.”
“Nggak usah Non, sebentar lagi bibik juga mau masak buat
makan siang nanti. Kalau Barno belum makan, biar sisa yang tadi buat sarapan
saja. Barno juga pasti senang.”
“Ya sudah, terserah Bibik saja. Sekarang aku ke depan
dulu ya Bik, mau bersih-bersih kamar. Nanti kalau Barno datang, beri tahu aku.”
“Iya Non.”
Dalam hati bibik berpikir. Kalau Non Sekar begini
baiknya, bisa-bisa Barno semakin suka, bagaimana? Dasar anak tak tahu diri.
Kata batin simboknya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci.
Sesungguhnya memang bibik sangat menghawatirkan hal itu.
***
“Selamat pagi Yanti,” sapa Samadi yang sedang mau keluar dari warung. Saat itu Aryanti datang bersama Ari.
“Lhoh, kok Pak Samad sudah ada di sini, pagi-pagi?”
“Iya, Minar minta diantar pagi, karena saya juga
sedang ada urusan,” jawab Samadi sambil terus menatap Aryanti.
Ari bukannya tidak tahu. Sikap Samadi ini memang
berlebihan. Yang datang bersama Yanti adalah dirinya, tapi yang di sapa
hanyalah Yanti. Kesal karena tidak di sapa, Ari mendahului menyapa.
“Pagi pak Samad …” katanya sambil menarik Yanti ke
dalam, untuk menemui Minar.
“Eh, pagiii … juga,” jawab pak Samad, tapi jawaban itu
keluar saat kedua wanita itu sudah masuk ke dalam.
Lalu Samadi tersenyum kecut.
“Apakah Ari menyindirku, karena aku hanya menyapa
Yanti. Masa bodoh ah,” gumamnya pelan sambil meninggalkan warung, menuju ke
arah mobilnya.
“Dalam berjalan ke arah dalam itu, Ari berbisik di
telinga Yanti.
“Kamu harus hati-hati.”
“Soal apa?” tanya Aryanti tak mengerti.
“Sikap pak Samad.”
“Memangnya kenapa?”
“Dia itu mata keranjang. Hati-hati kalau kamu didekati.
Dan jangan sampai Minar tahu. Bisa terjadi gempa nanti,” kata Ari
menakut-nakuti. Tapi sebenarnya dia memang takut, karena sikap Yanti juga
begitu manis terhadap Samadi.
“Ah, aku nggak apa-apa kok. Biasa saja.”
“Pokoknya aku sudah mengingatkan,” kata Ari lagi
sambil memasuki ruangan kantor mereka.
“Hei, kalian baru datang?” teriak Minar dari dalam
ruangannya.
“Masih pagi. Kamu yang datang kepagian,” balas Ari dan
Yanti hampir bersamaan.
“Iya, soalnya mas Samad mau ke luar kota, ada urusan
bisnis dia,” jawab Minar.
“O, pantesan, pagi-pagi sudah di sini.”
“Kalian sudah sarapan?” tanya Minar.
“Sudah sih, tapi kalau mau ditraktir masih mau kok,”
canda Aryanti.
“Bukan ditraktir, aku baru saja pesan lontong opor ke
dapur. Sambil menilai, bagaimana masakan mereka,” kata Minar.
“Ya sudah kalau begitu aku juga mau,” kata Ari dan
Yanti hampir bersamaan.
“Baiklah, aku tambah pesannya ya,” kata Minar sambil
menekan interkom ke arah dapur, dan mengatakan pesanan mereka.
“Baru opor yang sudah siap?” tanya Yanti,
“Iya tampaknya, tapi yang goreng-gorengan juga sudah
ada. Coba deh, lihat ke dapur.”
“Semoga hari ini laris manis,” kata Yanti.
“Nanti saja ke dapurnya, kalau sudah makan lontongnya,”
sambung Ari.
“Setelah sarapan, aku mau keluar sebentar. Boleh aku
bawa mobil kamu, Ari?”
“Boleh saja. Mau ke mana? Boleh ikut?”
“Tidak, aku mau ke tempat saudara, yang mau punya
kerja besok bulan depan. Barangkali aku bisa bantu-bantu apa.”
“Tawarin barangkali masakan kita bisa dipesan,” sambung
Yanti.
“Iya, tentu. Aku mau menawarkan nasi liwet milik kita.
Kan nanti ada beberapa yang dia pesan, ada selat Solo, ada sate ayam. Semoga
bukan hanya nasi liwet yang dia mau.”
“Iya, semoga kita semakin laris.”
***
Tapi begitu Minar Beranjak pergi, Ari menarik tangan
Aryanti, diajaknya duduk di sofa.
“Ada apa sih? Aku mau mencicipi masakan mereka di
dapur. Katanya suruh melihat seberapa jauh kepintaran mereka memasak.”
“Aku mau bicara dulu.”
“Serius amat?”
“Kamu kemarin kencan sama pak Samad kan?”
“Haa, kencan apaan?”
“Kamu kira aku tidak tahu, kamu dari makan bersama pak
Samad siang itu. Tidak melihat saat kalian makan sih, tapi kalian sudah ada di
dalam mobil, di komplek warung-warung dan rumah makan langganan kita.”
“Kamu melihatnya? Sendirian?”
“Aku juga sedang mau makan bersama Minar. Saat kamu
pamit pulang karena pusing itu.”
“Jadi Minar juga melihatnya?”
“Untungnya tidak, dan demi menjaga persahabatan kita,
aku diam saja.”
“Terima kasih Ari. Tapi sebenarnya aku tidak kencan.
Aku memang sedikit pusing siang itu, dan kebetulan pak Samad juga mau keluar,
jadinya aku diantar.”
“Kamu kan pamit pulang? Bukannya pamit makan siang.”
“Ceritanya begini. Pak Samad bilang, aku pusing itu
karena sakit atau karena lapar. Dan tiba-tiba aku ingat memang belum makan
sejak pagi. Lalu pak Samad mengajak aku makan. Dan memang benar, setelah makan
pusingku sembuh.”
“Jadi sebenarnya kamu kelaparan? Kan di warung banyak
makanan?”
“Aku tidak tahu kalau pusingku karena lapar.”
“Baiklah, sebagai sahabat, aku hanya mengingatkan
kamu, jangan sampai kamu keterusan. Maksudku, keterusan dengan kebaikan pak
Samad. Dia itu baik karena ada maunya.”
“Masa sih?”
“Dia itu mata keranjang. Kamu itu cantik. Aku yakin
dia tertarik sama kamu, dan ingin melakukan sesuatu yang lebih. Awas saja kamu,
kalau sampai Minar mendengarnya, bisa rusak semuanya.”
Yanti menghela napas panjang. Ia bukan tak tahu bahwa
Samadi tertarik pada dirinya. Ia bukan gadis belia yang masih sangat awam pada
gelagat dari sinar mata seorang lelaki. Dan sebenarnya dia juga tak ingin
melakukannya. Tapi pak Samad sangat murah hati tentang uang yang dipinjamnya. Pinjaman
yang sebenarnya memberatkan dirinya, apalagi pendapatan membuka rumah makan
belum bisa diharapkan. Menurut aturan, selama belum bisa mengangsur dia harus
membayar bunganya, tapi Samadi tidak menagihnya, bahkan seakan membiarkannya.
Itulah yang membuatnya senang dan ingin selalu menyenangkan Samadi.
“Kamu diam, karena berat melakukan saranku tadi?
Menjauhi dia, dan membuat semuanya menjadi baik-baik saja?”
“Bukan berat.”
“Tapi kamu tampak menyukainya juga.”
“Jangan ngawur.”
“Kelihatan, tahu!”
“Aku hanya merasa nggak enak kalau bersikap acuh. Kan
bagaimanapun dia itu suaminya Minar dan sudah menolong aku juga.”
“Nah, merasa sudah ditolong itu mungkin berat bagi
kamu, tapi kamu harus mencari cara agar tidak sampai terjadi keretakan diantara
kita. Aku mengatakan ini, karena kamu sahabat aku demikian juga Minar. Kamu
harus ikut menjaga persahabatan kita ini. Ingatlah bahwa kita sedang berjuang, dan
ini berat.”
Aryanti terdiam, tertunduk kelu. Terbayang di matanya,
lembar demi lembar uang yang harus dikeluarkannya, saat ia harus memenuhi
perjanjian di surat yang sudah ditanda tanganinya.
“Aku hanya mengingatkanmu, semoga kamu mengerti.
***
Bibik sedang menemani anak laki-lakinya makan di dapur
pagi itu, tak lama setelah Barno datang atas ‘undangan’ Sekar. Bibik
mengerucutkan bibirnya, ketika melihat Barno tampak begitu gembira.
“He, kamu masih ingat apa yang simbok katakan kan?” bisik bibik diantara makan, takut ada yang mendengarnya.
“Tentang apa?”
“Tentang sikapmu itu. Ingat dan ingat, kamu hanya
anaknya simbok. Mengerti bukan maksud simbok?”
Barno justru tersenyum lebar.
“Heeh, jangan senyum-senyum begitu. Jelek tahu,”
hardik bibik sambil memperpelankan suaranya.
“Simbok, aku melakukan apa?”
“Pandangan matamu saat menatap non Sekar. Simbok
khawatir, akan terjadi hal yang tidak mengenakkan kalau kamu tidak bisa
menahannya.”
“Simbok jangan khawatir. Barno bisa menjaga diri.”
“Benar?”
Barno mengangguk. Bibik mengangkat piring kotor dari
meja dapur, dan Barno membantu membersihkan mejanya.
“Kok sudah makannya?” tanya pak Winarno yang tiba-tiba
muncul.
“Sudah Pak, datang-datang disuruh makan.”
“Tidak apa-apa. Ini juga rumah simbokmu. Makan
sekenyang kamu.”
“Iya Pak, terima kasih banyak. Ini sudah sangat
kenyang.”
“Bagaimana skripsi kamu?”
“Sudah hampir selesai Pak.”
“Aku senang dan ikut bangga, bibik memiliki anak sepintar
kamu.”
“Karena bantuan Bapak juga.”
“Tidak seberapa. Yang paling besar dan berjasa dalam
hidup kamu adalah simbokmu. Dia bukan hanya mencukupi kebutuhanmu, tapi juga
mendorongmu dengan doa. Itu yang lebih berharga. Kamu tidak boleh melupakannya.”
“Iya Pak.”
“Ya sudah, aku sedang mencari Sekar, dimana dia?”
“Tadi bilang sedang membersihkan kamar Pak,” sahut
bibik.
“Aku mau menyuruhnya membeli balon lampu. Lampu di
ruang tengah mati.”
“Biar saya saja yang membelikannya.”
“Lhoh, Barno sudah selesai makannya?” kata Sekar yang
tiba-tiba muncul.
“Sudah Non,” kata Barno sambil menundukkan wajahnya.
Ada simboknya yang mengawasinya, dan Barno takut kena semprot lagi kalau berani
menatap non cantiknya.
“Sekar, bapak mau minta tolong, lampu di ruang tengah
mati, jangan sampai nanti malam jadi gelap gulita saat kita menonton televisi.”
“Baiklah pak, biar saya belikan sebentar.”
“Biar saya saja Non,” sahut Barno.
“Lho, kok jadi berebut?” kata pak Winarno sambil
tersenyum.
“Saya juga mau mencari buku yang saya butuhkan.”
“Kalau begitu kita sama-sama saja belinya,” kata
Sekar.
“Ya sudah, kalian beli juga nggak apa-apa, sebentar
bapak ambilkan uangnya,” kata pak Winarno sambil berlalu, dan Sekarpun beranjak
ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Barno tersenyum senang, tapi bibik mencubit lengannya
dengan keras.
“Adduhh, simboook !”
“Ingat pesan simbok!” kata bibik tandas.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteWaah mbk Iin.....yess banget
DeleteSelamat kancilku ......
DeleteMenang lagi ya balapannya
Terima kasih bu Tien eSJe episode 6 sdh tayang. Salam SEROJA tetap sehat ya bunda,....
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteKalau rumah makan sepi, terus bagaimana Aryanti mengembalikan pinjaman?
DeleteBarno, hati hati ya jangan bikin kecewa gadis.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Matur nuwun bun
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, smg slalu sehat dan penuh semangat
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~06 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
ReplyDeleteAlhamdullilah sdh tayang SJ 06..terima ksih bunda..slmt mlm dan Slmt istrhat..semangat terus..slm sht sll dri skbmiππ₯°πΉ
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI 06 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Matur nuwun, bu Tien. Semangat Merdeka
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteDatang GASIK
Matur nuwun bu Tien
Soga sehat selalu
Dan tetap semangat
Terimakasih
ReplyDeleteD makasih bunda tayangannya
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tienπ·π·π·π·π·
Matur nuwun bunda Tien, SJ-06 telah tayang..
ReplyDeletemasih sore...gasik ππ₯°
maturnuwunπ
ReplyDeleteAlhamdulilah, terima kasih bu tien..salam sehat dari pondok gedev
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang, suwun Bu Tien....
ReplyDeleteSalam sehat selalu....ππ
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, Matur nuwun bu Tienku
ReplyDeleteBarno jgn nakal ya ,,tuh jd kena cubit simbok kan π€£π€£π€
Salam sehat wal'afiat ya bu Tienku π€π₯°
Alhamdulillah Sebuah Janji Eps. 06 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat dari Tangerang.
Aduh, kok ceritanya seperti pendek sekali...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Aduhai
Waah...terima kasih...ibu Tien konsisten sekali...hari besar pun masih menulis untuk kita. Salut! Merdekaa...π²π¨π
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah,semoga kita sehat juga bu Tien
ReplyDeletehttps://slides.com/bgf_design/deck
ReplyDeletehttps://www.slideserve.com/upload.php
ReplyDelete