SEBUAH JANJI 12
(Tien Kumalasari)
“Iya, aku sangat serius, terserah saja, aku tidak tahu
berapa pasarannya… baiklah … iya … secepatnya … sudah … nggak usah banyak tanya
… pokoknya aku minta tolong.”
Pembicaraan itu berhenti. Barno saling pandang dengan simboknya,
yang rupanya juga mendengar semuanya.
Tak lama kemudian Sekar mendekat ke arah mereka. Tak
tahan, bibik menggamit lengan non cantiknya.
“Benarkah Non mau menjual sepeda motor Non?”
Sekar tersenyum tipis.
“Iya Bik. Terpaksa. Hanya itu satu-satunya jalan.”
“Untuk apa Non?”
“Untuk berjaga-jaga, kalau sampai bapak harus masuk
rumah sakit. Tapi semoga saja tidak.”
“Memangnya bapak harus masuk rumah sakit?”
“Tadi dokter mengatakan, kalau bapak masih merasakan
sesak napas, kita harus membawanya ke rumah sakit.”
“Ya Tuhan, semoga tidak sampai seperti itu,” keluh
bibik, sedih.
“Aamiin. Harapan kita semua Bik.”
“Non, nanti sepeda motor saya biar saya tinggal di
sini saja.”
“Eh, kenapa?”
“Supaya bisa Non pakai untuk bekerja, untuk apapun.”
Sekar membelalakkan matanya.
“Barno …?”
“Saya bersungguh-sungguh. Saya sudah tidak begitu
memerlukannya, atau tidak setiap hari butuh memakai sepeda motor itu. Memang
sih, hanya sepeda motor butut, tapi paling tidak bisa dipergunakan, agar lebih
ringan bagi Non kalau butuh pergi ke mana-mana.”
Air mata Sekar berlinang. Ia duduk di samping bibik,
yang dengan lembut mengelus punggungnya. Sekar terisak, semakin tak bisa menguasai
keharuan yang menyesak dadanya. Begitu besar perhatian orang yang bukan
siapa-siapanya terhadap dirinya dan ayahnya, sementara ibu tirinya sama sekali
tak pernah memberikan sedikitpun perhatiannya.
“Jangan sedih Non. Non tidak sendiri. Saya dan simbok
akan selalu membantu Non,” kata Barno lembut.
Sekar menatapnya dengan air mata masih membasah..
“Terima kasih Barno, tapi bawalah dulu sepeda motor
kamu. Kamu kan masih membutuhkannya.”
“Apa Non menolak karena sepeda motor saya butut dan
Non merasa malu?”
“Tidak … tidak, bukan begitu. Aku hanya merasa akan
merepotkan kamu.”
“Saya kan sudah bilang, bahwa saya sudah jarang sekali
mempergunakannya.”
Sekar mengangkat ponselnya, karena terdengar dering
panggilan, yang ternyata dari temannya.
“Hallo, Tia … ya, baiklah, tidak apa-apa, kapan bisa
kamu ambil? Besok ya, tentu saja, aku masih libur, aku tunggu ya. Terima kasih
banyak Tia.”
Sekar menghela napas sambil meletakkan lagi ponselnya.
“Besok temanku akan mengambilnya. Aku sedikit merasa
lega karena memegang uang. Semoga tidak ada yang menghawatirkan.”
“Non … Non … Non itu masih muda, bebannya mengapa
sungguh berat sekali?” kata bibik sambil terus mengelus punggung non cantiknya.
“Tidak apa-apa Bik, ini kan kewajiban aku. Ya sudah,
aku mau ke kamar bapak dulu. Suruh Barno makan Bik, ini kan sudah siang,” kata
Sekar sambil berdiri.
“Non, bolehkah saya menjenguk bapak ke kamar?”
“Silakan Barno, bapak pasti suka melihat kamu.”
Barno berdiri, dan mengikuti Sekar dari belakang.
Simbok menatapnya dengan perasaan tak menentu. Ia
mulai mengerti apa yang dirasakan anaknya terhadap non cantiknya. Ia menghela
napas, ada harapan dan doa yang diam-diam dipanjatkannya.
***
Sekar membuka pintu kamar ayahnya pelan, dan melihat
ayahnya ternyata sudah terjaga. Ia menatap Sekar, dan siapa yang datang
bersamanya.
“Kamu kan … Barno?” katanya pelan.
“Iya Pak, saya Barno,” kata Barno sambil mendekat,
kemudian meraih tangan pak Winarno lalu menciumnya lembut.
“Bagaimana keadaan Bapak?”
“Ya begini ini. Entah kenapa, aku merasa lemah.”
“Bapak kan harus banyak beristirahat.”
“Kasihan Sekar. Jadi repot. Aku menyusahkannya.”
“Mengapa Bapak berkata begitu? Ini kewajiban Sekar,”
kata Sekar yang duduk di tepi pembaringan, di dekat kaki ayahnya, kemudian
memijitnya pelan.
“Kok Barno ada di sini?”
“Kebetulan saya baru pulang dari konsultasi dengan
dosen pembimbing, lalu mampir kemari.”
“Bagaimana skripsi kamu?”
“Mohon doanya, Bapak. Akan segera saya selesaikan.”
“Anak baik, anak pintar,” kata pak Winarno sambil
tersenyum.
“Bapak bisa saja.”
“Aku kalah sama bibik.”
“Kalah dalam hal apa Bapak?”
“Dia bisa punya anak sarjana, sedangkan aku tidak.”
“Mengapa Bapak berkata begitu? Sekar berjanji, pada
suatu hari nanti akan melanjutkan kuliah. Waktunya yang belum ada. Bukankah
Sekar masih muda?”
“Semoga benar. Dan aku masih bisa menyaksikannya.”
“Mengapa tidak? Bapak pasti akan bisa menyaksikannya.”
Pak Winarno tersenyum tipis.
“Barno …”
“Ya Pak.”
“Entah mengapa, untuk saat ini, aku memandangmu
sebagai seseorang yang bisa aku percaya.”
Barno tak menjawab.
“Ambil kursi dan duduklah di samping aku,” kata pak
Winarno sambil menunjuk ke arah sebuah kursi.
Barno mengambilnya, kemudian duduk di dekat pak
Winarno.
“Barno, seperti yang aku katakan tadi, entah mengapa,
aku merasa pantas mempercayai kamu.”
“Maksud Bapak?”
“Aku sudah tua, kepada siapa nanti Sekar aku titipkan?”
Barno membungkukkan badannya, agar bisa mendengar lebih
jelas, karena pak Winarno bicara sangat lirih.
“Sekar masih bekerja, biarlah untuk mencukupi dirinya
sendiri, dan bibik.”
Sekar berdebar, pembicaraan ayahnya tiba-tiba
membuatnya miris.
“Umurku tak akan lama.”
Sekar terisak.
“Bapak jangan berkata begitu, Bapak akan sembuh,
sehat. Sekar akan selalu menjaga Bapak.”
“Manusia boleh berharap. Tapi tidak bisa menentukan
mati dan hidup manusia.”
Barno menoleh ke arah non cantiknya, hatinya teriris
mendengarnya menangis.
“Barno … aku ingin, kamu berjanji.”
Barno lebih mendekatkan telinganya.
“Jagalah Sekar, karena dia milikku yang sangat
berharga.”
Barno terkejut. Ia berusaha mengurai apa arti ucapan
pak Winarno.
“Maukah kamu berjanji?” ulang pak Winarno.
“Ya, Pak?”
“Berjanjilah bahwa kau bersedia menjaganya.”
Barno berdebar. Dengan taruhan nyawa dia akan
melakukannya.
“Barno … apakah ini berat menurutmu?”
“Tidak Pak, tidak berat. Saya berjanji akan menjaga
non Sekar.”
Pak Winarno tersenyum tipis. Sekar merangkul kakinya
dan terisak di sana.
“Hentikan tangismu. Aku tidak apa-apa, Sekar.”
“Mengapa Bapak berkata begitu?”
“Apakah aku tidak boleh punya keinginan? Kalau sudah
ada yang berjanji akan menjaga kamu, aku akan merasa tenang. Bukankah kamu
ingin aku merasa tenang?”
“Tapi Bapak segera sembuh ya?”
“Tentu saja. Sudah, jangan menangis. Sudah besar, kok
masih suka menangis,” kata pak Winarno mencoba menggoda Sekar.
Sekar mencium kaki ayahnya berkali-kali.
Barno merasa, matanya terasa panas. Akhirnya meloncat
juga beberapa butiran air mata, membasah di pipinya. Dengan cepat dia
mengusapnya.
“Kamu juga menangis? Ada apa kalian ini?” kata pak
Winarno sambil menepuk pelan tangan Barno.
“Bapak jangan bicara yang aneh-aneh. Sekar takut,”
isak Sekar.
“Kemarilah,” kata pak Winarno sambil melambaikan tangannya,
meminta agar Sekar mendekat.
Sekar mendekat, lalu pak Winarno mengelus kepalanya
lembut.
“Bapak akan tenang, karena Barno berjanji akan menjaga
kamu. Mengapa kamu menangis? Ayo, sekarang ambilkan makan buat Bapak. Bapak
lapar,” katanya sambil tersenyum.
Sekar bangkit, menatap ayahnya tak percaya. Wajah yang
tampak lebih tua itu tersenyum begitu lepas. Sekar merasa agak lega, lalu ia
bangkit dan pergi keluar.
“Barno.”
Barno sekali lagi mengusap air matanya.
“Sekali lagi, berjanjilah.”
“Saya berjanji, akan menjaga non Sekar, dengan segenap
kemampuan saya.”
Pak Winarno mengangguk.
“Dia tidak pernah bahagia. Dia selalu menyembunyikan
kesedihannya. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah menampakkan rasa sakit walau
dia disakiti.”
Barno mengangguk, lalu menepuk-nepuk tangan pak
Winarno pelan.
“Saya merasa tersanjung. Saya hanya anaknya simbok,
tapi Bapak mempercayakan sebuah mutiara yang sangat berharga kepada saya.”
“Karena aku merasa, kamulah yang bisa menjaga mutiara
itu.”
Barno mengangkat tangan pak Winarno, dan menciumnya
lembut.
Ia belum sepenuhnya memahami arti ‘menjaga’ yang
dimaksud pak Winarno. Tapi apapun artinya, ia akan melakukannya.
***
“Hari ini, mungkin aku akan pulang agak malam,” kata
Samadi saat makan siang di warung. Tapi hanya Minar yang menemaninya. Ari dan
Yanti ana di dalam ruang kerja mereka.
“Mau kemana? Dan tumben juga, Mas makan di warung?”
“Karena aku mau pamit sama kamu. Kalau aku hanya
menelpon, nanti kamu marah.”
“Meskipun Mas pamit dengan berbicara langsung, bisa
saja aku marah.”
“Lho, kok gitu?”
“Kalau alasannya nggak jelas, pastilah aku marah.”
“Aku akan membuka usahaku di Jogya. Mungkin ada
pembicaraan penting dengan rekan kerja.”
“Mas nggak capek apa, kerja sini, kerja sana?”
“Namanya usaha ya nggak boleh capek. Dan perlu kamu
tahu, nanti aku juga akan sering meninggalkan rumah.”
“Nah, itu yang aku tidak suka.”
“Kamu jangan seperti anak kecil. Kalau usaha itu
berhasil, menghasilan kita juga bertambah. Kamu boleh minta apa saja yang kamu
mau.”
“Berjanjilah untuk lebih sering tinggal di rumah.”
“Ya, tentu saja aku lebih suka menemani istri aku yang
cantik ini.”
“Jangan-jangan di sana juga ada si cantik yang
menemani.”
“Aduh, kenapa sih bawaannya kamu tuh curiga melulu?
Masa sih nggak percaya sama suami sendiri?”
“Memang enggak,” kata Minar ketus.
Tapi Samadi justru tertawa.
“Jangan begitu ah, tuh … didengerin sama karyawan
kamu, malu.”
“Sekali orang pernah berbuat salah, selamanya dia
tidak akan dipercaya.”
“Wah, ungkapan yang salah. Kamu melupakan kata ‘tobat’.
Orang bisa saja bertobat.”
“Huh, semoga saja benar.”
“Tuh, kalau kamu cemberut, hilang lho cantiknya. Senyum
dulu dong, masa suaminya mau bepergian disuguhin mulut manyun begitu.
“Oh ya Mas, aku mau nanya nih. Soal pinjaman Yanti,”
kata Minar lirih, takut ada yang mendengarnya.
“Kenapa memangnya?”
“Selama ini kan kami belum dapat penghasilan yang
memuaskan dari penjualan rumah makan ini. Apakah dia juga bisa membayar
hutangnya?”
“Oh itu. Dia bayar kok.”
“Bayar?”
“Tertib. Aku selalu menagihnya kok. Sudah, aku
berangkat ya, ayo senyum lagi, biar aku merasa senang diperjalanan setiap ingat
senyuman kamu.”
Dan lagi-lagi Minar terbuai oleh rayuan gombal Samadi.
***
“Tumben pak Samad makan siang di warung?” tanya Ari
ketika Minar sudah masuk ke ruangannya.
“Pamit, katanya mau ke luar kota, dan pulang malam.”
“Wah, kenapa nggak ikut?”
“Mana boleh aku ikut? Kalau dia bilang soal pekerjaan,
aku nggak boleh ikut.”
“Pak Samadi sangat gigih dalam berusaha.”
“Itulah sebabnya, dia melarang aku menyerah dalam
usaha rumah makan ini. Pokoknya harus bersabar dan terus berjuang, katanya.”
“Semoga saja benar-benar berhasil. Ini sudah tiga
bulan lebih, dan kita belum dapat apa-apa.”
“Itulah. Aku sudah capek dan bosan sebenarnya.”
“Mengapa bosan? Nanti pak Samadi kecewa kalau kamu
bilang begitu.”
“Iya juga sih. Eh, Yanti, kamu lagi ngapain?”
“Ini, lagi mencatat semua pengeluaran dan pemasukan.”
“Bagaimana hasilnya?”
“Belum selesai, nanti aku tunjukkan sama kamu.”
“Kalian sudah makan?”
“Belum, nungguin Yanti, nanti kami makan setelahnya,”
kata Ari.
“Kalau kamu lapar, makan dulu saja Ar,” kata Yanti.
“Tidak, nanti kita makan sama-sama saja.”
“Ya sudah, ini juga kurang sebentar lagi.”
***
Sekar sedang menyuapi makan ayahnya, yang tampaknya
sangat lahap. Rupanya pak Winarno sudah merasa lebih sehat, dan itu sangat
menyenangkan bagi Sekar.
Barno masih menungguinya di kamar itu. Ia duduk di
tepi pembaringan, sambil memijit-mijit kaki pak Winarno.
“Barno, kamu masih di sini?”
“Ya Pak.”
“Kamu kan belum menyelesaikan tugas kamu?”
“Hanya revisi sedikit, nanti sore bisa saya selesaikan.
Mohon doa ya Pak.”
“Iya, pasti aku doakan.”
Pak Winarno sudah selesai makan, Sekar meminumkannya
obat. Sekar merasa agak lega melihat ayahnya tampak lebih segar. Wajahnya tidak
sepucat sebelumnya. Barangkali karena janji Barno, yang kemudian barulah Sekar
bertanya-tanya. Apa sebenatnya maksud ayahnya dengan ‘janji untuk menjaganya?
Tiba-tiba Sekar berdebar. Entah karena apa.
“Kamu sudah makan, Barno?”
“Nanti saja gampang.”
“Bapak tidur saja yang nyenyak ya.”
Pak Winarno diam, dia mencoba memejamkan matanya.
“Nanti kalau mau pulang, bilang ya No.”
“Baik Pak.”
***
Sekar makan di dapur, bersama Barno dan bibik. Ia
tunduk terdiam, dan saat ingat kata-kata ayahnya, ia jadi malu menatap wajah
Barno. Apakah ayahnya tadi bermaksud … menjodohkan … dirinya … dengan … Barno?
Dada Sekar berdebar … Tak pernah terpikirkan kalau itu adalah sebuah
perjodohan. Ia melirik ke arah Barno, dan Barno juga tak berani menatapnya.
Apakah dia berpikir tentang hal yang sama?”
Tiba-tiba ponsel Sekar berdering. Dari ibunya.
“Ya Bu.”
“Sekar, ibu tidak jadi minta kamu mengantar ibu, tapi
tolong jemput ibu ya?”
“Mengapa ibu tidak naik taksi saja?”
“Ibu juga heran, dari tadi memanggil taksi tidak
datang-datang. Ibu sudah capek, tolong jemput ya, alamatnya aku kirim. Jangan
lama-lama.”
Yanti segera menutup ponselnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah......
ReplyDeleteeSJe_12 sdh hadir, gimana ya Sekar? Apa jadi jual motor untuk biaya Perawatan bapaknya???? Yuk kita baca bersama.
Terima kasih bu Tien, salam SEROJA dan tetap ADUHAI
Kekek di Kereta tetep juara 1 ig....hebat tenan
DeleteMengiringi kakek Habi,
DeletePas buka pas muncul 😍
Nungguin mbak gak jd sare
DeleteKan Uti Nani sing ngajari.
DeletePadahal aku ora parkir di PCTK lho, instink aja niliki kok wis tayang
Matur sembah nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat aduhai selalu.
DeleteALHAMDULILLAH...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien, sehat selalu
ReplyDeleteyees Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien .... sdh tayang.... Semoga bu Tien selalu
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteNah kalau ayahnya sudah 'menitipkan' anak gadisnya tentu Barno makin mantab. Tapi bagaimana dengan Samadi yang si orang kaya itu... Yanti pasti akan memperjuangkannya.
DeleteSalam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Semoga Sekar Barno.berjodoh
Deletealhamdulillah
ReplyDeleteSemoga bu Tien selalu sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~12 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI 12 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Terima kasih Bu Tien Kumalasari
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMstur nuwun bunda Tien.....🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah, Matur nuwun bu Tienku
ReplyDeleteSabar ya Sekar , Barno ,,,,msh panjang ceritanya 🤭
Salam sehat wa'afiat bu Tienku
🤗🥰
Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga Sebuah Janji 12 sudah hadir buat kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteSemoga bpk Winarno segera sehat segar kembali, Barno segera lulus lalu bekerja dan Sekar tidak terjebak oleh kucing garong maupun niat2 jahat ibunya. Semua bahagia...
Semoga Pak Winarno selalu sehat..dan bisa melihat Sekar bahagia
ReplyDeleteAlhamdllh.... terima kasih
ReplyDeleteAlhamdulillah, SJ 12 sudah hadir.Terimakasih bunda Tien, salam bahagia dan sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ 12 sudah hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat dsn bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Alhamdulillah SJ12 sdh hadir. Terima ksh mbak Tien, semoga yg njemput yanti si barno bukan sekar
ReplyDeleteCuma nunggu...apakah Barno dan Sekar menang melawan muslihat Yanti dibantu Samadi.....
ReplyDeleteSalam bu Tien Kumalsari....
Hm
ReplyDeleteSamadi mulai kali ini jadi kapten muslihat, Yanti berperan sebagai ibu asuh yang menjerumuskan asuhannya, Barno dapat wasiat menjaga mutiara; semoga mutiara itu tidak hilang.
Ya mutiara yang hilang judul lagu yang sering didendangkan anak-anak telepon koin, mantap kalau terkumpul satu album lahap didengar sederetan lagu kesayangan, nggak tahu sekarang; anak-anak android biasanya ngedeherin egois, single.
Itu aja pakai headset kalau mau numpang denger malah suruh pakai blutut, sisa sisa pandemi masih terasa; jaga jarak mereka bilang.
Tuh kan ada pelantikan satpam buat ngejagain Sekar, eh nggak; kaya ditambahin lebih dari itu, iya siapa pun nggak nolak, ini dapat kepercayaan men, ngawal gadis cakep, waskat gitu lho.
Nah Barno kaya semangkin pede; simbok nguping nggak ya, biasanya gitu kalau ada gejala yang aneh bin serius, simbok curi dengar.
Nah mulai kerja ini satpam, membuntuti Sekar ke alamat yang diberi sama tante Yanti.
Wuah bisa bisa maen share loc nih; namanya anak-anak android ya gitu, kan disuruh gantian ngejagain Winarno, ada simbok tho, kan bisa.
Siip
Motor Sekar kan baru besok lakunya, heh kan kapten muslihat mulai hari ini mendobosi Marni mau telat pulang, bahkan nginep.
Asyik mulai adu pinalti nggak tahu nanti siapa yang menang, yang jelas Winarno sudah nyuruh Barno jadi keeper ngejagain gawang, masih lincah donk, masih muda seger, semangat lagi.
Moga aja wasit nya adil bijaksana.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ke dua belas sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Asyik jg ikut baca disini dr pada tidak nongol2 episode tgl 25 nya he he he
Delete🙏
DeleteJangan sampai Sekar kena jebakan Yanti...
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Salam hangat selalu
Slmt pgiii bunda Tien.. Terimaksih SJ nya.. SemogaSekar slmt dri jebakan ibu tirinya.. Slmsht sll unk bunda🙏🥰🌹
ReplyDeleteAlyamdulillah Sebuah Janji Eps. 12 sudah tayang. Mature nuwun mbak Tien Kumalasari. Semoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Aamiin Yaa Robbal 'Alamiin.
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ12 sdh datang.
ReplyDeleteMatursuwun bu Tien, salam sehat bahagia selalu.
A d u h a i .......................
Janji baru
ReplyDeleteLanjut terus bun.
ReplyDeleteTerimakasih mbak Tien...
ReplyDeleteSemoga Sekar berjodoh dengan barno....trims Bu tien
ReplyDeleteNgintip 2 kok blm nongol jg ya mbak Tien kemana nih? Kata teman mbak Tien nya ketiduran he he he.....
ReplyDeleteKayaknya bunda Tien g tayang y.. Sdhjam segini blm ada.. Sdgada kepentingan temu fans x di malang..
ReplyDeleteBiasanya mb Nur'aini atau kakek Hasbi yg woro2 klu tdk tayang.... Tp di komen smlm mmg ada komen mb Nur.. kakek Hasbi tetap juara 1 pdhal pss di Kereta api🤗. ke Malang🙏
ReplyDeleteSdh jam segini kok tumben belum ada yaa
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah .trimakasih bu Tien
ReplyDelete