SEBUAH JANJI 09
(Tien Kumalasari)
Sebuah mobil meluncur ke arah pinggiran kota. Pengemudinya
berhenti di sebuah warung yang sepi pengunjung, karena memang saat makan siang
sudah berlalu. Pengemudinya turun, seorang lelaki yang tidak lagi muda, tapi
masih kelihatan gagah. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum masuk ke dalam
warung, lalu seperti mencari-cari ke sekitar area warung yang tidak begitu
luas. Di sudut ruangan, ia menemukan yang dicarinya.
“Yanti, sudah lama?” sapanya.
“Baru beberapa menit. Pak Samad sangat cepat merespon
pesan saya,” jawab wanita cantik yang disebut Yanti.
Mereka memang Aryanti dan Samadi, yang berkencan
bertemu di tempat itu.
“Sudah pesan apa?”
“Belum, saya menunggu pak Samad,” kata Yanti sambil
melambaikan tangannya ke arah pelayan.
Keduanya memesan makanan sekedarnya, karena yang
penting adalah yang ingin Yanti bicarakan.
Samadi menatap wanita cantik di depannya, yang tampak
tersenyum manis.
“Kamu selalu tampak cantik,” puji Samadi.
“Terima kasih.”
“Apa yang ingin kamu katakan?”
“Saya ingin menanyakan apa maksud ucapan Bapak tadi
pagi.”
“Ucapan saya yang mana?”
"Bahwa hutang saya lunas, tapi ada syaratnya.”
"Ooh, itu,” Samadi tertawa lirih.
Dalam hati Yanti sudah bertekat, apapun syaratnya akan
dia lakukan, asalkan hutangnya lunas. Dia sudah membayangkan bahwa Samadi akan
menjadikannya selingkuhan, dan Yanti siap melakukannya. Hidup dihimpit hutang
memang tidak enak. Ia teringat kata suaminya saat dia meminta agar pak Winarno
mencarikan modal. Suaminya bilang tak suka berhutang. Dan benar, berhutang itu
sangat tidak menyenangkan. Apalagi dengan bunga tinggi yang dipatok Samadi.
Memang benar sih, akhir-akhir ini Samadi tak pernah menagih bunganya, tapi
Samadi belum pernah membebaskan hutang itu. Sekarang Yanti siap memenuhinya.
Apapun yang diminta.
Samadi belum menjawab, sampai pelayan menyajikan
pesanan mereka. Dua gelas es kopyor dan dua piring nasi langgi.
Aryanti mengaduk minumannya, lalu mencecapnya beberapa
teguk. Samadi mengikutinya. Senyum itu masih tersungging di bibirnya, saat ia
kembali menjauhkan gelas minuman dari hadapannya.
“Itu?” tanya Samadi.
Aryanti mengangguk dan berdebar.
“Aku menikah sudah duapuluhan tahun,” ujarnya seperti
kepada dirinya sendiri.
Aryanti hanya mendengarkan. Ia yakin, pasti Samadi
akan mengatakan bahwa ingin menikahi dirinya, atau menyuruhnya bercerai dengan
suaminya, lalu …
“Dan selama itu aku belum dikaruniai seorang anakpun.”
Dheg. Dada Aryanti terasa bagai dipalu dengan godam
sebesar pohon kelapa. Kalau itu karena anak, maka bukan dirinya yang diinginkannya.
Diapun sudah sepuluh tahun lebih dinikahi Winarno, tapi belum juga memiliki
anak. Mungkin dia mandul. Lalu apa yang akan dikatakan Samadi? Aryanti masih
berdebar menunggu.
“Aku ingin punya istri.”
Aryanti masih menatap tajam laki-laki di depannya.
“Tapi marilah kita makan dulu, sebenarnya tiba-tiba
aku merasa lapar,” katanya sambil mendekatkan piring berisi makanan pesanannya.
Aryanti meneguk dulu minumannya, mengunyah pelan
potongan daging kelapa kopyor yang legit tapi terasa pahit di lidahnya. Apakah
Samadi akan membawanya ke dokter dan memeriksa keadaan rahimnya? Adakah benih
yang akan bisa diciptakannya agar dia bisa mengandung anak Samadi? Dengan
tehnologi yang sudah sangat canggih, atau … entahlah, lalu bagaimana kalau tak
ada benih di rahimnya yang bisa dibuahinya? Hutang itu harus lunas, apakah
syaratnya? Kalau itu soal anak ….
“Makanlah dulu,” kata Samadi yang sudah mulai mengunyah
makanannya.
Aryanti mengangguk, menyendok makanannya pelan.
“Aku ingin menikah,” tiba-tiba kata Samadi disela-sela
makan.
Aryanti semakin berdebar.
“Dan dia haruslah seorang gadis, yang sehat.”
Aryanti terbelalak.
“Dan tentu saja cantik.”
Lalu Samadi meneguk lagi minumannya. Aryanti berdebar,
sesuatu berkilat di benaknya.
“Aku menginginkan Sekar, anak tiri kamu.”
Aryanti tersedak-sedak.
“Hei, minumlah dulu, ada apa kamu ini?” kata Samadi
sambil menyodorkan gelas minuman Yanti ke arahnya.
Aryanti meneguk minumannya, dan berusaha menenangkan
pikirannya. Ia sama sekali tak menduga, bahwa Sekar lah yang diinginkan Samadi.
“Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah tertarik.
Dia sangat cantik, sesuai dengan selera aku. Aku selalu terbayang-bayang
setelahnya.”
“Sekar ….” Yanti bergumam pelan, sambil meneguk lagi
minumannya.
“Kenapa? Aku sudah empatpuluhan tahun lebih, tapi aku
masih gagah dan kuat.”
Yanti mengulaskan senyuman tipis. Sebenarnya dia
sedang bergembira. Bukan dirinya yang diinginkannya, karena kalau dirinya, maka
betapa akan ribetnya nanti. Minta cerai dari suaminya, lalu persahabatannya dengan
Minar yang akan ternoda, lalu entah apa lagi kendala yang harus dihadapinya.
Kalau Sekar, baguslah. Ia akan membujuknya.
“Kalau dia menjadi istri mudaku, aku akan membelikan
rumah bagus untuk dia. Mobil? Uang belanja yang banyak? Dan yang paling awal
kamu rasakan adalah bahwa hutang kamu akan lunas. Masa sih mertua berhutang
sama menantunya?” lalu Samadi tertawa. Bukan tawa yang biasa, ia sedang
menyeringai, membayangkan punya istri seorang gadis cantik, yang sudah pasti
akan dimanjakannya.
Aryanti mengatupkan mulutnya, agar tak sampai mengilar
mendengar iming-iming menggiurkan itu.
“Aku juga pengin punya mobil,” gumamnya malu-malu.
“Aahahahh …” Samadi terbahak.
Aryanti mengerucutkan mulutnya, merasa ditertawakan.
“Iya pasti, mertua cantikku akan mendapatkan apa yang
diinginkannya.”
“Benarkah?”
“Aku tidak pernah berbohong.”
“Baiklah, nanti aku pikirkan cara, bagaimana
membujuknya.”
“Katakan bahwa aku ganteng, aku romantis, dan aku
kaya. Masa dia tidak mau?”
“Aku akan pertemukan dulu dia sama pak Samad.”
“Bagus. Kapan?”
“Nanti aku kabari, yang jelas, secepatnya,” kata
Aryanti yang kemudian menyendok makanannya dengan sangat nikmat.
***
Hari sudah sore ketika Aryanti pulang ke rumah. Ia
langsung masuk ke dalam, lalu menuju ke kamar Sekar. Tapi kamar itu kosong. Ia
langsung ke dapur. Dilihatnya bibik sedang membuat minuman.
“Sekar mana?” tanya Yanti.
Bibik menatapnya, melihat majikannya masih mengenakan
sepatu hak tinggi dan tas tangan yang tergantung di lengannya, lalu langsung mencari
anak tirinya. Àda apa?
“Sekar mana? Kok malah menatap aku sih Bik?”
“Eh, iya Bu, non Sekar sedang ke dokter. Apa tidak
mengabari Ibu?”
“Ngapain ke dokter?” tanya Yanti sambil mengerutkan
keningnya. Ia lupa bahwa Sekar tadi menelponnya dan mengatakan bahwa suaminya
sakit.
“Nganterin Bapak.”
“Ooh …” Yanti membalikkan tubuhnya, lalu melangkah ke
arah kamar.
“Sudah di bilangin, tidak usah ke dokter, buang-buang
uang saja, ee … nekat, anak itu,” omelnya sambil berjalan menjauh.
Bibik menghela napas panjang. Ia heran ada seorang
istri tak peduli pada sakit suaminya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi
diurungkannya. Toh sang majikan juga sudah menghilang ke dalam kamarnya.
“Kok ada, orang seperti itu,” gerutunya pelan.
Bibik ingat, tadi pak Winarno berjalan sambil dipapah
Sekar, menuju ke taksi yang dipesannya.
“Tadi bapak tampak sangat menahan sakit, wajahnya
pucat, dan tak bisa berjalan sendiri. Kok ibu seperti marah kepada non Sekar
karena membawa bapak ke dokter? Ya Tuhan, semoga bapak segera sembuh dan
kembali sehat.”
***
Aryanti sudah selesai mandi, lalu duduk di sofa ruang
tengah, ketika ponselnya berdering. Ternyata dari Ari.
“Hallo, Ari, ada apa?”
“Aku kepikiran terus karena mendengar suami kamu sakit
tadi.”
“Oh, iya, terima kasih perhatiannya. Kamu sudah
pulang?”
“Ini dalam perjalanan pulang. Apa kamu akan membawanya
ke dokter? Aku mau datang ke rumah kamu dan mengantarnya ke dokter,” kata Ari,
tulus.
“Tidak, tidak usah. Suamiku hanya masuk angin, bukan
sakit yang benar-benar sakit. Jadi kamu tidak perlu merepotkan diri dengan
ingin mengantarnya ke dokter.”
“Benarkah?”
“Iya, benar. Masa harus ke dokter segala. Sekarang
juga dia sedang tidur nyenyak,” kata Yanti berbohong.
“Syukurlah kalau begitu. Jadi aku langsung pulang saja
ya.”
“Pulang dan istirahat sajalah. Terima kasih banyak.”
Bibik baru selesai meletakkan secangkir teh hangat di
meja, dan mendengar bagaimana sang majikan menjawab telpon yang entah dari
mana, tentu saja bibik tidak tahu. Tapi bibik merasa geram mendengar jawaban
itu. Ia menuju ke dapur dengan wajah masam.
“Biiik.”
Panggilan itu membuat bibik membalikkan tubuhnya.
“Nggak ada cemilan sore ini?”
“Maaf Bu, tidak ada, Biasanya non Sekar membawa roti
pisang kesukaan bapak, tapi mungkin tadi karena pulang tergesa-gesa jadi tidak
sempat beli.”
“Ya sudah. Tolong belikan saja di warung. Uang untuk
belanja masih ada?” tanya Yanti. Ia tahu bahwa bibik selalu menyimpan sisa uang
belanja.
“Masih ada Bu.”
“Belikan cemilan apa saja. Kalau ada pisang goreng.”
“Baik Bu,” kata bibik sambil berlalu, tapi masih
dengan wajah masam.
“Bukan prihatin mikirin suaminya yang sakit, malah
enak-enak cari cemilan,” gumamnya dalam hati, sambil mengambil uang, lalu
keluar rumah mencari pisang goreng, seperti pesanan ndara putrinya.
***
Yanti sedang menyeruput teh hangatnya, ketika
mendengar suara mobil memasuki halaman. Ia hanya melongok, dan melihat sebuah mobil
yang sepertinya taksi on line.
Ia membiarkannya, bahkan ketika mendengar teriakan
Sekar.
“Biiik … bibiiiik … tolong biiik …”
Tapi bibik kan baru keluar.
“Bibiiik … tolong biiik …”
Yanti menyalakan televisi dan mengeraskan suaranya.
Tapi dia terkejut melihat suaminya masuk dengan dipapah seorang laki-laki, dan
juga Sekar.
“Langsung masuk ke kamar saja ya Mas.”
“Ya Mbak, mana kamarnya?”
Sekar membukakan kamar ayahnya, tak sedikitpun menoleh
kepada ibu tirinya yang tetap duduk sambil menatap mereka.
Tak lama kemudian Yanti melihat laki-laki itu keluar.
“Terima kasih banyak ya Mas, ini uangnya,” kata Sekar
sambil mengulurkan sejumlah uang. Rupanya laki-laki itu adalah sopir taksi yang
membawa suaminya dan Sekar.
“Kenapa ayahmu?” tanya Yanti ketika Sekar mau masuk ke
dalam kamar.
“Bapak sakit. Tadi dokter menyuruh opname, tapi saya
minta dirawat di rumah saja kalau boleh. Dokter mengijinkannya, tapi harus benar-benar
mengawasi kesehatannya,” kata Sekar panjang lebar.
“Sebenarnya sakitnya apa?”
“Tekanan darahnya tinggi, gula darah juga tinggi. Sekar
sudah membelikan obatnya sekalian.”
Tiba-tiba bibik masuk.
“Non Sekar sudah pulang?”
“Lha bibik dari mana? Tadi saya teriak-teriak
memanggil bibik.”
“Ini Non, beli makanan untuk Ibu. Bapak bagaimana?”
“Bapak merasa lemas, jalannya harus dipapah. Tadi aku nggak
kuat, lalu berteriak memanggil bibik, ternyata bibik nggak ada.”
“Lalu bapak berjalan sendiri?”
“Tukang taksinya baik, mau membantu memapah bapak sampai
ke kamar. Buatkan bubur lagi ya Bik?”
“Baik Non,” kata bibik sambil membawa bungkusan pisang
goreng ke belakang, lalu meletakkannya di piring, kemudian baru dibawanya
kembali ke ruang tengah. Ketika ia meletakkan sepiring pisang goreng itu,
dilihatnya Yanti sedang berjalan ke arah kamar.
Bibik kembali ke dapur. Ia harus membuatkan bubur
seperti perintah non cantiknya.
“Bapak itu kenapa? Kalau sakit sedikit saja mbok ya
jangan manja,” omel Yanti sambil mendekat ke arah ranjang.
Pak Winarno tak menjawab. Ia memejamkan mata.
“Sebenarnya Bapak memikirkan apa? Darah tinggi dan
penyakit gula itu kan penyakitnya orang yang banyak pikiran?”
“Bu, biar Bapak minum obatnya dulu,” kata Sekar yang
baru masuk sambil meletakkan obat di nakas, dan juga segelas minuman hangat.
“Minum obatnya dulu ya Pak. Kata dokter harus segera
diminum,” kata Sekar sambil memegang lengan Bapaknya.”
“Obat itu kan biasanya diminum setelah makan?”
“Yang ini harus segera diminum, tidak usah menunggu makan.
Tensi bapak tinggi sekali,” kata Sekar sambil berusaha mengangkat kepala
ayahnya.
“Tolong bu, obatnya yang kecil-kecil berwarna
kekuningan itu,” kata Sekar yang terpaksa meminta tolong karena dia tak bisa
mengambil obat sambil menahan kepala ayahnya.
“Yang ini?”
“Iya Bu, sama yang putih kecil. Ya itu, Bu.”
Pak Winarno kembali tidur setelah minum obat yang
diminumkan anaknya.
“Jangan banyak pikiran Pak, supaya nggak sakit-sakit
lagi. Sakit itu kan merepotkan banyak orang,” omel Yanti sebelum keluar dari
kamar.
Sekar menyelimuti tubuh ayahnya, dan melangkah keluar
setelah merasa yakin bahwa ayahnya sudah bisa tidur dengan enak.
***
Ketika melewati ruang tengah, dilihatnya ibu tirinya
sedang menikmati pisang goreng yang tadi dibelikan bibik.
Sekar mengacuhkannya. Ia ingin masuk ke kamarnya dan
berganti pakaian, tapi tiba-tiba ibu tirinya memanggilnya. Sekar mendekati ibu
tirinya.
“Ada apa Bu?”
“Duduklah, ibu mau bicara.”
“Sekar ganti baju dulu ya Bu,” kata Sekar.
“Duduklah, aku hanya mau ngomong sebentar.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah......
DeleteeSJe_09 sdh tayang.
Matur nuwun bunda, siap baca & koreksi.
Masak sih Sekar akan dijadikan "tumbal" nglunasi utang Yanti??
Yuk.... kita baca bersama.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ 09 sdh tayang
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien...
Yes
ReplyDeleteAlhamdulilah SJ 9 sudah tayang ,terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteYes yes tayang janji hehehe siiiip
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien..
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien.. Setia menghibur kami. Smoga Mbak Tien selalu sehat. Salam Aduhai selalu.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu...
Matur nuwun, bu Tien. Sugeng malming
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien...semoga sehat selalu.🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~09 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah..... salam sehat bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillah Sebuah Janji Eps 09 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien Kumalasari.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat.
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.. terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteTrims Bu Tien....
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
alhamdulillah
ReplyDeleteSiip
ReplyDeleteKenapa kok pak Winarno punya istri seperti Yanti?
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Slmt hru minggu bunda.. TrimaksihSJ nya.. Slmsht sll dri sukabumi🥰🌹
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina,
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Menunggu SJ 10 tayang 🙏🥰
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
ReplyDelete