SEBUAH JANJI 05
(Tien Kumalasari)
Ari terbelalak. Mobil Samadi memang hanya lewat, tapi
Ari melihat ada bayangan seorang wanita di samping Samadi, saat kaca jendela
mobil di sebelah kemudi masih terbuka.
“Seperti Yanti? Tapi apa benar Yanti? Aduh, kalau
benar, dan Minar mendengarnya, pasti akan terjadi perang di dua tempat. Perang
di rumah pak Samad, dan perang di tempat kerja. Aku tidak ingin hal itu
terjadi, demi persahabatan. Apalagi aku belum tahu jelas apa arti hubungan
mereka itu sebenarnya. Hanya saja aku heran, kok tiba-tiba mereka bisa
berduaan? Tadi Yanti pamit kalau kepalanya pusing, lalu tiba-tiba pak Samad
menghilang. Benarkah hal itu hanya kebetulan, atau memang sengaja? Kalau
kebetulan, jadi saat pak Samad keluar dari warung tadi, dia melihat Yanti,
kemudian mengantarnya karena sekali jalan. Tapi kalau kebetulan, mengapa mereka
bisa makan bersama di rumah makan itu? Tampaknya mereka memang habis makan
karena di situ kan deretan rumah makan. Berarti mereka sengaja berkencan?"
“Ya Tuhan, aku tidak mengerti. Semoga semuanya
baik-baik saja,” keluh Ari dalam hati.
Tiba-tiba Ari terkejut, ketika pintu disebelahnya
dibuka dari luar, dan Minar berteriak heran.
“Ari, kamu jadi lapar nggak sih?”
“Oh, ya ampuun, sudah sampai?”
“Kamu tuh lagi mikirin apa sih?”
Ari turun dari mobil, tersenyum kecut mengingat dia
melamun karena memikirkan Samadi dan Yanti sahabatnya. Dan beruntung. Rupanya
karena asyik mencari tempat parkir, Minar jadi tidak melihatnya. Batallah
peperangan yang dikhawatirkannya.
“Kamu lagi ngelamunin apa?”
“Aku? Nggak ngelamun kok,” elak Ari.
“Nggak ngelamun, tapi mobil berhenti kamu tidak sadar,
bahkan kamu tidak beranjak turun kalau aku tidak menarik kamu keluar,” omel Minar
sambil melangkah masuk sambil menggandeng Ari.
“Iya, aku tadi ngantuk sekali. Tiba-tiba seperti
mimpi.”
“Aneh deh. Barusan ngobrol, tiba-tiba tertidur.”
“Iya juga sih, kenapa aku tadi,” kata Ari yang tidak
bisa menemukan alasan tepat untuk temannya yang satu itu.
Mereka duduk agak di tengah ruangan, karena hampir
semua tempat duduk telah terisi.
“Nggak apa-apa ya,
disini. Agak berisik sih, tapi kenapa memangnya kalau berisik? Yang
penting kita makan dan mengisi perut supaya tidak kelaparan. Ya kan?” kata
Minar.
Ari hanya menurut. Iapun duduk di depan Minar, dan
membaca menu yang disodorkan oleh pelayan.
***
Samadi menurunkan Aryanti di depan pagar rumahnya.
“Di sini saja Pak, terima kasih banyak,” kata Aryanti
sebelum turun.
“Bagaimana sekarang, apa masih pusing?”
Aryanti tersenyum lebar.
“Ternyata sudah tidak lagi Pak.”
“Nah, berarti tadi pusingnya karena lapar. Lain kali
tidak boleh lupa mengisi perut. Kalau tidak sempat makan di rumah, ya makan di
warung. Kan di sana banyak makanan? Warung nggak akan rugi kalau hanya
berkurang sepiring saja untuk salah satu pengelolanya.”
“Iya benar. Sekali lagi terima kasih. Tapi sekaligus
saya minta maaf, karena bulan ini lagi-lagi hanya bisa membayar bunga dari
pinjaman saya Pak, belum bisa mencicilnya. Kan Bapak tahu bahwa usaha baru
berjalan pelan.”
“Oh, soal itu, tidak masalah. Lakukan yang bisa kamu
lakukan, aku iklas membantu. Masalah bunga itu juga kalau uangnya belum ada
juga jangan dulu dibayarkan. Tidak apa-apa.”
“Benarkah?” tanya Aryanti senang.
Samadi tersenyum. Ia juga senang melihat senyum
Aryanti. Hanya masalah uang, tidak masalah baginya, asalkan dia bisa selalu
menikmati senyuman itu, atau siapa tahu bisa lebih. Kata batin Samadi sambil
tersenyum menyeringai, licik.
Yanti turun, sambil melirik sekilas ke arah Samadi,
yang saat itu sedang menatapnya.
Yanti mengibaskan perasaan aneh, kemudian berlalu masuk
ke halaman rumahnya, sampai lupa menutupkan pintu mobilnya. Ia baru sadar ketika
mendengar pintu mobil ditutupkan. Ia menoleh ke arah mobil yang sudah berjalan
pelan dan menghilang dari pandangan.
“Kok tumben masih siang sudah pulang?” sapa pak
Winarno yang ternyata sedang duduk di teras sendirian.
“Iya Pak, agak pusing sedikit, ingin istirahat dulu di
rumah.”
“Kamu diantar siapa?”
“Oh, itu … taksi … taksi online,” kata Aryanti
berbohong. Ia tidak tahu, mengapa harus berbohong. Padahal kalau berterus
terangpun belum tentu suaminya marah. Kan Samadi itu suami sahabatnya yang
suaminya juga sudah mengetahuinya? Tapi sudah terlanjur, dia terus masuk ke
dalam rumah, karena suaminya tidak bertanya lebih lanjut.
Winarno sudah tahu kalau beberapa bulan ini istrinya
sudah mulai mengelola bisnis rumah makan bersama temannya. Dia tidak menanyakan,
apakah modal dari menguras uang yang dimiliki Sekar itu sudah cukup, atau
belum, karena dia memang tidak mau tahu semua yang dilakukan istrinya yang
sudah melanggar larangannya.
***
Ari dan Minar sudah kembali ke warung, salah seorang
pelayan menurunkan barang belanjaan mereka. Tak ada pembeli di warung itu.
“Kok sepi ?” tanya Minar kepada pelayan itu.
“Iya Bu, sejak ibu pergi tadi hanya ada tiga orang
pembeli.”
“Oh … “ dengus Minar dengan wajah kecewa. Ia langsung
masuk ke ruangan kantor, diikuti Ari.
“Kok sepi ya, kata Ari sambil menghempaskan pantatnya
di sofa. Minar duduk di kursi kerjanya membuka-buka nota dan mencatatnya.
“Kita masih belum beruntung. Bulan kemarin ada
keuntungan sedikit, karena banyak pembeli yang mungkin baru mencoba-coba.”
“Tapi bulan ini menurun kan?” kata Ari.
“Banget,” keluh Minar sambil menyangga kepalanya
dengan ke dua tangan.
“Itu artinya, ada kekurangan di kita. Bisa jadi
pelayanan tidak memuaskan, bisa jadi masakan kurang diminati pelanggan,” kata
Ari memberi ulasan.
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Baru dua bulan, barangkali kita masih harus menunggu,
dan bersabar. Lalu meningkatkan pelayanan. Barangkali para pelayan diminta
untuk bersikap lebih ramah.”
“Itu kan sudah kita anjurkan sejak sebelum rumah makan
ini buka.”
“Bagaimana dengan pemberian hadiah?”
“Hadiah apa?”
“Setiap pelanggan datang, diberi kupon, yang akan
diundi setiap bulan.”
“Ah, nggak asyik. Itu kurang menarik.”
“Bagaimana kalau ada orgen tunggal di sini, lalu kita
datangkan penyanyi yang cantik.”
“Wah, nanti mas Samat rajin datang kemari.”
“Kamu tuh, belum-belum sudah menuduh.”
“Itu menghawatirkan, Ari.”
“Kan ada kamu yang mengawasi?”
“Bagaimana kalau dia datang kemari ketika aku tidak
ada.”
“Ya ampun Minar, kamu tuh cemburunya kelewatan.”
Tapi tiba-tiba Ari teringat pada apa yang dilihatnya
siang tadi. Samadi bersama Aryanti. Apakah itu menghawatirkan? Aryanti memang
cantik. Biarpun umurnya sudah empat puluhan tahun, tapi ia tampak lebih muda
dari usianya. Tak heran kalau Samadi yang kata istrinya memang mata keranjang,
kemudian tertarik. Tapi tidak. Ia tak boleh berasumsi buruk terhadap teman
sendiri. Bolehlah Samadi tertarik, kan memang dia seorang lelaki penggemar
perempuan cantik, tapi kalau Yanti tidak menanggapi, pasti tak akan terjadi hal
yang tidak diinginkan.
“Hei … ngelamunin apa lagi, kamu?” lagi-lagi Minar
mengejutkannya.
“Ah, ya lagi mikir jalan keluar yang baik untuk kita,”
kata Ari sambil menyandarkan badannya ke sofa.
“Ada masalah begini, mana Yanti, kenapa malah pulang?”
gerutu Minar yang pada dasarnya memang punya rasa kurang senang pada Aryanti.
Tentu saja karena dia cemburu.
“Tadi kan dia pamit karena kepalanya pusing,” kata Ari
yang masih ingin membela Yanti.
“Besok kita ajak dia bicara. Coba dia mau mengusulkan
apa demi majunya usaha kita ini.”
“Pasti dia punya pemikiran, kita tunggu saja besok.”
***
Malam hari setelah rumah makan tutup, Minar baru
pulang ke rumah. Ia kesal karena suaminya tidak menjemput.
“Kok malah enak-enak sih Mas, kenapa aku tidak
dijemput?” tegus Minar kesal.
“Lhoh, kan ada Ari?”
“Memangnya kalau ada Ari lalu kamu tidak mau menjemput
aku? Biasanya saja rajin menjemput, malah mengantarkan Yanti juga. O, aku tahu,
karena tadi Yanti pulang siang kan? Jadi karena tidak ada Yanti lalu kamu tidak
mau menjemput aku,” tuduhnya dengan mulut manyun.
“Ya ampuun, mengapa kamu berpikiran yang tidak-tidak?”
“Nyatanya iya kan, biasanya pasti menjemput, lalu
mengantarkan Yanti dulu. Kenapa tadi tidak?”
“Aku tidak kepikiran sampai ke situ. Tadi aku
ketiduran di depan televisi, lalu saat terbangun, kamu sudah pulang.”
Minar tidak menjawab, langsung masuk ke dalam kamar.
Tapi Samadi yang nyengir kuda karena ketahuan apa yang dipikirkannya, mengikutinya
masuk. Ia harus menenangkan hati istrinya, dan membuatnya supaya tidak curiga.
“Minar, duh kamu itu walau keringatan, tubuhmu kok ya
masih tercium harum ya,” kata Samadi sambil mengendus-endus bahu istrinya.
“Ih, norak. Apa yang kamu lakukan?”
“Aku bilang tubuhmu harum.”
Minar menurunkan kekesalan yang memuncak begitu
memasuki rumah. Rayuan suaminya benar-benar membuatnya terlena. Siapa yang
nggak senang kalau dipuji suaminya sih?
“Aku capek, jangan macam-macam. Setelah mandi aku mau
bicara,” katanya sambil meninggalkan suaminya, mengambil handuk lalu masuk ke
dalam kamar mandi.
Samadi menyeringai sambil duduk di sofa. Ia senang
bisa meredakan kekesalan istrinya. Memang benar dia enggan menjemput karena
tahu bahwa Aryanti tidak ada. Tapi kan ada Ari yang pasti dengan suka rela
mengantarnya.
Samadi memejamkan matanya sambil menyandarkan
tubuhnya. Wajah Aryanti terbayang di benaknya. Mengapa wanita yang sudah tidak
muda lagi bisa begitu menarik hatinya? Ia bahkan berpikir untuk membebaskan
semua hutang Aryanti demi rasa sayangnya. Aduhai, sayang? Tapi kan Aryanti
selalu tersenyum menghadapinya. Selalu mengimbangi pandangan matanya.
“Eh, kok senyum-senyum sendiri sih?”
Samadi tersentak dari lamunannya.
Dilihatnya Minar sudah berdiri di depannya dan sudah
mengenakan kimono tidurnya.
“Eh, kaget aku. Siapa yang senyum-senyum?”
“Lha itu, Mas merem sambil tersenyum, pasti sedang
membayangkan sesuatu. Ya kan? Seseorang. Ya kan?”
“Kenapa sih, wanita cantik suka curiga?” kata Samadi
sambil menarik istrinya agar duduk di sampingnya.
Ada rasa senang di hati Minar ketika sang suami
lagi-lagi memujinya cantik. Tapi ia masih menampakkan mulut manyunnya walau
kekesalannya sudah mencair.
“Kalau begitu mengapa mas senyum-senyum sambil
memejamkan mata, mengapa coba?”
“Aku membayangkan kamu, Minar. Kamu tadi belum mandi
saja sudah harum, apalagi sekarang setelah mandi. Tuh kan … semakin wangi?”
katanya lagi sambil mengendus-endus bahu istrinya.
“Sebentar, aku mau ngomong nih, soal usaha kita.”
“Memangnya usaha kamu kenapa? Semakin maju kan?”
“Di bulan pertama seperti menyenangkan, banyak
pembeli, tapi di bulan ke dua dan ke tiga ini, sepertinya kok belum seperti
yang kita harapkan.”
“Bulan ke tiga baru mau jalan, baru dua bulan lebih,
kan?”
“Iya, tapi perkembangannya kok tidak menyenangkan ya.
Apa kita harus merubah penampilan kita?”
“Merubah bagaimana?”
“Misalnya menata tatanan ruang dengan lebih baik,
memberikan pelayanan yang lebih baik, lalu masakan yang lebih enak pula.”
“Bukankah juru masak kamu orang-orang pilihan? Mereka
juru masak dari restoran terkenal?”
“Iya sih, lalu apa ya kurangnya pada kita?”
“Ya bersabar dulu saja, nanti setelah tiga bulan baru
kita evaluasi.”
“Ari mengusulkan ada orgen tunggal untuk menghibur
para tamu.”
“Nah, itu bagus, ada penyanyinya kan?”
“Kok Mas tiba-tiba antusias sih? Mengharapkan
penyanyinya cantik-cantik, begitu kan?”
“Ya ampun, kenapa juga wanita sudah cantik begini
masih cemburuan?”
Dan lagi-lagi Minar luluh dalam rayuan istrinya.
***
Pagi hari itu hari Minggu, Sekar tidak masuk bekerja,
tapi tetap saja Aryanti bersiap untuk berangkat kerja. Winarno yang merasa
bahwa setiap hari istrinya tak pernah istirahat, terpaksa menegurnya.
“Meskipun hari Minggu, kamu tetap pergi?”
“Iya Pak, karena biasanya kalau Minggu, rumah makan
lebih ramai.”
“Memangnya kamu ikut melayani tamu?”
“Ya tidak sih, tapi masa aku diam saja di rumah
sementara teman-temanku sibuk.”
“Oh, begitu ya? Kamu apa tidak merasa capek?”
“Tumben Bapak memperhatikan aku, biasanya Bapak cuek
pada apa yang aku lakukan.”
“Aku tidak peduli usaha kamu itu, karena aku memang
tidak suka, tapi aku juga tidak ingin kamu jatuh sakit karena kecapekan.”
“Aku baik-baik saja. Disana paling cuma duduk dan
membantu menjadi kasir, atau mengawasi kerja mereka.”
“Apa rumah makan itu ramai pembeli?”
“Belum sih, tapi kata pak Samad kami harus bersabar.”
Winarno diam. Ia juga diam ketika klakson mobil
terdengar bertalu dari arah pagar, pertanda Ari sudah menjemput.
“Aku berangkat dulu Pak,” kata Yanti sambil meraih
tasnya dan bergegas mendekat ke arah mobil Ari yang menunggu di luar pagar.
“Apa ibu tidak capek?” gumam Sekar sambil menatap
kepergian ibunya.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel dari arah dapur.
“Iti ponselnya bibik,” kata pak Winarno.
“Iya, bibik sedang ke warung, biar saya angkat,” kata
Sekar yang kemudian bergegas ke dapur.
Diangkatnya ponsel bibik.
“Hallo,” suara dari seberang. Tadi Sekar tidak melihat
siapa pengirimnya. Tapi suara berat seorang laki-laki terdengar.
“Simbok?” terdengar suara ke dua dari laki-laki itu karena Sekar
tidak segera menjawab.
“Eh, aku bukan simbok. Bibik lagi ke warung.”
“Oh, maaf, ini ….”
“Aku Sekar, Barno ya?”
***
Besok lagi ya.
Merdekaaaa.....
ReplyDeleteMERDEKA.......
DeleteAku Indonesia
Selamat Uti Nani Juara 1 disusul yang lainnya.
Bu Tien tayang gasik arep ngrawuhi undangan Tasyakuran Kemerdekaan di Balai Desa.
π °π »π ·π °π Όπ ³ππ »π Έπ »π »π °π · π Όπ ΄ππ ³π ΄π Ίπ °..
ReplyDeleteAlhamdulillah Sebuah Janji 5 sdh tayang
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien...
Langsung mojok
ah....
Alhamdulillah
ReplyDeleteSudah hadir gasik
Matur nuwun bu Tien
Soga sehat selalu
Lumayan no 4
ReplyDeleteAlhamdullilah sdh tayang SJ 05 nya..matur suwun sangat bunda Tien..smg bunda sehat selalu dan tetap semangat..slm sehat dri π₯°ππΉ
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang Sebuah Janji 05....salam aduhai
ReplyDeleteSalam aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah, terima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeletePria banyak uang godaannya lebih banyak, wanita cantik godaannya juga lebih banyak. Nah... kalau saling menggoda bisa hancur rumah tangga.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
MERDEKA.
Merdeka.... alhamdulillah salam aduhai n sehat selalu bunda Tien
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien Kumalasari, salam sehat buat semuanya.
ReplyDeleteMERDEKA
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah cerbung Sebuah Janji Eps 05 sudah tayang.. matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat selalu.
Makadih bunda tayangan nya
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien SJ 05 telah tayang...π
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ 05 sdh tayang. Matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMERDEKA
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien
Salam sehat dan selalu ADUHAI.....
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~05 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
ReplyDeleteAda simpati diantaranya, kΓ₯yΓ₯ iklan sim card.
ReplyDeleteTanggap menanggap; nggak tahu siapa dulu yang datang dihati, klasik terbiasa saat waktu terjeda kegusur tenggelam ditelan kesibukan masing-masing, lho kata orang dari mata turun kehati, ya kalau turun; kalau nggak mau turun gimana, menikmati pemandangan pun kalau indah, segan mengerjapkan mata.
mata ikan dong.
Lha Winarno saja terkesan; jadi tanda dukungan gitu?
Paling tidak ikut senang, sebagai orang tuwa ikut senang perkembangan anak, gigih dalam belajar menumpuk bekal hidup yang bakal dijalani, Barno sudah nggak kecil lagi, bila digoda tersipu ngumpet dibelakang simbok.
Sudah pede menghadapi tantangan hidup, semburat kasih kepada Sekar sepertinya mulai nampak, cerita simbok dalam laporan pandangan mata yang menggantikan dongeng sebelum tidur, menorehkan keprihatinan Barno, yang memerintahkan Sekar berhenti sekolah, bukan dari bapak nya justru dari ibu sambungnya.
Rupanya Yanti takut jatah anggaran untuk perawatan diri terpotong.
Winarno pun nggak memberi masukan, ide Yanti yang begitu, heran, jelas secara spikologi terganggu, menurun kadar kepΓ©dΓ©anya diam dalam hati, menggerutu.
Yanti melenggang tebar pesona, modal senyum pun cukup pede jadi istri pensiunan, hΓ© hΓ© hΓ©.
Sayang ketakutan cadangan devisa yang rupanya lagi trend didunia membuatnya kurang tegar, mendapatkan tawaran investasi yang menggiurkan.
Samad sang makelarpun jeli melihat itu.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ke lima sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Trims bu tien dan sehat selali
ReplyDeleteMakasih mba Tien .
ReplyDeleteSalam sehat , semangat selalu.
Merdeka
Terus
ReplyDeleteMampus deh Aryanti π€¦♀️
ReplyDelete