Thursday, August 11, 2022

SEBUAH JANJI 01

 

SEBUAH JANJI  01

(Tien Kumalasari)

 

Sekar memasuki rumahnya setelah pulang dari bekerja. Rumah itu tampak lengang. Seorang pembantu rumah tangga sedang meletakkan dua buah cangkir berisi teh panas di ruang tengah.

“Kok sepi Bik?”

“Iya non, ibu pergi sejak siang. Bapak ada di kamar, sepertinya sedang tak enak badan,” kata bibik sambil kembali ke arah dapur.

Hati Sekar tercekat. Ayahnya sakit? Akhir-akhir ini ayahnya sering mengeluh sesak napas. Dokter memberinya beberapa macam obat, katanya jantung ayahnya bermasalah, jadi tak boleh terlalu banyak pikiran.

Perlahan Sekar membuka pintu kamar. Dilihatnya ayahnya terbaring di ranjang. Ia menoleh ketika mendengar pintu terbuka.

“Kamu Sekar?”

“Iya Pak, baru pulang. Bapak sakit? Apa yang Bapak rasakan?”

“Nggak apa-apa. Hanya agak lemas saja. Tapi sekarang sudah baikan kok,” katanya sambil mencoba bangkit. Sekar membantunya.

“Kalau memang badan terasa kurang sehat, ya tiduran saja dulu Pak, jangan dipaksa bangun.”

“Tidak apa-apa. Paling hanya masuk angin. Tapi sekarang sudah baikan.”

“Benar?”

“Benar. Kamu baru pulang?”

“Iya, mendengar dari bibik bahwa Bapak sakit, lalu Sekar masuk kemari. Sudah ada teh hangat di meja, Sekar bawa kesini ya?”

“Tidak usah. Bapak mau keluar saja. Ibumu belum pulang?”

“Kata bibik belum. Memangnya ibu pergi ke mana?”

“Biasa lah, ibumu kan punya banyak urusan,” kata pak Winarno, ayahnya Sekar, sambil turun dari ranjang.

“Urusan apa sih?”

“Urusan arisan dan dagang sama teman-temannya.”

“Ooh …” kata Sekar sambil menuntun ayahnya keluar dari kamar.

“Ayo kita minum teh di ruang tengah berdua saja,” kata pak Winarno.

“Baiklah Pak, tapi Sekar mau ganti baju dulu,” kata Sekar setelah ayahnya duduk, kemudian ia beranjak masuk ke dalam kamar.

Pak Winarno menatap punggung anak gadisnya. Anak semata wayangnya yang mulai beranjak dewasa.

Ibu kandungnya meninggal ketika Sekar berumur sepuluhan tahun, kamudian pak Winarno menikah lagi dengan Aryanti, seorang janda tanpa anak, yang bersedia merawat Sekar seperti anak kandungnya sendiri. Umur Aryanti dan pak Winarno memang terpaut agak jauh, kira-kira limabelasan tahun. Sehingga setiap kali berjalan bersama Sekar, banyak orang mengira mereka adalah kakak adik. Waktu menikah itu pak Winarno masih bekerja sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah negri, Tapi sudah lima tahun lebih pak Winarno pensiun dari pekerjaannya.

Aryanti yang terbiasa hidup berkecukupan, agar tersengal mengejar kesenangan yang semula didapatnya dari penghasilan suaminya yang masih bekerja. Dia mencoba berdagang apa saja diantara teman-teman arisannya. Tapi yang agak disesali Winarno adalah sikap Aryanti yang berubah. Dia kurang memperhatikan suaminya, apalagi anaknya. Dia bahkan menyuruh Sekar berhenti dari kuliah, dan menyuruhnya bekerja dengan alasan agar bisa mencukupi kebutuhan keluarganya,

Winarno tak bisa menolaknya, karena merasa tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan keluarganya seperti sebelumnya.

“Kok belum diminum teh nya, Pak?”

Winarno tersadar dari lamunannya.

“Oh … eh … iya. Kan bapak menunggu kamu?”

“Iya sih,” katanya sambil meletakkan sepiring roti pisang di meja.

“Ini apa?”

“Ini roti pisang kesukaan Bapak.”

“Oh …” senyum pak Winarno mengembang. Anak gadisnya sangat memperhatikan apa kesukaan ayahnya. Ia meraih cangkir berisi teh yang masih hangat, mencecapnya dengan nikmat.

“Masih hangat,” kata pak Winarno ketika meraih sebungkus roti pisangnya.

“Iya Pak, Sekar beli di pembuatnya, dekat kantor Sekar.

“Oo, pantesan masih hangat.”

“Enakkah ?”

“Enak dong, ini kan roti kesukaan bapak.”

Sekar tersenyum. Ditatapnya ayahnya yang sudah tampak tua. Menurutnya, ia bahkan lebih tua dari orang lain dengan umur sebayanya. Rambutnya yang memutih, keriput di pipi dan bahkan di seluruh wajahnya, menampakkan wajah tua yang seperti banyak beban.

Sekar heran. Sebenarnya uang pensiun ayahnya tidak akan kurang kalau hanya untuk menghidupi mereka bertiga ditambah seorang pembantu. Tapi ibu tirinya selalu mengeluh kurang. Yang miris adalah kadang-kadang ibunya terlambat membayar gaji bibik yang pastinya sangat ditunggu, karena setiap bulan dia harus mengirimkannya untuk anaknya di kampung. Kalau sudah begitu, maka Sekar lah yang kemudian membayar gajinya.

“Bagus Sekar, kamu kan bekerja itu juga untuk membantu keuangan keluarga? Jadi kalau hanya membayar gaji bibik saja pastinya kamu tidak harus keberatan,” kata ibunya waktu itu.

“Ya Bu,” hanya itu jawaban Sekar. Toh setelah itu bukan hanya gaji bibik yang harus dibayarnya, tapi juga kebutuhan sehari-hari.

“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya pak Winarno sambil meraih lagi sebungkus roti. Sekar senang melihat ayahnya suka roti yang dibawanya.

“Baik Pak.”

“Sebenarnya bapak ingin kamu melanjutkan kuliah kamu. Dan bapak yakin, bahwa kamu pasti juga kecewa.”

“Tidak apa-apa Pak. Kuliah itu kan biayanya tidak sedikit. Jadi lebih baik memang Sekar bekerja, untuk meringankan beban keluarga. Nanti kalau ada rejeki, pasti Sekar akan bisa melanjutkannya. Sekarang Sekar sedang menabung sedikit demi sedikit.”

Pak Winarno kehilangan senyumnya. Ia ingin mencela istrinya, tapi rasanya tidak baik menjelek-jelekkan istrinya di hadapan anaknya.

Tiba-tiba Aryanti muncul kemudian meletakkan tas tangan begitu saja di sofa. Lalu duduk di hadapan suaminya.

Sekar berdiri untuk mengambilkan minum bagi ibunya.

“Kamu mau mengambilkan minum?”

“Ya Bu.”

“Buatkan kopi saja, aku sedang suka minum kopi.”

“Baik,” jawab Sekar sambil bergegas ke belakang.

“Kamu dari mana saja?”

“Kan aku sudah bilang, bahwa aku arisan di rumah bu Herlambang.”

“Dari pagi?”

“Lalu mereka mengajak jalan-jalan, makan siang sambil berbincang.”

“Mengapa tidak makan di rumah saja.”

“Tadi ada pembicaraan penting diantara kami. Ini yang aku mau bilang sama Bapak.”

“Pembicaraan penting apa?”

“Kami akan mendirikan sebuah usaha bersama. Ada tiga orang yang akan bergabung.”

“Usaha apa?”

“Kuliner. Kami akan membuka sebuah rumah makan, dan mungkin akan berkembang menjadi besar. Ini bukan rumah makan biasa, tapi_”

“Mengapa membuka usaha segala. Kalau kita hidup sederhana, kita tidak akan kekurangan. “Aku lihat kamu tidak suka memasak, mengapa membuka usaha rumah makan?”

“Aduh, Bapak. Masa iya sih aku yang harus memasak? Kan ada orang yang akan di bayar, ya yang tukang masak, yang jadi pelayan, yang tukang bersih-bersih.”

“Mau buka di mana?”

“Baru mau kita pikirkan. Mungkin akan menyewa tempat dulu sebelum bisa membelinya.”

“Ada uangnya? Atau ada yang akan memberi kalian modal?”

“Modalnya ya dari kita-kita Pak. Patungan.”

Pak Winarno mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang terlintas di pikirannya. Tentang modal.

“Kamu punya uang?”

“Ya tidak Pak. Uang kita kan pas-pasan. Hanya cukup untuk hidup sehari-hari.”

“Itu karena kamu boros.”

“Ya ampun Pak. Sekarang apa-apa mahal. Pensiun Bapak itu berapa? Apa mau saya perhitungkan semua kebutuhan kita supaya Bapak tahu apakah cukup uang pensiun Bapak untuk kebutuhan itu?”

“Lalu apa maksudmu? Kalau memang tidak punya modal ya tidak usah buka usaha macam-macam.”

“Bapak itu mbok ya berpikiran agak maju. Semua orang sibuk mengumpulkan uang dengan membuka usaha. Yang sudah banyak uang saja juga masih ingin berusaha. Bagaimana sih.”

“Lalu kalau memang kita tidak mampu, bagaimana?”

“Kita kan bisa usaha?”

“Ini Bu, kopinya,” kata Sekar sambil membawakan secangkir kopi untuk ibu tirinya.

“Baiklah, nanti kita bicara lagi saja, sekarang aku capek, mau istirahat dulu,” kata Aryanti sambil menghirup kopinya perlahan.

Sekar mengundurkan diri ke belakang, karena tak ingin mendengar perdebatan orang tuanya, yang sedikit didengarnya. Tentang modal. Dan itu pastilah uang.

***

“Bibik, mengapa melamun?” sapa Sekar ketika memasuki dapur, bermaksud membantu bibik menyiapkan makan malam.

Bibik tersipu. Ia berdiri menghampiri kompor untuk mematikannya, karena air yang dijerangnya sudah mendidih.

“Tidak Non, lagi nungguin air mendidih, untuk mengisi termos tuh.”

“Tapi tadi Bibik seperti melamun.”

“Iya sih Non, baru saja Sabarno minta uang untuk bayar kuliah, tapi bibik kan belum punya.”

“Bik, dua hari lagi aku gajian, nanti gaji bibik saya beri dulu. Berapa uang yang diminta Barno?”

“Agak banyak sih.”

“Bibik jangan khawatir, nanti aku pinjami dulu untuk bayar kuliah Barno.”

“Benarkah?” kata bibik dengan mata berbinar.”

“Iya Bik.”

“Terima kasih banyak ya Non, Non Sekar sungguh baik.”

“Karena memang ada Bik, sudah … jangan dipikirkan. Itu airnya mau dimasukkan termos kan?”

“Eh, iya Non … sampai lupa.”

“Aku bantu menata meja dulu ya Bik, nanti bibik siapkan makannya. Setelah siap baru aku bilang sama ibu.”

“Baiklah Non. Bibik mau bikin telur dadar dulu, tadi ibu yang minta.”

Sekar tersenyum.  Ia senang melihat wajah bibik tidak semuram tadi. Satu-satunya anak bibik memang kuliah. Dulu diterima dengan bea siswa, tapi tidak semuanya gratis. Ada kebutuhan lain yang dengan terpaksa Barno meminta kepada ibunya. Barno juga butuh makan, dan sekarang ini sedang berkutat agar segera bisa menyelesaikan kuliahnya yang pastinya tinggal sedikit lagi.

Sekar teringat dirinya sendiri, yang baru separuh jalan harus berhenti kuliah karena ibu tirinya memintanya lebih baik bekerja. Ada rasa teriris karena kecewa. Tapi dikibaskannya. Ia tak ingin melihat ayahnya ikut kecewa karena tak berhasil menyekolahkan anaknya.

***

“Pak, jangan tidur dulu, masih sore.” Kata Aryanti ketika malam harinya sudah masuk ke kamar mereka.

“Badanku agak kurang sehat, ingin segera tidur saja,” kata pak Winarno sambil memunggungi istrinya.

“Aku ingin bicara.”

Pak Winarno diam. Ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan istrinya. Ia memejamkan matanya, dan bergeming untuk tidak menoleh ke arahnya.

“Pak, setiap usaha kan membutuhkan modal. Aku hanya ingin bicara soal usaha itu. Masa Bapak tidak senang kalau usaha kita berhasil?”

“Kalau namanya usaha itu pasti butuh modal. Kalau memang tidak punya modal, ya sudah tidak usah macam-macam, nanti kamu akan susah sendiri.”

Tak urung pak Winarno menjawab juga perkataan istrinya, walau dengan hati sangat kesal.

“Tapi kan kita bisa berusaha ?”

“Berusaha bagaimana?”

“Bisa pinjam uang kan?”

“Tidak … tidak … aku tidak suka pinjam-pinjam … hiduplah dengan apa adanya, jangan meraih sesuatu yang kita tidak bisa menjangkaunya.”

“Namanya manusia itu boleh kan punya keinginan? Tidak bisa dong kita diam tanpa melakukan sesuatu?”

“Mengapa tidak? Kita bisa merasa tenang kalau tidak diganggu dengan mimpi yang aneh-aneh.”

“Huh, kalau kita tidak punya usaha, sama saja kita tidak punya semangat hidup.”

“Hidup yang bagaimana yang kamu maksudkan? Kalau kita bisa menerima hidup kita dengan apa adanya, maka kita akan merasa tenang. Mimpi yang muluk-muluk hanya akan membuat kita selalu dibayangi oleh angan-angan, dan itu membuat kita tidak akan tenang.”

“Kalau usaha itu berhasil, pastilah kita akan merasa tenang.”

Pak Winarno diam, tak ingin memperpanjang pembicaraan yang sangat membuatnya kesal. Aryanti pun diam.

“Bagaimana kalau menggadaikan surat pensiun Bapak?”

Pak Winarno terkejut bukan alang kepalang.

“Apa maksudmu? Aku sudah bilang tidak suka berhutang … ya tidak. Lebih baik kamu diam. Kepalaku terasa sangat pusing.”

***

“Bagaimana Yanti, kamu jadi ikut bergabung tidak?” kata pak Samadi ketika Aryanti dan teman-temannya kembali berkumpul untuk membicarakan masalah usaha itu.

Aryanti terdiam. Pak Samadi adalah suami Minar, teman dekatnya yang mengajaknya membuka usaha.

“Suami kamu tidak mengijinkan?”

“Iya sih Pak, tapi sebenarnya saya ingin sekali. Hanya saja dia selalu bilang tidak berminat.”

“Itulah kalau laki-laki tidak punya semangat. Suami kamu itu sebenarnya belum terlalu tua, tapi karena tidak punya semangat, ya begitu itu. Wajahnya tampak kuyu, lesu, tampak lebih tua dari umurnya.

Aryanti diam. Memang itulah kenyataannya.

“Cobalah cari jalan lain, soalnya saat ini bisnis kuliner sedang banyak dijalankan banyak orang, dan mereka sukses lho.”

“Saya sangat tertarik, tapi coba Pak, nanti saya akan bicara lagi.”

“Yang butuh modal banyak itu adalah soal sewa tempatnya. Kebanyakan mereka tidak mau kalau hanya dikontrak setahun atau dua tahun. Paling tidak ya tiga sampai lima tahun. Dan sewa dipinggir jalan besar itu tidak murah.”

“Iya Pak.”

“Begini saja. Coba kamu lihat, uangmu ada berapa. Nanti kurangnya biar aku dulu yang memberi pinjaman. Nanti kalau usaha sudah jalan kamu boleh mencicilnya.”

“Benarkah?”

“Kita butuh modal masing-masing tujuhpuluh lima juta, kan kita bertiga. Kamu punya berapa? Nanti aku bantu.”

“Baiklah Pak, saya akan bicara lagi nanti,” kata Aryanti yang sedikit merasa lega karena pak Samadi akan membantunya.

***

Sekar baru pulang dari bekerja, dan sedang menuju dapur untuk memberikan uang yang dijanjikannya kepada bibik, ketika tiba-tiba terdengar ibu tirinya memanggil.

“Sekar.”

Sekar menghentikan langkahnya.

“Sini sebentar.”

Sekar berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di ruang makan, menikmati jus nanas buatan bibik.

“Kamu punya uang berapa?”

***

Besok lagi ya.

31 comments:

  1. Matur nuwun bunda nemenuhi janjinya malam ini tayang perdana.

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aryani apa Aryanti ya...
      Bercita-cita tinggi, tapi kalau tidak ada modal dan bakat terutama, bisa hancur dia.
      Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

      Delete
  3. Matur nuwun bunda Tien..Cerbung baru "Sebuah Janji" telah tayang perdana..๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah *SEBUAH JANJI* sudah tayang perdana, terima kasih bunda Tien, semoga bu Tien sehat selalu dan menghibur kami. Tetap ADUHAI.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien, episode perdana cerbung Sebuah Janji sudah tayang. Semoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillaah....
    Matur nuwun bunda Tien cantik ๐Ÿ˜˜❤❤

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah... Cerbung baru sudah tayang, salam sehat dan bahagia selalu untuk bunda Tien sekeluarga.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Yang ditunggu tunggu yelah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu
    Tetap semangat

    ReplyDelete
  9. Terima kasih mbak Tien...
    Mbak Tien tak pernah kekurangan idea...

    ReplyDelete
  10. ๐€๐ฅ๐ก๐š๐ฆ๐๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฅ๐ฅ๐š๐ก ๐ฌ๐ฎ๐๐š๐ก ๐ญ๐š๐ฒ๐š๐ง๐ ...๐’๐š๐ฒ๐š ๐ฉ๐ข๐ค๐ข๐ซ ๐ง๐ฎ๐ง๐ ๐ ๐ฎ ๐ฌ๐š๐ฆ๐ฉ๐š๐ข ๐’๐ž๐ง๐ข๐ง.
    ๐’๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐ฌ๐ž๐ก๐š๐ญ ๐ฌ๐ž๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ ๐›๐ฎ ๐“๐ข๐ž๐ง..๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  11. Wah telat.. Hehehe.. Sehat selalu bund๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  12. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono

    ReplyDelete
  13. Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
    ADUHAI.....

    ReplyDelete
  14. Makasih mba Tien.
    Sudah ada sebuah janji

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah sdh tayang serial terbaru.....suwun Bu Tien...๐Ÿ™๐Ÿ˜Š
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  16. Ada yang baru tapi bukan sepatu

    ReplyDelete
  17. Terima kasih, ibu Tien...Janjinya sudah ditepati...judul baru sudah muncul. Ironis ya ceritanya...Sekar yang terpaksa putus kuliah malah bisa bantu biaya kuliah anak Bibik yang bekerja di rumahnya. Pasti seru nih...biasanya bikin baper. Siap-siap aja...๐Ÿ˜€๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜ Semoga ibu Tien sehat selalu.๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien..

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah ternyata cerbung baru SEBUAH JANJI~01 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah SEBUAH JANJI sdh tayang.
    Suwun bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah cerbung baru dah tayang, makasih Bunda

    ReplyDelete
  22. Asyiik cerbung perdananyasdh hadir..terima ksih bunda Tien..slm sht sll dri skbmi๐Ÿ™๐Ÿฅฐ๐ŸŒน

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...