Saturday, August 13, 2022

SEBUAH JANJI 03

 

SEBUAH JANJI  03

(Tien Kumalasari)

 

Pak Winarno terus mengawasi anaknya, senyumnya terkembang. Barangkali karena sudah gajian, Sekar ingin membeli perhiasan untuk tabungan atau apalah. Beberapa bulan yang lalu Sekar juga pernah membeli cincin.

Winarno urung memanggil namanya. Ia mengikutinya dari belakang, ikut masuk kedalam toko emas itu diam-diam. Ia ingin mengejutkan putrinya, lalu kalau perlu memberi saran, mana yang pantas dipakai untuknya.

Ia berdiri diam-diam dibelakang Sekar. Tapi Sekar tidak sedang mengamati perhiasan-perhiasan yang dipajang. Ia mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya, kemudian melepas cincin yang dipakainya.

“Apa? Sekar ingin menjual cincinnya?” kata batin pak Winarno.

Ketika Sekar  meletakkan cincin itu di atas etalase, pak Winarno segera menahan lengannya.

Sekar sangat terkejut. Cincin itu diangkatnya kembali.

“Bapak?”

“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya sambil menatap tajam anaknya.

“Bapak … ini ….”

Pak Winarno menarik keluar Sekar dari dalam toko itu, lalu mengajaknya memasuki sebuah warung.

“Pak …”

“Kita makan, sambil bicara,” tegas kata pak Winarno. Sekar tak bisa menolaknya. Ia sedang mereka-reka jawaban yang pasti harus dikatakan pada ayahnya ketika nanti ayahnya bertanya. Tapi Sekar tak bisa menemukan satupun jawaban.

Sampai ketika pesanan mereka dihidangkan, keduanya masih terdiam. Pak Winarno belum mengucapkan apa-apa, dan Sekar hanya diam sambil menundukkan kepalanya.

“Makanlah,” kata pertama yang diucapkan ayahnya hanya itu.

Sekar meneguk minumannya. Segelas es jeruk yang dipesannya, tinggal separonya.

“Mengapa Bapak ada di sini?” akhirnya Sekarlah yang mendahului bertanya, karena tak tahan atas kediaman yang tercipta dan membuat hatinya justru merasa gelisah.

“Apa bapak tidak boleh berjalan-jalan, mencari angin?”

“Oh, iya … tentu saja boleh.”

“Apa yang kamu lakukan dengan cincin kamu itu?” tanya pak Winarno sambil menunjuk ke arah cincin yang sudah dikenakan Sekar kembali.

Sekar menatap cincinnya. Ia tak menemukan jawaban apapun, dan berbohong adalah sia-sia, karena tak ada alasan yang tepat untuk berdalih, kecuali harus berterus terang.

“Kamu tak bisa menjawabnya?”

Sekar masih termangu, jawaban apapun yang akan dikatakannya, pastilah mengarah ke satu hal, ialah bahwa uangnya telah dihabiskan oleh ibu tirinya. Hal yang sesungguhnya tak diinginkannya.

“Maaf Pak. Sesungguhnya, ini untuk bibik,” akhirnya jawab Sekar berterus terang.

Pak Winarno membulatkan matanya. Jawaban itu tak pernah diduganya.

“Untuk bibik?”

“Bibik membutuhkan untuk biaya anaknya.”

Pak Winarno masih menatap tajam anaknya.

“Sekar merasa kasihan, karena Barno hampir menyelesaikan kuliahnya.”

“Mengapa harus menjual cincin? Begitu banyakkah kebutuhannya sehingaa walaupun kamu menguras semua uangmu maka masih kurang?”

Tuh kan, akhirnya harus menyinggung soal ibu tirinya kan?

“Begitukah?”

Sekar menggeleng, lalu menghirup lagi es jeruknya.

“Lalu … ?”

“Sekar sudah … sudah … tidak punya uang lagi …” jawabnya lirih.

“Kamu gajian kemarin kan? Bapak mengira gaji bibik sudah kamu berikan.”

Lagi-lagi Sekar menggeleng.

“Ada apa?”

“Kalau Sekar bilang, bapak jangan marah ya? Baik sama Sekar, maupun sama ibu.”

Tapi jawaban itu kemudian sudah ditangkap artinya oleh pak Winarno. Kata ‘ibu’, itulah jawabannya.

“Ibumu memintanya?”

Sekar mengangguk pelan.

“Bapak jangan marah sama ibu.”

“Semua uangmu? Gaji kamu dan semua tabunganmu?”

“Bapak jangan marah sama ibu ya.” Lagi-lagi Sekar mengucapkannya.

Pak Winarno menghela napas. Ia mengerti, Sekar sangat menjaga ibunya, atau tepatnya menjaga ketenangan rumah tangga orang tuanya.

“Dia bilang tentang usaha yang akan dilakukannya?”

Sekar mengangguk.

“Dan uang kamu dihabiskannya?”

“Sekar belum membutuhkannya.”

“Dan cincin itu?”

“Sekar sudah berjanji pada bibik untuk memberi uang hari ini.”

“Lalu satu-satunya jalan adalah menjual cincin itu?”

Sekar mengangguk.

Pak Winarno meraih kepala Sekar, mengelusnya lembut. Sekar sangat mirip dengan ibu kandungnya. Bukan hanya wajahnya, tapi juga hatinya. Waktu itu Sekar masih kecil. Saat sekolah ibunya selalu membawakannya bekal, entah roti atau makanan lainnya. Tapi Sekar selalu membaginya untuk temannya. Bahkan pernah bekal itu sama sekali tak dimakannya, karena temannya bilang lapar sebab belum sempat makan pagi. Jadi diberikannya semua bekal yang dibawanya. Ibunyalah yang selalu mengajarkannya, bahwa semua orang harus memiliki kasih sayang.

“Sekar mohon, Bapak jangan marah sama ibu ya.”

“Mengapa kalau bapak marah?”

“Sekar tidak ingin rumah kita terasa tidak nyaman. Bukankah kebahagiaan itu tercipta kalau suasana hati kita tenang? Bapak sendiri pernah mengatakan itu.”

“Tapi setiap kesalahan harus diluruskan.”

“Ibu sedang berjuang, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.”

“Itu sebenarnya gambaran orang yang serakah. Ketika Allah sudah memberi kita makan minum dan pakaian pantas, bisa berbagi walau tidak seberapa, apakah itu bisa disebut kekurangan?”

“Bukan merasa kekurangan barangkali.”

“Lalu … apa?”

“Tidak bolehkah seseorang punya cita-cita atau harapan?”

“Ketika kita tidak mampu, haruskah mengorbankan orang lain?”

“Sekar itu bukan orang lain.”

Pak Winarno menghela napas panjang. Ia meraih minuman jeruk hangat yang dipesannya, kemudian mendekatkan piring makanan kearahnya.

“Makanlah. Gado-gado itu sehat. Tidak begitu mengenyangkan, sehingga nanti aku masih bisa menikmati masakan bibik.”

Sekar juga meraih makanannya. Lalu keduanya diam. Yang terdengar hanyalah suara kelutak-kelutik, saat sendok mereka beradu dengan piringnya.

“Simpan kembali cincin kamu. Pakai terus, jangan dijual,” perintah pak Winarno setelah selesai makan.

Sekar menatap ayahnya tak mengerti.

“Tapi Sekar sudah berjanji. Kasihan bibik. Barno hampir menyelesaikan kuliahnya.”

“Itu urusan bapak.”

“Tapi ….”

“Nanti bapak yang akan memberi uang pada Barno. Bapak sudah bilang sama bibik.”

“Benarkah?”

“Masa kamu tidak percaya pada ayahmu sendiri?”

Sekar meraih tangan ayahnya, lalu menciumnya lama sekali.

***

Pak Winarno memenuhi janjinya kepada Sekar. Saat istrinya pulang, ia tak menanyakan apapun. Bahkan kenapa pulang sampai sore, dia juga mendiamkannya.

"Bapak sudah makan?" sapa Aryanti begitu memasuki rumah dan melihat suaminya duduk sendiri di ruang tengah.

"Aku menunggu kamu."

"Aku sudah makan di rumah Minar, tadi setelah membicarakan bisnis yang akan kami jalankan bersama."

"Kalau begitu aku menunggu Sekar saja," kata pak Winarno tanpa bertanya tentang apa yang disebut bisnis oleh istrinya. Tampaknya dia memang tak mau tahu.

"Mengapa jam segini Sekar belum pulang?"  tanyanya. 

"Macet barangkali. Jam bubaran kantor biasanya jalanan rame."

Aryanti tak menjawab. Ia langsung masuk ke kamarnya. 

Pak Winarno melangkah ke ruang makan , duduk di sana.

"Bapak mau makan sekarang?" tanya bibik.

"Iya, siapkan sekarang, sambil menunggu Sekar."

"Baik Pak."

Ketika menunggu itu tiba-tiba terdengar suara sepeda motor berhenti di halaman.

"Itu, sepertinya non Sekar sudah datang," ujar bibik sambil meletakkan sayur di meja.

"Tepat sekali bik. Begitu kamu selesai, Sekar datang."

Pak Winarno mendengar langkah-langkah kaki mendekat, lalu melihat Sekar mendekati kamarnya.

"Baru pulang, Sekar?"

Sekar menoleh ke arah ayahnya. Memang kamarnya berdekatan dengan ruang makan, jadi saat dia mau memasuki kamar,  dia bisa melihat ayahnya duduk di sana.

"Iya. Jalanan macet. Bapak belum makan?"

"Menunggu kamu."

"Saya ganti baju dulu Pak," katanya sambil masuk ke dalam kamarnya.

"Bik, besok suruh Barno datang kemari."

"Besok, Pak?"

"Ya, aku ingin melihat anakmu sebesar apa. Lama sekali tidak pernah melihat dia."

"Iya, sejak dia lulus SD tidak pernah kemari."

"Pasti sudah besar dia, wong sudah mau jadi sarjana."

"Tubuhnya juga tinggi besar Pak, seperti almarhum ayahnya.

"Jangan lupa, suruh dia datang kemari."

"Baik Pak."

"Ibu tidak makan?"

Tanya Sekar yang sudah berganti pakaian.

"Ibumu sudah makan di rumah temannya, sekarang ada di kamarnya."

Sekar duduk di samping ayahnya, menyendokkan nasi untuknya.

"Harumnya sup ayam buatan bibik ini membuat semakin lapar saja," kata pak Winarno. 

" Memang bibik itu kan selalu enak masakannya."

"Benar. Kamu harus belajar masak sama bibik. Kamu kan sudah dewasa, saatnya menikah. Kalau kamu pintar masak, pasti disayang suami."

Sekar tersenyum tipis.

"Sekar belum memikirkan suami, Pak. Masih merasa kecil."

"Kecilnya se begini, besarnya seberapa?" canda ayahnya.

***

Sore hari itu ketika pulang dari bekerja, Sekar melihat seorang laki-laki berdiri di depan teras rumahnya. Laki-laki itu berpenampilan sederhana, tapi tampak gagah dan wajahnya sangat tampan.

Sekar turun dari kendaraannya, lalu melangkah mendekat.

“Mas mencari siapa?” tanya Sekar dengan dada berdebar karena laki-laki itu menatapnya sambil tersenyum.

“Non Sekar lupa sama saya?”

Sekar terkejut. Kok dia sudah mengenalnya? Kok panggil ‘non’?

“Saya Sabarno, Non.”

Mata Sekar membulat sempurna. Sabarno dikenalnya ketika dia masih belum masuk SMP. Mana mungkin dia mengingatnya? Tapi Sekar keran, karena Sabarno bisa mengingat dirinya dengan baik.

“Sabarno? Anaknya bibik?”

“Iya Non.”

Sekar menahan debar jantungnya. Kok Barno menatapnya sambil senyum-senyum begitu sih. Awas ya, jangan sampai dia bersikap tidak sopan sama aku. Kata batin Sekar. Padahal Barno tersenyum-senyum karena melihat sikap Sekar yang tampak kebingungan.

“Kok … kamu ingat sama aku? Sedangkan aku sama sekali nggak ingat sama kamu?”

“Simbok sering mengirimi saya foto Non Sekar.”

“Yaaah? Jadi setiap kali bibik berfoto sama aku, pasti dikirimkannya sama kamu?”

“Iya Non.”

“Ada tamu?” tiba-tiba suara pak Winarno yang keluar dari dalam rumah.

“Bapak, ini Barno,” kata Sekar.

Pak Winarno terkejut. Ia menatap Barno tak berkedip.

“Kamu Barno? Anak kecil yang dulu setiap kesini selalu malu-malu kalau aku memanggil kamu?”

“Iya Pak.”

“Hebat, kamu sudah besar dan ganteng sekali. Ayo masuklah, ibumu pasti senang melihat kamu datang.”

“Simbok menyuruh saya datang, katanya Bapak memanggil saya.”

“Iya benar. Ayo masuklah dulu. Nanti kita bicara lagi. Sekar, beritahu bibik, Barno sudah datang,” perintahnya kemudian kepada Sekar.

***

Sejak hari itu Aryanti sering pergi meninggalkan rumah dengan  alasan mengurus bisnis barunya. Pak Winarno tak pernah bertanya, apalagi melarangnya. 

Siang hari itu, ketika sedang berdua  bersama suaminya, Minar tampak mengeluh.

"Lama-lama aku tidak suka sama Yanti," gerutunya di depan suaminya.

"Memangnya kenapa?"

"Memang benar sih, usaha ini adalah usaha patungan kami bertiga. Aku, Aryanti, Ari. Dan itu pula sebabnya rumah makan itu kami beri nama A TIGA.

"Lalu ?"

"Tapi aku benci karena Mas sering dekat-dekat sama dia."

Samad terkekeh mendengar  ucapan istrinya.

"Kamu cemburu?"

"Tadinya tidak, karena sikapnya biasa-biasa saja. Tapi sekarang  ini, dia tampak begitu manja sama Mas."

Samad terkekeh semakin keras, apalagi melihat wajah istrinya yang bicara sambil mulutnya manyun.

"Minar, Yanti itu memang cantik, menarik, tapi aku sudah punya kamu. Bagi aku, kamu itu tidak ada duanya. Jangan mengada-ada, mana mungkin aku tertarik sama dia sedangkan istriku sendiri sudah cantik?"

"Halah Mas, itu mah gombal. Biasa lah kalau di depan istri bilang istriku cantik, tapi di depan perempuan lain, pasti juga akan mengatakan hal yang sama."

"Dengar Minar, kalian itu sedang bekerja sama, harusnya tidak ada tuh, curiga mencurigai teman sendiri. Usaha baru jalan bisa bubar. Bagaimana?"

"Nggak tahu aku, perasaanku kok mengatakan bahwa Mas itu tertarik sama dia."

Lagi-lagi Samad tertawa keras.

Tapi sebenarnya Minar cemburu bukan tanpa alasan. Sudah berkali-kali Samadi selingkuh. Biarpun tidak serius, tapi ketahuan sang suami beberapa kali kencan dengan perempuan lain. Tidak aneh banyak perempuan bersedia dikencani. Samadi itu biarpun sudah setengah tua, tapi lumayan ganteng. Dia juga banyak uang dan sangat royal terhadap wanita yang disukai.

Minar selalu memaafkannya, karena Samad sangat pintar meluluhkan hati istrinya. Dengan memberinya hadiah dan pujian setinggi langit. Dan disitulah kelemahannya.

"Sudahlah Minar, jangan mengotori hati kamu dengan pikiran yang tidak-tidak. Ingat, kalian adalah kawan seperjuangan."

"Satu lagi yang membuat aku curiga. Mas menambahi uang modal Aryanti bukan?"

“Ya ampun Minar, kamu lupa ya, saya meminjamkannya dengan bunga 10 persen. Bukan cuma-cuma.”

“Benarkah?”

“Nanti aku tunjukkan sama kamu surat perjanjiannya. Enak saja, masa aku berikan cuma-cuma.”

Minar meninggalkan suaminya yang tersenyum simpul, ketika Aryanti dan Ari kembali dari berbelanja.

Usaha rumah makan itu memang sudah berjalan beberapa minggu, belum kelihatan rame sih, tapi harapan untuk itu memang ada.

Walau Minar mengeluh di depan suaminya tentang kecurigaannya terhadap Yanti, tapi di depan Yanti, Minar bersikap biasa saja. Semuanya baru dugaannya, dan dia belum menemukan bukti untuk benar-benar curiga.

Sore itu Yanti pamit untuk pulang lebih dulu, karena kepalanya terasa pusing. Ia sedang menunggu taksi, ketika Samadi mendekatinya.

***

Besok lagi ya.



36 comments:

  1. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~03 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah eSJe_3, sdh tayang.
      Matur nuwun bu Tien, sugeng dalu. Salam ADUHAI dari mBadung.

      Selamat pa Djodhi juara berturutan

      Delete
    2. Trimakasih bu Tien Sebuah Janji 3 sudah tayang

      Delete
  2. Kasihan anak tiri di blejedti ngejual perhiasan yang dipakai, aduh Janti ini sudah keterlaluan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uangnya dapat, pergi pergi dapat, teman kekurangan dipinjami, makan makan dibayarin pakai keuntungan, trus uang pokok yang kurang susut terus donk, tapikan dapat dimanja sama yang lebih muda, tuh kan, gitu loh, nggak berasa dikadalin ya, disanjung seeh, luntur itu tekad, sudah nggak cermat, semua pengeluaran berdua waktu jalan bareng dihitung lho.
      Habislah kamu Yanti, seneng² aja berdua an terus; lama-lama sama² ngumpet dibilik buaian, ah rayuan nya modal madul, bikin pikiran tumpul.


      Terimakasih Bu Tien,

      Sebuah janji yang ke tiga sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
      πŸ™

      Delete
  3. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang

    ReplyDelete
  4. Terimakasih bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah... Sehat selalu bund

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun bunda Tien SEBUAH JANJI 03 telah tayang ...

    hii senangnya bisa hadir lebih awal..πŸ₯°

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah SJ3 sudah hadir ,terimakasih bunda Tien ,semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
    Harta,Wanita,Tahta... dapat membahagiakan, sekaligus menghancurkan. Hati hatilah
    ..
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, suwun Bu Tien......
    Salam sehat selalu...πŸ˜ŠπŸ™

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Cerbung Sebuah Janji Eps 03 sudah tayang.
    Semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga SEBUAH JANJI 03 sudah hadir bari kami para penggemarnya.

    Semoga nanti Sabarno berjodoh dengan Sekar yg baik.
    Semoga bu Yanti tidak gandrung sama suami teman sendiri.

    Penasaran... Monggo lanjut...

    ReplyDelete
  13. Samad....
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah Sebuah Janji 03 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga.
    Aamiin

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  16. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Aryanti biar pergi saja ,ga usah kembali ke keluarga pak Einarno dan sekar

    ReplyDelete
  18. Dasar ibu tiri yg ada nangis bombay uang tak ada Yg ada nangis..terima kasih bu Tien

    ReplyDelete
  19. Terima ksih bunda Tin..slm sht sll dri skbmi

    ReplyDelete
  20. Maaf bunda..bru bs comen..kebf enak badan..smg bunda sll sht y 🌹🌹πŸ₯°πŸ₯°

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, semoga sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...