Thursday, August 18, 2022

SEBUAH JANJI 07

 

SEBUAH JANJI  07

(Tien Kumalasari)

 

Jalanan siang itu sangat terik dan ramai oleh lalu lintas yang bersuara membisingkan, membuat para pejalan kaki merasa letih dan kehausan.

Sekar dan Barno sudah membeli balon lampu pesanan pak Winarno, kemudian mereka memasuki sebuah toko buku yang cukup besar.

“Mengapa non Sekar tidak melanjutkan kuliah?” tanya Barno tiba-tiba, dengan memberanikan diri.

“Aku?”

“Ya, maaf kalau saya lancang.”

“Tidak apa-apa. Wajar saja kalau kamu bertanya. Tapi jawabannya adalah, bahwa aku harus membantu orang tua. Bapak sudah pensiun, ibu merasa tidak kuat membiayai aku lagi, jadi lebih baik aku berhenti dan bekerja, untuk meringankan beban orang tua.”

“Sayang sekali ya,” kata Barno sambil memilih-milih buku yang dicarinya.

“Nggak apa-apa Barno. Aku itu tidak begitu pintar seperti kamu, yang bisa mendapatkan bea siswa, barangkali suatu hari nanti kalau tabunganku sudah cukup, baru aku akan melanjutkannya lagi.”

“Semoga keinginan itu bisa terlaksana.”

“Aamiin.”

“Seandainya saya bisa membantu,” gumam Barno.

Sekar menoleh ke arah Barno, dan tersenyum. Ucapan itu menunjukkan kepeduliannya pada dirinya, membuat Sekar terharu.

“Terima kasih Barno. Nanti akan tiba saatnya, aku bisa mewujudkan mimpiku, tanpa memberatkan orang tua.”

“Saya akan mendukung Non.”

Tapi dari jawaban dan nada suara Sekar, Barno merasa bahwa non cantiknya ini sungguh sangat tertekan dalam menjalani hari-harinya. Ada rasa iba yang melintas. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Seandainya dia sudah menjadi orang, yang punya penghasilan, maka dia berjanji akan membantunya. Sekarang ini bahkan dia justru kerap kali merepotkan keluarga Winarno.

“Aku tidak seberuntung kamu, Barno.”

“Mengapa Non berkata begitu?”

“Kamu bisa memilih apa yang kamu sukai, sedangkan aku tidak.”

Lagi-lagi yang didengarnya adalah sebuah keluhan. Ingin rasanya Barno merengkuh non cantiknya ke dalam pelukannya, untuk menghiburnya. Tapi mana mungkin dia berani melakukannya? Pesan simbok kembali mengiang ditelinganya. Simbok yang selalu mengingatkan, bahwa dia itu anak siapa, non cantik itu anak siapa.

“Ya Tuhan …” keluh itu terlontar begitu saja dari mulutnya, membuat Sekar kemudian menoleh lagi ke arahnya.

“Kenapa, Barno?”

“Ah, iya … itu, mm … bukunya belum ketemu juga,” elak Barno.

“Kamu mau mencari yang apa? Ada terpilah di setiap jenis bukunya. Hukum … di sana … kalau sejarah … disana … kalau …”

“Oh, sudah … sudah Non, itu, di sana.”

Barno melangkah ke arah yang dimaksud.

“Kamu membawa uang?” tanya Sekar.

“Ada Non, pemberian simbok minggu kemarin masih ada sisa, dan cukup kok.”

Barno menuju ke arah buku yang dicarinya.”

Sekar mengikutinya. Khawatir uang yang dimiliki Barno masih kurang. Tapi ternyata tidak.

Barno tersenyum saat mengambil buku yang sudah dibayarnya, lalu mengajak Sekar keluar dari sana.

“Sudah cukup?”

“Sudah Non, kelamaan ya, pakai mengantar saya segala.”

“Tidak, kan ini hari Minggu aku tidak punya pekerjaan.”

“Tapi bapak kan kelamaan menunggunya.”

“Lampunya kan baru digunakan malam nanti. Masa sih siang-siang nyalain lampu?”

“Iya juga sih. Tapi kalau lama nanti dikira saya menculik Non Sekar?” canda Barno sambil keluar dari toko.

Sekar tertawa. Barno melirik sekilas, menahan debar jantungnya. Bagaimana ceritanya, sampai ada gadis secantik non Sekar ini? Kata batin Barno.

“Gerah ya setelah kita diluar.”

“Iya, kan di dalam ada AC nya. Padahal sepeda motornya diparkir agak jauh dari sini.”

“Nggak apa-apa kita sambil jalan-jalan.”

“Panas terik begini. Atau Non tunggu saja disini, biar saya yang jalan mengambil motor saya.”

“Nggak apa-apa, tadi aku melihat ada warung rujak di situ,  kita beli rujak ya?”

“Oh, benarkah? Bagus kalau begitu.”

Lalu keduanya berjalan ke arah di mana Sekar melihat sebuah warung rujak. Panas tidak terasa, karena hati sedang diliputi rasa senang. Barno seperti menemukan sebongkah berlian, karena bisa berjalan di samping gadis cantik yang sangat dikaguminya. Sedangkan Sekar senang karena belum pernah jalan-jalan sesantai siang itu bersama seorang teman yang menyenangkan.

Mereka memasuki warung rujak, dan memesan dua porsi rujak untuk mereka.

“Saya yang pedas ya Mbak," teriak Sekar.

“Ya ampun Non, suka pedes ya?”

“Suka banget.”

“Kebalikan sama saya. Saya nggak begitu suka pedes.”

“Makanya kamu pendiam, tidak seperti aku, cerewet.”

“Memangnya kesukaan pedas dan tidak itu mempengaruhi cara kita berbicara?”

“Iya lah, kamu tahu … ada burung … eh benar nggak ya, supaya rajin mengoceh, lalu dikasih makanan pedas lho.”

Barno terkekeh.

“Memangnya manusia sama dengan burung?”

“Iya ‘kali.”

Sekar heran, baru beberapa kali bertemu Barno setelah dewasa, tapi ia merasa sudah sangat akrab. Dulu waktu masih kecil, Barno itu pemalu. Selalu Sekar yang mengajaknya bicara supaya Barno mau membuka mulutnya. Sekarangpun Barno juga tidak begitu banyak bicara. Pembicaraan itu, lebih dominan Sekar yang berkicau bak burung beo. Barno semakin terpesona. Mulut setipis itu, bagaimana bisa memiliki kicauan yang sangat menarik?

Mereka keluar dari warung rujak itu setelah merasa segar dari udara yang sangat terik. Tapi saat mereka berjalan ke arah sepeda motor, tiba-tiba Sekar sadar bahwa didepannya adalah rumah makan yang didirikan oleh ibu tirinya dan teman-temannya.

Saat melintas itu kebetulan ibu tirinya melihatnya, lalu bergegas menghampiri.

“Sekar !” Aryanti berteriak.

Sekar menghentikan langkahnya. Barno tidak lupa, wanita cantik yang menghampiri mereka adalah bu Yanti, istri pak Winarno.

Begitu dekat, Aryanti menatap Barno tak berkedip. Barno mendekat, lalu meraih tangan Aryanti, tapi wanita cantik itu menepisnya.

“Kamu siapa?”

“Saya Barno, Bu.”

“Barno? Apakah Barno anaknya bibik?”

“Iya Bu.”

“Mengapa kamu berjalan bersama Barno, Sekar?”

“Bapak menyuruh kami membeli balon lampu. Kebetulan Barno ada  di rumah, lalu mengantar Sekar,” terang Sekar.

“Apa-apaan kamu itu Sekar? Kamu tidak malu berjalan bersama anak pembantu?” tanya Yanti sambil menatap tajam anak tirinya.

Sekar terkejut. Ia tak mengira ibu tirinya tega mengeluarkan kata-kata pedas itu.

“Mengapa ibu berkata begitu? Memangnya salah kalau saya berjalan bersama dia?”

“Itu memalukan, tahu?”

“Tidak Bu, Sekar tidak malu. Permisi Bu, Sekar pulang dulu, bapak pasti sudah menunggu,” kata Sekar sambil melangkah pergi, diikuti Barno yang merasa sedikit terluka.

***

“Siapa gadis itu?” yang bertanya adalah Samadi, yang kebetulan mau keluar dari rumah makan.

“Itu, anak saya Pak.”

“Oh, anak tiri kamu? Cantik bener, tidak kalah sama ibunya.”

“Tapi saya kesal, dia berjalan sama anak pembantu.”

“Anak pembantu? Laki-laki gagah dan tampan itu anak pembantu?”

“Iya, anaknya bibik, pembantu saya.”

“Tapi dia gagah dan ganteng, tidak aneh kalau anak kamu tertarik sama dia.”

“Mana bisa begitu? Memalukan,” sungut Aryanti.

“Tidak memalukan kok. Sekilas seperti pasangan kekasih. Satunya cantik, satunya ganteng.”

“Mana bisa begitu? Saya tidak sudi punya besan pembantu,” sungut Aryanti sambil beranjak ke dalam.

“Baiklah, carikan jodoh laki-laki kaya untuk anak tiri kamu. Biar tua, tapi kaya,” kata Samadi sambil tersenyum aneh, kemudian berlalu.

Aryanti diam, sambil mencoba mencerna kata-kata Samadi yang sedang melangkah menuju mobilnya.

“Ada apa Yanti? Kamu mau ikut suami aku pergi?” yang datang adalah Minar, curiga melihat suaminya berbincang dengan Aryanti.

“Tidak, aku melihat anakku lewat, lalu aku samperin dia.”

“Maksudmu, anak tiri kamu?”                                                   

“Iya.”

“Mengapa tidak disuruh mampir dan makan di sini?”

“Tidak, aku sedang kesal karena dia jalan bersama anak pembantuku.”

“Oo, begitu? Jadi menantu kamu itu anak pembantu?”

“Wah, amit-amit deh, mana aku mau punya besan pembantu,” sungut Aryanti yang kemudian melangkah masuk ke dalam warung kembali.

***

“Barno, aku minta maaf ya, atas apa ysng ibu katakan tadi,” kata Sekar sambil berjalan.

“Tidak apa-apa Non, mengapa Non harus meminta maaf?”

“Bukankah kata-katanya tadi sangat kasar dan merendahkan?”

“Bukankah itu kenyataannya?” sahut Barno, pahit.

“Tidak. Bukan begitu seharusnya. Aku adalah orang yang tidak bisa membedakan satu dan lain orang dari kedudukannya. Aku tidak pernah menganggap bibik itu rendah. Bibik bahkan seperti ibuku sendiri. Perhatian dan kasih sayangnya terhadapku membuat aku merasa ada pengganti ibu kandungku. Benar-benar ibu kandungku, bukan sekedar ibu tiri.”

“Non Sekar seorang gadis yang baik, yang memiliki hati mulia. Rendah hati dan selalu menghargai orang lain. Saya kagum sama Non. Kecuali itu, Non juga cantik,” kata Barno berterus terang.

Pujian itu membuat Sekar senang, tentu saja. Perempuan mana sih yang tidak suka dipuji?”

“Kamu selalu bisa menyenangkan hati aku. Sekali lagi jangan masukkan ke dalam hati apa yang ibu katakan tadi.”

“Baiklah. Tentu saja tidak. Saya biarkan orang merendahkan saya, tanpa merasa tersakiti, dan karena itu saya juga tidak merasa sakit.”

“Kamu laki-laki yang baik. Bibik pasti bahagia punya anak laki-laki sebaik kamu.”

“Saya berusaha menanamkan apa yang selalu simbok ajarkan. Jangan merasa rendah, tapi juga dilarang merasa tinggi. Merasa rendah membuat kita tidak berani melangkah. Merasa tinggi membuat orang tidak bisa menghargai orang lain.”

“Aku percaya, bibik seorang ibu yang baik, dan mendidik anak semata wayangnya dengan ajaran-ajaran yang baik pula.

“Ada dua orang  baik yang saya kenal lebih dekat. Satu, simbok saya, yang kedua adalah Non Sekar.” Kata Barno sambil mengambil sepeda motor bututnya, dan Sekar siap duduk di boncengannya.

Sekar tersenyum, manis sekali. Lalu Barno sejenak melupakan pesan simboknya. Masa sih, senyuman semanis itu harus dilewatkan begitu saja?.

***

Barno pamit pulang setelah memasangkan lampu ruang tengah di rumah pak Winarno yang mati sejak pagi.

“Sering-seringlah main ke sini, Barno, supaya simbokmu senang,” pesan pak Winarno.

“Baik Pak, terima kasih. Nanti setelah saya sudah menyelesaikan sekolah saya.”

“Bagus, segera selesaikan. Raih cita-cita kamu setinggi langit, agar bisa menjunjung derajat orang tua kamu.”

“Saya mohon doa restunya.”

“Tentu aku akan ikut mendoakan kamu. Ini, terimalah, hanya untuk jajan saja,” kata pak Winarno sambil menyerahkan beberapa lembar uang.

“Tidak Pak, terima kasih. Saya masih punya.”

“Terima saja, jangan menolak rejeki.”

Barno menerimanya karena dipaksa. Sekar menatapnya sambil tersenyum. Tapi ketika Barno membalas dengan senyuman pula, bibik memelototinya. Dan itu justru membuat senyuman Barno semakin lebar. Karena gemas melihat ulah anaknya, maka bibik mengikutinya sampai Barno menaiki sepeda motornya, lalu mencubit lengannya keras.

“Aaauuw, simbok nih,” teriak Barno yang kemudian membawa motornya pergi meninggalkan halaman rumah pak Winarno.

“Kenapa anakmu kamu cubit Bik?” tanya pak Winarno karena dia melihat apa yang tadi dilakukan bibik kepada anaknya.

Bibik tertawa nyengir.

“Gemas saja sama dia Pak, bawel dia tuh.”

“Rupanya kamu juga bisa galak sama anak kamu?”

“Ya bisa Pak, kalau dia nyebelin ya saya cubit,” kata bibik sambil melangkah ke belakang, diiringi Sekar yang juga tersenyum melihat ulah bibik kepada anaknya.

***

Tapi malam itu Aryanti marah-marah pada suaminya, gara-gara mengijinkan Sekar jalan sama Barno. Dikamar, ia menahan suaminya agar tidak tidur terlebih dulu, untuk bicara.

“Memangnya kenapa kalau mereka jalan? Memang aku yang menyuruhnya,” kesal pak Winarno.

“Bapak tidak ingat, Barno itu siapa? Dia hanya anak pembantu, bapak lupa?”

“Tentu saja aku ingat, aku tahu, aku sadar. Apa salahnya kalau Barno anak pembantu? Untuk apa kamu membeda-bedakan derajat diantara kita?”

“Aku tidak bisa menerima itu. Dia itu tidak pantas. Sekarang cuma jalan berdua, bagaimana kalau lama-lama mereka saling jatuh cinta? Repot kan?”

“Kenapa repot? Semua orang memiliki cinta, apa yang salah kalau mereka memang saling jatuh cinta?”

“Waduh, celaka kalau Bapak punya pemikiran seperti itu. Harusnya ya Pak, punya anak gadis cantik itu, dicarikan suami yang kaya, yang bisa menjunjung derajat kita, yang bisa membuat kita bangga.”

“Aku, akan menyerahkan semuanya kepada yang menjalani. Dan jangan belum-belum kamu menuduh Barno melakukan hal yang tidak pantas.”

“Aku hanya khawatir. Biarpun Sekar itu hanya anak tiri, tapi dia sudah seperti anakku. Aku ingin Sekar hidup bahagia dan terhormat. Tidak berhubungan dengan sembarang orang.”

Pak Winarno kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan istrinya. Ia memilih diam, membaringkan tubuhnya di pembaringan dan menutup mata.

***

“Pagi itu, Samadi yang seperti menunggu kedatangan Aryanti, tak peduli Ari menampakkan wajah masam, ia menahan Aryanti untuk bicara.

“Yanti, apa kamu mau semua hutangmu lunas?”

“Maksudnya?”

“Semua hutang kamu akan aku anggap lunas, tapi ada syaratnya.

***

Besok lagi ya.

34 comments:

  1. Yesssss.....!!!!
    Alhamdulillah eSJe_07 sdh tayang... Dapat juara nggak,.. ya???
    Pelari cepatnya selain "wong jogja" yang baru pulang dari tanah suci juga "spinter" nya wag pctk .....☺️☺️☺️☺️☺️

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hutangmu lunas kalau kamu tukar dengan anak tirimu...
      Begitu mungkin, kira kira, kalau tidak salah.
      Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

      Delete
  3. Ternyata juaranya jeng Nani...,..
    Kalah banter karo perenang yang satu ini..... di kolam saja buanter apalagi di udara.

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun Mbak Tien ku sayang. Smoga Mbak Tien selalu sehat wal afiat. Salam aduhai selalu.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Datang gasik
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu
    Dan tetap semangat

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sampun tayang, salam sehat dari Cibubur muaach

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah..
    Terima kasih bu Tien..
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~07 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah..matwun bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrht..slm sehat dan semangat dri sukabumi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah Sebuah Janji 07sudah tayang.....matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  11. Walah syaratnya pasti anak tirinya Sekar buat bayar.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah Cerbung Sebuah Janji Eps. 07 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
    Semoga mbak Tien sekeluarga tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.

    ReplyDelete
  13. Djiah..
    Ini Samad kalau lihat yang seger seger nggak bisa tenang rupanya mau anak tiri Yanti, yang lebih muda tentu, apalagi cantik.
    Mulai atur siasat dengan mengurangi beban utang Yanti, ditukar anak tiri nya.
    Tuh kan ada pilihan Yan, kamu tinggal mensiasati agar Sekar nurut, soal ribut sama Marni biar sama Sekar, jadi ributnya nggak sama kamu.
    Kalau Sekar mau tapi minta dibayari dan eksekusinya setelah selesai kuliah gimana.
    Buaya kok mau diakali kan nggak punya pemikiran, tahunya ada makanan yang disukai gitu aja.
    Kalau Yanti mempertimbangkan kemauan Samad ya wajar kan dia memang kepingin punya orang kaya, bakal buat mesin atm yang sewaktu-waktu dibutuhkan tinggal colek, bisa double decker juga seeh, dengan syarat gitu utang Yanti lunas.
    Sebenarnya ke-dua orang ini sama-sama perayu Yanti pinter ngrayu Winarno, Samad pinter bermulut manis didepan Marni, tapi beranikah Ari memberi alarm ke Sekar, dan atau pada Marni?
    Samad memang jadi manager ; carinya mana aja yang penting seger.

    ADUHAI


    Terimakasih Bu Tien,

    Sebuah janji yang ke tujuh sudah tayang. Sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  14. di episode ini penuh makna dan nasehat, salah satu diataranya, kata bijak dibawah ini :

    “Saya berusaha menanamkan apa yang selalu simbok ajarkan. Jangan merasa rendah, tapi juga dilarang merasa tinggi. Merasa rendah membuat kita tidak berani melangkah. Merasa tinggi membuat orang tidak bisa menghargai orang lain.”

    Memang....... siapa dulu dong, penulisnya.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien ..

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.....suwun Bu Tien....
    Salam sehat selalu....😊🙏

    ReplyDelete
  17. Jangan sampai Sekar jadi tumbal ibu tirinya.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah...
    Betul Kakek ...
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  19. Syaratnya Sekar diserahkan kepada, Samidi...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  20. Pak Samad, Bibik, Barno dan sekar semua orang2 baik.
    Rendah hati, peduli, sopan.
    Semoga niat orang2 baik dimudahkan Tuhan sehingga akan memperoleh kebahagiaannya...

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien. Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu
    Dan tetap semangat

    ReplyDelete
  23. http://www.juxtapost.com/site/permlink/625d95b0-f868-11ec-b71c-a593b6f9d9b5/postall/smokepitara/

    ReplyDelete
  24. http://www.yuuby.com/photo/?pid=257621&pict=725341

    ReplyDelete
  25. Dasar tua ..ambil kesempatan dlm.ketidak berdayaan..trima kasih bu Tien

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...