SEBUAH JANJI 04
(Tien Kumalasari)
“Kamu mau pulang?” tanya Samadi.
“Oo, pak Samad … kaget saya Pak," jawab Aryanti sambil tersenyum.
“Cuma begitu saja kaget.”
“Kaget lah Pak, tiba-tiba Bapak sudah ada di sini?”
“Kenapa pulang?”
“Kepala saya sangat pusing. Ini sedang nungguin taksi.”
“Aku antar saja.”
“Jangan Pak, merepotkan.”
“Tidak, kebetulan aku juga mau pulang. Tadi cuma ingin
melihat warung makan, senang sudah banyak pelanggan.”
“Iya sih. Semoga bisa semakin bagus.”
“Aku ambil mobil dulu, tungguin ya.”
“Tapi Pak ….”
“Sudah, tungguin pokoknya, kata Samadi sambil bergegas
mengambil mobilnya.”
Sementara itu Minar dan Ari sedang memeriksa barang
yang harus dibeli hari itu, karena sudah saatnya belanja bahan-bahan dapur.
“Mas Samad tadi mana ya?”
“Nggak tahu aku, tiba-tiba keluar begitu saja, nggak
pamit sama aku juga.”
“Dasar dia itu, datang kemari cuma mau … eh, Yanti
mana ?”
“Tadi pamit pulang dulu, katanya kepalanya pusing.”
“Hm … jangan-jangan ….”
“Jangan-jangan apa?”
“Jangan-jangan mereka kencan,” kata Minar dengan wajah
muram.
Ari justru mentertawakannya.
“Apa maksudmu kencan? Kamu curiga sama mereka?”
“Iya lah Ar, kamu tahu tidak, suami aku itu kalau sama
Yanti … perhatian banget, tahu nggak sih. Setiap kali datang, dia pasti
mendekati Yanti. Nanya ini … itu … “
“Lha cuma bertanya, apa anehnya?”
“Kenapa … gitu lhoh. Kalau mau nanya ini-itu, harusnya
kan bisa sama aku?”
“Itu karena kamu tuh sudah mengisi hati kamu dengan
rasa curiga. Sebenarnya menurut aku biasa saja kok.”
“Ini naluri seorang istri Ari, kamu juga seorang istri
kan?”
“Tapi aku tidak pernah mencurigai suami aku.”
“Itu karena suami kamu baik-baik saja. Kamu tahu
nggak, mas Samad itu kalau melihat perempuan cantik, matanya langsung berbinar
aneh.”
“Laki-laki suka melihat yang cantik-cantik, itu kan
biasa.”
“Kalau cuma melihat sih nggak apa-apa. Suamiku itu
sudah berkali-kali selingkuh.”
“Masa sih?”
“Awas saja kalau kamu berani dekat-dekat sama dia,” ancam
Minar.
Ari tertawa keras.
“Aku kan tidak cantik, mana tertarik dia sama aku.
Lagian kamu berlebihan deh.”
“Itu benar, sudah berkali-kali aku melihat dia
berduaan sama wanita lain.”
“Berduaan bagaimana? Jalan bareng ? Kan cuma jalan.”
“Ih, kamu tuh kalau dibilangi ya … nyebelin banget.”
“Lha kan cuma jalan bareng.”
“Jalan, lalu makan bersama, lalu ke hotel … ngapain
coba ke hotel segala?”
“Masa sih?”
“Ya sudah kalau nggak percaya.”
“Bukannya nggak percaya … tapi itu benar?”
“Ya benar lah, masa aku bohong sih. Itu sebabnya aku
curiga sama Yanti. Dia itu kan cantik, dan kalau lagi dekat sama mas Samad,
duuuh, pokoknya nyebelin.”
“Kamu itu diperlakukan suami kayak begitu, tapi sabar
ya? Hebat istri seperti kamu.”
“Aku itu orangnya pemaaf. Kalau dia sudah minta maaf,
berbaik-baik sama aku, aku jadi luluh, hilang marahku. Heran juga kok tidak
bisa marah dalam waktu lama. Aku sangat lemah menghadapi dia.”
“Mas Samad itu pintar merayu.”
“Nah, itulah Ar. Terkadang aku menyesal, karena aku
ini sebagai wanita yang sudah menikah puluhan tahun, tidak juga dikaruniai
anak. Mungkin itu sebabnya mas Samad lalu suka bermain dengan wanita lain.
Barangkali dia berharap, salah satu dari mereka itu bisa hamil, sehingga dia
merasa sebagai laki-laki sejati yang bisa punya keturunan.”
“Tapi sebaiknya kamu tidak mencurigai kawan sendiri.
Persahabatan kita sudah lama, jangan rusak oleh rasa curiga mencurigai.”
“Selama ini kita baik-baik saja, tapi waktu itu kan
suamiku tidak ikut campur. Sekarang, dalam kita menjalankan usaha ini, dia
pasti ikut campur, karena dia ikut memberi modal. Tidak aneh kalau
sebentar-sebentar melihat-lihat ke rumah makan kita ini.”
“Baiklah, tapi kamu jangan dulu mencurigai kawan
sendiri. Kamu cukup mengawasi gerak gerik pak Samad saja, kalau kelihatannya
dia ada rasa tertarik sama Yanti, kamu harus mengingatkannya.”
“Ya. Sebaiknya begitu. Ayuk, mencatatnya sudah kelar
belum, kita ke pasar saja sekalian, sambil makan, bosan juga makan dagangan
kita sendiri.”
***
Aryanti memang merasa sedikit pusing. Ia ingin segera
sampai di rumah dan tidur. Ia bersyukur pak Samadi memberinya tumpangan
sehingga dia tidak kelamaan menunggu taksi.
“Dari tadi diam sih?” tanya pak Samadi.
“Iya Pak, sedikit pusing.”
“Pasti tadi belum sarapan?”
“Iya sih, tadi bangun kesiangan, dan harus buru-buru
berangkat, karena Ari sudah nyamperin. Udah begitu sekarang juga belum sempat
makan siang."
“Kalau begitu kita mampir makan dulu ya,” kata pak
Samadi sambil membelokkan mobilnya ke arah yang berlawanan dengan tujuan
semula, yaitu mengantarkannya ke rumah Yanti.
“Lho, Pak Samad gimana nih, kok tiba-tiba sudah belok
ke mari?”
“Kan kamu belum makan?”
“Iya sih.”
“Berarti kamu pusing itu akibat dari terlambat makan,
jadi sebaiknya kita makan saja dulu, pasti nanti pusingnya hilang.”
“Aduuh, saya merepotkan nih.”
“Tidak, kita mampir makan sebentar, baru pulang dan
beristirahat. Kalau pusingnya masih, berarti harus ke dokter. Kalau sudah tidak,
berarti pusingnya karena terlambat makan,” kata Samadi sambil menatap Aryanti,
yang saat itu juga sedang menatapnya. Saling tatap itu membuat Aryanti
berdebar. Samadi sangat perhatian terhadapnya, berbeda dengan suaminya yang
sepertinya sudah loyo dan seperti tidak lagi punya perhatian terhadapnya.
“O, tidak. Perasaan apa ini? Jangan … jangan … dia
suami sahabatku, dan aku sudah punya mas Winarno,” bisik batinnya sambil
mengibaskan perasaan aneh yang tiba-tiba menyelinap. Aneh ya, sebuah perhatian
kecil, bisa menimbulkan perasaan yang tidak biasa. Lalu Aryanti mengalihkan
pandangannya ke arah jendela di sebelahnya, melihat lalu lalang orang di
sepanjang trotoar, walaupun panas sedang terik-teriknya.
Tiba-tiba Aryanti sadar, saat Samadi menghentikan
mobilnya.
“Makan di sini ya? Ini langganan aku,” kata Samadi
sambil membuka pintu mobil dan turun, lalu bergegas membukakan pintu juga untuk
Aryanti.
“Hm, enak ya kalau punya mobil, bisa naik turun kemana-mana
dengan mobil sendiri,” nah angan-angan Aryanti bertambah lagi. Ia sadar ketika
Samadi menggandeng lengannya lalu membimbingnya masuk.
"Ya ampuun, romantis sekali sih laki-laki setengah tua
ini.,” lagi-lagi Aryanti membatin, dan yang lebih gila adalah, dia tidak
berusaha melepaskan pegangan Samadi.
“Mereka memilih tempat duduk di pojok ruangan, karena
di sana tampak lebih sepi pelanggan.
***
“Bapak, ini jus tomat, tadi non Sekar meminta bibik
membuatnya untuk Bapak,” kata bibik sambil meletakkan segelas jus di meja, di
mana pak Winarno sedang duduk sendirian sambil menikmati acara televisi.
“Ya bik, terima kasih. Masak apa bibik hari ini?”
“Ibu tidak berpesan untuk memasak sesuatu, katanya
terserah bibik. Jadi bibik hanya memasak ca brokoli dengan ikan lele goreng.”
“Enak itu bik.”
“Bapak mau makan sekarang?”
“Tidak, menunggu ibu saja.”
“Ya sudah Pak, lagian lele nya juga baru mau digoreng,”
kata bibik yang kemudian berlalu.
“Bik …”
Bibik berhenti melangkah.
“Kabarnya Barno bagaimana?”
“Katanya saat ini dia sedang mengerjakan sekripsi …
begitu,” kata bibik lugu.
“O, baguslah, semoga lancar dan segera selesai.”
“Itu sebabnya dia dulu butuh uang agak banyak.”
“Tidak apa-apa kalau memang itu untuk kepentingan
kuliah dia. Apa dia masih membutuhkan sesuatu?”
“Selama dua bulan ini saya sudah mengirimkan gaji saya
dari non Sekar. Terima kasih banyak karena Bapak sudah membantu.”
“Jangan dipikirkan Bik, aku senang kalau Barno segera
bisa menyelesaikan kuliahnya.”
“Terima kasih Pak, kata bibik yang kemudian berlalu.
Ia ingat belum selesai memasak.
Tapi tiba-tiba saat dia memasuki dapur, didengarnya
ponselnya berdering. Bibik bergegas mengangkatnya.
“No?” sapanya karena tahu bahwa yang menelpon adalah
anaknya.
“Simbok sedang apa?”
“Sedang masak No, belum selesai. Ada apa?”
“Nggak apa-apa Mbok, sedang istirahat, tiba-tiba ingin
menelpon Simbok.”
Bibik tertawa.
“Kamu seperti anak kecil saja.”
“Penginnya seperti anak kecil terus Mbok, supaya dimanjain
Simbok.”
Simbok masih saja tertawa. Menurutnya, hari ini Barno
terdengar aneh.
“Mbok, apa non Sekar itu juga kuliah?”
Simbok terkejut ketika Barno tiba-tiba menanyakan anak
majikannya.
“Tidak lagi No, dulu kuliah, tapi oleh ibunya disuruh
berhenti. Lalu disuruhnya bekerja.”
“Memangnya kenapa Mbok?”
“Nggak tahu aku No. Mungkin disuruh bekerja supaya
bisa membantu orang tua, karena kan bapak sudah pensiun.”
“Sayang ya. Masa sih, pak Winarno tidak bisa membiayai
kuliahnya?”
“Itu kemauan ibunya.”
“Karena dia ibu tiri? Jadi …”
“Ssst, sudah. Jangan membicarakan keadaan orang lain.
Tumben kamu menanyakan non Sekar?”
“Nggak apa-apa Mbok, kan cuma bertanya. Dia cantik ya
Mbok?”
Bibik semakin terkejut.
“No, kamu jangan macam-macam ya. Buang jauh pikiran
yang aneh-aneh. Kamu harus sadar bahwa kamu itu hanya anaknya simbok.”
“Iya Mbok, cuma ngomong begitu saja, Simbok marah.”
“Simbok ingatkan kamu, supaya tidak terjadi masalah.
Ayahnya baik, tapi ibunya … ah, sudahlah, simbok mau masak dulu.”
Bibik menutup ponselnya dengan perasaan tak menentu.
Mengapa tiba-tiba Barno menanyakan Sekar? Dan mengapa memuji-mujinya cantik
segala? Simbok baru sadar, anaknya sudah dewasa. Wajar kalau dia tertarik
kepada gadis cantik. Tapi mengapa Sekar? Non Sekar sang anak majikannya yang
sangat baik kepada dirinya?
“Ya Tuhan, tunjukkanlah jalan yang benar bagi anak
hamba,” bisik simbok sambil menyalakan kompor, karena ia harus menggoreng lele
untuk makan siang majikannya.
***
Minarsih dan Ari sedang belanja untuk kebutuhan rumah
makannya. Kebutuhan belum begitu banyak, karena rumah makan itu belum begitu
ramai. Mereka berbincang sambil memilih-milih.
Apa kamu yakin, rumah makan kita akan semakin ramai?”
tanya Ari sambil memilih sayuran.
“Aku juga belum sepenuhnya yakin sih. Tapi barangkali
kita memang harus bersabar. Baru dua bulan berjalan kan?” jawab Minar.
“Tapi dari hari ke hari bertambahnya tidak begitu
signifikan. Hanya satu dua orang saja, dan tampaknya mereka juga orang yang
baru mencoba-coba.”
“Apa menurut kamu, masakan koki kita itu enak?”
“Kalau aku sih ya lumayan sih, tapi ada baiknya kita
selalu mengontrol rasanya. Tidak bisa kita melepasnya begitu saja.”
“Itu benar. Tapi mas Samad bilang enak kok. Kalau kita
sih … ya seperti kata kamu itu, masih harus mengontrol rasanya,” sahut Minar.
“Kita ini orang-orang yang tidak begitu pintar
memasak,” kata Ari berterus terang.
“Sama. Aku memang tidak suka memasak.
Demikian juga Yanti. Jadi kita semua itu hanya bergantung kepada tukang masak
yang kita bayar.”
“Mudah-mudahan yang sudah mencoba akan kembali lagi.”
“Semoga begitu, Besok kalau sudah ramai, kita tidak
perlu selalu belanja sendiri. Bisa saja kita memesan sayuran dan buah-buahan,
hanya melalui telpon, lalu mereka akan mengirimnya ke kita. Jadi kita tidak
perlu belanja sendiri seperti ini.”
“Benar.”
“Ya sudah, sekarang apa lagi? Aku kira sudah cukup.
Saatnya kita makan ya, aku lapar nih.”
“Kita makan di mana?”
“Bagaimana kalau di rumah makan yang menjual masakan Jepang?
Atau Korea? Kita bosan masakan Jawa, seperti yang dijual di rumah makan kita
sendiri kan?”
“Iya benar, terserah kamu saja. Kita ke kasir dulu
kalau begitu.”
“Lain kali kita jangan belanja di supermarket seperti
ini kalau mau dijual lagi. Keuntungan kita hanya sedikit.”
“Kita bisa suruhan orang ke pasar tradisional. Sayuran
lebih murah, bumbu-bumbu juga.”
“Itu benar.
***
“Enak makanannya?” tanya Samadi ketika sudah mulai makan
di sebuah rumah makan.
“Lumayan. Saya tidak begitu pintar memasak, jadi
masakan apapun bagi saya enak-enak saja,” jawab Aryanti sambil menikmati
makanannya.
“Kok sama dengan istriku. Minar itu juga tidak suka
masak. Aku menyuruhnya usaha rumah makan itu juga supaya dia kemudian suka
masak. Setiap hari kami bergantung pada pembantu.”
“Pembantu saya pintar masak. Juga anak saya.”
“Kamu punya anak gadis? Kalau bisa memasak berarti
sudah gadis dewasa dong.”
“Iya benar.”
“Pasti anak kamu juga cantik. Soalnya ibunya juga
cantik,” puji Samadi sambil menatap kagum pada wanita dihadapannya. Tatapan itu
membuat Aryanti tersipu.
“Itu bukan anak saya.”
“Bukan? Jadi anak siapa? Anak angkat?”
“Anak tiri.”
“O, jadi dulu kamu menikah dengan seorang duda?”
“Iya benar. Orang tua saya yang menjodohkan. Ketika
itu suami saya punya anak perempuan berumur kurang lebih sembilan atau sepuluh
tahunan.”
“Lalu kamu sendiri?”
“Saya tidak punya anak sampai sekarang.”
“Tapi kamu masih muda. Masih bisa punya anak.”
“Ah, suami saya sudah tua.”
“Kalau begitu menikah saja dengan yang lebih muda.”
Aryanti tersenyum. Tapi tak menjawab apapun.
***
“Kita makan disini ya?” kata Minar sambil memperlambat
mobilnya.”
“Iya, itu masakan Jepang. Kalau di depannya seperti
rumah makan kita.”
“Baiklah, cari tempat di mana kita bisa parkir dulu.”
Sambil mencari-cari tempat parkir itu, tiba-tiba Ari
melihat mobil Samadi meluncur melewati mereka.
“Lhoh, itu pak Samad !”
***
Besok lagi ya.
Hore
ReplyDeleteMbk Iin juaranya....horeeee
DeleteAsiiikkk... Matur nuwun Mbak Tien sayang
DeleteSelamat kancilku.... engkau selalu terdepan, menfalahkan pesaing²mu.
DeleteTeima kasih bunda Tien....
Guasik tenan ra ngira, sebelum shalat 'isya sdh tayang.
Salam SEROJA & sehat selalu.
Alhamdulillah, mksh bunda
ReplyDeleteMatur nuwun mbakyu Tienkumalasari wuah gasik cerbungnya, Alhamdulilah salam sehat dari Cibubur
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah dah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda Tien.
Alhamdullilah SJ 04 sdh tayang lbh awal..terima ksih banget y bundaqu sayang..slm sht sll unk bund dri skbmi🥰🌹🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah ... tayang gasik so bisa tidur sore.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Hooooreeeee.... gasik
ReplyDeletealhamdulilah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteWah bakalan morat marit tenan dua keluarga.
Terus kalo Barno sudah lulus, kerja, ganti nguliahkan Sekar barangkali..he he he.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI,..
Alhamdulillah...sudah tayang...
ReplyDeleteTerima kasih...
ReplyDeleteSip...matur kesuwun...
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~04 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteHoreee...pas ngintip kq sdh tayang
ReplyDelete...😍
Matur nuwun bunda Tien SEBUAH JANJI 04 telah tayang...🙏
Alhamdulillah SEBUAH JANJI 04 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu
Oooh...hampir ketahuan Samadi sama istrinya...sayang ditunda dulu biar agak seru critanya.
ReplyDeleteSalam sehat selalu buat bu Tien..🙏🙏
Wuah bener bener buat pusing, dirumah Winarno dingin, di tempat bisnisnya sok gengsi nggak makan; apa nyicipi hasil kerja yang di gaji, iki nek cara ndesaku nggadhuh; namanya orang kerja ya asal ada yang bisa dimakan di jam istirahat ya udah, janji bonus aja masih klamut klamut, nggak jelas, apalagi gaji ketigabelas jauuh.
ReplyDeleteJadi investor tanggung Yan; nyatanya ajakan bisnis kok kerjasama, bisa kamu nanti dikerjain bersama, namanya cita cita ya bolèhlah, mainan mobil-mobilan dulu sambil biasa pencitraan nggak lupa merendahkan bahkan menjelek jelekin rivalnya, biar ada pilihan namanya promosi; padahal itu dhuwit mu aja kamu setorin, pakai meterai lagi, kamu dapatnya uang juga cara kasar; sampai memblèjèti anakmu, anak tiri seeh.
Sadis nya kamu Yan, kaya nggak ada hari esok, aturan kan kalau anakmu selesai kuliah lumayan pendapatannya, sadisnya.
Lha sekarang suruh kerja, paling-paling umr dia dapat baru awal kerja sudah kamu habisi.
Nguyahi sêgårå kowé Yan.
Tuh malah dikuntit satpam Marni modelnya kaya rally; navigator nya Ari, kêrèn kaya ikutan rally piala raja.
Asyik lagi kamu di ajari setir, akan lebih asyik Yan; itu mesin bisa menderu deru.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ke empat sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang SJ 04
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien cantik 😘❤😘
Alhamdulillah tayang lebih awal.....suwun Bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu....😊🙏
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu bunda Tien ..
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturmuwun
ReplyDeleteTrims bu tien
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien SJ 05 telah hadir...🙏
ReplyDeleteTrima kasih bu Tien..wahhhh heboh nih
ReplyDelete