SEBUAH JANJI 08
(Tien Kumalasari)
Yanti berhenti melangkah, walaupun tangannya ditarik
oleh Ari.
“Apa maksudnya Pak?”
“Nanti saja kita bicarakan,” katanya sambil berlalu.
Yanti setengah berlari mengikuti langkah Ari yang
seperti membawanya terbang.
“Bicara apa sih tadi?” tanyanya dengan wajah kurang
senang.
“Aku juga nggak tahu. Nggak jelas.”
“Dia itu selalu mencari-cari kesempatan untuk
berbincang sama kamu. Aku sudah tahu gelagatnya.”
“Aku harus bagaimana?”
“Jangan pedulikan dia. Aku beri tahu kamu, Minar sudah
curiga,” kata Ari yang dalam berbicara itu menahan langkahnya, supaya
pembicaraan mereka tidak berlangsung sampai memasuki ruangan kerja mereka.
“Apa?”
“Itu benar, aku tidak bohong.”
“Minar bilang apa? Apa dia marah sama aku?”
“Belum, karena belum ketahuan kelakuan suaminya itu.
Tapi lihat saja nanti, kalau kamu melayaninya terus. Bisa pecah persahabatan
kita, dan itu akan buruk akibatnya bagi perusahaan kita.”
“Aku bingung …”
“Mengapa bingung?”
“Ah, ya sudah … ayo masuk, Minar pasti sudah menunggu.”
Lalu keduanya melangkah cepat memasuki ruangan kerja
mereka. Dilihatnya Minar sudah duduk di depan meja kerjanya.
“Kalian tadi ketemu mas Samad?”
“Ya, hanya bersimpangan jalan, dia seperti
terburu-buru,” kata Ari untuk menghilangkan kecurigaan Minar.
Minar diam, tampaknya puas dengan jawaban Ari.
Yanti duduk dan mulai merasakan perbedaan sikap Minar
terhadapnya. Ia harus berhati-hati, karena Ari sudah memperingatkannya.
Sebenarnya sih Yanti tidak begitu tergila-gila sama Samadi, tapi masalah hutang
yang diperingan itu membuatnya tak mampu menghindar darinya. Bahkan tadi dia
bilang akan membuat hutangnya lunas. Tapi apa? Ada syaratnya? Syarat apa? Yanti
menopang pelipis kirinya dengan tangan, sementara tangan kanannya membuka-buka
catatan.
“Hei, kamu melamun ya?” Yanti tersentak ketika Minar
menegurnya.
“Tidak, aku sedang membaca laporan, begitu banyak
barang-barang habis," bohong Yanti.
“Ya jangan hanya dibaca, dikoreksi mana yang harus
didahulukan, jangan semuanya, uang kita tidak akan cukup,” perintah Minar.
“Baiklah, akan aku kerjakan,” kata Yanti sambil
menyalin catatan itu di kertas lain.
“Bulan ini belum ada kenaikan. Ada sih, tidak
seberapa,” sela Ari.
“Kata mas Samad harus bersabar lagi, dan lebih
meningkatkan pelayanan,” jawab Minar.
“Bagaimana Yanti, sudah selesai? Hari ini kita belanja
berdua ya,” kata Ari.
“Iya, boleh saja, sebentar, kurang sedikit. Ini hanya
keperluan yang sangat mendesak. Ada berapa uangnya?” tanya Yanti.
“Ini, sudah aku siapkan. Semoga tidak kurang. Kalian
harus hati-hati nanti membelanjakannya,” kata Minar.
“Nih, udah … sebaiknya kamu teliti lagi saja, kalau
yang tidak perlu bisa kamu coret, sebelum terlanjur nanti,” kata Yanti sambil
menyodorkan catatannya ke meja Minar.
Minar membacanya sekilas, lalu mengembalikannya pada
Yanti.
“Baiklah, ayo kita berangkat,” kata Ari yang kemudian
menarik tangan Yanti.
Yanti segera sadar, bahwa Ari pasti akan melanjutkan
omelannya.
***
Dan itu benar, di sepanjang perjalanan ke pasar, Ari kembali
mengomeli Yanti.
“Aku hanya mengingatkanmu, demi kebaikan kita bersama.”
“Memangnya aku kenapa sih? Kan aku tidak melakukan
apa-apa sama dia?” elak Yanti.
“Benar, sekarang kamu tidak melakukan apa-apa, tapi
kalau kamu melayaninya, dia tak akan berhenti.”
“Susah ya, menghindari dia, kan setiap hari pasti ada
di warung.”
“Jangan beri dia kesempatan untuk mendekati kamu.
Kalau itu kamu lakukan, maka dia pasti akan berhenti.”
Yanti menghela napas. Yang terberat membebaninya
adalah hutang, maka kalau hutangnya lunas, pasti semuanya akan terasa ringan.
Tapi omelan Ari terus menggelitik kupingnya. Lagipula dia belum tahu apa maksud
Samadi mengatakan bahwa hutangnya akan lunas tapi ada syaratnya. Apakah Samadi
akan mengajaknya selingkuh? Membayangkan hutangnya lunas, hatinya merasa sangat
lega, tapi selingkuh? Pasti itu akan berat. Kalau hanya saling bertukar pandang
saja sih, itu ringan. Yanti tidak tahu bahwa
bertukar pandang dengan perasaan berbeda itu juga adalah dosa. Bahkan
ada yang menyebutnya termasuk zina. Aduhai.
Tapi Samadi bilang ada syaratnya, pastilah bukan hanya
saling berdekatan atau berpandangan. Apakah dia akan menjalaninya saja demi melunaskan
hutangnya?
“Hei, mengapa diam?”
Yanti menatap sahabatnya dengan tersenyum tipis.
“Berat ya? Kamu mulai tertarik sama dia? Memang sih,
walau sudah setengah tua, dia masih kelihatan gagah dan ganteng, apalagi dia
punya banyak uang,” ejek Ari.
“Kamu jangan menuduh begitu. Siapa yang tertarik sama
dia?”
“Baiklah, aku senang kalau kamu tidak melakukannya. Barangkali
berat bagi kamu, tapi aku berharap yang terbaik untuk kamu. Mengapa? Karena
kamu dan Minar adalah sahabat-sahabat aku.”
“Iya, aku tahu.”
Pembicaraan itu berhenti karena mereka sudah sampai di
pasar tempat mereka akan berbelanja, bukan di mal seperti awal-awal mereka
mencukupi kebutuhan usahanya. Tapi di benak Yanti masih terjadi perang yang tak
kunjung usai.
***
Bibik sedang berkutat di dapur, ketika tiba-tiba
mendengar panggilan pak Winarno dari arah ruang tengah. Tergopoh ia mencuci
tangannya lalu bergegas mendekat.
“Ya, Pak,”
“Kamu punya jahe?”
“Ada Pak.”
“Tolong buatkan aku wedang jahe.”
“”Sekarang?”
“Iya, sekarang,” kata pak Winarno yang berbicara
sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.
Walau tak biasa, siang-siang meminta wedang jahe, tapi
Bibik menyanggupinya.
“Tambahkan daun jeruk ya Bik.”
“Baik,” jawab bibik yang sudah sampai di dapur.
Bibik mencuci beberapa ruas jahe, lalu menggepreknya. Ia
memasukkannya ke dalam air yang sudah mendidih, berikut beberapa lembar daun
jeruk. Dalam mengerjakan semua itu, bibik bertanya-tanya dalam hatinya.
“Apakah bapak sakit ya? Tadi wajahnya tampak tidak
seperti biasanya. Sedikit pucat dan seakan kelelahan. Ada rasa kasihan di hati
bibik. Majikannya mendapatkan istri yang semakin hari semakin tidak
memperhatikannya. Dulu, ketika masih sama-sama muda, dan pak Winarno masih
gagah dan tampan, istrinya tampak sangat menyayanginya, memperhatikannya.
Seperti sebuah keluarga yang benar-benar bahagia. Tapi semakin ke sini,
semuanya seperti berubah. Suka pergi kumpul-kumpul bersama teman-temannya, belanja
sesuka hatinya, bahkan kemudian menyuruh anak tirinya untuk berhenti kuliah.
“Aku yakin, bapak pasti tertekan, dan semua ditahannya
demi ketenangan rumah tangganya. Kasihan non Sekar, yang rela meninggalkan
kuliahnya demi bekerja untuk membantu keluarga. Apakah sebenarnya keluarga ini
kekurangan?”
Beberapa saat kemudian bibik merasa bahwa rebusan jahe
sudah meresap. Ia menambahkan gula batu secukupnya, lalu setelah larut
disaringnya kedalam sebuah gelas besar. Dengan nampan, bibik membawa wedang
jahe itu ke depan. Ia juga menyertakan sebuah cawan, untuk menuangkan sedikit
demi sedikit wedangnya, agar tidak terlalu panas dan bisa segera diminum.
“Ini Pak, wedang jahenya sudah. Tapi karena masih
panas, saya tuangkan ke cawan dulu sedikit ya Pak, supaya bisa segera Bapak
minum.”
Pak Winarno hanya mengangguk.
Simbok menuangkan wedangnya ke cawan, mengipasinya
sebentar, lalu pak Winarno menghirupnya.
“Enak,” katanya.
“Lagi ya Pak?”
Pak Winarno lagi-lagi mengangguk. Ia menghabiskan
setengah gelas wedang jahenya, kemudian kembali menyandarkan tubuhnya.
“Bapak sakit ya?”
“Mungkin masuk angin Bik.”
“Bapak tiduran di kamar saja, nanti kalau bibik
selesai masak, akan bibik bawa makanan Bapak ke kamar, lalu Bapak minum obat,”
kata bibik prihatin.
“Ya, baiklah, aku tiduran di kamar saja,” katanya sambil
bangkit. Tapi ketika berjalan, pak Winarno tampak sempoyongan. Bibik berdiri
dan memapahnya.
“Aduh, badan Bapak panas sekali, saya ambilkan obat
setelah Bapak tiduran.”
Perlahan pak Winarno membaringkan tubuhnya, lalu bibik
menyelimutinya. Ia keluar dari kamar dengan perasaan cemas. Ia bergegas mengambilkan
obat untuk majikannya, membantu meminumkannya, lalu keluar setelah membenarkan
letak selimutnya.
Bibik mengambil ponselnya, lalu menelpon Sekar.
“Ada apa Bik? Tumben menelpon siang-siang,” kata Sekar
dari seberang sana.
“Bapak sakit Non,” kata bibik.
“Bapak sakit?”
Sekar sangat terkejut.
“Iya Non, badannya panas sekali. Awalnya bibik di
suruh membuatkan wedang jahe. Setelah bibik buatkan, saya minta bapak tiduran
di kamar. Tapi ketika berjalan itu, bapak sempoyongan, lalu bibik menuntunnya.
Dari situ bibik tahu bahwa badan bapak sangat panas.”
“Ya ampun Bik, sudah diberi obat apa?”
“Bibik hanya memberinya obat turun panas Non.”
“Baiklah Bik, aku akan segera pulang,” kata Sekar yang
tentu saja merasa cemas.
***
Bibik sedang membuatkan bubur untuk ayahnya, ketika
Sekar datang.
Sekar langsung masuk ke kamar ayahnya, dan melihat
ayahnya terbaring sambil memejamkan mata.”
Sekar memegang lengannya pelan. Lengan itu berkeringat.
Sekar bersyukur karena berarti panasnya sudah menurun. Pak Winarno membuka
matanya ketika merasa ada yang menyentuh lengannya.
“Sekar?”
“Ya Pak, ini Sekar.”
“Kok kamu sudah pulang?”
“Sudah. Bibik menelpon, katanya Bapak sakit.”
“Ah, bapak hanya masuk angin saja. Bibik hanya
membesar-besarkan masalah.”
“Tadi Bapak panas sekali bukan?”
“Bapak hanya merasa kedinginan tadi, sekarang tidak
lagi, tolong ambil selimutnya, gerah.”
Sekar menarik selimut yang semula menutupi tubuh
ayahnya sampai ke dada, menurunkannya sehingga hanya kakinya saja yang
tertutupi.
“Bapak merasakan apa?”
“Tadi hanya demam. Sekarang sudah tidak apa-apa. Bapak
hanya masuk angin, mengapa kalian panik?”
“Bapak selalu begitu,” gerutu Sekar sambil
memijit-mijit kaki ayahnya.
Saat itu bibik masuk ke kamar sambil membawa nampan berisi sepiring
bubur.
“Apa itu Bik?”
“Bubur Non, sama semur kentang. Ini kesukaan Bapak,”
kata bibik sambil meletakkan bubur dan sayurnya di nakas.
“Aku makan di luar saja. Seperti orang sakit beneran,
makan di kamar,” kata pak Winarno sambil bangkit, tapi Sekar menahannya.
“Bapak jangan bandel ya. Bapak tiduran saja, biar Sekar
suapin.”
Pak Winarno terpaksa menurut. Simbok segera keluar
melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Sekar mengipas-ngipas bubur dan kuahnya, dan merasa
lega karena ayahnya menurut.
“Nanti sore kita ke dokter,” kata Sekar sambil
menyendokkan buburnya, lalu menyuapkannya pada ayahnya.
Pak Winarno menggoyang-goyangkan tangannya, tanda
menolak, karena mulutnya dipenuhi bubur yang disuapkan anak gadisnya.
“Bapak jangan begitu. Kalau Bapak sakit, ya harus ke
dokter.”
“Wong cuma masuk angin saja kok ke dokter segala.”
“Biar mendapat obat yang sesuai.”
“Bapak kan tidak sakit. Lihat, bapak doyan makan nih.
Kalau sakit, mana mungkin mau makan makanan yang kamu suapkan.”
Sekar menghela napas kesal. Ayahnya memang sangat sulit
dibawa ke dokter. Kalau tidak sampai tumbang sehingga tidak bisa bangun, tak
pernah mau dia periksa ke dokter. Tapi kali ini Sekar agak khawatir, karena
wajah ayahnya sangat pucat.
Pak Winarno hanya menghabiskan separuh bubur yang
disiapkan. Ia sudah menggoyang-goyangkan lagi tangannya.
“Baru separuh nih Pak, lagi ya, tiga suap lagi?”
“Sudah … sudah …”
“Katanya kalau mau makan berarti sehat, lha ini Bapak
baru separuh, berarti beneran sakit dong.”
“Kamu mengambilkan buburnya sepiring penuh. Apa kamu
ingin perut bapakmu ini meledak?” kata pak Winarno sambil memiringkan tubuhnya,
memunggungi Sekar.
“Perut kok bisa meledak, memangnya mercon?” Sekar
mengimbangi candaan ayahnya, sambil meletakkan piringnya.
“Minum dulu nih Pak,” kata Sekar sambil mengambilkan
minumnya.
Pak Winarno membalikkan tubuhnya, minum beberapa
teguk, kemudian memejamkan matanya.
“Bapak merasakan apa?”
“Tidak ada, bapak hanya mengantuk. Dan sedikit pusing.”
“Baiklah, Bapak tidur saja, nanti sore kita ke dokter,”
kata Sekar sambil membawa sisa makanan keluar dari kamar.
Pak Winarno tak menjawab. Badannya memang terasa
kurang enak.
***
“Apa? Bapakmu sakit? Kamu kan sudah ada di rumah?”
tanya Aryanti ketika Sekar menelponnya.
“Iya Bu, saya langsung pulang ketika bibik mengabari.”
“Sakit apa? Tadi pagi baik-baik saja kan?”
“Iya. Tadi demam, tapi sekarang sudah reda.”
“Sekarang sedang apa? Masih mengeluh sakit?”
“Bapak sudah tidur, katanya agak pusing dan mengantuk.”
“Ya sudah, kalau sudah bisa tidur berarti bagus itu.
Ini aku lagi belanja sama bu Ari, warung sangat ramai, mana bisa aku
tinggalkan.
“Baiklah, saya hanya perlu mengabari ibu saja. Nanti
sore saya mau membawa bapak ke dokter.”
“Aduuh, mengapa ke dokter? Apa sakitnya berat? Dokter
itu bayarnya mahal, belum obatnya. Kalau sakit biasa ya cukup dibelikan obat di
warung, jangan membuang-buang uang Sekar.”
Sekar meremas ponselnya menahan gemas. Ia berpamit
pada ibunya dan menutup ponselnya. Ia bertekat tetap akan membawa ayahnya ke
dokter. Berapapun biayanya.
Sementara itu Yanti mengatakan pada Ari, bahwa
pulangnya dia tidak usah diantar, karena dia punya keperluan penting. Dia juga
bilang bahwa dia akan pulang lebih awal.
“Mau kemana? Tadi anakmu bilang suami kamu sakit kan?
Tidak apa-apa aku mengantarkan kamu pulang lebih awal.”
“Jangan, nanti Minar repot mengurusi semuanya
sendirian. Ayo kita selesaikan belanja kita, kurang apa lagi sih?” kata Yanti.
“Tinggal beli daging. Baiklah, tidak apa-apa kalau
kamu nanti mau pulang awal.”
***
Tapi rupanya Yanti sudah mengirim pesan kepada Samadi,
bahwa dia ingin bicara. Dia mengencaninya di suatu tempat, karena penasaran
pada apa yang dikatakan Samadi pagi harinya. Tekatnya sudah bulat, ia lebih
ingin hutangnya lunas.
***
Besok lagi ya.
ReplyDeleteMtnuwun...mbk Tien 🙏🙏
Alhamdulillah sudah tayang,
DeleteTerimakasih bunda, salam SEROJA
This comment has been removed by the author.
DeleteAlhamdulillah SJ sdh tayang..Kasian Sekar..pasti syarat Pak Samadi mau menjadikan Sekar istri simpanan.....
DeleteAlhamdulillah SJ 08 sdh tayang
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien...
Horee mbak Nani lg suara yes
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu...
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah,
ReplyDeleteMakin seruhh nih 😁
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~08 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah hatur nuwun ya mbakyuku Tienkumalasari sayang
ReplyDeleteKasihan Sekar akan jd istri ke-2 P Samadikah? Kasihan Barno. Bertepuk sblh tangan?🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ8 sudah tayang ,terimakasih bunda Tien ,sehat selalu .
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteSyaratnya sekar jadi istri muda pa Samad. He5x.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, semoga mbak Tien sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah ... Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tienku
ReplyDeleteSabar ya Sekar,,,
Salam sehat wal'afiat ya bu Tienku 🤗🥰
Alhamdulillah....suwun Bu Tien...
ReplyDeleteSalam sehat selalu...😊🙏
Makasih mbaTien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Saya jadi ingat Retno yg dipaksa menikah dengan Sapto karena bapaknya Retno mata duitan.
ReplyDeleteKasihan Wahyudi kekasih Retno yg harus diputus....
Semoga pak Samad cepat sembuh, bu Aryanti sadar, kembali menjadi isteri yg baik.
Matur nuwun ibu Tien...
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTrims Bu tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteYanti berniat melunasi hutangnya, dengan menjual anaknya??
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Penasaran rupanya, namanya juga sebuah janji, saking rapetnya; pakai silent message segala.
ReplyDeleteIya donk pribadi gitu, abg sedikit napa.
Belum lagi hilang menawarkan impian kebersamaan perbaikan keturunan yang tentu lebih waow, eh begitu melihat anak tiri Yanti yang beranjak dewasa mulai berubah pikiran, siapa seeh yang tahan lihat keindahan tentu nggak bakal rela mengabaikannya, mulai obral janji dengan sebuah catatan; hutang, yang mengganjal untuk menegur keras anak tiri nya terlihat berdua dengan Barno, anak simbok.
Sekar buru buru berlalu dengar omongan ibu tirinya yang nggak pantas, justru terkesan pengabaian dan merendahkan status sosial seseorang, ngomelnya kaya tengkulak belanjaan kehilangan tukang buruh gendong pasar.
Lha Winarno kalau Yanti bilang pakai password -biarpun anak tiri tapi itu sudah kuanggap anakku sendiri- nah password itu yang membuat pusing, ya kalau nggambleh ya nggak berhenti jew. Padahal disuruh mengingatkan Sekar, masih saja susah malah pusing sendiri; sayang anak sayang anak, lho masih ada ya sebuah tingkatan masyarakat seperti gitu, padahal sebagai pendidik itu memerdekakan semua belenggu yang nggak jelas gitu.
Ya karena sudah cukup usia, ya respon nya nggak sederas waktu masih berkarya, kini maunya mempersiapkan kedamaian hati tapi nyatanya tidak sesuai angannya, yaitu; lombok enom angger ketok nyempluk abing merakati jian pedese ora mung nang lambe; mblandang nang wadag marakake mules tenan adem panas.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ke delapan sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku
sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Cerita berlanjut...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien..
Cerita nya bagus yaa fariatif..trima kasih
ReplyDelete