Friday, August 12, 2022

SEBUAH JANJI 02

 

SEBUAH JANJI  02

(Tien Kumalasari)

 

Sekar terdiam, matanya membulat, menatap ke arah ibu tirinya.

“Hei, kenapa kamu ini? Kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?”

“Ibu bertanya tentang … tabungan saya?”

“Iya. Kupingmu masih disitu kan?”

“Iya, ada, karena saya mencoba mengumpulkan uang, barangkali nanti saya bisa melanjutkan_”

“Aku tidak bertanya soal untuk apa uang kamu. Sekarang ini ada tidak? Oh ada pastinya kan? Aku akan meminjamnya. Kamu habis gajian kan? Itu, kamu masih membawa amplopnya, O, bibik minta gaji?”

“Iya Bu.”

“Tunda saja dulu, sini aku pinjam, sama yang ada di tabungan kamu sekalian.”

“Tapi Bu … “ gemetar tangan Sekar yang sedang mengganggam amplop yang akan diberikannya pada bibik. Kalau uang ini diberikan, bibik pasti kecewa. Anaknya sangat butuh untuk kepentingan kuliahnya bukan?

“Kamu tahu, ibu mau patungan sama teman ibu, untuk mendirikan sebuah rumah makan. Ini kesempatan untuk menambah penghasilan. Kamu kan tahu, jaman sekarang bukan saatnya berpangku tangan hanya menadahkan uang dari pemberian suami. Harus ada usaha untuk menambah penghasilan, harus bergerak, bukannya diam. Ayahmu sangat tidak setuju. Kamu kan tahu, ayahmu itu seorang laki-laki yang lugu, yang tidak punya cita-cita tinggi, menyerah pada nasib. Aduuuh, Sekar, ini bukan jamannya,” kata Aryanti panjang lebar.

Sekar diam terpaku. Amplop itu digenggamnya erat. Ia tak bisa membiarkan bibik kecewa, dan kelulusan anaknya tertunda.

“Sekar, kamu dengar kan apa yang ibu katakan?” nada suara Aryanti semakin tinggi karena melihat Sekar diam tak berreaksi.

“Iya Bu.”

“Nah, mana. Bibik bisa diberikan kapan saja. Nanti kalau pensiun ayahmu turun, biar ibu beri dia.”

“Tapi bibik butuh untuk sekolah anaknya Bu.”

“Halaaah, bibik itu hanya sok saja. Yang sudah jadi sarjana itu kan orang-orang berada semua. Kalau punya cita-cita jangan ketinggian. Bilang sama bibik!” kata Aryanti sinis.

Sekar mengatupkan mulutnya. Giginya gemeretak menahan marah. Hanya orang berada yang bisa jadi sarjana? Dan bibik yang hanya seorang pembantu tidak boleh menginginkan anaknya jadi sarjana? Kalau saja bukan ibu tirinya yang bicara, Sekar pasti sudah mendampratnya.

“Siapapun orangnya kan boleh saja punya cita-cita Bu,” hanya itu yang bisa diucapkannya, padahal ia ingin mengucapkannya lebih banyak.

“Apa katamu? Sudah, jangan merembet ke mana-mana. Mana uangmu itu, dan yang ada di tabunganmu berapa? Biar ibu pinjam dulu,”

“Tapi Bu.”

“Sudah, ayo ambil uang kamu, biar ibu antar, sekarang saja. Soalnya harus secepatnya uang itu ibu kumpulkan. Cepat ayo berangkat sekarang, mana yang kamu bawa itu, ada berapa.”

“Jangan Bu, ini untuk bibik,” Sekar mencengkeram amplopnya, tapi Aryanti merebutnya paksa. Takut justru uangnya akan robek, Sekar melepaskannya. Aryanti segera membuka amplopnya dan menghitung uang yang ada di dalamnya.

“Hm, hanya tiga juta setengah. Sekarang di tabungan kamu ada berapa?”

“Itu untuk bibik Bu,” rintih Sekar sambil menahan air matanya.

“Kamu kok lebih memperhatikan bibik daripada ibumu sih? Dengar Sekar, biarpun aku ini hanya ibu sambung kamu, tapi aku merawat kamu sejak kamu masih kecil hingga dewasa. Kamu lupa?”

“Sekarang tabunganmu ada berapa?” lanjutnya.

“Sedikit bu, untuk biaya kuliah lagi.”

“Ibu pinjam dulu, ayo ambil. Eh, tidak, ibu ikut. Nanti kamu bohongi ibu lagi,” kata Aryanti sambil menarik tangan Sekar. Tentu saja Sekar tak bisa apa-apa.

***

Bibik yang ada di dapur bukannya tak mendengar pembicaraan kedua majikannya. Batinnya teriris ketika mendengar bahwa uang yang akan diberikan oleh Sekar padanya, telah direbut paksa oleh ibu tirinya. 

“Iya benar, aku hanya seorang pembantu rumah tangga. Tak pantas punya anak seorang sarjana. Tapi benarkah begitu? Semangat Barno sangat tinggi untuk melanjutkan kuliah, sejak perjuangannya untuk mendapatkan bea siswa berhasil digenggamnya. Tak tega rasanya mematahkan semangat yang menggebu-gebu, disaat ia hampir berhasil mencapainya.

Bibik mengambil ponsel bututnya, bermaksud menelpon anaknya, ketika tiba-tiba pak Winarno memasuki dapur.

“Oh, Bapak sudah bangun. Maaf, bibik belum menyiapkan minum untuk Bapak. Sebentar Pak,” kata bibik gugup.

“Tidak apa-apa. Aku tadi mendengar ibu bicara keras sekali, ada apa?”

“Oh … bibik … tidak tahu Pak,” jawab bibik bohong. Mana mungkin dia mengatakan apa yang didengarnya.

“Mana mereka sekarang?”

“Sepertinya pergi baru saja Pak,” kata bibik sambil menuangkan teh kedalam cangkir, meletakkan sendok kecil di cawannya, lalu membawanya ke ruang tengah setelah meletakkan mangkuk kecil berisi gula yang dibawanya serta.

Pak Winarno mengikutinya ke ruang tengah dan duduk di sofa.

Bibik ingin berlalu setelah meletakkan minuman untuk majikannya, tapi Winarno menghentikannya.

“Apa kabarnya anakmu bik?”

Bibik berhenti melangkah, batinnya kembali teriris, mengingat kegagalannya mendapatkan uang yang sangat dibutuhkan anaknya.

“Dia masih kuliah?”

“Masih Pak.”

“Anakmu itu, bukankah pintar? Pastinya sudah hampir selesai bukan?”

“Iya Pak. Tapi … “

“Tapi apa? Bukankah anakmu mendapat bea siswa?”

“Benar Pak. Hanya saja … ada banyak kebutuhan saat dia hampir menyelesaikannya. Tapi ya … tidak apa-apa Pak, Barno hanya anak seorang pembantu, jadi ya … semampunya …” kata bibik sambil membungkuk, lalu beranjak ke belakang.

“Bik.”

Bibik berhenti lagi, membalikkan tubuhnya menghadap majikannya.

“Apa anakmu butuh uang?”

“Yy .. ya … eh, tidak kok Pak. Tidak.”

Bibik bergegas ke belakang, meninggalkan pak Winarno yang seolah mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan pembantunya. Dulu sebelum Sekar bekerja, Yanti sering terlambat memberikan gaji untuk bibik. Tapi setelah Sekar bekerja, Sekar lah yang memberi gaji untuk bibik. Kalau tidak salah hari ini Sekar sudah mendapatkan gaji, mengapa bibik tampak kebingungan?

Pak Winarno menghirup teh wanginya, kemudian berdiri, melangkah ke arah dapur. Ia masih sempat melihat bibik mengusap air matanya, sebelum dia menyapanya.

“Bik …”

Bibik terkejut, segera ia mengusap wajahnya, khawatir ada air mata yang masih tersisa di pelupuknya.

“Ya Pak.”

“Bibik menangis?”

“Oh … eh … tidak Pak, mata bibik kemasukan debu tadi.”

Pak Winarno tersenyum. Kalau mau berdebat, ia pasti akan mengatakan, dimana ada debu di dapur yang bersih ini. Tapi untuk apa berdebat, toh sebenarnya dia yakin kalau bibik baru saja meneteskan air mata. Walau setetes, air mata itu adalah pertanda dari sebuah hati yang sakit, galau, sedih. Entahlah, pokoknya perasaan yang tidak enak. Kecuali air mata yang menetes dari mata yang sedang berbinar bahagia.

“Nanti kalau aku menerima pensiun, aku akan memberi Barno sejumlah uang.”

“Tidak Pak, jangan. Jangan sampai kami merepotkan.”

“Bukan merepotkan. Sebuah cita-cita tinggi harus mendapat dukungan, bukan? Itu bukan gaji kamu, tapi pemberian dari aku, untuk Barno."

“Tapi … “

“Supaya dia bisa segera bisa menyelesaikan studinya. Lalu entah apa yang akan dia lakukan selanjutnya, pasti dia sudah memikirkannya. Karena setelah lulus, setidaknya dia sudah punya kaki yang kuat untuk berpijak.”

Kali ini air mata bibik benar-benar tumpah. Isaknya tak lagi bisa ditahan. Rupanya ia benar-benar tak bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya.

“Sudah, jangan menangis.”

Lalu pak Winarno meninggalkan dapur, kembali ke ruang tengah, menghabiskan teh hangatnya.

***

“Dari mana?” tanya pak Winarno ketika Sekar datang bersama ibu tirinya.

“Ah, hanya ada perlu sebentar,” jawab Yanti sambil berlalu.

“Sekar,” tak mendapat jawaban istrinya, pak Winarno bertanya pada Sekar.

“Ya Pak.”

“Dari mana?”

“Mengantar ibu, belanja.”

“Mana belanjaannya?” tanya pak Winarno karena keduanya tidak membawa apapun kecuali tas tangannya.

“Hanya barang kecil, mm … batery ponsel,” kata Sekar, yang memang tidak bohong karena Yanti memang membeli batery itu.

Lalu pak Winarno diam, membiarkan Sekar masuk ke kamarnya. Tapi pak Winarno menangkap wajah murung dari anaknya.

Sekar memang agak bingung menjawab pertanyaan ayahnya. Tadi, semua tabungan yang baru berjumlah lima juta an, diambil semua oleh ibu tirinya, berikut uang dalam amplop yang akan diberikannya kepada bibik. Ia bisa membayangkan, bagaimana perasaan bibik kalau dia tak jadi memberikan uang yang dijanjikan.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Sekar langsung menuju dapur. Ia sudah bertekat, harus bisa memberikan uang untuk bibik, entah bagaimanaa caranya.

“Sedang apa bik?” sapanya dengan nada riang.

“Ini non, sedang menggoreng kerupuk.”

“Mana aku saja bik,” kata Sekar.

“Jangan non. Ini sudah selesai kok. Non kan baru saja pulang, duduk saja di situ, bibik buatkan teh hangat ya,” kata bibik sambil mematikan kompor.

Sekar duduk di kursi dapur, menunggu bibik membuatkan minum.

“Bik, uang yang Sekar janjikan itu, besok ya. Tadi Sekar lupa.”

“Ooh, kalau merepotkan ya tidak usah saja Non.”

“Tidak merepotkan. Pokoknya besok.”

Sekar sudah berjanji, dan tak ingin mengingkari. Apapun yang terjadi, uang itu harus terwujud. Sekarang ia bahkan tidak memegang uang kecuali receh yang terselip di dompetnya. Ia mengelus jari tangannya. Ada cincin yang akan dijualnya besok. Itu cincin yang dibelinya sendiri, termasuk tabungan juga yang barangkali dibutuhkannya sewaktu-waktu. Besok cincin itu akan dijualnya, dan uangnya akan diberikannya kepada bibik.

“Ini tehnya Non.”

“Terima kasih Bik.”

Sekar mencecap sedikit tehnya, karena masih panas.

“Apa tadi bapak menanyakan aku ketika pergi bersama ibu?”

“Iya Non, bertanya.”

“Bibik jawab apa?”

“Bibik bilang nggak tahu, memang bibik nggak tahu. Memangnya tadi non pergi ke mana?”

“Hanya mengantarkan ibu saja.”

Bibik diam saja. Dia tadi secara tidak sengaja mendengar semuanya, tapi lebih baik dia pura-pura tidak tahu.

***

“Sekar …” Sekar terkejut ketika melihat ayahnya sedang duduk di kamarnya, dan melihat-lihat album lama yang semula di simpannya.

“Bapak ada di sini rupanya?”

“Ini, tiba-tiba ingin melihat-lihat foto lama.”

“Bapak ingin melihat foto ibu kandung Sekar?”

“Iya. Ini, saat sedang menggendong kamu, bersama bapak juga.”

“Ibu Sekar cantik ya Pak?”

“Kamu sangat mirip dengan ibumu.”

“Benarkah?”

“Iya. Lihatlah, alismu, bibirmu, hidungmu, bukankah semuanya seperti milik ibumu?”

“Iya sih Pak.”

“Sebenarnya kamu tadi dari mana?” Sekar terkejut ketika ayahnya ternyata masih meragukan jawabannya saat baru datang bersama ibu tirinya tadi.

Kan Sekar sudah bilang, mengantar ibu belanja.”

“Biasanya ibu jalan sendiri, naik taksi atau apa.”

“Kebetulan Sekar baru pulang, belum berganti pakaian, jadi diajak pergi sekalian. Kan lebih irit berboncengan daripada naik taksi? Kan ibu cuma mau beli batery.”

“Benar?”

“Benar. Kenapa Bapak tidak percaya?”

“Wajahmu seperti sedang kesal ketika pulang tadi.”

“Ah, Bapak bisa saja. Mungkin karena Sekar sangat lelah. Kebetulan tadi di kantor banyak pekerjaan.”

Pak Winarno diam. Ia tahu Sekar sedang menutupi sesuatu. Sekar tak pernah mengeluh tentang ibu tirinya. Ia selalu menunjukkan ketulusannya berbakti kepada kedua orang tuanya, biarpun dia tahu Aryanti adalah ibu tirinya.

Pak Winarno berdiri.

“Alangkah baiknya foto itu diperbesar, lalu dipasang di kamar kamu ini,” katanya sambil menuju pintu dan keluar.

Sekar tercenung. Kalau dia memasang foto ibu kandungnya yang sedang bersama ayahnya, bagaimana kalau ibu tirinya melihatnya?

***

Ketika datang ke rumah Minar, Yanti hanya bertemu pak Samadi, suaminya.

“Minar baru saja keluar. Duduklah dulu, bukankah kamu akan membicarakan soal kerja sama itu?” tanya pak Samadi.

“Iya Pak, tapi sebenarnya saya memang belum punya banyak uang.”

“Masa sih?”

“Benar Pak, ini saya kumpul-kumpulin, baru punya segini.”

“Berapa?”

“Sepuluh juta Pak.”

“Waduh, kurangnya kok masih banyak.”

“Kan pak Samadi bilang, bahwa saya bisa meminjam dulu.”

“Benar, tapi uang itu juga bukan murni punya aku. Ada uang teman yang dititipkan, dan boleh dipinjam tapi dengan bunga.”

“Dengan bunga?”

“Ya, dan lumayan besar, 10 persen.”

Yanti termenung. Dia mulai berpikir. Berhutang, membayar bunga 10 persen, apakah tidak keberatan?

“Tapi kalau usaha itu berjalan, keuntungannya jauh lebih besar dari itu, dan kamu pasti bisa mengembalikannya.”

“Benarkah?”

“Keuntungan menjual makanan itu berlipat-lipat. Kamu harus mengerti itu. Itu pula sebabnya mengapa Minar aku sarankan untuk melakukan usaha itu. Kalau kamu mau ikutan, ya mari ikutan, nanti aku bantu, kalau enggak ya tidak apa-apa.”

“Ikut Pak, saya pasti ikut,” kata Aryanti buru-buru.

“Dengan uang ini dan nanti aku tambahin? Kemarin Minar sama temannya menghitung-hitung juga, katanya modal masing-masing 50 juta dengan bertiga, sepertinya cukup. Besok dia sudah akan menghubungi pemilik kios yang akan disewa.

“Baiklah Pak, jadi saya pinjam yang 40 juta bukan?

“Ya, kalau ya, akan aku buatkan suratnya, kamu tinggal menanda tangani, beres. Besok bisa mulai jalan. Kalau perjanjian kerja sama diantara kalian, nanti ada sendiri.”

“Baiklah Pak, saya juga sudah siap,” kata Aryanti dengan wajah berseri. Ia sudah bisa membayangkan keuntungannya, lalu bisa melunasi hutangnya, lalu pamer kepada suaminya bahwa dia berhasil dalam usahanya. Pasti ia juga ingin memiliki mobil seperti milik Minar yang sering dipergunakan untuk menjemputnya setiap ada acara. Suaminya akan terkejut dia bisa melakukannya, dan tentu saja bangga.

***

Siang itu pak Winarno sedang ingin berjalan-jalan. Ia melewati deretan pertokoan, warung dan rumah makan besar. Ada keinginan untuk mampir untuk makan, tapi ia ingat bahwa bibik selalu masak untuk keluarganya.  Ia melanjutkan langkahnya, lalu tiba-tiba dilihatnya Sekar. Ia ingin memanggil namanya, tapi diurungkannya, ketika melihat Sekar memasuki sebuah toko emas.

***

Besok lagi ya.

38 comments:

  1. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~02 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐Ÿ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat pa Djodhi Mahatma
      Mana si gesit mungil ???
      Kacrit ya.....kasihan,...

      Matur nuwun bu Tien SEBUAH JANJI Eps 2 sdh tayang.
      Salam ADUHAI

      Delete
    2. Maturnuwun Kakek Habi, kebetulan saja tadi pas buka pas tayang... dan ternyata belum ada yang komentar... ๐Ÿ™

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah SEBUAH JANJI 02 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Sekar sdh datang
    Matur nuwun

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ,
    Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah,
    Sehat selalu bunda Tien ๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  7. Matur nuwunbunda Tien...SEBUAH JANJI 2 telah tayang...๐Ÿ™

    ReplyDelete
  8. Makasih Bunda , met malam dan met istirahat

    ReplyDelete
  9. Terimakasih bunda..
    Semoga sehat dan bahagia selalu..
    Salam aduhai dari Sukabumi..

    ReplyDelete
  10. Kok tumben blm ada yg komen? Trmksh mb Tien up nya๐Ÿค—

    ReplyDelete
  11. Tyt sdh banyak๐Ÿคญ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu bunda Tien

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Cerbung Sebuah Janji Eps 02 sudah tayang.
    Salam sehat dan salam hangat.

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
    Tampaknya Genre baru ya...
    Tidak hanya rebutan cinta saja. Ayo Sekar semangat!!!
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah sdh tayang.....suwun Bu Tien
    Salam sehat selalu....๐Ÿ˜Š๐Ÿ™

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Syukron Mbak Tien ๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
    Salam sehat..

    ReplyDelete
  18. Terima kasih bu Tien'...semakin ketahuan ibu tiri kejam

    ReplyDelete
  19. Makasih mba Tien.
    Ibu tiri Sekar nggak tulus ya.

    ReplyDelete
  20. Ya merasa lega saja semua kuasa ada untuk menekan yang merasa dibawah kekuasaannya, sesuai angan agar dana itu berdaya, yang sebenarnya belum jelas juga apakah berhasil apa tidak.
    Kebiasaan yang ada tanpa mengerti benar penggunaan dana, dana itu akan menguap tak tahu larinya kemana, memang semua berasal dari mimpi yang berusaha di wujud kan, sayang detail nya tidak begitu jelas dan penguasaan peruntukan kurang jelas pos pos nya.
    Modal memang awal dari suatu usaha.
    Sangatlah tidak bijak bila dana itu dilepas tanpa tahu buat apa, properti atau bahan olah yang di proyeksikan sebagai pokok dari usaha.
    Yang menggiurkan ya simpan pinjam lebih cepat dapat baliknya, tapi pemasaran itu yang utama, buat usaha kuliner; koki kreatif tidak ada orang yang di andalkan, bahkan belum tahu siapa, ini cuma akal akalan team pencari dana buat dibawa lari berdasarkan tanda tangan bermeterai.
    Namanya tergiur ya habislah.
    Dengan dalih patuh ya lepaslah tabunganmu nak, sayang sekali bahkan Winarno pun tidak tegas, eh tidak tau pasti, atau masih ada sayang?!
    Selalu ada alasan untuk yang nyata² mematikan yang lagi tumbuh agar dapat tegar untuk dijadikan sebagai tongkat estafet sebuah harapan dimasa tua.

    Sang anak cari jalan lain dengan mengumpulkan benda berharga agaknya, biar agak susah mencairkannya, buat bekal besok yang kita tidak tahu sampai kapan.
    Miris.


    Terimakasih Bu Tien,
    Sebuah janji yang kedua sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  21. Assalam'ualaikum bunda tien. Semoga bunda beserta keluarga selalu dlm lindungan Allah SWT. Aaamiiin...
    Aduhai! Udah lamaa gak ikut komen. Soalnya bacanya sambilan ngasuh si kecil. Jadi rada ngebut. Tapi syukur alhamdulillaaah masih setia nyimak. Soalnya cerbung karya bunda tien makin aduhaaai!

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun Mbak Tien ku sayang.. Temanya Ibu Tiri lagi... Hadeeehhh... Tanda2nya ibu tiri yg kurang baik nih si Aryanti.

    ReplyDelete
  23. Y Allah Sekar kok ksih an y..slm sht bunda tien..hatur nhn๐Ÿ™๐Ÿฅฐ

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...