SEBUAH JANJI 11
(Tien Kumalasari)
Pagi hari itu Sekar sibuk melayani ayahnya yang masih
terbaring lemah. Setelah menggantikan baju sang ayah dengan pakaian bersih,
Sekar memberinya makan buah. Hanya pisang yang ayahnya suka, karena pisang itu
kan empuk. Itulah alasannya. Tidak lama setelah itu, bibik mengantarkan nasi
tim dan telur yang dimasak semur, karena itu juga kesukaan majikannya.
“Makan dulu ya Pak,” kata Sekar.
“Nanti dulu, masih kenyang setelah makan pisang. Kamu
mandi sana, jangan terus menerus mengurusi bapak. Nanti bapak makan sendiri
saja.”
“Sekar mandi setelah Bapak makan dan minum obatnya.”
“Bantu aku bangkit, aku mau makan dan minum obat
sendiri. Siapkan saja mana yang harus aku minum,” kata pak Winarno sambil berusaha
bangkit.
“Mengapa tergesa ingin duduk Pak,” kata Sekar sambil
membantu ayahnya untuk duduk. Tapi kemudian ayahnya kembali roboh.
“Tuh kan, Bapak belum kuat benar. Sabar dulu ya Pak.”
“Mengapa aku merasa tidak kuat ya?”
“Namanya sedang sakit, harus sabar. Sekar suapin makan
ya. Kalau makannya banyak. Bapak pasti segera sehat dan kuat. Jangankan hanya
duduk, Bapak nanti juga pasti bisa berjalan, lalu olah raga jalan pagi seperti
biasanya. Ya kan?” kata Sekar sambil menyiapkan nasi tim ke dalam piring, dan
membubuhinya kuah semur dan telur.
Pak Winarno terpaksa menurut. Tapi setelah satu suap,
dia menggoyang-goyangkan tangannya.”
“Nggak usah pakai telur, kuahnya saja.”
“Kenapa? Biasanya Bapak suka?”
“Mual perut bapak.”
“Itu karena Bapak masih pusing.”
“Pusingnya sudah berkurang. Sudah, pakai kuah saja.”
Sekar menurutinya dengan sabar. Yang penting ayahnya
mau makan.”
Setelah meminumkan obatnya, Sekar membawa sisa makanan
keluar dari kamar. Ia berpapasan dengan ibu tirinya, yang tampaknya mau
mengambil baju ke dalam kamar.
“Sekar, jangan lupa nanti sore antarkan ibu ya,”
katanya sambil membuka lagi pintunya.
Sekar mengangguk pelan, kemudian berlalu ke belakang.
Di dalam kamar, Aryanti menatap suaminya yang waktu
itu masih terbaring lemah, tapi matanya terbuka.
“Bagaimana sekarang? Kalau sudah merasa enteng,
cobalah duduk, dan berjalan-jalan. Kalau dibawa tidur terus, nanti malah nggak
bisa bangun selamanya lho,” katanya sambil membuka almari pakaian.
Pak Winarno tidak menjawab. Sikap istrinya selalu
membuatnya sakit hati. Ia ingin mengendapkan perasaannya, supaya hatinya bisa
tenang. Tapi namanya manusia, mendengar omelan tak menyenangkan, tentu saja
membuatnya gerah. Tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
“Kemarin aku bilang sama Sekar. Dia sudah dewasa,
sudah saatnya menikah,” katanya sambil mengenakan baju, bersiap pergi ke
warung.
Pak Winarno menoleh ke arah istrinya. Masalah
menikahkan Sekar belum terlintas di benaknya, itu sebabnya dia agak terkejut
mendengar istrinya berkata seperti itu.
“Ada seorang laki-laki, ganteng, gagah, kaya. Dia ingin
menjadikan Sekar sebagai istri. Aku suruh Sekar menyanggupinya.”
“Jangan memaksa kalau Sekar tidak mau,” katanya pelan.
“Dia bilang tidak tega meninggalkan Bapak. Aku suruh
dia membawa Bapak, kemanapun suaminya nanti membawanya.”
“Tidak semudah itu,” kata pak
Winarno lagi, dengan nada kesal, tapi dengan suara lemah.
“Aku ini jangan dianggap ibu
tiri. Sekar seperti anakku. Aku ingin dia hidup senang dan bergelimang harta.
Bukankah kalau punya uang banyak maka hidup kita akan bahagia?”
“Tidak. Jangan memaksa.”
“Bapak sama saja dengan Sekar.
Tidak mengerti maksudku.”
Pak Winarno diam. Kalau saja
dia punya kekuatan, pasti akan didampratnya istrinya yang lancang mau
menikahkan anaknya, yang tampaknya Sekar juga tidak suka. Sekarang dia
mengerti, saat istrinya berteriak kemarin, pasti sedang marah sama Sekar karena
Sekar menolaknya.
“Aku heran, Sekar tidak mau
berterus terang,” gumamnya.
“Sekar pasti akan
memikirkannya. Nah, itu Ari sudah menjemput aku, aku pergi dulu,” katanya
sambil beranjak keluar dari kamar.
Pak Winarno merasa sangat
kesal.
***
Ketika Yanti keluar, dilihatnya Ari bergegas mendekati
rumah.
“Kamu mau ke warung?” tanya Ari.
“Iya, tentu saja.”
“Suami kamu baik-baik saja?”
“Sangat baik. Ayo kita berangkat,” katanya sambil
menggandeng tangan Ari menuju ke arah mobil Ari.
“Benar, suami kamu baik-baik saja?”
“Ya ampun, kan dia cuma masuk angin?”
“Syukurlah, soalnya kemarin itu anakmu sampai menelpon
kamu, aku jadi ikut khawatir,” kata Ari yang ternyata sangat peduli terkadap
sahabatnya.
Sekar yang sedang berada di ruang tamu, mendengar apa
yang dikatakan ibunya tentang ayahnya.
“Ya Tuhan, begitu ya sikap ibu, padahal benar-benar
bapak sedang sakit,” gumamnya sedih.
Sekar menutup pintu depan, kemudian menuju ke arah
kamar ayahnya.
Betapa terkejutnya Sekar, ketika melihat ayahnya
tampak tersengal-sengal.
Ia menubruk ayahnya.
“Bapak kenapa?”
“Sesak … sesak dadaku … tolong, minyak gosok,” kata
pak Winarno terbata.
Dengan gugup Sekar mencari minyak gosok di laci, lalu
menggosokkannya di dada ayahnya.
“Ke rumah sakit ya Pak.”
“Tidak, gosok saja, punggungku juga,” katanya sambil
memiringkan tubuhnya.
Sekar sangat khawatir. Mengapa tiba-tiba ayahnya
seperti sesak napas begitu.
“Bapak, ke rumah sakit saja.”
“Tidak, sudah … sudah baikan …” katanya, karena memang
napasnya sudah tidak lagi memburu, walau belum normal benar. Namun hal itu membuat Sekar merasa khawatir.
“Bapak, kenapa tiba-tiba begitu?”
Pak Winarno menggelengkan kepalanya pelan.
“Tidak apa-apa,” lalu pak Winarno memejamkan mata.
Sekar masih mengelus dada pak Winarno dengan minyak
gosok. Aroma pepermint yang terhidup sedikit membuatnya lega.
Sekar kemudian keluar dari kamar, mengambil ponselnya.
Ia harus menelpon dokternya untuk mengatakan keadaan ayahnya yang tiba-tiba
merasa sesak napas.
“Apakah ada sesuatu yang membuatnya terkejut?” tanya
sang dokter.
“Sepertinya tidak ada Dokter.”
“Barangkali ada rasa tertekan, atau merasa tidak
senang.”
Sekar tak bisa menjawabnya. Dari pagi sepertinya
baik-baik saja. Apakah setelah ibunya masuk ke kamar tadi, lalu ibunya mengatakan
sesuatu?
“Baiklah, aku tuliskan obatnya ya, nanti belikan di
apotek. Itu tambahan obat untuk bapak.”
“Baik Dokter.”
"Tapi kalau obat ini tidak menolong, sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja."
Hati Sekar seperti teriris.
Tak lama kemudian Sekar menerima pesan singkat yang
menuliskan obat yang harus dibeli, berikut peraturannya.
Sekar menuju ke arah dapur, dimana bibik sedang bersiap
untuk memasak.
“Bik, tolong tungguin bapak di kamar ya.”
“Memangnya Non Sekar mau ke mana?”
“Aku mau ke apotek sebentar, beli obat untuk bapak.”
“Yang kemarin itu sudah habis Non?”
“Belum, ini obat tambahan dari dokter. Tadi bapak
merasa agak sesak, lalu aku menelpon dokternya.”
“Oh, ya ampun, bukannya tadi bapak baik-baik saja?
Malah mau makan agak banyak?”
“Itulah Bik, aku juga tidak tahu kenapa. Ya sudah
bibik ke kamar saja dulu, aku ganti baju dan segera pergi.”
“Baiklah Non,” kata bibik yang kemudian mencuci
tangannya, lalu bergegas masuk kamar.
Ia membuka pintu perlahan, supaya tidak mengejutkan majikannya.
Tapi ternyata pak Winarno terjaga.
“Ngapain lagi bik?” tanya pak Winarno pelan.
“Nggak ngapa-ngapain Pak, non Sekar menyuruh bibik
menjaga Bapak di kamar,” kata bibik sambil duduk di lantai, bersandar tembok.
“Memangnya Sekar ke mana? Kerja?”
“Tidak Pak, non Sekar ijin tidak masuk kerja selama
dua hari.”
“Lalu, kemana dia?”
“Ke apotek, beli obat untuk Bapak.”
“Obat lagi?”
“Tadi non Sekar menelpon dokter. Lalu disuruh beli
obat lagi.”
“Ooh. Untuk apa lagi, beli obat terus.”
“Tadi Bapak sesak napas kata non Sekar.”
“Sekarang tidak begitu sesak. Sekar sudah
menggosoknya. Tolong ambilkan botol obat gosoknya bik, lebih longgar rasanya
kalau aku mencium-cium baunya.
Bibik bangkit, mengambil botol obat gosok yang masih
terletak di atas nakas.
“Tolong dibuka sekalian.”
Bibik membuka tutup botolnya.
“Hati-hati Pak, jangan terbalik, nanti tumpah.”
“Iya, aku tahu.”
“Apa Bapak memikirkan sesuatu?” tanya bibik
memberanikan diri.
“Banyak yang aku pikirkan Bik.”
“Bapak tidak usah terlalu memikirkan. Non Sekar sudah
besar, sudah dewasa dan sangat pintar serta penuh pengertian.”
“Sekar itu tidak bahagia.”
“Mengapa Bapak merasa begitu? Bibik pikir, non Sekar
bahagia kok.”
“Dia menutupi kesedihannya. Aku tahu itu.”
Bibik terdiam. Memang benar, non Sekarnya selalu menutupi
semua hal yang sebenarnya membuatnya sedih. Bibik juga merasakannya. Tapi bibik
tidak mengira, hal itu juga dipikirkan oleh pak Winarno.
“Ibunya terlalu menguasai dia. Dan dia tidak berani
menentangnya.”
Bibik terdiam. Itu memang benar.
“Kali ini dia memaksanya menikah dengan seseorang,
entah siapa dia.”
Bibik mengangguk. Sekilas dia juga mendengar hal itu.
Tapi dia tahu bahwa non cantik menolaknya.
“Bapak tidak usah memikirkannya. Non Sekar sudah tahu
apa yang akan dilakukannya.”
Pak Winarno terdiam. Dia tidak bisa melakukan apa-apa
seandainya terjadi sesuatu dengan anaknya.
“Aku sudah tua, dan lemah. Aku tidak bisa menjaga anak
gadisku,” kata pak Winarno sendu. Suaranya terdengar serak.
“Bibik kan sudah bilang, non Sekar sudah dewasa, dan
pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Sebaiknya Bapak tenang saja. Nanti kalau
terlalu memikirkan, Bapak tidak sembuh-sembuh lho.”
Bibik sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga
Winarno. Bahkan sejak ibunya Sekar masih ada. Jadi dia berani menasehati
majikannya yang tampak sedang menderita.
“Sekarang Bapak tidur ya. Sebentar lagi non Sekar
pasti sudah pulang.”
“Tolong benarkan selimutku, rasanya agak dingin.”
Bibik bangkit, menyelimuti majikannya sampai ke dada.
“Sekarang Bapak tidur ya.”
***
Sekar sedang duduk menunggu di apotek. Pikirannya
melayang ke mana-mana. Sungguh dia merasa khawatir akan sakit ayahnya.
Bagaimana kalau dokter menyuruh ayahnya untuk dirawat di rumah sakit? Biayanya
pasti mahal. Ia tak punya uang banyak setelah beberapa bulan lalu ibu tirinya
memaksa mengambilnya. Tiba-tiba ia merasa sedih sekali. Ibu tiri yang pastinya
dulu diharapkan oleh ayahnya agar bisa mendampinginya dalam suka maupun duka, ternyata
setelah ayahnya tidak lagi punya uang banyak, lalu kelihatan bagaimana sifat
aslinya. Perhatian kepada ayahnya sudah tak ada lagi, lebih-lebih kepada dirinya.
Setelah ayahnya sakit, apakah ibu tirinya akan memikirkannya? Ia malah memaksa
dirinya untuk menikah, bukannya prihatin atas keadaan suaminya.
Tak terasa air mata Sekar menitik. Ia segera mengusapnya
karena beberapa orang melihatnya. Sekar memejamkan matanya, menahan air mata
yang kembali mengambang di pelupuknya.
“Non Sekar?”
Sekar terkejut mendengar panggilan itu. Ia membuka
matanya, dan setitik air mata mengalir di sepanjang pipinya.
“Barno?”
Orang yang menyapa tadi memang Barno. Hatinya teriris
melihat non cantiknya menitikkan air mata.
“Non sedang membeli obat?” tanyanya sambil duduk di
sampingnya. Ia merogoh sapu tangan dari saku celananya, diulungkannya kepada
Sekar yang kemudian mempergunakannya untuk mengusap pipinya yang basah.
“Iya, menunggu obat.”
“Siapa yang sakit?”
“Bapak,” lalu tak terasa air mata itu kembali menetes.
“Oh, bapak sakit apa?”
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” bukannya menjawab
pertanyaan Barno, Sekar malah ganti bertanya.
“Saya dari rumah dosen pembimbing untuk konsultasi,
lalu saat lewat tadi, saya melihat sepeda motor Non Sekar ada di situ, lalu
saya berhenti dan masuk ke mari. Ternyata memang ada Non Sekar di sini.”
“mBak, ini obatnya,” kata petugas apotek.
Sekar berdiri dan mendekat. Ia menerima obatnya,
kemudian beranjak keluar. Barno mengikutinya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Sekar.
“Saya mau ikut ke rumah Non.”
“Bukankah kamu masih mengerjakan skripsi kamu?”
“Sudah selesai, hanya ada sedikit revisi. Besok sudah
siap.”
“Oh, syukurlah. Aku ikut senang,” kata Sekar yang
kembali mengusap wajahnya dengan saputangan milik Barno.
Sekar menstarter sepeda motornya.
“Biar aku cuci dulu sapu tangan kamu Barno,” kata
Sekar sambil menjalankan motornya. Barno mengikutinya.
***
Bibik sedang mengambilkan minum untuk pak Winarno,
ketika melihat Sekar datang bersama Barno.
“Kok bisa ketemu Barno sih Non?”
“Ketika saya di apotek, Barno kebetulan lewat, katanya
dari rumah dosennya.”
“Oh, ya sudah, Barno duduk di belakang dulu, simbok
lagi mengambilkan minum untuk bapak.”
“Bapak tidak apa-apa Bik?” tanya Sekar.
“Tidak apa-apa, sekarang sudah bisa tidur. Ini bibik
menyiapkan minum lagi, karena yang di persediaan sudah habis.”
“Syukurlah.”
Sekar masuk ke kamar ayahnya, dan merasa lega ketika
melihat ayahnya tidur. Ia keluar untuk berganti pakaian rumah serta mencuci
kaki tangannya. Sebuah kebiasaan setiap kali dia pulang dari bepergian.
Simbok membuatkan minum untuk Barno, setelah
meletakkan minuman pak Winarno di kamarnya.
“Barno kasihan sama non Sekar.”
“Memangnya kenapa? Non Sekar mengatakan sesuatu?”
“Tidak. Hanya mengatakan bahwa bapak sedang sakit.
Tapi ketika Barno datang itu, non Sekar sedang menangis. Barno ikut sedih
melihatnya.”
Simbok meletakkan segelas minuman di dekat Barno.
“Minumlah dulu.”
Barno meneguk minumannya, dan hampir tersedak ketika
mendengar non cantiknya sedang berbicara di telpon.
“Aku serius Tia, tolong bilang sama kakak kamu, aku
mau menjual sepeda motor aku.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah Sekar sdh datang..... Jadi mau nganter ibu tirinya naik motor nggak ya??
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, dalam SEROJA dan tetap ADUHAI & CEMUNGUT......
Kakek.....Setia jaga gawang
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteHoree kakek jaga gawang
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteBerapa nilai jual motor Sekar, apa cukup untuk semua kebutuhan orang sakit... Semoga ada jalan lebih baik.
DeleteSalam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah sj 011 tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah ....terimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~11 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu...
Alhamdulilah, udah tayang SJ 11, matur nuwun Bu Tien Kumalasari
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Sehat selalu bund
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI 11 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun bunda Tien...π
ReplyDeleteCeritanya melow sekali..
ReplyDeleteSemoga endingnya heppiii...
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien π·π·π·π·π·
Alhamdulillah..... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ 11 sudsh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bshagia selalu.
Aamiin
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Terimakasih bunda Tien, SJ 11sudah tayang.
ReplyDeleteCeritanya makin sedih...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, suwun Bu Tien....ππ
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteJadi baper nih
ReplyDeleteMaturnuwun ibu Tien, sehat dan sukses sll
Trims Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteTerima ksih bunda Tien SJ 11nya..slm sht selaluππ₯°πΉ
ReplyDelete