Wednesday, August 24, 2022

SEBUAH JANJI 12

 

SEBUAH JANJI  12

(Tien Kumalasari)

 

“Iya, aku sangat serius, terserah saja, aku tidak tahu berapa pasarannya… baiklah … iya … secepatnya … sudah … nggak usah banyak tanya … pokoknya aku minta tolong.”

Pembicaraan itu berhenti. Barno saling pandang dengan simboknya, yang rupanya juga mendengar semuanya.

Tak lama kemudian Sekar mendekat ke arah mereka. Tak tahan, bibik menggamit lengan non cantiknya.

“Benarkah Non mau menjual sepeda motor Non?”

Sekar tersenyum tipis.

“Iya Bik. Terpaksa. Hanya itu satu-satunya jalan.”

“Untuk apa Non?”

“Untuk berjaga-jaga, kalau sampai bapak harus masuk rumah sakit. Tapi semoga saja tidak.”

“Memangnya bapak harus masuk rumah sakit?”

“Tadi dokter mengatakan, kalau bapak masih merasakan sesak napas, kita harus membawanya ke rumah sakit.”

“Ya Tuhan, semoga tidak sampai seperti itu,” keluh bibik, sedih.

“Aamiin. Harapan kita semua Bik.”

“Non, nanti sepeda motor saya biar saya tinggal di sini saja.”

“Eh, kenapa?”

“Supaya bisa Non pakai untuk bekerja, untuk apapun.”

Sekar membelalakkan matanya.

“Barno …?”

“Saya bersungguh-sungguh. Saya sudah tidak begitu memerlukannya, atau tidak setiap hari butuh memakai sepeda motor itu. Memang sih, hanya sepeda motor butut, tapi paling tidak bisa dipergunakan, agar lebih ringan bagi Non kalau butuh pergi ke mana-mana.”

Air mata Sekar berlinang. Ia duduk di samping bibik, yang dengan lembut mengelus punggungnya. Sekar terisak, semakin tak bisa menguasai keharuan yang menyesak dadanya. Begitu besar perhatian orang yang bukan siapa-siapanya terhadap dirinya dan ayahnya, sementara ibu tirinya sama sekali tak pernah memberikan sedikitpun perhatiannya.

“Jangan sedih Non. Non tidak sendiri. Saya dan simbok akan selalu membantu Non,” kata Barno lembut.

Sekar menatapnya dengan air mata masih membasah..

“Terima kasih Barno, tapi bawalah dulu sepeda motor kamu. Kamu kan masih membutuhkannya.”

“Apa Non menolak karena sepeda motor saya butut dan Non merasa malu?”

“Tidak … tidak, bukan begitu. Aku hanya merasa akan merepotkan kamu.”

“Saya kan sudah bilang, bahwa saya sudah jarang sekali mempergunakannya.”

Sekar mengangkat ponselnya, karena terdengar dering panggilan, yang ternyata dari temannya.

“Hallo, Tia … ya, baiklah, tidak apa-apa, kapan bisa kamu ambil? Besok ya, tentu saja, aku masih libur, aku tunggu ya. Terima kasih banyak Tia.”

Sekar menghela napas sambil meletakkan lagi ponselnya.

“Besok temanku akan mengambilnya. Aku sedikit merasa lega karena memegang uang. Semoga tidak ada yang menghawatirkan.”

“Non … Non … Non itu masih muda, bebannya mengapa sungguh berat sekali?” kata bibik sambil terus mengelus punggung non cantiknya.

“Tidak apa-apa Bik, ini kan kewajiban aku. Ya sudah, aku mau ke kamar bapak dulu. Suruh Barno makan Bik, ini kan sudah siang,” kata Sekar sambil berdiri.

“Non, bolehkah saya menjenguk bapak ke kamar?”

“Silakan Barno, bapak pasti suka melihat kamu.”

Barno berdiri, dan mengikuti Sekar dari belakang.

Simbok menatapnya dengan perasaan tak menentu. Ia mulai mengerti apa yang dirasakan anaknya terhadap non cantiknya. Ia menghela napas, ada harapan dan doa yang diam-diam dipanjatkannya.

***

Sekar membuka pintu kamar ayahnya pelan, dan melihat ayahnya ternyata sudah terjaga. Ia menatap Sekar, dan siapa yang datang bersamanya.

“Kamu kan … Barno?” katanya pelan.

“Iya Pak, saya Barno,” kata Barno sambil mendekat, kemudian meraih tangan pak Winarno lalu menciumnya lembut.

“Bagaimana keadaan Bapak?”

“Ya begini ini. Entah kenapa, aku merasa lemah.”

“Bapak kan harus banyak beristirahat.”

“Kasihan Sekar. Jadi repot. Aku menyusahkannya.”

“Mengapa Bapak berkata begitu? Ini kewajiban Sekar,” kata Sekar yang duduk di tepi pembaringan, di dekat kaki ayahnya, kemudian memijitnya pelan.

“Kok Barno ada di sini?”

“Kebetulan saya baru pulang dari konsultasi dengan dosen pembimbing, lalu mampir kemari.”

“Bagaimana skripsi kamu?”

“Mohon doanya, Bapak. Akan segera saya selesaikan.”

“Anak baik, anak pintar,” kata pak Winarno sambil tersenyum.

“Bapak bisa saja.”

“Aku kalah sama bibik.”

“Kalah dalam hal apa Bapak?”

“Dia bisa punya anak sarjana, sedangkan aku tidak.”

“Mengapa Bapak berkata begitu? Sekar berjanji, pada suatu hari nanti akan melanjutkan kuliah. Waktunya yang belum ada. Bukankah Sekar masih muda?”

“Semoga benar. Dan aku masih bisa menyaksikannya.”

“Mengapa tidak? Bapak pasti akan bisa menyaksikannya.”

Pak Winarno tersenyum tipis.

“Barno …”

“Ya Pak.”

“Entah mengapa, untuk saat ini, aku memandangmu sebagai seseorang yang bisa aku percaya.”

Barno tak menjawab.

“Ambil kursi dan duduklah di samping aku,” kata pak Winarno sambil menunjuk ke arah sebuah kursi.

Barno mengambilnya, kemudian duduk di dekat pak Winarno.

“Barno, seperti yang aku katakan tadi, entah mengapa, aku merasa pantas mempercayai kamu.”

“Maksud Bapak?”

“Aku sudah tua, kepada siapa nanti Sekar aku titipkan?”

Barno membungkukkan badannya, agar bisa mendengar lebih jelas, karena pak Winarno bicara sangat lirih.

“Sekar masih bekerja, biarlah untuk mencukupi dirinya sendiri, dan bibik.”

Sekar berdebar, pembicaraan ayahnya tiba-tiba membuatnya miris.

“Umurku tak akan lama.”

Sekar terisak.

“Bapak jangan berkata begitu, Bapak akan sembuh, sehat. Sekar akan selalu menjaga Bapak.”

“Manusia boleh berharap. Tapi tidak bisa menentukan mati dan hidup manusia.”

Barno menoleh ke arah non cantiknya, hatinya teriris mendengarnya menangis.

“Barno … aku ingin, kamu berjanji.”

Barno lebih mendekatkan telinganya.

“Jagalah Sekar, karena dia milikku yang sangat berharga.”

Barno terkejut. Ia berusaha mengurai apa arti ucapan pak Winarno.

“Maukah kamu berjanji?” ulang pak Winarno.

“Ya, Pak?”

“Berjanjilah bahwa kau bersedia menjaganya.”

Barno berdebar. Dengan taruhan nyawa dia akan melakukannya.

“Barno … apakah ini berat menurutmu?”

“Tidak Pak, tidak berat. Saya berjanji akan menjaga non Sekar.”

Pak Winarno tersenyum tipis. Sekar merangkul kakinya dan terisak di sana.

“Hentikan tangismu. Aku tidak apa-apa, Sekar.”

“Mengapa Bapak berkata begitu?”

“Apakah aku tidak boleh punya keinginan? Kalau sudah ada yang berjanji akan menjaga kamu, aku akan merasa tenang. Bukankah kamu ingin aku merasa tenang?”

“Tapi Bapak segera sembuh ya?”

“Tentu saja. Sudah, jangan menangis. Sudah besar, kok masih suka menangis,” kata pak Winarno mencoba menggoda Sekar.

Sekar mencium kaki ayahnya berkali-kali.

Barno merasa, matanya terasa panas. Akhirnya meloncat juga beberapa butiran air mata, membasah di pipinya. Dengan cepat dia mengusapnya.

“Kamu juga menangis? Ada apa kalian ini?” kata pak Winarno sambil menepuk pelan tangan Barno.

“Bapak jangan bicara yang aneh-aneh. Sekar takut,” isak Sekar.

“Kemarilah,” kata pak Winarno sambil melambaikan tangannya, meminta agar Sekar mendekat.

Sekar mendekat, lalu pak Winarno mengelus kepalanya lembut.

“Bapak akan tenang, karena Barno berjanji akan menjaga kamu. Mengapa kamu menangis? Ayo, sekarang ambilkan makan buat Bapak. Bapak lapar,” katanya sambil tersenyum.

Sekar bangkit, menatap ayahnya tak percaya. Wajah yang tampak lebih tua itu tersenyum begitu lepas. Sekar merasa agak lega, lalu ia bangkit dan pergi keluar.

“Barno.”

Barno sekali lagi mengusap air matanya.

“Sekali lagi, berjanjilah.”

“Saya berjanji, akan menjaga non Sekar, dengan segenap kemampuan saya.”

Pak Winarno mengangguk.

“Dia tidak pernah bahagia. Dia selalu menyembunyikan kesedihannya. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah menampakkan rasa sakit walau dia disakiti.”

Barno mengangguk, lalu menepuk-nepuk tangan pak Winarno pelan.

“Saya merasa tersanjung. Saya hanya anaknya simbok, tapi Bapak mempercayakan sebuah mutiara yang sangat berharga kepada saya.”

“Karena aku merasa, kamulah yang bisa menjaga mutiara itu.”

Barno mengangkat tangan pak Winarno, dan menciumnya lembut.

Ia belum sepenuhnya memahami arti ‘menjaga’ yang dimaksud pak Winarno. Tapi apapun artinya, ia akan melakukannya.

***

“Hari ini, mungkin aku akan pulang agak malam,” kata Samadi saat makan siang di warung. Tapi hanya Minar yang menemaninya. Ari dan Yanti ana di dalam ruang kerja mereka.

“Mau kemana? Dan tumben juga, Mas makan di warung?”

“Karena aku mau pamit sama kamu. Kalau aku hanya menelpon, nanti kamu marah.”

“Meskipun Mas pamit dengan berbicara langsung, bisa saja aku marah.”

“Lho, kok gitu?”

“Kalau alasannya nggak jelas, pastilah aku marah.”

“Aku akan membuka usahaku di Jogya. Mungkin ada pembicaraan penting dengan rekan kerja.”

“Mas nggak capek apa, kerja sini, kerja sana?”

“Namanya usaha ya nggak boleh capek. Dan perlu kamu tahu, nanti aku juga akan sering meninggalkan rumah.”

“Nah, itu yang aku tidak suka.”

“Kamu jangan seperti anak kecil. Kalau usaha itu berhasil, menghasilan kita juga bertambah. Kamu boleh minta apa saja yang kamu mau.”

“Berjanjilah untuk lebih sering tinggal di rumah.”

“Ya, tentu saja aku lebih suka menemani istri aku yang cantik ini.”

“Jangan-jangan di sana juga ada si cantik yang menemani.”

“Aduh, kenapa sih bawaannya kamu tuh curiga melulu? Masa sih nggak percaya sama suami sendiri?”

“Memang enggak,” kata Minar ketus.

Tapi Samadi justru tertawa.

“Jangan begitu ah, tuh … didengerin sama karyawan kamu, malu.”

“Sekali orang pernah berbuat salah, selamanya dia tidak akan dipercaya.”

“Wah, ungkapan yang salah. Kamu melupakan kata ‘tobat’. Orang bisa saja bertobat.”

“Huh, semoga saja benar.”

“Tuh, kalau kamu cemberut, hilang lho cantiknya. Senyum dulu dong, masa suaminya mau bepergian disuguhin mulut manyun begitu.

“Oh ya Mas, aku mau nanya nih. Soal pinjaman Yanti,” kata Minar lirih, takut ada yang mendengarnya.

“Kenapa memangnya?”

“Selama ini kan kami belum dapat penghasilan yang memuaskan dari penjualan rumah makan ini. Apakah dia juga bisa membayar hutangnya?”

“Oh itu. Dia bayar kok.”

“Bayar?”

“Tertib. Aku selalu menagihnya kok. Sudah, aku berangkat ya, ayo senyum lagi, biar aku merasa senang diperjalanan setiap ingat senyuman kamu.”

Dan lagi-lagi Minar terbuai oleh rayuan gombal Samadi.

***

“Tumben pak Samad makan siang di warung?” tanya Ari ketika Minar sudah masuk ke ruangannya.

“Pamit, katanya mau ke luar kota, dan pulang malam.”

“Wah, kenapa nggak ikut?”

“Mana boleh aku ikut? Kalau dia bilang soal pekerjaan, aku nggak boleh ikut.”

“Pak Samadi sangat gigih dalam berusaha.”

“Itulah sebabnya, dia melarang aku menyerah dalam usaha rumah makan ini. Pokoknya harus bersabar dan terus berjuang, katanya.”

“Semoga saja benar-benar berhasil. Ini sudah tiga bulan lebih, dan kita belum dapat apa-apa.”

“Itulah. Aku sudah capek dan bosan sebenarnya.”

“Mengapa bosan? Nanti pak Samadi kecewa kalau kamu bilang begitu.”

“Iya juga sih. Eh, Yanti, kamu lagi ngapain?”

“Ini, lagi mencatat semua pengeluaran dan pemasukan.”

“Bagaimana hasilnya?”

“Belum selesai, nanti aku tunjukkan sama kamu.”

“Kalian sudah makan?”

“Belum, nungguin Yanti, nanti kami makan setelahnya,” kata Ari.

“Kalau kamu lapar, makan dulu saja Ar,” kata Yanti.

“Tidak, nanti kita makan sama-sama saja.”

“Ya sudah, ini juga kurang sebentar lagi.”

***

Sekar sedang menyuapi makan ayahnya, yang tampaknya sangat lahap. Rupanya pak Winarno sudah merasa lebih sehat, dan itu sangat menyenangkan bagi Sekar.

Barno masih menungguinya di kamar itu. Ia duduk di tepi pembaringan, sambil memijit-mijit kaki pak Winarno.

“Barno, kamu masih di sini?”

“Ya Pak.”

“Kamu kan belum menyelesaikan tugas kamu?”

“Hanya revisi sedikit, nanti sore bisa saya selesaikan. Mohon doa ya Pak.”

“Iya, pasti aku doakan.”

Pak Winarno sudah selesai makan, Sekar meminumkannya obat. Sekar merasa agak lega melihat ayahnya tampak lebih segar. Wajahnya tidak sepucat sebelumnya. Barangkali karena janji Barno, yang kemudian barulah Sekar bertanya-tanya. Apa sebenatnya maksud ayahnya dengan ‘janji untuk menjaganya? Tiba-tiba Sekar berdebar. Entah karena apa.

“Kamu sudah makan, Barno?”

“Nanti saja gampang.”

“Bapak tidur saja yang nyenyak ya.”

Pak Winarno diam, dia mencoba memejamkan matanya.

“Nanti kalau mau pulang, bilang ya No.”

“Baik Pak.”

***

Sekar makan di dapur, bersama Barno dan bibik. Ia tunduk terdiam, dan saat ingat kata-kata ayahnya, ia jadi malu menatap wajah Barno. Apakah ayahnya tadi bermaksud … menjodohkan … dirinya … dengan … Barno? Dada Sekar berdebar … Tak pernah terpikirkan kalau itu adalah sebuah perjodohan. Ia melirik ke arah Barno, dan Barno juga tak berani menatapnya. Apakah dia berpikir tentang hal yang sama?”

Tiba-tiba ponsel Sekar berdering. Dari ibunya.

“Ya Bu.”

“Sekar, ibu tidak jadi minta kamu mengantar ibu, tapi tolong jemput ibu ya?”

“Mengapa ibu tidak naik taksi saja?”

“Ibu juga heran, dari tadi memanggil taksi tidak datang-datang. Ibu sudah capek, tolong jemput ya, alamatnya aku kirim. Jangan lama-lama.”

Yanti segera menutup ponselnya.

***

Besok lagi ya.

47 comments:

  1. Alhamdulillah......
    eSJe_12 sdh hadir, gimana ya Sekar? Apa jadi jual motor untuk biaya Perawatan bapaknya???? Yuk kita baca bersama.

    Terima kasih bu Tien, salam SEROJA dan tetap ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kekek di Kereta tetep juara 1 ig....hebat tenan

      Delete
    2. Mengiringi kakek Habi,
      Pas buka pas muncul 😍

      Delete
    3. Kan Uti Nani sing ngajari.
      Padahal aku ora parkir di PCTK lho, instink aja niliki kok wis tayang

      Delete
    4. Matur sembah nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat aduhai selalu.

      Delete
  2. Trimakasih bu Tien .... sdh tayang.... Semoga bu Tien selalu

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah kalau ayahnya sudah 'menitipkan' anak gadisnya tentu Barno makin mantab. Tapi bagaimana dengan Samadi yang si orang kaya itu... Yanti pasti akan memperjuangkannya.
      Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

      Delete
  4. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~12 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah SEBUAH JANJI 12 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  7. Mstur nuwun bunda Tien.....🙏🙏

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tienku
    Sabar ya Sekar , Barno ,,,,msh panjang ceritanya 🤭

    Salam sehat wa'afiat bu Tienku
    🤗🥰

    ReplyDelete
  9. Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga Sebuah Janji 12 sudah hadir buat kami para penggandrungnya.

    Semoga bpk Winarno segera sehat segar kembali, Barno segera lulus lalu bekerja dan Sekar tidak terjebak oleh kucing garong maupun niat2 jahat ibunya. Semua bahagia...

    ReplyDelete
  10. Semoga Pak Winarno selalu sehat..dan bisa melihat Sekar bahagia

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, SJ 12 sudah hadir.Terimakasih bunda Tien, salam bahagia dan sehat selalu.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah SJ 12 sudah hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga sehat dsn bahagia selalu.
    Aamiin Allahumma Aamiin

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah SJ12 sdh hadir. Terima ksh mbak Tien, semoga yg njemput yanti si barno bukan sekar

    ReplyDelete
  14. Cuma nunggu...apakah Barno dan Sekar menang melawan muslihat Yanti dibantu Samadi.....
    Salam bu Tien Kumalsari....

    ReplyDelete
  15. Hm
    Samadi mulai kali ini jadi kapten muslihat, Yanti berperan sebagai ibu asuh yang menjerumuskan asuhannya, Barno dapat wasiat menjaga mutiara; semoga mutiara itu tidak hilang.
    Ya mutiara yang hilang judul lagu yang sering didendangkan anak-anak telepon koin, mantap kalau terkumpul satu album lahap didengar sederetan lagu kesayangan, nggak tahu sekarang; anak-anak android biasanya ngedeherin egois, single.
    Itu aja pakai headset kalau mau numpang denger malah suruh pakai blutut, sisa sisa pandemi masih terasa; jaga jarak mereka bilang.

    Tuh kan ada pelantikan satpam buat ngejagain Sekar, eh nggak; kaya ditambahin lebih dari itu, iya siapa pun nggak nolak, ini dapat kepercayaan men, ngawal gadis cakep, waskat gitu lho.
    Nah Barno kaya semangkin pede; simbok nguping nggak ya, biasanya gitu kalau ada gejala yang aneh bin serius, simbok curi dengar.
    Nah mulai kerja ini satpam, membuntuti Sekar ke alamat yang diberi sama tante Yanti.
    Wuah bisa bisa maen share loc nih; namanya anak-anak android ya gitu, kan disuruh gantian ngejagain Winarno, ada simbok tho, kan bisa.
    Siip
    Motor Sekar kan baru besok lakunya, heh kan kapten muslihat mulai hari ini mendobosi Marni mau telat pulang, bahkan nginep.
    Asyik mulai adu pinalti nggak tahu nanti siapa yang menang, yang jelas Winarno sudah nyuruh Barno jadi keeper ngejagain gawang, masih lincah donk, masih muda seger, semangat lagi.

    Moga aja wasit nya adil bijaksana.

    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien,
    Sebuah janji yang ke dua belas sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku, sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  16. Jangan sampai Sekar kena jebakan Yanti...
    Makasih mba Tien
    Salam hangat selalu

    ReplyDelete
  17. Slmt pgiii bunda Tien.. Terimaksih SJ nya.. SemogaSekar slmt dri jebakan ibu tirinya.. Slmsht sll unk bunda🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  18. Alyamdulillah Sebuah Janji Eps. 12 sudah tayang. Mature nuwun mbak Tien Kumalasari. Semoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Aamiin Yaa Robbal 'Alamiin.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah SJ12 sdh datang.
    Matursuwun bu Tien, salam sehat bahagia selalu.
    A d u h a i .......................

    ReplyDelete
  20. Semoga Sekar berjodoh dengan barno....trims Bu tien

    ReplyDelete
  21. Ngintip 2 kok blm nongol jg ya mbak Tien kemana nih? Kata teman mbak Tien nya ketiduran he he he.....

    ReplyDelete
  22. Kayaknya bunda Tien g tayang y.. Sdhjam segini blm ada.. Sdgada kepentingan temu fans x di malang..

    ReplyDelete
  23. Biasanya mb Nur'aini atau kakek Hasbi yg woro2 klu tdk tayang.... Tp di komen smlm mmg ada komen mb Nur.. kakek Hasbi tetap juara 1 pdhal pss di Kereta api🤗. ke Malang🙏

    ReplyDelete
  24. Sdh jam segini kok tumben belum ada yaa

    ReplyDelete
  25. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...