Monday, August 22, 2022

SEBUAH JANJI 10

 

SEBUAH JANJI  10

(Tien Kumalasari)

 

Sekar duduk dengan wajah lelah. Seharian melayani ayahnya yang sakit, lalu mengantre di tempat dokter praktek. Sebenarnya dia ingin mandi lagi dan berganti pakaian. Tapi ia tak berani menentang kemauan ibu tirinya.

“Sekar,” Yanti meletakkan cangkir tehnya setelah meneguk sisanya sampai habis.

Sekar mengangkat wajahnya. Berharap ibunya segera mengatakan apa maksudnya, lalu dia akan beristirahat sebentar.

“Nanti tolong bersihkan kamar tamu. Aku mau tidur disitu saja. Nggak enak tidur bersama orang sakit. Nanti aku malah nggak bisa tidur nyenyak.”

Sekar mengatupkan bibirnya, menahan gemeretak giginya karena sangat marah pada kata-kata ibunya. Sungguh luar biasa ibu tirinya ini. Suami sakit malah tidak mau tidur di dekatnya karena merasa terganggu. Sekar berdiri.

“Hei, mau kemana kamu?”

“Menata kamar tamu. Bukankah Ibu yang menyuruh?”

“Tapi aku belum selesai bicara. Ada yang lainnya,” katanya sambil menunjuk ke arah sofa di mana tadi Sekar mendudukinya.

Sekar kembali duduk. Menunggu apa lagi yang akan diperintahkan si ibu yang dianggapnya sangat tidak berperasaan.

“Kamu sudah dewasa Sekar, sudah saatnya berumah tangga,” katanya berubah lembut.

Tapi justru membuat Sekar terkejut.

“Apa? Aku sudah dewasa dan saatnya berumah tangga?" kata batin Sekar. Wajahnya semakin muram.

“Kamu akan ibu carikan suami,” lanjut Yanti sambil tersenyum. Tapi senyuman itu membuat Sekar merasa miris. Ada kandungan niat tak baik dalam ungkapan itu.

Sekar tak menjawab, hanya menatap tak berkedip.

“Dia seorang laki-laki ganteng, gagah, kaya. Dia akan membuat kamu hidup berkecukupan dan sangat bahagia.”

“Tidak Bu, saya belum menginginkannya,” katanya lirih.

“Apa maksudmu? Kamu itu bukan anak kecil lagi. Apa kamu ingin menjadi perawan tua?” kata Yanti dengan nada agak tinggi. Yanti mulai gelisah.

“Saya masih ingin merawat bapak, dan selalu bersama bapak.”

“Kamu bisa membawa ayahmu, kemanapun suami kamu membawanya,” ada penekanan di nada suaranya.

Sekar berdiri.

“Saya mau istirahat dulu Bu,” katanya sambil melangkah ke arah kamar.

“Sekar!!” kali ini Yanti berteriak.Tapi Sekar terus saja melangkah.

“Jangan kurangajar kamu Sekar!” teriaknya lagi.

Dan karena dua kali berteriak, rupanya pak Winarno yang belum benar-benar tidur mendengarnya. Ia bangkit, dan bermaksud turun dari ranjangnya. Tapi tiba-tiba kepalanya terasa sangat berat. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya dengan perasaan tak menentu. Kemudian dia merasa tenang ketika tak lagi mendengar suara teriakan. Ia berharap Sekar segera masuk ke kamarnya, lalu dia akan menanyakannya.

***

Sekar sudah selesai mandi, lalu menuju ke arah kamar tamu, karena tadi ibu tirinya menyuruh membereskannya.

“Apapun akan aku lakukan, tapi menikah? Tidak. Belum pernah terbayangkan oleh aku untuk menikah sekarang ini,” gumamnya sambil mengambil seprei dan sarung bantal dari dalam almari.

“Sekar.”

Sekar terkejut, ibu tirinya sudah ada di belakangnya.

“Biar saya tata dulu Bu,” katanya sambil menebarkan kain seprei diatas kasur.

“Kamu tidak perlu melakukannya sekarang,” lanjut Yanti. Sekar tahu, pasti itu tentang pernikahan.

Sekar diam, ia naik ke atas tempat tidur untuk merapikan seprei.

“Tapi kamu harus bilang ‘ya’ terlebih dulu.”

Sekar turun dan merapikan pada sisi yang lainnya.

“Kamu dengar apa yang aku katakan?”

“Sekar sudah bilang belum memikirkannya,” katanya sambil memasang sarung bantal.

“Kan aku bilang tidak sekarang? Apa selamanya kamu akan begini? Tidak kan? Raih kehidupan yang lebih baik. Jangan seperti kehidupan kita yang sekarang.”

“Saya bahagia dengan kehidupan saya sekarang ini.”

Sekar sudah selesai memasang sarung bantal dan guling, kemudian beranjak keluar.

“Sekar.”

“Maaf,” hanya itu yang diucapkannya, kemudian dia berlalu.

Yanti membanting-banting kakinya karena kesal.

“Huhh! Kamu ini benar-benar bodoh!”

Tapi Yanti tak mau berhenti. Dia sedang memikirkan cara untuk membuat Sekar bersedia menjalaninya.

***

Sekar memasuki kamar ayahnya, tapi Sekar heran, begitu memasukinya, dilihatnya ayahnya menoleh ke arah pintu, sepertinya ayahnya sedang menunggu, atau menginginkan sesuatu?

“Bapak kok tidak tidur? Ingin minum? Sekar kupaskan buah ya? Pisang kata dokter baik untuk Bapak. Atau jeruk?”

Pak Winarno melambaikan tangannya, menyuruh Sekar lebih mendekat.

“Bapak ingin apa?”

“Bapak tadi mendengar ibumu berteriak.”

Sekar terkejut. Kesal pada ibu tirinya, sehingga ayahnya sampai mendengarnya. Padahal dia tak ingin ayahnya terbebani oleh apapun.

“Ada apa? Marah sama kamu?”

“Oh, tadi itu? Anu … ibu memanggil Sekar, tapi Sekar sudah terlanjur ke belakang, jadi tidak mendengar kalau tidak berteriak.”

“Benarkah?”

“Iya Pak, benar.”

Pak Winarno terdiam, tapi sebenarnya dia tidak percaya. Sudah biasa Sekar menutupi semua masalah dengan ibu tirinya. Bahkan saat dimarahi pun, Sekar selalu menutupinya.

“Sepertinya ibumu marah-marah sama kamu.”

“Tidak. Ya ampuun, mengapa Bapak mengira seperti itu? Ibu tidak marah, hanya minta supaya Sekar membersihkan kamar tamu, ibu mau tidur di sana.”

“Ibumu tidak mau dekat-dekat dengan orang sakit.”

“Bukan begitu Pak, Sekar yang minta, karena Sekar ingin tidur di sini supaya bisa melayani Bapak, barangkali Bapak memerlukan sesuatu.”

Dan lagi-lagi pak Winarno merasa bahwa Sekar sedang menutupi keburukan ibu tirinya, yang keberatan merawat suaminya yang sedang sakit. Ia memang belum pernah sakit separah ini, sampai tidak bisa bangun.

“Bapak ingin makan sesuatu? Sekar kupaskan pisang ya. Kata dokter, pisang sangat baik untuk penyakit darah tinggi seperti Bapak.”

“Tadi kan sudah. Bapak mau tidur saja.”

“Baiklah, bapak tidur ya, Sekar mengira tadi Bapak juga sudah tidur. Ternyata belum, bagaimana sih Bapak ini,” tegur Sekar sambil menarik ke atas, selimut yang menutupi ayahnya.

“Kamu istirahatlah, pasti kamu capek seharian mengurus Bapak.”

“Tidak, masa begitu saja capek.”

“Besok kan kamu harus bekerja, cepatlah istirahat.”

“Besok Sekar sudah minta ijin untuk tidak masuk, selama dua hari.”

“Mengapa?”

“Sekar tidak tega meninggalkan Bapak. Kecuali kalau Bapak sudah sehat.”

“Bapak tidak apa-apa, kan sudah dibawa ke dokter?”

“Ya sudah, kita lihat saja nanti. Bapak jangan memikirkan apa-apa. Dokter kan bilang tadi, bahwa Bapak tidak boleh memikirkan yang berat-berat, harus selalu santai, senang. Ya kan Pak?”

Pak Winarno memejamkan matanya.

“Saya pijitin ya Pak,” kata Sekar sambil memijit kaki ayahnya.

“Istirahatlah saja.”

“Ini juga sudah istirahat. Duduk sambil memijit kaki Bapak.”

“Kamu bandel ya,” gerutu pak Winarno.

“Makanya Bapak cepat tidur. Kalau Bapak sudah tidur, nanti Sekar istirahat. Kalau bibik sudah selesai membuat buburnya, Bapak harus makan dulu ya.”

“Besok jangan lagi aku dikasih bubur.”

“Lho, memangnya kenapa?”

“Kamu kan tahu kalau bapak tidak suka bubur?”

“Iya sih, tapi Bapak kan lagi sakit.”

Pak Winarno menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Baiklah, besok biar bibik buatkan nasi tim saja.”

***

Bibik sedang menyiapkan bubur di sebuah mangkuk, dan juga menuangkan sayur di mangkuk lainnya, ketika Aryanti tiba-tiba masuk ke dapur.

“Bik, kok belum menyiapkan makan malam sih?”

“Iya Bu, ini baru menyiapkan bubur untuk bapak, setelah ini bibik akan menata meja untuk makan malam.”

“Bapak itu hanya manja. Jangan dianggap seperti orang sakit beneran." kata Aryanti sambil duduk di ruang makan.

Bibik tidak menggubrisnya. Ia meletakkan bubur dan sayurnya ke atas nampan, lalu membawanya ke kamar.

Aryanti bangkit, membuka almari es, dan merasa kesal karena tidak mendapatkan jus buah yang dicarinya.

“Mengapa bibik tidak membuat jus buah sih?” katanya sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas, kemudian kembali duduk.

Begitu bibik masuk kembali ke ruang makan, Yanti segera menyemprotnya.

“Mengapa tidak ada jus buah di almari es?”

“Oh, iya Bu, tadi saya lupa membeli buah karena panik melihat Bapak sakit. Besok saya mau belanja buah yang banyak,” kata bibik sambil berlalu ke dapur, siap menyajikan makan malam untuk majikannya.

“Gara-gara ada yang sakit, semua-semua terbengkalai,” gumamnya sambil meneguk air dinginnya.

Bibik yang mendengarnya hanya bisa mengelus dada.

***

Dirumah, Samadi sedang makan malam bersama istrinya. Minar masih kesal karena tadi sang suami terlambat menjemputnya.

“Aku kan bilang, sedang ada urusan. Cuma terlambat sebentar saja kok marah,” kata Samadi sambil menyendok makanannya.

“Sebentar apa, ada dua jam aku menanti Mas. Ari barangkali sudah tidur nyenyak di rumah, aku masih terkantuk-kantuk di kantor.”

“Iya, maaf. Ini kan urusan pekerjaan.”

“Di mana mengurusnya? Aku menelpon kantor, katanya Mas sudah pulang sejak siang.”

“Iya, aku menemui klien di luar.”

Minar masih cemberut.

“Bukan kencan sama Yanti kan? Kalau Yanti pulang awal, tiba-tiba Mas menghilang.”

“Pasti ke situ deh. Kamu tadi bilang bahwa suami Yanti sakit, makanya Yanti pulang awal. Gitu kan?”

“Iya sih, tapi kata Ari, tidak benar-benar sakit. Tadi kan Ari mau ke rumah Yanti. Maksudnya ingin menolong mengantarkan suami Yanti ke rumah sakit, barangkali diperlukan, tapi Yanti bilang tidak apa-apa, hanya masuk angin, begitu.”

“Oh, syukurlah.”

“Aku tuh kok mencium aroma yang nggak bener ya Mas.”

“Aroma nggak bener apa sih?”

Seorang istri itu, kalau suaminya melakukan hal yang menyimpang, pasti terasa deh. Sudah berapa kali Mas nyeleweng, dan aku selalu mengetahuinya kan? Itu karena aku mempunyai indera ke enam yang sangat tajam.”

Samadi terkekeh.

“Kok tertawa sih Mas. Coba ingat-ingat, berapa kali aku memergoki Mas sedang bersama perempuan cantik?”

Samadi masih terkekeh.

“Kamu itu seperti kucing ya, pintar mengendus-endus.”

“Nggak lucu. Aku marah nih, kenapa Mas malah tertawa?”

“Suami kamu ini kan pebisnis, entah itu laki-laki, entah itu perempuan, bisa saja ketemuan sama aku.   Semua karena bisnis, sayang,” kata Samadi sambil mengelus pipi istrinya.

Selalu begitu setiap kali Minar marah gara-gara perempuan.

“Jadi orang jangan suka cemburuan, nanti cantiknya hilang lhoh.”

“Tapi aku benar nih mas, saat ini lagi curiga sama Mas. Benarkah nggak ada apa-apa diantara Mas dan Yanti?”

“Dia kan teman kamu, setiap hari bersama kamu, bagaimana kamu bisa mencurigainya?”

“Yang seperti kucing itu kan Mas, begitu mencium aroma wangi seorang wanita, langsung saja pengin menerkam. Dan kucing itu kadang-kadang seperti maling, bisa-bisanya mencari kesempatan untuk mencuri.”

Samadi terkekeh lagi.

“Minar, kucingmu ini kucing rumahan, kucing rumahan tidak mau mencuri. Kalau kucing liar, bisa jadi, karena kucing liar kekurangan makan. Kalau aku, dirumah sudah ada yang cantik, yang seksi, yang mengurusi aku dengan baik, masa aku disamakan dengan kucing liar? Aku ini kucing rumahan yang manis, tahu.”

Lagi-lagi Samadi dengan pintarnya merayu sang istri, sehingga luluhlah hatinya, dan lenyap pula kemarahannya.

***

Malam itu, saat makan malam dengan ditemani anak tirinya, Yanti kembali mengungkit masalah keinginannya menikahkan Sekar dengan tanpa menyebutkan terlebih dulu siapa laki-laki yang di maksud, dan lagi-lagi Sekar menolak.

“Maaf Bu, sungguh Sekar belum ingin menikah. Sekar masih ingin melayani bapak.”

“Bukankah aku sudah bilang bahwa kalau kamu mau, kamu bisa mengajak ayah kamu tinggal bersama kamu dan suami kamu. Dia akan membelikan kamu rumah yang bagus, ayahmu juga pasti senang nantinya.”

Sekar terdiam. Ia menyesal menemani ibu tirinya makan malam. Tadi ketika si bibik bilang bahwa ditunggu ibunya di ruang makan, ia sudah menolaknya dan meminta ibunya agar makan sendiri saja, tapi ayahnya menyuruhnya supaya dia tidak hanya fokus pada sakit ayahnya saja. Dan benar dugaannya, ibunya akan mengungkit masalah hal yang menjengkelkan itu lagi. Sekar juga tak ingin bertanya siapa laki-laki yang dimaksud, karena sama sekali tak berniat menanggapinya.

“Dengar Sekar, kalau kamu menikah dengan dia, hidup orang tua kamu juga akan senang. Kita semua akan bahagia,” Yanti masih melanjutkan rayuannya.

“Ibu, bukankah kita sudah hidup bahagia?”

“Huhh, bahagia macam apa yang seperti ini? Bukankah kamu harus menghentikan kuliah kamu karena kita kekurangan?”

“Tidak, bukan karena itu.”

“Kamu tidak bisa ya mengerti keadaan keluarga kamu?”

“Maaf Bu, sungguh saya belum bersedia menikah,” kata Sekar sambil beranjak berdiri. Ia membawa piring kotor ke belakang, dengan membawa piring bekas ibunya sekalian.

“Sekar ….”

“Saya akan meminumkan obat untuk bapak dulu Bu,” katanya sambil berlalu.

“Sekar, tunggu sebentar.”

Sekar membalikkan tubuhnya.

“Besok Ibu minta tolong agar kamu mengantarkan ibu sebentar.”

“Kemana?”

“Ada teman ibu dari luar kota.”

“Mengapa tidak naik taksi saja? Sekar kan sedang menemani bapak?”

“Hanya sebentar, soalnya harus mencari tempat dia menginap di mana, jadi lebih baik kamu boncengin ibu saja. Tolong, hanya sebentar.”

Sekar mengangguk, kemudian melangkah kembali ke kamar ayahnya.

***

Besok lagi ya.

33 comments:

  1. Alhamdulillah...
    Sebuah Janji eps 10 sdh ditayangkan bu Tien. Yuk kita baca bareng² bgmn basib SEKAR apakah dia bersedia memenuhi permintaan Yanti?

    ReplyDelete
  2. 𝐌𝐚𝐧𝐭𝐚𝐚𝐩𝐩𝐩 𝐦𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧.

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun bu Tien, semoga sehat terus dan terus sehat..... Jaga kesehatan ,., Inshaa Allah Kamis 25 Agustus 2022 ketemu di vilaAsri Batu Malang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada kemungkinan kamis 25 Agsts libur krn Bu Tien sedang ada acara di Batu..

      Delete
  4. Alhamdulillah SJ 10 sdh tayang
    Trimakasih bu Tien...

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  6. Alhamdulilah yg ditunggu sdh tayang..
    Terimakasih bunda Tien..
    Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah matur nuwun mbakyu Tienkumalasari salam kangen dan afuhaaai dari Lampung

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah.....
    SJ 10 dah tayang mksh bu Tien
    Selamat mlm selamat beristirahat smoga ibu sekeluarga sht2 sll

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
    Sebuah kejujuran harus dilakukan walaupun terkadang terasa pahit.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah SEBUAH JANJI 10 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~10 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  12. Puji Tuhan, ibu Tien tetap sehat semangat dan produktip shg S J 10 sudah tayang bagi kami penggandrungnya.

    Semoga Sekar dlm lindungan Tuhan, tidak bernasib buruk krn ulah ibu tirinya yg matre...

    ReplyDelete
  13. Yanti itu otaknya uang saja...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.. Terimakasih bunda Tien, SJ 10 sudang tayangsalam sehat selalu😊

    ReplyDelete
  15. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah... Sebuah Janji Eps. 10 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien Kumalasari. Salam sehat dan salam hangat

    ReplyDelete
  17. Hahaha Ibu Aryanti dah di butakan uang krn hutang apa akan di jodohkan dgn bp Samadi edan tenan kayak gak ada yg lain yaa

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matursuwun SJ 10 nya bu Tien. Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Alhamdulilah sudah tayang ,Bu Tien,semoga Sekar TDK nikah SM samadi

    ReplyDelete
  20. Yanti jahat ya.. Mau enak sendiri
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...