SEBUAH JANJI 02
(Tien Kumalasari)
Sekar terdiam, matanya membulat, menatap ke arah ibu
tirinya.
“Hei, kenapa kamu ini? Kamu tidak mendengar apa yang
aku katakan?”
“Ibu bertanya tentang … tabungan saya?”
“Iya. Kupingmu masih disitu kan?”
“Iya, ada, karena saya mencoba mengumpulkan uang,
barangkali nanti saya bisa melanjutkan_”
“Aku tidak bertanya soal untuk apa uang kamu. Sekarang
ini ada tidak? Oh ada pastinya kan? Aku akan meminjamnya. Kamu habis gajian
kan? Itu, kamu masih membawa amplopnya, O, bibik minta gaji?”
“Iya Bu.”
“Tunda saja dulu, sini aku pinjam, sama yang ada di
tabungan kamu sekalian.”
“Tapi Bu … “ gemetar tangan Sekar yang sedang
mengganggam amplop yang akan diberikannya pada bibik. Kalau uang ini diberikan,
bibik pasti kecewa. Anaknya sangat butuh untuk kepentingan kuliahnya bukan?
“Kamu tahu, ibu mau patungan sama teman ibu, untuk
mendirikan sebuah rumah makan. Ini kesempatan untuk menambah penghasilan. Kamu
kan tahu, jaman sekarang bukan saatnya berpangku tangan hanya menadahkan uang
dari pemberian suami. Harus ada usaha untuk menambah penghasilan, harus
bergerak, bukannya diam. Ayahmu sangat tidak setuju. Kamu kan tahu, ayahmu itu
seorang laki-laki yang lugu, yang tidak punya cita-cita tinggi, menyerah pada
nasib. Aduuuh, Sekar, ini bukan jamannya,” kata Aryanti panjang lebar.
Sekar diam terpaku. Amplop itu digenggamnya erat. Ia
tak bisa membiarkan bibik kecewa, dan kelulusan anaknya tertunda.
“Sekar, kamu dengar kan apa yang ibu katakan?” nada
suara Aryanti semakin tinggi karena melihat Sekar diam tak berreaksi.
“Iya Bu.”
“Nah, mana. Bibik bisa diberikan kapan saja. Nanti
kalau pensiun ayahmu turun, biar ibu beri dia.”
“Tapi bibik butuh untuk sekolah anaknya Bu.”
“Halaaah, bibik itu hanya sok saja. Yang sudah jadi
sarjana itu kan orang-orang berada semua. Kalau punya cita-cita jangan
ketinggian. Bilang sama bibik!” kata Aryanti sinis.
Sekar mengatupkan mulutnya. Giginya gemeretak menahan
marah. Hanya orang berada yang bisa jadi sarjana? Dan bibik yang hanya seorang
pembantu tidak boleh menginginkan anaknya jadi sarjana? Kalau saja bukan
ibu tirinya yang bicara, Sekar pasti sudah mendampratnya.
“Siapapun orangnya kan boleh saja punya cita-cita Bu,”
hanya itu yang bisa diucapkannya, padahal ia ingin mengucapkannya lebih banyak.
“Apa katamu? Sudah, jangan merembet ke mana-mana. Mana
uangmu itu, dan yang ada di tabunganmu berapa? Biar ibu pinjam dulu,”
“Tapi Bu.”
“Sudah, ayo ambil uang kamu, biar ibu antar, sekarang
saja. Soalnya harus secepatnya uang itu ibu kumpulkan. Cepat ayo berangkat
sekarang, mana yang kamu bawa itu, ada berapa.”
“Jangan Bu, ini untuk bibik,” Sekar mencengkeram amplopnya,
tapi Aryanti merebutnya paksa. Takut justru uangnya akan robek, Sekar
melepaskannya. Aryanti segera membuka amplopnya dan menghitung uang yang ada di
dalamnya.
“Hm, hanya tiga juta setengah. Sekarang di tabungan
kamu ada berapa?”
“Itu untuk bibik Bu,” rintih Sekar sambil menahan air
matanya.
“Kamu kok lebih memperhatikan bibik daripada ibumu
sih? Dengar Sekar, biarpun aku ini hanya ibu sambung kamu, tapi aku merawat
kamu sejak kamu masih kecil hingga dewasa. Kamu lupa?”
“Sekarang tabunganmu ada berapa?” lanjutnya.
“Sedikit bu, untuk biaya kuliah lagi.”
“Ibu pinjam dulu, ayo ambil. Eh, tidak, ibu ikut.
Nanti kamu bohongi ibu lagi,” kata Aryanti sambil menarik tangan Sekar. Tentu
saja Sekar tak bisa apa-apa.
***
Bibik yang ada di dapur bukannya tak mendengar
pembicaraan kedua majikannya. Batinnya teriris ketika mendengar bahwa uang yang
akan diberikan oleh Sekar padanya, telah direbut paksa oleh ibu tirinya.
“Iya benar, aku hanya seorang pembantu rumah tangga.
Tak pantas punya anak seorang sarjana. Tapi benarkah begitu? Semangat Barno
sangat tinggi untuk melanjutkan kuliah, sejak perjuangannya untuk mendapatkan
bea siswa berhasil digenggamnya. Tak tega rasanya mematahkan semangat yang
menggebu-gebu, disaat ia hampir berhasil mencapainya.
Bibik mengambil ponsel bututnya, bermaksud menelpon
anaknya, ketika tiba-tiba pak Winarno memasuki dapur.
“Oh, Bapak sudah bangun. Maaf, bibik belum menyiapkan
minum untuk Bapak. Sebentar Pak,” kata bibik gugup.
“Tidak apa-apa. Aku tadi mendengar ibu bicara keras
sekali, ada apa?”
“Oh … bibik … tidak tahu Pak,” jawab bibik bohong.
Mana mungkin dia mengatakan apa yang didengarnya.
“Mana mereka sekarang?”
“Sepertinya pergi baru saja Pak,” kata bibik sambil
menuangkan teh kedalam cangkir, meletakkan sendok kecil di cawannya, lalu
membawanya ke ruang tengah setelah meletakkan mangkuk kecil berisi gula yang
dibawanya serta.
Pak Winarno mengikutinya ke ruang tengah dan duduk di
sofa.
Bibik ingin berlalu setelah meletakkan minuman untuk
majikannya, tapi Winarno menghentikannya.
“Apa kabarnya anakmu bik?”
Bibik berhenti melangkah, batinnya kembali teriris,
mengingat kegagalannya mendapatkan uang yang sangat dibutuhkan anaknya.
“Dia masih kuliah?”
“Masih Pak.”
“Anakmu itu, bukankah pintar? Pastinya sudah hampir
selesai bukan?”
“Iya Pak. Tapi … “
“Tapi apa? Bukankah anakmu mendapat bea siswa?”
“Benar Pak. Hanya saja … ada banyak kebutuhan saat dia
hampir menyelesaikannya. Tapi ya … tidak apa-apa Pak, Barno hanya anak seorang
pembantu, jadi ya … semampunya …” kata bibik sambil membungkuk, lalu beranjak
ke belakang.
“Bik.”
Bibik berhenti lagi, membalikkan tubuhnya menghadap
majikannya.
“Apa anakmu butuh uang?”
“Yy .. ya … eh, tidak kok Pak. Tidak.”
Bibik bergegas ke belakang, meninggalkan pak Winarno
yang seolah mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan pembantunya. Dulu sebelum
Sekar bekerja, Yanti sering terlambat memberikan gaji untuk bibik. Tapi setelah
Sekar bekerja, Sekar lah yang memberi gaji untuk bibik. Kalau tidak salah hari ini
Sekar sudah mendapatkan gaji, mengapa bibik tampak kebingungan?
Pak Winarno menghirup teh wanginya, kemudian berdiri,
melangkah ke arah dapur. Ia masih sempat melihat bibik mengusap air matanya,
sebelum dia menyapanya.
“Bik …”
Bibik terkejut, segera ia mengusap wajahnya, khawatir
ada air mata yang masih tersisa di pelupuknya.
“Ya Pak.”
“Bibik menangis?”
“Oh … eh … tidak Pak, mata bibik kemasukan debu tadi.”
Pak Winarno tersenyum. Kalau mau berdebat, ia pasti
akan mengatakan, dimana ada debu di dapur yang bersih ini. Tapi untuk apa
berdebat, toh sebenarnya dia yakin kalau bibik baru saja meneteskan air mata.
Walau setetes, air mata itu adalah pertanda dari sebuah hati yang sakit, galau,
sedih. Entahlah, pokoknya perasaan yang tidak enak. Kecuali air mata yang menetes dari mata yang sedang berbinar bahagia.
“Nanti kalau aku menerima pensiun, aku akan memberi
Barno sejumlah uang.”
“Tidak Pak, jangan. Jangan sampai kami merepotkan.”
“Bukan merepotkan. Sebuah cita-cita tinggi harus
mendapat dukungan, bukan? Itu bukan gaji kamu, tapi pemberian dari aku, untuk Barno."
“Tapi … “
“Supaya dia bisa segera bisa menyelesaikan studinya.
Lalu entah apa yang akan dia lakukan selanjutnya, pasti dia sudah memikirkannya.
Karena setelah lulus, setidaknya dia sudah punya kaki yang kuat untuk berpijak.”
Kali ini air mata bibik benar-benar tumpah. Isaknya
tak lagi bisa ditahan. Rupanya ia benar-benar tak bisa menyembunyikan
kegelisahan hatinya.
“Sudah, jangan menangis.”
Lalu pak Winarno meninggalkan dapur, kembali ke ruang
tengah, menghabiskan teh hangatnya.
***
“Dari mana?” tanya pak Winarno ketika Sekar datang
bersama ibu tirinya.
“Ah, hanya ada perlu sebentar,” jawab Yanti sambil
berlalu.
“Sekar,” tak mendapat jawaban istrinya, pak Winarno
bertanya pada Sekar.
“Ya Pak.”
“Dari mana?”
“Mengantar ibu, belanja.”
“Mana belanjaannya?” tanya pak Winarno karena keduanya
tidak membawa apapun kecuali tas tangannya.
“Hanya barang kecil, mm … batery ponsel,” kata Sekar, yang
memang tidak bohong karena Yanti memang membeli batery itu.
Lalu pak Winarno diam, membiarkan Sekar masuk ke
kamarnya. Tapi pak Winarno menangkap wajah murung dari anaknya.
Sekar memang agak bingung menjawab pertanyaan ayahnya.
Tadi, semua tabungan yang baru berjumlah lima juta an, diambil semua oleh ibu
tirinya, berikut uang dalam amplop yang akan diberikannya kepada bibik. Ia bisa
membayangkan, bagaimana perasaan bibik kalau dia tak jadi memberikan uang yang
dijanjikan.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Sekar langsung
menuju dapur. Ia sudah bertekat, harus bisa memberikan uang untuk bibik, entah
bagaimanaa caranya.
“Sedang apa bik?” sapanya dengan nada riang.
“Ini non, sedang menggoreng kerupuk.”
“Mana aku saja bik,” kata Sekar.
“Jangan non. Ini sudah selesai kok. Non kan baru saja
pulang, duduk saja di situ, bibik buatkan teh hangat ya,” kata bibik sambil
mematikan kompor.
Sekar duduk di kursi dapur, menunggu bibik membuatkan
minum.
“Bik, uang yang Sekar janjikan itu, besok ya. Tadi
Sekar lupa.”
“Ooh, kalau merepotkan ya tidak usah saja Non.”
“Tidak merepotkan. Pokoknya besok.”
Sekar sudah berjanji, dan tak ingin mengingkari.
Apapun yang terjadi, uang itu harus terwujud. Sekarang ia bahkan tidak memegang
uang kecuali receh yang terselip di dompetnya. Ia mengelus jari tangannya. Ada
cincin yang akan dijualnya besok. Itu cincin yang dibelinya sendiri, termasuk
tabungan juga yang barangkali dibutuhkannya sewaktu-waktu. Besok cincin itu
akan dijualnya, dan uangnya akan diberikannya kepada bibik.
“Ini tehnya Non.”
“Terima kasih Bik.”
Sekar mencecap sedikit tehnya, karena masih panas.
“Apa tadi bapak menanyakan aku ketika pergi bersama
ibu?”
“Iya Non, bertanya.”
“Bibik jawab apa?”
“Bibik bilang nggak tahu, memang bibik nggak tahu.
Memangnya tadi non pergi ke mana?”
“Hanya mengantarkan ibu saja.”
Bibik diam saja. Dia tadi secara tidak sengaja mendengar
semuanya, tapi lebih baik dia pura-pura tidak tahu.
***
“Sekar …” Sekar terkejut ketika melihat ayahnya sedang
duduk di kamarnya, dan melihat-lihat album lama yang semula di simpannya.
“Bapak ada di sini rupanya?”
“Ini, tiba-tiba ingin melihat-lihat foto lama.”
“Bapak ingin melihat foto ibu kandung Sekar?”
“Iya. Ini, saat sedang menggendong kamu, bersama bapak
juga.”
“Ibu Sekar cantik ya Pak?”
“Kamu sangat mirip dengan ibumu.”
“Benarkah?”
“Iya. Lihatlah, alismu, bibirmu, hidungmu, bukankah
semuanya seperti milik ibumu?”
“Iya sih Pak.”
“Sebenarnya kamu tadi dari mana?” Sekar terkejut
ketika ayahnya ternyata masih meragukan jawabannya saat baru datang bersama ibu
tirinya tadi.
Kan Sekar sudah bilang, mengantar ibu belanja.”
“Biasanya ibu jalan sendiri, naik taksi atau apa.”
“Kebetulan Sekar baru pulang, belum berganti pakaian,
jadi diajak pergi sekalian. Kan lebih irit berboncengan daripada naik taksi?
Kan ibu cuma mau beli batery.”
“Benar?”
“Benar. Kenapa Bapak tidak percaya?”
“Wajahmu seperti sedang kesal ketika pulang tadi.”
“Ah, Bapak bisa saja. Mungkin karena Sekar sangat
lelah. Kebetulan tadi di kantor banyak pekerjaan.”
Pak Winarno diam. Ia tahu Sekar sedang menutupi
sesuatu. Sekar tak pernah mengeluh tentang ibu tirinya. Ia selalu menunjukkan
ketulusannya berbakti kepada kedua orang tuanya, biarpun dia tahu Aryanti
adalah ibu tirinya.
Pak Winarno berdiri.
“Alangkah baiknya foto itu diperbesar, lalu dipasang
di kamar kamu ini,” katanya sambil menuju pintu dan keluar.
Sekar tercenung. Kalau dia memasang foto ibu
kandungnya yang sedang bersama ayahnya, bagaimana kalau ibu tirinya melihatnya?
***
Ketika datang ke rumah Minar, Yanti hanya bertemu pak
Samadi, suaminya.
“Minar baru saja keluar. Duduklah dulu, bukankah kamu
akan membicarakan soal kerja sama itu?” tanya pak Samadi.
“Iya Pak, tapi sebenarnya saya memang belum punya banyak
uang.”
“Masa sih?”
“Benar Pak, ini saya kumpul-kumpulin, baru punya
segini.”
“Berapa?”
“Sepuluh juta Pak.”
“Waduh, kurangnya kok masih banyak.”
“Kan pak Samadi bilang, bahwa saya bisa meminjam dulu.”
“Benar, tapi uang itu juga bukan murni punya aku. Ada
uang teman yang dititipkan, dan boleh dipinjam tapi dengan bunga.”
“Dengan bunga?”
“Ya, dan lumayan besar, 10 persen.”
Yanti termenung. Dia mulai berpikir. Berhutang,
membayar bunga 10 persen, apakah tidak keberatan?
“Tapi kalau usaha itu berjalan, keuntungannya jauh
lebih besar dari itu, dan kamu pasti bisa mengembalikannya.”
“Benarkah?”
“Keuntungan menjual makanan itu berlipat-lipat. Kamu
harus mengerti itu. Itu pula sebabnya mengapa Minar aku sarankan untuk melakukan
usaha itu. Kalau kamu mau ikutan, ya mari ikutan, nanti aku bantu, kalau enggak
ya tidak apa-apa.”
“Ikut Pak, saya pasti ikut,” kata Aryanti buru-buru.
“Dengan uang ini dan nanti aku tambahin? Kemarin Minar
sama temannya menghitung-hitung juga, katanya modal masing-masing 50 juta
dengan bertiga, sepertinya cukup. Besok dia sudah akan menghubungi pemilik kios
yang akan disewa.
“Baiklah Pak, jadi saya pinjam yang 40 juta bukan?
“Ya, kalau ya, akan aku buatkan suratnya, kamu tinggal
menanda tangani, beres. Besok bisa mulai jalan. Kalau perjanjian kerja sama
diantara kalian, nanti ada sendiri.”
“Baiklah Pak, saya juga sudah siap,” kata Aryanti
dengan wajah berseri. Ia sudah bisa membayangkan keuntungannya, lalu bisa
melunasi hutangnya, lalu pamer kepada suaminya bahwa dia berhasil dalam
usahanya. Pasti ia juga ingin memiliki mobil seperti milik Minar yang sering
dipergunakan untuk menjemputnya setiap ada acara. Suaminya akan terkejut dia
bisa melakukannya, dan tentu saja bangga.
***
Siang itu pak Winarno sedang ingin berjalan-jalan. Ia
melewati deretan pertokoan, warung dan rumah makan besar. Ada keinginan untuk
mampir untuk makan, tapi ia ingat bahwa bibik selalu masak untuk
keluarganya. Ia melanjutkan langkahnya,
lalu tiba-tiba dilihatnya Sekar. Ia ingin memanggil namanya, tapi
diurungkannya, ketika melihat Sekar memasuki sebuah toko emas.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~02 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐
ReplyDeleteSelamat pa Djodhi Mahatma
DeleteMana si gesit mungil ???
Kacrit ya.....kasihan,...
Matur nuwun bu Tien SEBUAH JANJI Eps 2 sdh tayang.
Salam ADUHAI
Maturnuwun Kakek Habi, kebetulan saja tadi pas buka pas tayang... dan ternyata belum ada yang komentar... ๐
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteSdh tayang
Alhamdulillah SEBUAH JANJI 02 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSekar sdh datang
Matur nuwun
Alhamdulillah ,
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah,
ReplyDeleteSehat selalu bunda Tien ๐๐
Terima kasih Bu Tien Kumalasari
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwunbunda Tien...SEBUAH JANJI 2 telah tayang...๐
ReplyDeleteMakasih Bunda , met malam dan met istirahat
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTks, salam sehat bunda...
ReplyDeleteTerimakasih bunda..
ReplyDeleteSemoga sehat dan bahagia selalu..
Salam aduhai dari Sukabumi..
Kok tumben blm ada yg komen? Trmksh mb Tien up nya๐ค
ReplyDeleteTyt sdh banyak๐คญ๐
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Cerbung Sebuah Janji Eps 02 sudah tayang.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteTampaknya Genre baru ya...
Tidak hanya rebutan cinta saja. Ayo Sekar semangat!!!
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah sdh tayang.....suwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu....๐๐
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron Mbak Tien ๐น๐น๐น๐น๐น
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSalam sehat..
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien'...semakin ketahuan ibu tiri kejam
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteIbu tiri Sekar nggak tulus ya.
Trims bu tien
ReplyDeleteYa merasa lega saja semua kuasa ada untuk menekan yang merasa dibawah kekuasaannya, sesuai angan agar dana itu berdaya, yang sebenarnya belum jelas juga apakah berhasil apa tidak.
ReplyDeleteKebiasaan yang ada tanpa mengerti benar penggunaan dana, dana itu akan menguap tak tahu larinya kemana, memang semua berasal dari mimpi yang berusaha di wujud kan, sayang detail nya tidak begitu jelas dan penguasaan peruntukan kurang jelas pos pos nya.
Modal memang awal dari suatu usaha.
Sangatlah tidak bijak bila dana itu dilepas tanpa tahu buat apa, properti atau bahan olah yang di proyeksikan sebagai pokok dari usaha.
Yang menggiurkan ya simpan pinjam lebih cepat dapat baliknya, tapi pemasaran itu yang utama, buat usaha kuliner; koki kreatif tidak ada orang yang di andalkan, bahkan belum tahu siapa, ini cuma akal akalan team pencari dana buat dibawa lari berdasarkan tanda tangan bermeterai.
Namanya tergiur ya habislah.
Dengan dalih patuh ya lepaslah tabunganmu nak, sayang sekali bahkan Winarno pun tidak tegas, eh tidak tau pasti, atau masih ada sayang?!
Selalu ada alasan untuk yang nyata² mematikan yang lagi tumbuh agar dapat tegar untuk dijadikan sebagai tongkat estafet sebuah harapan dimasa tua.
Sang anak cari jalan lain dengan mengumpulkan benda berharga agaknya, biar agak susah mencairkannya, buat bekal besok yang kita tidak tahu sampai kapan.
Miris.
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang kedua sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Assalam'ualaikum bunda tien. Semoga bunda beserta keluarga selalu dlm lindungan Allah SWT. Aaamiiin...
ReplyDeleteAduhai! Udah lamaa gak ikut komen. Soalnya bacanya sambilan ngasuh si kecil. Jadi rada ngebut. Tapi syukur alhamdulillaaah masih setia nyimak. Soalnya cerbung karya bunda tien makin aduhaaai!
Tes...tes...tes....
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien ku sayang.. Temanya Ibu Tiri lagi... Hadeeehhh... Tanda2nya ibu tiri yg kurang baik nih si Aryanti.
ReplyDeleteEalah melase tho sekar.
ReplyDeleteY Allah Sekar kok ksih an y..slm sht bunda tien..hatur nhn๐๐ฅฐ
ReplyDelete