SEBUAH JANJI 07
(Tien Kumalasari)
Jalanan siang itu sangat terik dan ramai oleh lalu lintas
yang bersuara membisingkan, membuat para pejalan kaki merasa letih dan
kehausan.
Sekar dan Barno sudah membeli balon lampu pesanan pak
Winarno, kemudian mereka memasuki sebuah toko buku yang cukup
besar.
“Mengapa non Sekar tidak melanjutkan kuliah?” tanya
Barno tiba-tiba, dengan memberanikan diri.
“Aku?”
“Ya, maaf kalau saya lancang.”
“Tidak apa-apa. Wajar saja kalau kamu bertanya. Tapi
jawabannya adalah, bahwa aku harus membantu orang tua. Bapak sudah pensiun, ibu
merasa tidak kuat membiayai aku lagi, jadi lebih baik aku berhenti dan bekerja,
untuk meringankan beban orang tua.”
“Sayang sekali ya,” kata Barno sambil memilih-milih
buku yang dicarinya.
“Nggak apa-apa Barno. Aku itu tidak begitu pintar
seperti kamu, yang bisa mendapatkan bea siswa, barangkali suatu hari nanti
kalau tabunganku sudah cukup, baru aku akan melanjutkannya lagi.”
“Semoga keinginan itu bisa terlaksana.”
“Aamiin.”
“Seandainya saya bisa membantu,” gumam Barno.
Sekar menoleh ke arah Barno, dan tersenyum. Ucapan itu
menunjukkan kepeduliannya pada dirinya, membuat Sekar terharu.
“Terima kasih Barno. Nanti akan tiba saatnya, aku bisa
mewujudkan mimpiku, tanpa memberatkan orang tua.”
“Saya akan mendukung Non.”
Tapi dari jawaban dan nada suara Sekar, Barno merasa
bahwa non cantiknya ini sungguh sangat tertekan dalam menjalani hari-harinya.
Ada rasa iba yang melintas. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Seandainya dia
sudah menjadi orang, yang punya penghasilan, maka dia berjanji akan
membantunya. Sekarang ini bahkan dia justru kerap kali merepotkan keluarga Winarno.
“Aku tidak seberuntung kamu, Barno.”
“Mengapa Non berkata begitu?”
“Kamu bisa memilih apa yang kamu sukai, sedangkan aku
tidak.”
Lagi-lagi yang didengarnya adalah sebuah keluhan.
Ingin rasanya Barno merengkuh non cantiknya ke dalam pelukannya, untuk menghiburnya.
Tapi mana mungkin dia berani melakukannya? Pesan simbok kembali mengiang
ditelinganya. Simbok yang selalu mengingatkan, bahwa dia itu anak siapa, non
cantik itu anak siapa.
“Ya Tuhan …” keluh itu terlontar begitu saja dari
mulutnya, membuat Sekar kemudian menoleh lagi ke arahnya.
“Kenapa, Barno?”
“Ah, iya … itu, mm … bukunya belum ketemu juga,” elak
Barno.
“Kamu mau mencari yang apa? Ada terpilah di setiap
jenis bukunya. Hukum … di sana … kalau sejarah … disana … kalau …”
“Oh, sudah … sudah Non, itu, di sana.”
Barno melangkah ke arah yang dimaksud.
“Kamu membawa uang?” tanya Sekar.
“Ada Non, pemberian simbok minggu kemarin masih ada
sisa, dan cukup kok.”
Barno menuju ke arah buku yang dicarinya.”
Sekar mengikutinya. Khawatir uang yang dimiliki Barno
masih kurang. Tapi ternyata tidak.
Barno tersenyum saat mengambil buku yang sudah
dibayarnya, lalu mengajak Sekar keluar dari sana.
“Sudah cukup?”
“Sudah Non, kelamaan ya, pakai mengantar saya segala.”
“Tidak, kan ini hari Minggu aku tidak punya pekerjaan.”
“Tapi bapak kan kelamaan menunggunya.”
“Lampunya kan baru digunakan malam nanti. Masa sih
siang-siang nyalain lampu?”
“Iya juga sih. Tapi kalau lama nanti dikira saya
menculik Non Sekar?” canda Barno sambil keluar dari toko.
Sekar tertawa. Barno melirik sekilas, menahan debar
jantungnya. Bagaimana ceritanya, sampai ada gadis secantik non Sekar ini? Kata batin
Barno.
“Gerah ya setelah kita diluar.”
“Iya, kan di dalam ada AC nya. Padahal sepeda motornya
diparkir agak jauh dari sini.”
“Nggak apa-apa kita sambil jalan-jalan.”
“Panas terik begini. Atau Non tunggu saja disini, biar
saya yang jalan mengambil motor saya.”
“Nggak apa-apa, tadi aku melihat ada warung rujak di
situ, kita beli rujak ya?”
“Oh, benarkah? Bagus kalau begitu.”
Lalu keduanya berjalan ke arah di mana Sekar melihat
sebuah warung rujak. Panas tidak terasa, karena hati sedang diliputi rasa
senang. Barno seperti menemukan sebongkah berlian, karena bisa berjalan di
samping gadis cantik yang sangat dikaguminya. Sedangkan Sekar senang karena
belum pernah jalan-jalan sesantai siang itu bersama seorang teman yang
menyenangkan.
Mereka memasuki warung rujak, dan memesan dua porsi
rujak untuk mereka.
“Saya yang pedas ya Mbak," teriak Sekar.
“Ya ampun Non, suka pedes ya?”
“Suka banget.”
“Kebalikan sama saya. Saya nggak begitu suka pedes.”
“Makanya kamu pendiam, tidak seperti aku, cerewet.”
“Memangnya kesukaan pedas dan tidak itu mempengaruhi
cara kita berbicara?”
“Iya lah, kamu tahu … ada burung … eh benar nggak ya,
supaya rajin mengoceh, lalu dikasih makanan pedas lho.”
Barno terkekeh.
“Memangnya manusia sama dengan burung?”
“Iya ‘kali.”
Sekar heran, baru beberapa kali bertemu Barno setelah
dewasa, tapi ia merasa sudah sangat akrab. Dulu waktu masih kecil, Barno itu pemalu.
Selalu Sekar yang mengajaknya bicara supaya Barno mau membuka mulutnya.
Sekarangpun Barno juga tidak begitu banyak bicara. Pembicaraan itu, lebih
dominan Sekar yang berkicau bak burung beo. Barno semakin terpesona. Mulut
setipis itu, bagaimana bisa memiliki kicauan yang sangat menarik?
Mereka keluar dari warung rujak itu setelah merasa
segar dari udara yang sangat terik. Tapi saat mereka berjalan ke arah sepeda
motor, tiba-tiba Sekar sadar bahwa didepannya adalah rumah makan yang
didirikan oleh ibu tirinya dan teman-temannya.
Saat melintas itu kebetulan ibu tirinya melihatnya,
lalu bergegas menghampiri.
“Sekar !” Aryanti berteriak.
Sekar menghentikan langkahnya. Barno tidak lupa,
wanita cantik yang menghampiri mereka adalah bu Yanti, istri pak Winarno.
Begitu dekat, Aryanti menatap Barno tak berkedip.
Barno mendekat, lalu meraih tangan Aryanti, tapi wanita cantik itu menepisnya.
“Kamu siapa?”
“Saya Barno, Bu.”
“Barno? Apakah Barno anaknya bibik?”
“Iya Bu.”
“Mengapa kamu berjalan bersama Barno, Sekar?”
“Bapak menyuruh kami membeli balon lampu. Kebetulan
Barno ada di rumah, lalu mengantar Sekar,”
terang Sekar.
“Apa-apaan kamu itu Sekar? Kamu tidak malu berjalan
bersama anak pembantu?” tanya Yanti sambil menatap tajam anak tirinya.
Sekar terkejut. Ia tak mengira ibu tirinya tega
mengeluarkan kata-kata pedas itu.
“Mengapa ibu berkata begitu? Memangnya salah kalau
saya berjalan bersama dia?”
“Itu memalukan, tahu?”
“Tidak Bu, Sekar tidak malu. Permisi Bu, Sekar pulang
dulu, bapak pasti sudah menunggu,” kata Sekar sambil melangkah pergi, diikuti
Barno yang merasa sedikit terluka.
***
“Siapa gadis itu?” yang bertanya adalah Samadi, yang
kebetulan mau keluar dari rumah makan.
“Itu, anak saya Pak.”
“Oh, anak tiri kamu? Cantik bener, tidak kalah sama
ibunya.”
“Tapi saya kesal, dia berjalan sama anak pembantu.”
“Anak pembantu? Laki-laki gagah dan tampan itu anak
pembantu?”
“Iya, anaknya bibik, pembantu saya.”
“Tapi dia gagah dan ganteng, tidak aneh kalau anak
kamu tertarik sama dia.”
“Mana bisa begitu? Memalukan,” sungut Aryanti.
“Tidak memalukan kok. Sekilas seperti pasangan
kekasih. Satunya cantik, satunya ganteng.”
“Mana bisa begitu? Saya tidak sudi punya besan
pembantu,” sungut Aryanti sambil beranjak ke dalam.
“Baiklah, carikan jodoh laki-laki kaya untuk anak tiri
kamu. Biar tua, tapi kaya,” kata Samadi sambil tersenyum aneh, kemudian
berlalu.
Aryanti diam, sambil mencoba mencerna kata-kata Samadi
yang sedang melangkah menuju mobilnya.
“Ada apa Yanti? Kamu mau ikut suami aku pergi?” yang
datang adalah Minar, curiga melihat suaminya berbincang dengan Aryanti.
“Tidak, aku melihat anakku lewat, lalu aku samperin
dia.”
“Maksudmu, anak tiri kamu?”
“Iya.”
“Mengapa tidak disuruh mampir dan makan di sini?”
“Tidak, aku sedang kesal karena dia jalan bersama anak
pembantuku.”
“Oo, begitu? Jadi menantu kamu itu anak pembantu?”
“Wah, amit-amit deh, mana aku mau punya besan
pembantu,” sungut Aryanti yang kemudian melangkah masuk ke dalam warung
kembali.
***
“Barno, aku minta maaf ya, atas apa ysng ibu katakan tadi,”
kata Sekar sambil berjalan.
“Tidak apa-apa Non, mengapa Non harus meminta maaf?”
“Bukankah kata-katanya tadi sangat kasar dan
merendahkan?”
“Bukankah itu kenyataannya?” sahut Barno, pahit.
“Tidak. Bukan begitu seharusnya. Aku adalah orang yang
tidak bisa membedakan satu dan lain orang dari kedudukannya. Aku tidak pernah
menganggap bibik itu rendah. Bibik bahkan seperti ibuku sendiri. Perhatian dan
kasih sayangnya terhadapku membuat aku merasa ada pengganti ibu kandungku.
Benar-benar ibu kandungku, bukan sekedar ibu tiri.”
“Non Sekar seorang gadis yang baik, yang memiliki hati
mulia. Rendah hati dan selalu menghargai orang lain. Saya kagum sama Non.
Kecuali itu, Non juga cantik,” kata Barno berterus terang.
Pujian itu membuat Sekar senang, tentu saja. Perempuan
mana sih yang tidak suka dipuji?”
“Kamu selalu bisa menyenangkan hati aku. Sekali lagi
jangan masukkan ke dalam hati apa yang ibu katakan tadi.”
“Baiklah. Tentu saja tidak. Saya biarkan orang merendahkan
saya, tanpa merasa tersakiti, dan karena itu saya juga tidak merasa sakit.”
“Kamu laki-laki yang baik. Bibik pasti bahagia punya
anak laki-laki sebaik kamu.”
“Saya berusaha menanamkan apa yang selalu simbok
ajarkan. Jangan merasa rendah, tapi juga dilarang merasa tinggi. Merasa rendah
membuat kita tidak berani melangkah. Merasa tinggi membuat orang tidak bisa
menghargai orang lain.”
“Aku percaya, bibik seorang ibu yang baik, dan
mendidik anak semata wayangnya dengan ajaran-ajaran yang baik pula.
“Ada dua orang baik yang saya kenal lebih dekat. Satu,
simbok saya, yang kedua adalah Non Sekar.” Kata Barno sambil mengambil sepeda
motor bututnya, dan Sekar siap duduk di boncengannya.
Sekar tersenyum, manis sekali. Lalu Barno sejenak
melupakan pesan simboknya. Masa sih, senyuman semanis itu harus dilewatkan begitu
saja?.
***
Barno pamit pulang setelah memasangkan lampu ruang
tengah di rumah pak Winarno yang mati sejak pagi.
“Sering-seringlah main ke sini, Barno, supaya simbokmu
senang,” pesan pak Winarno.
“Baik Pak, terima kasih. Nanti setelah saya sudah menyelesaikan
sekolah saya.”
“Bagus, segera selesaikan. Raih cita-cita kamu
setinggi langit, agar bisa menjunjung derajat orang tua kamu.”
“Saya mohon doa restunya.”
“Tentu aku akan ikut mendoakan kamu. Ini, terimalah,
hanya untuk jajan saja,” kata pak Winarno sambil menyerahkan beberapa lembar
uang.
“Tidak Pak, terima kasih. Saya masih punya.”
“Terima saja, jangan menolak rejeki.”
Barno menerimanya karena dipaksa. Sekar menatapnya
sambil tersenyum. Tapi ketika Barno membalas dengan senyuman pula, bibik
memelototinya. Dan itu justru membuat senyuman Barno semakin lebar. Karena
gemas melihat ulah anaknya, maka bibik mengikutinya sampai Barno menaiki sepeda
motornya, lalu mencubit lengannya keras.
“Aaauuw, simbok nih,” teriak Barno yang kemudian
membawa motornya pergi meninggalkan halaman rumah pak Winarno.
“Kenapa anakmu kamu cubit Bik?” tanya pak Winarno
karena dia melihat apa yang tadi dilakukan bibik kepada anaknya.
Bibik tertawa nyengir.
“Gemas saja sama dia Pak, bawel dia tuh.”
“Rupanya kamu juga bisa galak sama anak kamu?”
“Ya bisa Pak, kalau dia nyebelin ya saya cubit,” kata
bibik sambil melangkah ke belakang, diiringi Sekar yang juga tersenyum melihat
ulah bibik kepada anaknya.
***
Tapi malam itu Aryanti marah-marah pada suaminya,
gara-gara mengijinkan Sekar jalan sama Barno. Dikamar, ia menahan suaminya agar
tidak tidur terlebih dulu, untuk bicara.
“Memangnya kenapa kalau mereka jalan? Memang aku yang
menyuruhnya,” kesal pak Winarno.
“Bapak tidak ingat, Barno itu siapa? Dia hanya anak
pembantu, bapak lupa?”
“Tentu saja aku ingat, aku tahu, aku sadar. Apa
salahnya kalau Barno anak pembantu? Untuk apa kamu membeda-bedakan derajat diantara
kita?”
“Aku tidak bisa menerima itu. Dia itu tidak pantas.
Sekarang cuma jalan berdua, bagaimana kalau lama-lama mereka saling jatuh
cinta? Repot kan?”
“Kenapa repot? Semua orang memiliki cinta, apa yang
salah kalau mereka memang saling jatuh cinta?”
“Waduh, celaka kalau Bapak punya pemikiran seperti
itu. Harusnya ya Pak, punya anak gadis cantik itu, dicarikan suami yang kaya,
yang bisa menjunjung derajat kita, yang bisa membuat kita bangga.”
“Aku, akan menyerahkan semuanya kepada yang menjalani.
Dan jangan belum-belum kamu menuduh Barno melakukan hal yang tidak pantas.”
“Aku hanya khawatir. Biarpun Sekar itu hanya anak
tiri, tapi dia sudah seperti anakku. Aku ingin Sekar hidup bahagia dan
terhormat. Tidak berhubungan dengan sembarang orang.”
Pak Winarno kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan
istrinya. Ia memilih diam, membaringkan tubuhnya di pembaringan dan menutup
mata.
***
“Pagi itu, Samadi yang seperti menunggu kedatangan
Aryanti, tak peduli Ari menampakkan wajah masam, ia menahan Aryanti untuk
bicara.
“Yanti, apa kamu mau semua hutangmu lunas?”
“Maksudnya?”
“Semua hutang kamu akan aku anggap lunas, tapi ada
syaratnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteYesssss.....!!!!
ReplyDeleteAlhamdulillah eSJe_07 sdh tayang... Dapat juara nggak,.. ya???
Pelari cepatnya selain "wong jogja" yang baru pulang dari tanah suci juga "spinter" nya wag pctk .....☺️☺️☺️☺️☺️
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang
ReplyDeleteHutangmu lunas kalau kamu tukar dengan anak tirimu...
DeleteBegitu mungkin, kira kira, kalau tidak salah.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Ternyata juaranya jeng Nani...,..
ReplyDeleteKalah banter karo perenang yang satu ini..... di kolam saja buanter apalagi di udara.
Matur nuwun Mbak Tien ku sayang. Smoga Mbak Tien selalu sehat wal afiat. Salam aduhai selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteDatang gasik
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu
Dan tetap semangat
Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sampun tayang, salam sehat dari Cibubur muaach
ReplyDeleteYeeees....... gasik
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien..
Semoga sehat selalu..
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~07 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdullilah..matwun bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrht..slm sehat dan semangat dri sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMtrnwn mb Tien
Makasih bunda tayangan nya
ReplyDeleteAlhamdulillah Sebuah Janji 07sudah tayang.....matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteWalah syaratnya pasti anak tirinya Sekar buat bayar.
ReplyDeleteBarokallah
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah Cerbung Sebuah Janji Eps. 07 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga mbak Tien sekeluarga tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT.
Aamiin YRA.
Djiah..
ReplyDeleteIni Samad kalau lihat yang seger seger nggak bisa tenang rupanya mau anak tiri Yanti, yang lebih muda tentu, apalagi cantik.
Mulai atur siasat dengan mengurangi beban utang Yanti, ditukar anak tiri nya.
Tuh kan ada pilihan Yan, kamu tinggal mensiasati agar Sekar nurut, soal ribut sama Marni biar sama Sekar, jadi ributnya nggak sama kamu.
Kalau Sekar mau tapi minta dibayari dan eksekusinya setelah selesai kuliah gimana.
Buaya kok mau diakali kan nggak punya pemikiran, tahunya ada makanan yang disukai gitu aja.
Kalau Yanti mempertimbangkan kemauan Samad ya wajar kan dia memang kepingin punya orang kaya, bakal buat mesin atm yang sewaktu-waktu dibutuhkan tinggal colek, bisa double decker juga seeh, dengan syarat gitu utang Yanti lunas.
Sebenarnya ke-dua orang ini sama-sama perayu Yanti pinter ngrayu Winarno, Samad pinter bermulut manis didepan Marni, tapi beranikah Ari memberi alarm ke Sekar, dan atau pada Marni?
Samad memang jadi manager ; carinya mana aja yang penting seger.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ke tujuh sudah tayang. Sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
di episode ini penuh makna dan nasehat, salah satu diataranya, kata bijak dibawah ini :
ReplyDelete“Saya berusaha menanamkan apa yang selalu simbok ajarkan. Jangan merasa rendah, tapi juga dilarang merasa tinggi. Merasa rendah membuat kita tidak berani melangkah. Merasa tinggi membuat orang tidak bisa menghargai orang lain.”
Memang....... siapa dulu dong, penulisnya.
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah.....suwun Bu Tien....
ReplyDeleteSalam sehat selalu....😊🙏
Jangan sampai Sekar jadi tumbal ibu tirinya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu
Alhamdulillah...
ReplyDeleteBetul Kakek ...
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSyaratnya Sekar diserahkan kepada, Samidi...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Pak Samad, Bibik, Barno dan sekar semua orang2 baik.
ReplyDeleteRendah hati, peduli, sopan.
Semoga niat orang2 baik dimudahkan Tuhan sehingga akan memperoleh kebahagiaannya...
Trims bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien. Semoga sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Dan tetap semangat
http://www.juxtapost.com/site/permlink/625d95b0-f868-11ec-b71c-a593b6f9d9b5/postall/smokepitara/
ReplyDeletehttp://www.yuuby.com/photo/?pid=257621&pict=725341
ReplyDeleteDasar tua ..ambil kesempatan dlm.ketidak berdayaan..trima kasih bu Tien
ReplyDelete