SEBUAH JANJI 10
(Tien Kumalasari)
Sekar duduk dengan wajah lelah. Seharian melayani
ayahnya yang sakit, lalu mengantre di tempat dokter praktek. Sebenarnya dia
ingin mandi lagi dan berganti pakaian. Tapi ia tak berani menentang kemauan ibu
tirinya.
“Sekar,” Yanti meletakkan cangkir tehnya setelah
meneguk sisanya sampai habis.
Sekar mengangkat wajahnya. Berharap ibunya segera
mengatakan apa maksudnya, lalu dia akan beristirahat sebentar.
“Nanti tolong bersihkan kamar tamu. Aku mau tidur
disitu saja. Nggak enak tidur bersama orang sakit. Nanti aku malah nggak bisa
tidur nyenyak.”
Sekar mengatupkan bibirnya, menahan gemeretak giginya
karena sangat marah pada kata-kata ibunya. Sungguh luar biasa ibu tirinya ini.
Suami sakit malah tidak mau tidur di dekatnya karena merasa terganggu. Sekar
berdiri.
“Hei, mau kemana kamu?”
“Menata kamar tamu. Bukankah Ibu yang menyuruh?”
“Tapi aku belum selesai bicara. Ada yang lainnya,”
katanya sambil menunjuk ke arah sofa di mana tadi Sekar mendudukinya.
Sekar kembali duduk. Menunggu apa lagi yang akan
diperintahkan si ibu yang dianggapnya sangat tidak berperasaan.
“Kamu sudah dewasa Sekar, sudah saatnya berumah
tangga,” katanya berubah lembut.
Tapi justru membuat Sekar terkejut.
“Apa? Aku sudah dewasa dan saatnya berumah tangga?" kata batin Sekar. Wajahnya semakin muram.
“Kamu akan ibu carikan suami,” lanjut Yanti sambil
tersenyum. Tapi senyuman itu membuat Sekar merasa miris. Ada kandungan niat tak
baik dalam ungkapan itu.
Sekar tak menjawab, hanya menatap tak berkedip.
“Dia seorang laki-laki ganteng, gagah, kaya. Dia akan
membuat kamu hidup berkecukupan dan sangat bahagia.”
“Tidak Bu, saya belum menginginkannya,” katanya lirih.
“Apa maksudmu? Kamu itu bukan anak kecil lagi. Apa
kamu ingin menjadi perawan tua?” kata Yanti dengan nada agak tinggi. Yanti
mulai gelisah.
“Saya masih ingin merawat bapak, dan selalu bersama
bapak.”
“Kamu bisa membawa ayahmu, kemanapun suami kamu
membawanya,” ada penekanan di nada suaranya.
Sekar berdiri.
“Saya mau istirahat dulu Bu,” katanya sambil melangkah
ke arah kamar.
“Sekar!!” kali ini Yanti berteriak.Tapi Sekar terus
saja melangkah.
“Jangan kurangajar kamu Sekar!” teriaknya lagi.
Dan karena dua kali berteriak, rupanya pak Winarno
yang belum benar-benar tidur mendengarnya. Ia bangkit, dan bermaksud turun dari
ranjangnya. Tapi tiba-tiba kepalanya terasa sangat berat. Ia kembali menjatuhkan
tubuhnya dengan perasaan tak menentu. Kemudian dia merasa tenang ketika tak
lagi mendengar suara teriakan. Ia berharap Sekar segera masuk ke kamarnya, lalu
dia akan menanyakannya.
***
Sekar sudah selesai mandi, lalu menuju ke arah kamar
tamu, karena tadi ibu tirinya menyuruh membereskannya.
“Apapun akan aku lakukan, tapi menikah? Tidak. Belum
pernah terbayangkan oleh aku untuk menikah sekarang ini,” gumamnya sambil
mengambil seprei dan sarung bantal dari dalam almari.
“Sekar.”
Sekar terkejut, ibu tirinya sudah ada di belakangnya.
“Biar saya tata dulu Bu,” katanya sambil menebarkan
kain seprei diatas kasur.
“Kamu tidak perlu melakukannya sekarang,” lanjut
Yanti. Sekar tahu, pasti itu tentang pernikahan.
Sekar diam, ia naik ke atas tempat tidur untuk
merapikan seprei.
“Tapi kamu harus bilang ‘ya’ terlebih dulu.”
Sekar turun dan merapikan pada sisi yang lainnya.
“Kamu dengar apa yang aku katakan?”
“Sekar sudah bilang belum memikirkannya,” katanya
sambil memasang sarung bantal.
“Kan aku bilang tidak sekarang? Apa selamanya kamu
akan begini? Tidak kan? Raih kehidupan yang lebih baik. Jangan seperti
kehidupan kita yang sekarang.”
“Saya bahagia dengan kehidupan saya sekarang ini.”
Sekar sudah selesai memasang sarung bantal dan guling,
kemudian beranjak keluar.
“Sekar.”
“Maaf,” hanya itu yang diucapkannya, kemudian dia
berlalu.
Yanti membanting-banting kakinya karena kesal.
“Huhh! Kamu ini benar-benar bodoh!”
Tapi Yanti tak mau berhenti. Dia sedang memikirkan
cara untuk membuat Sekar bersedia menjalaninya.
***
Sekar memasuki kamar ayahnya, tapi Sekar heran, begitu
memasukinya, dilihatnya ayahnya menoleh ke arah pintu, sepertinya ayahnya
sedang menunggu, atau menginginkan sesuatu?
“Bapak kok tidak tidur? Ingin minum? Sekar kupaskan
buah ya? Pisang kata dokter baik untuk Bapak. Atau jeruk?”
Pak Winarno melambaikan tangannya, menyuruh Sekar
lebih mendekat.
“Bapak ingin apa?”
“Bapak tadi mendengar ibumu berteriak.”
Sekar terkejut. Kesal pada ibu tirinya, sehingga
ayahnya sampai mendengarnya. Padahal dia tak ingin ayahnya terbebani oleh
apapun.
“Ada apa? Marah sama kamu?”
“Oh, tadi itu? Anu … ibu memanggil Sekar, tapi Sekar
sudah terlanjur ke belakang, jadi tidak mendengar kalau tidak berteriak.”
“Benarkah?”
“Iya Pak, benar.”
Pak Winarno terdiam, tapi sebenarnya dia tidak
percaya. Sudah biasa Sekar menutupi semua masalah dengan ibu tirinya. Bahkan
saat dimarahi pun, Sekar selalu menutupinya.
“Sepertinya ibumu marah-marah sama kamu.”
“Tidak. Ya ampuun, mengapa Bapak mengira seperti itu?
Ibu tidak marah, hanya minta supaya Sekar membersihkan kamar tamu, ibu mau
tidur di sana.”
“Ibumu tidak mau dekat-dekat dengan orang sakit.”
“Bukan begitu Pak, Sekar yang minta, karena Sekar
ingin tidur di sini supaya bisa melayani Bapak, barangkali Bapak memerlukan
sesuatu.”
Dan lagi-lagi pak Winarno merasa bahwa Sekar sedang
menutupi keburukan ibu tirinya, yang keberatan merawat suaminya yang sedang
sakit. Ia memang belum pernah sakit separah ini, sampai tidak bisa bangun.
“Bapak ingin makan sesuatu? Sekar kupaskan pisang ya.
Kata dokter, pisang sangat baik untuk penyakit darah tinggi seperti Bapak.”
“Tadi kan sudah. Bapak mau tidur saja.”
“Baiklah, bapak tidur ya, Sekar mengira tadi Bapak
juga sudah tidur. Ternyata belum, bagaimana sih Bapak ini,” tegur Sekar sambil
menarik ke atas, selimut yang menutupi ayahnya.
“Kamu istirahatlah, pasti kamu capek seharian mengurus
Bapak.”
“Tidak, masa begitu saja capek.”
“Besok kan kamu harus bekerja, cepatlah istirahat.”
“Besok Sekar sudah minta ijin untuk tidak masuk,
selama dua hari.”
“Mengapa?”
“Sekar tidak tega meninggalkan Bapak. Kecuali kalau
Bapak sudah sehat.”
“Bapak tidak apa-apa, kan sudah dibawa ke dokter?”
“Ya sudah, kita lihat saja nanti. Bapak jangan
memikirkan apa-apa. Dokter kan bilang tadi, bahwa Bapak tidak boleh memikirkan
yang berat-berat, harus selalu santai, senang. Ya kan Pak?”
Pak Winarno memejamkan matanya.
“Saya pijitin ya Pak,” kata Sekar sambil memijit kaki
ayahnya.
“Istirahatlah saja.”
“Ini juga sudah istirahat. Duduk sambil memijit kaki
Bapak.”
“Kamu bandel ya,” gerutu pak Winarno.
“Makanya Bapak cepat tidur. Kalau Bapak sudah tidur,
nanti Sekar istirahat. Kalau bibik sudah selesai membuat buburnya, Bapak harus
makan dulu ya.”
“Besok jangan lagi aku dikasih bubur.”
“Lho, memangnya kenapa?”
“Kamu kan tahu kalau bapak tidak suka bubur?”
“Iya sih, tapi Bapak kan lagi sakit.”
Pak Winarno menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Baiklah, besok biar bibik buatkan nasi tim saja.”
***
Bibik sedang menyiapkan bubur di sebuah mangkuk, dan
juga menuangkan sayur di mangkuk lainnya, ketika Aryanti tiba-tiba masuk ke
dapur.
“Bik, kok belum menyiapkan makan malam sih?”
“Iya Bu, ini baru menyiapkan bubur untuk bapak,
setelah ini bibik akan menata meja untuk makan malam.”
“Bapak itu hanya manja. Jangan dianggap seperti orang
sakit beneran." kata Aryanti sambil duduk di ruang makan.
Bibik tidak menggubrisnya. Ia meletakkan bubur dan
sayurnya ke atas nampan, lalu membawanya ke kamar.
Aryanti bangkit, membuka almari es, dan merasa kesal
karena tidak mendapatkan jus buah yang dicarinya.
“Mengapa bibik tidak membuat jus buah sih?” katanya
sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas, kemudian kembali duduk.
Begitu bibik masuk kembali ke ruang makan, Yanti
segera menyemprotnya.
“Mengapa tidak ada jus buah di almari es?”
“Oh, iya Bu, tadi saya lupa membeli buah karena panik
melihat Bapak sakit. Besok saya mau belanja buah yang banyak,” kata bibik
sambil berlalu ke dapur, siap menyajikan makan malam untuk majikannya.
“Gara-gara ada yang sakit, semua-semua terbengkalai,”
gumamnya sambil meneguk air dinginnya.
Bibik yang mendengarnya hanya bisa mengelus dada.
***
Dirumah, Samadi sedang makan malam bersama istrinya. Minar
masih kesal karena tadi sang suami terlambat menjemputnya.
“Aku kan bilang, sedang ada urusan. Cuma terlambat
sebentar saja kok marah,” kata Samadi sambil menyendok makanannya.
“Sebentar apa, ada dua jam aku menanti Mas. Ari
barangkali sudah tidur nyenyak di rumah, aku masih terkantuk-kantuk di kantor.”
“Iya, maaf. Ini kan urusan pekerjaan.”
“Di mana mengurusnya? Aku menelpon kantor, katanya Mas
sudah pulang sejak siang.”
“Iya, aku menemui klien di luar.”
Minar masih cemberut.
“Bukan kencan sama Yanti kan? Kalau Yanti pulang awal,
tiba-tiba Mas menghilang.”
“Pasti ke situ deh. Kamu tadi bilang bahwa suami Yanti
sakit, makanya Yanti pulang awal. Gitu kan?”
“Iya sih, tapi kata Ari, tidak benar-benar sakit. Tadi
kan Ari mau ke rumah Yanti. Maksudnya ingin menolong mengantarkan suami Yanti
ke rumah sakit, barangkali diperlukan, tapi Yanti bilang tidak apa-apa, hanya
masuk angin, begitu.”
“Oh, syukurlah.”
“Aku tuh kok mencium aroma yang nggak bener ya Mas.”
“Aroma nggak bener apa sih?”
Seorang istri itu, kalau suaminya melakukan hal yang
menyimpang, pasti terasa deh. Sudah berapa kali Mas nyeleweng, dan aku selalu
mengetahuinya kan? Itu karena aku mempunyai indera ke enam yang sangat tajam.”
Samadi terkekeh.
“Kok tertawa sih Mas. Coba ingat-ingat, berapa kali
aku memergoki Mas sedang bersama perempuan cantik?”
Samadi masih terkekeh.
“Kamu itu seperti kucing ya, pintar mengendus-endus.”
“Nggak lucu. Aku marah nih, kenapa Mas malah tertawa?”
“Suami kamu ini kan pebisnis, entah itu laki-laki,
entah itu perempuan, bisa saja ketemuan sama aku. Semua karena bisnis, sayang,” kata Samadi
sambil mengelus pipi istrinya.
Selalu begitu setiap kali Minar marah gara-gara
perempuan.
“Jadi orang jangan suka cemburuan, nanti cantiknya
hilang lhoh.”
“Tapi aku benar nih mas, saat ini lagi curiga sama
Mas. Benarkah nggak ada apa-apa diantara Mas dan Yanti?”
“Dia kan teman kamu, setiap hari bersama kamu,
bagaimana kamu bisa mencurigainya?”
“Yang seperti kucing itu kan Mas, begitu mencium aroma
wangi seorang wanita, langsung saja pengin menerkam. Dan kucing itu kadang-kadang
seperti maling, bisa-bisanya mencari kesempatan untuk mencuri.”
Samadi terkekeh lagi.
“Minar, kucingmu ini kucing rumahan, kucing rumahan
tidak mau mencuri. Kalau kucing liar, bisa jadi, karena kucing liar kekurangan
makan. Kalau aku, dirumah sudah ada yang cantik, yang seksi, yang mengurusi aku
dengan baik, masa aku disamakan dengan kucing liar? Aku ini kucing rumahan yang
manis, tahu.”
Lagi-lagi Samadi dengan pintarnya merayu sang istri,
sehingga luluhlah hatinya, dan lenyap pula kemarahannya.
***
Malam itu, saat makan malam dengan ditemani anak
tirinya, Yanti kembali mengungkit masalah keinginannya menikahkan Sekar dengan
tanpa menyebutkan terlebih dulu siapa laki-laki yang di maksud, dan lagi-lagi
Sekar menolak.
“Maaf Bu, sungguh Sekar belum ingin menikah. Sekar
masih ingin melayani bapak.”
“Bukankah aku sudah bilang bahwa kalau kamu mau, kamu
bisa mengajak ayah kamu tinggal bersama kamu dan suami kamu. Dia akan
membelikan kamu rumah yang bagus, ayahmu juga pasti senang nantinya.”
Sekar terdiam. Ia menyesal menemani ibu tirinya makan
malam. Tadi ketika si bibik bilang bahwa ditunggu ibunya di ruang makan, ia
sudah menolaknya dan meminta ibunya agar makan sendiri saja, tapi ayahnya
menyuruhnya supaya dia tidak hanya fokus pada sakit ayahnya saja. Dan benar
dugaannya, ibunya akan mengungkit masalah hal yang menjengkelkan itu lagi.
Sekar juga tak ingin bertanya siapa laki-laki yang dimaksud, karena sama sekali
tak berniat menanggapinya.
“Dengar Sekar, kalau kamu menikah dengan dia, hidup
orang tua kamu juga akan senang. Kita semua akan bahagia,” Yanti masih
melanjutkan rayuannya.
“Ibu, bukankah kita sudah hidup bahagia?”
“Huhh, bahagia macam apa yang seperti ini? Bukankah
kamu harus menghentikan kuliah kamu karena kita kekurangan?”
“Tidak, bukan karena itu.”
“Kamu tidak bisa ya mengerti keadaan keluarga kamu?”
“Maaf Bu, sungguh saya belum bersedia menikah,” kata
Sekar sambil beranjak berdiri. Ia membawa piring kotor ke belakang, dengan
membawa piring bekas ibunya sekalian.
“Sekar ….”
“Saya akan meminumkan obat untuk bapak dulu Bu,”
katanya sambil berlalu.
“Sekar, tunggu sebentar.”
Sekar membalikkan tubuhnya.
“Besok Ibu minta tolong agar kamu mengantarkan ibu
sebentar.”
“Kemana?”
“Ada teman ibu dari luar kota.”
“Mengapa tidak naik taksi saja? Sekar kan sedang
menemani bapak?”
“Hanya sebentar, soalnya harus mencari tempat dia menginap di
mana, jadi lebih baik kamu boncengin ibu saja. Tolong, hanya sebentar.”
Sekar mengangguk, kemudian melangkah kembali ke kamar
ayahnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSebuah Janji eps 10 sdh ditayangkan bu Tien. Yuk kita baca bareng² bgmn basib SEKAR apakah dia bersedia memenuhi permintaan Yanti?
Weeee....kakek sdh disini
DeleteLha diberitahu jadi trus nengok blogspot bu Tien
DeleteAlhamdulillah..smg Sekar tdk menikah dengan Samadi
Delete𝐌𝐚𝐧𝐭𝐚𝐚𝐩𝐩𝐩 𝐦𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧.
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien, semoga sehat terus dan terus sehat..... Jaga kesehatan ,., Inshaa Allah Kamis 25 Agustus 2022 ketemu di vilaAsri Batu Malang
ReplyDeleteAda kemungkinan kamis 25 Agsts libur krn Bu Tien sedang ada acara di Batu..
DeleteAlhamdulillah SJ 10 sdh tayang
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien...
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulilah yg ditunggu sdh tayang..
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien..
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulilah matur nuwun mbakyu Tienkumalasari salam kangen dan afuhaaai dari Lampung
ReplyDeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteSJ 10 dah tayang mksh bu Tien
Selamat mlm selamat beristirahat smoga ibu sekeluarga sht2 sll
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteSebuah kejujuran harus dilakukan walaupun terkadang terasa pahit.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah SEBUAH JANJI 10 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~10 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletePuji Tuhan, ibu Tien tetap sehat semangat dan produktip shg S J 10 sudah tayang bagi kami penggandrungnya.
ReplyDeleteSemoga Sekar dlm lindungan Tuhan, tidak bernasib buruk krn ulah ibu tirinya yg matre...
Yanti itu otaknya uang saja...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah.. Terimakasih bunda Tien, SJ 10 sudang tayangsalam sehat selalu😊
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah... Sebuah Janji Eps. 10 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien Kumalasari. Salam sehat dan salam hangat
ReplyDeleteHahaha Ibu Aryanti dah di butakan uang krn hutang apa akan di jodohkan dgn bp Samadi edan tenan kayak gak ada yg lain yaa
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun SJ 10 nya bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulilah sudah tayang ,Bu Tien,semoga Sekar TDK nikah SM samadi
ReplyDeleteYanti jahat ya.. Mau enak sendiri
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu
Mntaap... trmksh mbu tien... sht² trs
ReplyDeleteTerima ksih bunda.. Slmtmlm 🙏🥰
ReplyDeleteYuk nunggu eps 11.....
ReplyDelete