Monday, August 15, 2022

SEBUAH JANJI 04

 

SEBUAH JANJI  04

(Tien Kumalasari)

 

“Kamu mau pulang?” tanya Samadi.

“Oo, pak Samad … kaget saya Pak," jawab Aryanti sambil tersenyum.

“Cuma begitu saja kaget.”

“Kaget lah Pak, tiba-tiba Bapak sudah ada di sini?”

“Kenapa pulang?”

“Kepala saya sangat pusing. Ini sedang nungguin taksi.”

“Aku antar saja.”

“Jangan Pak, merepotkan.”

“Tidak, kebetulan aku juga mau pulang. Tadi cuma ingin melihat warung makan, senang sudah banyak pelanggan.”

“Iya sih. Semoga bisa semakin bagus.”

“Aku ambil mobil dulu, tungguin ya.”

“Tapi Pak ….”

“Sudah, tungguin pokoknya, kata Samadi sambil bergegas mengambil mobilnya.”

Sementara itu Minar dan Ari sedang memeriksa barang yang harus dibeli hari itu, karena sudah saatnya belanja bahan-bahan dapur.

“Mas Samad tadi mana ya?”

“Nggak tahu aku, tiba-tiba keluar begitu saja, nggak pamit sama aku juga.”

“Dasar dia itu, datang kemari cuma mau … eh, Yanti mana ?”

“Tadi pamit pulang dulu, katanya kepalanya pusing.”

“Hm … jangan-jangan ….”

“Jangan-jangan apa?”

“Jangan-jangan mereka kencan,” kata Minar dengan wajah muram.

Ari justru mentertawakannya.

“Apa maksudmu kencan? Kamu curiga sama mereka?”

“Iya lah Ar, kamu tahu tidak, suami aku itu kalau sama Yanti … perhatian banget, tahu nggak sih. Setiap kali datang, dia pasti mendekati Yanti. Nanya ini … itu … “

“Lha cuma bertanya, apa anehnya?”

“Kenapa … gitu lhoh. Kalau mau nanya ini-itu, harusnya kan bisa sama aku?”

“Itu karena kamu tuh sudah mengisi hati kamu dengan rasa curiga. Sebenarnya menurut aku biasa saja kok.”

“Ini naluri seorang istri Ari, kamu juga seorang istri kan?”

“Tapi aku tidak pernah mencurigai suami aku.”

“Itu karena suami kamu baik-baik saja. Kamu tahu nggak, mas Samad itu kalau melihat perempuan cantik, matanya langsung berbinar aneh.”

“Laki-laki suka melihat yang cantik-cantik, itu kan biasa.”

“Kalau cuma melihat sih nggak apa-apa. Suamiku itu sudah berkali-kali selingkuh.”

“Masa sih?”

“Awas saja kalau kamu berani dekat-dekat sama dia,” ancam Minar.

Ari tertawa keras.

“Aku kan tidak cantik, mana tertarik dia sama aku. Lagian kamu berlebihan deh.”

“Itu benar, sudah berkali-kali aku melihat dia berduaan sama wanita lain.”

“Berduaan bagaimana? Jalan bareng ? Kan cuma jalan.”

“Ih, kamu tuh kalau dibilangi ya … nyebelin banget.”

“Lha kan cuma jalan bareng.”

“Jalan, lalu makan bersama, lalu ke hotel … ngapain coba ke hotel segala?”

“Masa sih?”

“Ya sudah kalau nggak percaya.”

“Bukannya nggak percaya … tapi itu benar?”

“Ya benar lah, masa aku bohong sih. Itu sebabnya aku curiga sama Yanti. Dia itu kan cantik, dan kalau lagi dekat sama mas Samad, duuuh, pokoknya nyebelin.”

“Kamu itu diperlakukan suami kayak begitu, tapi sabar ya? Hebat istri seperti kamu.”

“Aku itu orangnya pemaaf. Kalau dia sudah minta maaf, berbaik-baik sama aku, aku jadi luluh, hilang marahku. Heran juga kok tidak bisa marah dalam waktu lama. Aku sangat lemah menghadapi dia.”

“Mas Samad itu pintar merayu.”

“Nah, itulah Ar. Terkadang aku menyesal, karena aku ini sebagai wanita yang sudah menikah puluhan tahun, tidak juga dikaruniai anak. Mungkin itu sebabnya mas Samad lalu suka bermain dengan wanita lain. Barangkali dia berharap, salah satu dari mereka itu bisa hamil, sehingga dia merasa sebagai laki-laki sejati yang bisa punya keturunan.”

“Tapi sebaiknya kamu tidak mencurigai kawan sendiri. Persahabatan kita sudah lama, jangan rusak oleh rasa curiga mencurigai.”

“Selama ini kita baik-baik saja, tapi waktu itu kan suamiku tidak ikut campur. Sekarang, dalam kita menjalankan usaha ini, dia pasti ikut campur, karena dia ikut memberi modal. Tidak aneh kalau sebentar-sebentar melihat-lihat ke rumah makan kita ini.”

“Baiklah, tapi kamu jangan dulu mencurigai kawan sendiri. Kamu cukup mengawasi gerak gerik pak Samad saja, kalau kelihatannya dia ada rasa tertarik sama Yanti, kamu harus mengingatkannya.”

“Ya. Sebaiknya begitu. Ayuk, mencatatnya sudah kelar belum, kita ke pasar saja sekalian, sambil makan, bosan juga makan dagangan kita sendiri.”

***

Aryanti memang merasa sedikit pusing. Ia ingin segera sampai di rumah dan tidur. Ia bersyukur pak Samadi memberinya tumpangan sehingga dia tidak kelamaan menunggu taksi.

“Dari tadi diam sih?” tanya pak Samadi.

“Iya Pak, sedikit pusing.”

“Pasti tadi belum sarapan?”

“Iya sih, tadi bangun kesiangan, dan harus buru-buru berangkat, karena Ari sudah nyamperin. Udah begitu sekarang juga belum sempat makan siang."

“Kalau begitu kita mampir makan dulu ya,” kata pak Samadi sambil membelokkan mobilnya ke arah yang berlawanan dengan tujuan semula, yaitu mengantarkannya ke rumah Yanti.

“Lho, Pak Samad gimana nih, kok tiba-tiba sudah belok ke mari?”

“Kan kamu belum makan?”

“Iya sih.”

“Berarti kamu pusing itu akibat dari terlambat makan, jadi sebaiknya kita makan saja dulu, pasti nanti pusingnya hilang.”

“Aduuh, saya merepotkan nih.”

“Tidak, kita mampir makan sebentar, baru pulang dan beristirahat. Kalau pusingnya masih, berarti harus ke dokter. Kalau sudah tidak, berarti pusingnya karena terlambat makan,” kata Samadi sambil menatap Aryanti, yang saat itu juga sedang menatapnya. Saling tatap itu membuat Aryanti berdebar. Samadi sangat perhatian terhadapnya, berbeda dengan suaminya yang sepertinya sudah loyo dan seperti tidak lagi punya perhatian terhadapnya.

“O, tidak. Perasaan apa ini? Jangan … jangan … dia suami sahabatku, dan aku sudah punya mas Winarno,” bisik batinnya sambil mengibaskan perasaan aneh yang tiba-tiba menyelinap. Aneh ya, sebuah perhatian kecil, bisa menimbulkan perasaan yang tidak biasa. Lalu Aryanti mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sebelahnya, melihat lalu lalang orang di sepanjang trotoar, walaupun panas sedang terik-teriknya.

Tiba-tiba Aryanti sadar, saat Samadi menghentikan mobilnya.

“Makan di sini ya? Ini langganan aku,” kata Samadi sambil membuka pintu mobil dan turun, lalu bergegas membukakan pintu juga untuk Aryanti.

“Hm, enak ya kalau punya mobil, bisa naik turun kemana-mana dengan mobil sendiri,” nah angan-angan Aryanti bertambah lagi. Ia sadar ketika Samadi menggandeng lengannya lalu membimbingnya masuk.

"Ya ampuun, romantis sekali sih laki-laki setengah tua ini.,” lagi-lagi Aryanti membatin, dan yang lebih gila adalah, dia tidak berusaha melepaskan pegangan Samadi.

“Mereka memilih tempat duduk di pojok ruangan, karena di sana tampak lebih sepi pelanggan.

***

“Bapak, ini jus tomat, tadi non Sekar meminta bibik membuatnya untuk Bapak,” kata bibik sambil meletakkan segelas jus di meja, di mana pak Winarno sedang duduk sendirian sambil menikmati acara televisi.

“Ya bik, terima kasih. Masak apa bibik hari ini?”

“Ibu tidak berpesan untuk memasak sesuatu, katanya terserah bibik. Jadi bibik hanya memasak ca brokoli dengan ikan lele goreng.”

“Enak itu bik.”

“Bapak mau makan sekarang?”

“Tidak, menunggu ibu saja.”

“Ya sudah Pak, lagian lele nya juga baru mau digoreng,” kata bibik yang kemudian berlalu.

“Bik …”

Bibik berhenti melangkah.

“Kabarnya Barno bagaimana?”

“Katanya saat ini dia sedang mengerjakan sekripsi … begitu,” kata bibik lugu.

“O, baguslah, semoga lancar dan segera selesai.”

“Itu sebabnya dia dulu butuh uang agak banyak.”

“Tidak apa-apa kalau memang itu untuk kepentingan kuliah dia. Apa dia masih membutuhkan sesuatu?”

“Selama dua bulan ini saya sudah mengirimkan gaji saya dari non Sekar. Terima kasih banyak karena Bapak sudah membantu.”

“Jangan dipikirkan Bik, aku senang kalau Barno segera bisa menyelesaikan kuliahnya.”

“Terima kasih Pak, kata bibik yang kemudian berlalu. Ia ingat belum selesai memasak.

Tapi tiba-tiba saat dia memasuki dapur, didengarnya ponselnya berdering. Bibik bergegas mengangkatnya.

“No?” sapanya karena tahu bahwa yang menelpon adalah anaknya.

“Simbok sedang apa?”

“Sedang masak No, belum selesai. Ada apa?”

“Nggak apa-apa Mbok, sedang istirahat, tiba-tiba ingin menelpon Simbok.”

Bibik tertawa.

“Kamu seperti anak kecil saja.”

“Penginnya seperti anak kecil terus Mbok, supaya dimanjain Simbok.”

Simbok masih saja tertawa. Menurutnya, hari ini Barno terdengar aneh.

“Mbok, apa non Sekar itu juga kuliah?”

Simbok terkejut ketika Barno tiba-tiba menanyakan anak majikannya.

“Tidak lagi No, dulu kuliah, tapi oleh ibunya disuruh berhenti. Lalu disuruhnya bekerja.”

“Memangnya kenapa Mbok?”

“Nggak tahu aku No. Mungkin disuruh bekerja supaya bisa membantu orang tua, karena kan bapak sudah pensiun.”

“Sayang ya. Masa sih, pak Winarno tidak bisa membiayai kuliahnya?”

“Itu kemauan ibunya.”

“Karena dia ibu tiri? Jadi …”

“Ssst, sudah. Jangan membicarakan keadaan orang lain. Tumben kamu menanyakan non Sekar?”

“Nggak apa-apa Mbok, kan cuma bertanya. Dia cantik ya Mbok?”

Bibik semakin terkejut.

“No, kamu jangan macam-macam ya. Buang jauh pikiran yang aneh-aneh. Kamu harus sadar bahwa kamu itu hanya anaknya simbok.”

“Iya Mbok, cuma ngomong begitu saja, Simbok marah.”

“Simbok ingatkan kamu, supaya tidak terjadi masalah. Ayahnya baik, tapi ibunya … ah, sudahlah, simbok mau masak dulu.”

Bibik menutup ponselnya dengan perasaan tak menentu. Mengapa tiba-tiba Barno menanyakan Sekar? Dan mengapa memuji-mujinya cantik segala? Simbok baru sadar, anaknya sudah dewasa. Wajar kalau dia tertarik kepada gadis cantik. Tapi mengapa Sekar? Non Sekar sang anak majikannya yang sangat baik kepada dirinya?

“Ya Tuhan, tunjukkanlah jalan yang benar bagi anak hamba,” bisik simbok sambil menyalakan kompor, karena ia harus menggoreng lele untuk makan siang majikannya.

***

Minarsih dan Ari sedang belanja untuk kebutuhan rumah makannya. Kebutuhan belum begitu banyak, karena rumah makan itu belum begitu ramai. Mereka berbincang sambil memilih-milih.

Apa kamu yakin, rumah makan kita akan semakin ramai?” tanya Ari sambil memilih sayuran.

“Aku juga belum sepenuhnya yakin sih. Tapi barangkali kita memang harus bersabar. Baru dua bulan berjalan kan?” jawab Minar.

“Tapi dari hari ke hari bertambahnya tidak begitu signifikan. Hanya satu dua orang saja, dan tampaknya mereka juga orang yang baru mencoba-coba.”

“Apa menurut kamu, masakan koki kita itu enak?”

“Kalau aku sih ya lumayan sih, tapi ada baiknya kita selalu mengontrol rasanya. Tidak bisa kita melepasnya begitu saja.”

“Itu benar. Tapi mas Samad bilang enak kok. Kalau kita sih … ya seperti kata kamu itu, masih harus mengontrol rasanya,” sahut Minar.

“Kita ini orang-orang yang tidak begitu pintar memasak,” kata Ari berterus terang.

“Sama. Aku memang tidak suka memasak. Demikian juga Yanti. Jadi kita semua itu hanya bergantung kepada tukang masak yang kita bayar.”

“Mudah-mudahan yang sudah mencoba akan kembali lagi.”

“Semoga begitu, Besok kalau sudah ramai, kita tidak perlu selalu belanja sendiri. Bisa saja kita memesan sayuran dan buah-buahan, hanya melalui telpon, lalu mereka akan mengirimnya ke kita. Jadi kita tidak perlu belanja sendiri seperti ini.”

“Benar.”

“Ya sudah, sekarang apa lagi? Aku kira sudah cukup. Saatnya kita makan ya, aku lapar nih.”

“Kita makan di mana?”

“Bagaimana kalau di rumah makan yang menjual masakan Jepang? Atau Korea? Kita bosan masakan Jawa, seperti yang dijual di rumah makan kita sendiri kan?”

“Iya benar, terserah kamu saja. Kita ke kasir dulu kalau begitu.”

“Lain kali kita jangan belanja di supermarket seperti ini kalau mau dijual lagi. Keuntungan kita hanya sedikit.”

“Kita bisa suruhan orang ke pasar tradisional. Sayuran lebih murah, bumbu-bumbu juga.”

“Itu benar.

***

“Enak makanannya?” tanya Samadi ketika sudah mulai makan di sebuah rumah makan.

“Lumayan. Saya tidak begitu pintar memasak, jadi masakan apapun bagi saya enak-enak saja,” jawab Aryanti sambil menikmati makanannya.

“Kok sama dengan istriku. Minar itu juga tidak suka masak. Aku menyuruhnya usaha rumah makan itu juga supaya dia kemudian suka masak. Setiap hari kami bergantung pada pembantu.”

“Pembantu saya pintar masak. Juga anak saya.”

“Kamu punya anak gadis? Kalau bisa memasak berarti sudah gadis dewasa dong.”

“Iya benar.”

“Pasti anak kamu juga cantik. Soalnya ibunya juga cantik,” puji Samadi sambil menatap kagum pada wanita dihadapannya. Tatapan itu membuat Aryanti tersipu.

“Itu bukan anak saya.”

“Bukan? Jadi anak siapa? Anak angkat?”

“Anak tiri.”

“O, jadi dulu kamu menikah dengan seorang duda?”

“Iya benar. Orang tua saya yang menjodohkan. Ketika itu suami saya punya anak perempuan berumur kurang lebih sembilan atau sepuluh tahunan.”

“Lalu kamu sendiri?”

“Saya tidak punya anak sampai sekarang.”

“Tapi kamu masih muda. Masih bisa punya anak.”

“Ah, suami saya sudah tua.”

“Kalau begitu menikah saja dengan yang lebih muda.”

Aryanti tersenyum. Tapi tak menjawab apapun.

***

“Kita makan disini ya?” kata Minar sambil memperlambat mobilnya.”

“Iya, itu masakan Jepang. Kalau di depannya seperti rumah makan kita.”

“Baiklah, cari tempat di mana kita bisa parkir dulu.”

Sambil mencari-cari tempat parkir itu, tiba-tiba Ari melihat mobil Samadi meluncur melewati mereka.

“Lhoh, itu pak Samad !”

***

Besok lagi ya.


33 comments:

  1. Replies
    1. Asiiikkk... Matur nuwun Mbak Tien sayang

      Delete
    2. Selamat kancilku.... engkau selalu terdepan, menfalahkan pesaing²mu.

      Teima kasih bunda Tien....
      Guasik tenan ra ngira, sebelum shalat 'isya sdh tayang.
      Salam SEROJA & sehat selalu.

      Delete
  2. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari wuah gasik cerbungnya, Alhamdulilah salam sehat dari Cibubur

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah dah tayang.
    Matur nuwun Bunda Tien.

    ReplyDelete
  4. Alhamdullilah SJ 04 sdh tayang lbh awal..terima ksih banget y bundaqu sayang..slm sht sll unk bund dri skbmi🥰🌹🙏

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ... tayang gasik so bisa tidur sore.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
    Wah bakalan morat marit tenan dua keluarga.
    Terus kalo Barno sudah lulus, kerja, ganti nguliahkan Sekar barangkali..he he he.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI,..

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah...sudah tayang...

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~04 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  9. Horeee...pas ngintip kq sdh tayang
    ...😍
    Matur nuwun bunda Tien SEBUAH JANJI 04 telah tayang...🙏

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah SEBUAH JANJI 04 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Oooh...hampir ketahuan Samadi sama istrinya...sayang ditunda dulu biar agak seru critanya.
    Salam sehat selalu buat bu Tien..🙏🙏

    ReplyDelete
  13. Wuah bener bener buat pusing, dirumah Winarno dingin, di tempat bisnisnya sok gengsi nggak makan; apa nyicipi hasil kerja yang di gaji, iki nek cara ndesaku nggadhuh; namanya orang kerja ya asal ada yang bisa dimakan di jam istirahat ya udah, janji bonus aja masih klamut klamut, nggak jelas, apalagi gaji ketigabelas jauuh.
    Jadi investor tanggung Yan; nyatanya ajakan bisnis kok kerjasama, bisa kamu nanti dikerjain bersama, namanya cita cita ya bolèhlah, mainan mobil-mobilan dulu sambil biasa pencitraan nggak lupa merendahkan bahkan menjelek jelekin rivalnya, biar ada pilihan namanya promosi; padahal itu dhuwit mu aja kamu setorin, pakai meterai lagi, kamu dapatnya uang juga cara kasar; sampai memblèjèti anakmu, anak tiri seeh.
    Sadis nya kamu Yan, kaya nggak ada hari esok, aturan kan kalau anakmu selesai kuliah lumayan pendapatannya, sadisnya.
    Lha sekarang suruh kerja, paling-paling umr dia dapat baru awal kerja sudah kamu habisi.
    Nguyahi sêgårå kowé Yan.
    Tuh malah dikuntit satpam Marni modelnya kaya rally; navigator nya Ari, kêrèn kaya ikutan rally piala raja.
    Asyik lagi kamu di ajari setir, akan lebih asyik Yan; itu mesin bisa menderu deru.

    ADUHAI


    Terimakasih Bu Tien,

    Sebuah janji yang ke empat sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏


    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah sudah tayang SJ 04
    Matur nuwun bunda Tien cantik 😘❤😘

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah tayang lebih awal.....suwun Bu Tien.
    Salam sehat selalu....😊🙏

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu bunda Tien ..

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun bunda Tien SJ 05 telah hadir...🙏

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...