SEBUAH JANJI 01
(Tien Kumalasari)
Sekar memasuki rumahnya setelah pulang dari bekerja.
Rumah itu tampak lengang. Seorang pembantu rumah tangga sedang meletakkan dua
buah cangkir berisi teh panas di ruang tengah.
“Kok sepi Bik?”
“Iya non, ibu pergi sejak siang. Bapak ada di kamar,
sepertinya sedang tak enak badan,” kata bibik sambil kembali ke arah dapur.
Hati Sekar tercekat. Ayahnya sakit? Akhir-akhir ini
ayahnya sering mengeluh sesak napas. Dokter memberinya beberapa macam obat,
katanya jantung ayahnya bermasalah, jadi tak boleh terlalu banyak pikiran.
Perlahan Sekar membuka pintu kamar. Dilihatnya ayahnya
terbaring di ranjang. Ia menoleh ketika mendengar pintu terbuka.
“Kamu Sekar?”
“Iya Pak, baru pulang. Bapak sakit? Apa yang Bapak
rasakan?”
“Nggak apa-apa. Hanya agak lemas saja. Tapi sekarang
sudah baikan kok,” katanya sambil mencoba bangkit. Sekar membantunya.
“Kalau memang badan terasa kurang sehat, ya tiduran
saja dulu Pak, jangan dipaksa bangun.”
“Tidak apa-apa. Paling hanya masuk angin. Tapi
sekarang sudah baikan.”
“Benar?”
“Benar. Kamu baru pulang?”
“Iya, mendengar dari bibik bahwa Bapak sakit, lalu
Sekar masuk kemari. Sudah ada teh hangat di meja, Sekar bawa kesini ya?”
“Tidak usah. Bapak mau keluar saja. Ibumu belum
pulang?”
“Kata bibik belum. Memangnya ibu pergi ke mana?”
“Biasa lah, ibumu kan punya banyak urusan,” kata pak
Winarno, ayahnya Sekar, sambil turun dari ranjang.
“Urusan apa sih?”
“Urusan arisan dan dagang sama teman-temannya.”
“Ooh …” kata Sekar sambil menuntun ayahnya keluar dari
kamar.
“Ayo kita minum teh di ruang tengah berdua saja,” kata
pak Winarno.
“Baiklah Pak, tapi Sekar mau ganti baju dulu,” kata
Sekar setelah ayahnya duduk, kemudian ia beranjak masuk ke dalam kamar.
Pak Winarno menatap punggung anak gadisnya. Anak
semata wayangnya yang mulai beranjak dewasa.
Ibu kandungnya meninggal ketika Sekar berumur sepuluhan
tahun, kamudian pak Winarno menikah lagi dengan Aryanti, seorang janda tanpa
anak, yang bersedia merawat Sekar seperti anak kandungnya sendiri. Umur Aryanti
dan pak Winarno memang terpaut agak jauh, kira-kira limabelasan tahun. Sehingga
setiap kali berjalan bersama Sekar, banyak orang mengira mereka adalah kakak
adik. Waktu menikah itu pak Winarno masih bekerja sebagai kepala sekolah di
sebuah sekolah negri, Tapi sudah lima tahun lebih pak Winarno pensiun dari pekerjaannya.
Aryanti yang terbiasa hidup berkecukupan, agar
tersengal mengejar kesenangan yang semula didapatnya dari penghasilan suaminya
yang masih bekerja. Dia mencoba berdagang apa saja diantara teman-teman
arisannya. Tapi yang agak disesali Winarno adalah sikap Aryanti yang berubah.
Dia kurang memperhatikan suaminya, apalagi anaknya. Dia bahkan menyuruh Sekar
berhenti dari kuliah, dan menyuruhnya bekerja dengan alasan agar bisa mencukupi
kebutuhan keluarganya,
Winarno tak bisa menolaknya, karena merasa tidak bisa
lagi mencukupi kebutuhan keluarganya seperti sebelumnya.
“Kok belum diminum teh nya, Pak?”
Winarno tersadar dari lamunannya.
“Oh … eh … iya. Kan bapak menunggu kamu?”
“Iya sih,” katanya sambil meletakkan sepiring roti
pisang di meja.
“Ini apa?”
“Ini roti pisang kesukaan Bapak.”
“Oh …” senyum pak Winarno mengembang. Anak gadisnya
sangat memperhatikan apa kesukaan ayahnya. Ia meraih cangkir berisi teh yang
masih hangat, mencecapnya dengan nikmat.
“Masih hangat,” kata pak Winarno ketika meraih
sebungkus roti pisangnya.
“Iya Pak, Sekar beli di pembuatnya, dekat kantor Sekar.
“Oo, pantesan masih hangat.”
“Enakkah ?”
“Enak dong, ini kan roti kesukaan bapak.”
Sekar tersenyum. Ditatapnya ayahnya yang sudah tampak
tua. Menurutnya, ia bahkan lebih tua dari orang lain dengan umur sebayanya.
Rambutnya yang memutih, keriput di pipi dan bahkan di seluruh wajahnya,
menampakkan wajah tua yang seperti banyak beban.
Sekar heran. Sebenarnya uang pensiun ayahnya tidak
akan kurang kalau hanya untuk menghidupi mereka bertiga ditambah seorang
pembantu. Tapi ibu tirinya selalu mengeluh kurang. Yang miris adalah kadang-kadang
ibunya terlambat membayar gaji bibik yang pastinya sangat ditunggu, karena
setiap bulan dia harus mengirimkannya untuk anaknya di kampung. Kalau sudah
begitu, maka Sekar lah yang kemudian membayar gajinya.
“Bagus Sekar, kamu kan bekerja itu juga untuk membantu
keuangan keluarga? Jadi kalau hanya membayar gaji bibik saja pastinya kamu
tidak harus keberatan,” kata ibunya waktu itu.
“Ya Bu,” hanya itu jawaban Sekar. Toh setelah itu
bukan hanya gaji bibik yang harus dibayarnya, tapi juga kebutuhan sehari-hari.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya pak Winarno sambil
meraih lagi sebungkus roti. Sekar senang melihat ayahnya suka roti yang dibawanya.
“Baik Pak.”
“Sebenarnya bapak ingin kamu melanjutkan kuliah kamu.
Dan bapak yakin, bahwa kamu pasti juga kecewa.”
“Tidak apa-apa Pak. Kuliah itu kan biayanya tidak
sedikit. Jadi lebih baik memang Sekar bekerja, untuk meringankan beban
keluarga. Nanti kalau ada rejeki, pasti Sekar akan bisa melanjutkannya.
Sekarang Sekar sedang menabung sedikit demi sedikit.”
Pak Winarno kehilangan senyumnya. Ia ingin mencela
istrinya, tapi rasanya tidak baik menjelek-jelekkan istrinya di hadapan
anaknya.
Tiba-tiba Aryanti muncul kemudian meletakkan tas
tangan begitu saja di sofa. Lalu duduk di hadapan suaminya.
Sekar berdiri untuk mengambilkan minum bagi ibunya.
“Kamu mau mengambilkan minum?”
“Ya Bu.”
“Buatkan kopi saja, aku sedang suka minum kopi.”
“Baik,” jawab Sekar sambil bergegas ke belakang.
“Kamu dari mana saja?”
“Kan aku sudah bilang, bahwa aku arisan di rumah bu
Herlambang.”
“Dari pagi?”
“Lalu mereka mengajak jalan-jalan, makan siang sambil
berbincang.”
“Mengapa tidak makan di rumah saja.”
“Tadi ada pembicaraan penting diantara kami. Ini yang
aku mau bilang sama Bapak.”
“Pembicaraan penting apa?”
“Kami akan mendirikan sebuah usaha bersama. Ada tiga
orang yang akan bergabung.”
“Usaha apa?”
“Kuliner. Kami akan membuka sebuah rumah makan, dan
mungkin akan berkembang menjadi besar. Ini bukan rumah makan biasa, tapi_”
“Mengapa membuka usaha segala. Kalau kita hidup
sederhana, kita tidak akan kekurangan. “Aku lihat kamu tidak suka memasak,
mengapa membuka usaha rumah makan?”
“Aduh, Bapak. Masa iya sih aku yang harus memasak? Kan
ada orang yang akan di bayar, ya yang tukang masak, yang jadi pelayan, yang tukang
bersih-bersih.”
“Mau buka di mana?”
“Baru mau kita pikirkan. Mungkin akan menyewa tempat
dulu sebelum bisa membelinya.”
“Ada uangnya? Atau ada yang akan memberi kalian modal?”
“Modalnya ya dari kita-kita Pak. Patungan.”
Pak Winarno mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang
terlintas di pikirannya. Tentang modal.
“Kamu punya uang?”
“Ya tidak Pak. Uang kita kan pas-pasan. Hanya cukup
untuk hidup sehari-hari.”
“Itu karena kamu boros.”
“Ya ampun Pak. Sekarang apa-apa mahal. Pensiun Bapak
itu berapa? Apa mau saya perhitungkan semua kebutuhan kita supaya Bapak tahu
apakah cukup uang pensiun Bapak untuk kebutuhan itu?”
“Lalu apa maksudmu? Kalau memang tidak punya modal ya
tidak usah buka usaha macam-macam.”
“Bapak itu mbok ya berpikiran agak maju. Semua orang
sibuk mengumpulkan uang dengan membuka usaha. Yang sudah banyak uang saja juga
masih ingin berusaha. Bagaimana sih.”
“Lalu kalau memang kita tidak mampu, bagaimana?”
“Kita kan bisa usaha?”
“Ini Bu, kopinya,” kata Sekar sambil membawakan
secangkir kopi untuk ibu tirinya.
“Baiklah, nanti kita bicara lagi saja, sekarang aku
capek, mau istirahat dulu,” kata Aryanti sambil menghirup kopinya perlahan.
Sekar mengundurkan diri ke belakang, karena tak ingin
mendengar perdebatan orang tuanya, yang sedikit didengarnya. Tentang modal. Dan
itu pastilah uang.
***
“Bibik, mengapa melamun?” sapa Sekar ketika memasuki
dapur, bermaksud membantu bibik menyiapkan makan malam.
Bibik tersipu. Ia berdiri menghampiri kompor untuk
mematikannya, karena air yang dijerangnya sudah mendidih.
“Tidak Non, lagi nungguin air mendidih, untuk mengisi
termos tuh.”
“Tapi tadi Bibik seperti melamun.”
“Iya sih Non, baru saja Sabarno minta uang untuk
bayar kuliah, tapi bibik kan belum punya.”
“Bik, dua hari lagi aku gajian, nanti gaji bibik saya
beri dulu. Berapa uang yang diminta Barno?”
“Agak banyak sih.”
“Bibik jangan khawatir, nanti aku pinjami dulu untuk
bayar kuliah Barno.”
“Benarkah?” kata bibik dengan mata berbinar.”
“Iya Bik.”
“Terima kasih banyak ya Non, Non Sekar sungguh baik.”
“Karena memang ada Bik, sudah … jangan dipikirkan. Itu
airnya mau dimasukkan termos kan?”
“Eh, iya Non … sampai lupa.”
“Aku bantu menata meja dulu ya Bik, nanti bibik
siapkan makannya. Setelah siap baru aku bilang sama ibu.”
“Baiklah Non. Bibik mau bikin telur dadar dulu, tadi
ibu yang minta.”
Sekar tersenyum.
Ia senang melihat wajah bibik tidak semuram tadi. Satu-satunya anak
bibik memang kuliah. Dulu diterima dengan bea siswa, tapi tidak semuanya
gratis. Ada kebutuhan lain yang dengan terpaksa Barno meminta kepada ibunya. Barno
juga butuh makan, dan sekarang ini sedang berkutat agar segera bisa
menyelesaikan kuliahnya yang pastinya tinggal sedikit lagi.
Sekar teringat dirinya sendiri, yang baru separuh
jalan harus berhenti kuliah karena ibu tirinya memintanya lebih baik bekerja.
Ada rasa teriris karena kecewa. Tapi dikibaskannya. Ia tak ingin melihat
ayahnya ikut kecewa karena tak berhasil menyekolahkan anaknya.
***
“Pak, jangan tidur dulu, masih sore.” Kata Aryanti
ketika malam harinya sudah masuk ke kamar mereka.
“Badanku agak kurang sehat, ingin segera tidur saja,”
kata pak Winarno sambil memunggungi istrinya.
“Aku ingin bicara.”
Pak Winarno diam. Ia sudah tahu apa yang akan
dibicarakan istrinya. Ia memejamkan matanya, dan bergeming untuk tidak menoleh
ke arahnya.
“Pak, setiap usaha kan membutuhkan modal. Aku hanya
ingin bicara soal usaha itu. Masa Bapak tidak senang kalau usaha kita berhasil?”
“Kalau namanya usaha itu pasti butuh modal. Kalau
memang tidak punya modal, ya sudah tidak usah macam-macam, nanti kamu akan
susah sendiri.”
Tak urung pak Winarno menjawab juga perkataan
istrinya, walau dengan hati sangat kesal.
“Tapi kan kita bisa berusaha ?”
“Berusaha bagaimana?”
“Bisa pinjam uang kan?”
“Tidak … tidak … aku tidak suka pinjam-pinjam …
hiduplah dengan apa adanya, jangan meraih sesuatu yang kita tidak bisa menjangkaunya.”
“Namanya manusia itu boleh kan punya keinginan? Tidak
bisa dong kita diam tanpa melakukan sesuatu?”
“Mengapa tidak? Kita bisa merasa tenang kalau tidak
diganggu dengan mimpi yang aneh-aneh.”
“Huh, kalau kita tidak punya usaha, sama saja kita
tidak punya semangat hidup.”
“Hidup yang bagaimana yang kamu maksudkan? Kalau kita
bisa menerima hidup kita dengan apa adanya, maka kita akan merasa tenang. Mimpi
yang muluk-muluk hanya akan membuat kita selalu dibayangi oleh angan-angan, dan
itu membuat kita tidak akan tenang.”
“Kalau usaha itu berhasil, pastilah kita akan merasa
tenang.”
Pak Winarno diam, tak ingin memperpanjang pembicaraan
yang sangat membuatnya kesal. Aryanti pun diam.
“Bagaimana kalau menggadaikan surat pensiun Bapak?”
Pak Winarno terkejut bukan alang kepalang.
“Apa maksudmu? Aku sudah bilang tidak suka berhutang …
ya tidak. Lebih baik kamu diam. Kepalaku terasa sangat pusing.”
***
“Bagaimana Yanti, kamu jadi ikut bergabung tidak?”
kata pak Samadi ketika Aryanti dan teman-temannya kembali berkumpul untuk
membicarakan masalah usaha itu.
Aryanti terdiam. Pak Samadi adalah suami Minar, teman dekatnya
yang mengajaknya membuka usaha.
“Suami kamu tidak mengijinkan?”
“Iya sih Pak, tapi sebenarnya saya ingin sekali. Hanya
saja dia selalu bilang tidak berminat.”
“Itulah kalau laki-laki tidak punya semangat. Suami
kamu itu sebenarnya belum terlalu tua, tapi karena tidak punya semangat, ya
begitu itu. Wajahnya tampak kuyu, lesu, tampak lebih tua dari umurnya.
Aryanti diam. Memang itulah kenyataannya.
“Cobalah cari jalan lain, soalnya saat ini bisnis kuliner
sedang banyak dijalankan banyak orang, dan mereka sukses lho.”
“Saya sangat tertarik, tapi coba Pak, nanti saya akan
bicara lagi.”
“Yang butuh modal banyak itu adalah soal sewa
tempatnya. Kebanyakan mereka tidak mau kalau hanya dikontrak setahun atau dua
tahun. Paling tidak ya tiga sampai lima tahun. Dan sewa dipinggir jalan besar
itu tidak murah.”
“Iya Pak.”
“Begini saja. Coba kamu lihat, uangmu ada berapa.
Nanti kurangnya biar aku dulu yang memberi pinjaman. Nanti kalau usaha sudah
jalan kamu boleh mencicilnya.”
“Benarkah?”
“Kita butuh modal masing-masing tujuhpuluh lima juta,
kan kita bertiga. Kamu punya berapa? Nanti aku bantu.”
“Baiklah Pak, saya akan bicara lagi nanti,” kata
Aryanti yang sedikit merasa lega karena pak Samadi akan membantunya.
***
Sekar baru pulang dari bekerja, dan sedang menuju
dapur untuk memberikan uang yang dijanjikannya kepada bibik, ketika tiba-tiba
terdengar ibu tirinya memanggil.
“Sekar.”
Sekar menghentikan langkahnya.
“Sini sebentar.”
Sekar berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di ruang
makan, menikmati jus nanas buatan bibik.
“Kamu punya uang berapa?”
***
Besok lagi ya.
Yessssss
ReplyDeleteJuaranya kakek .....yeeees
DeleteMatur nuwun bunda nemenuhi janjinya malam ini tayang perdana.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteAryani apa Aryanti ya...
DeleteBercita-cita tinggi, tapi kalau tidak ada modal dan bakat terutama, bisa hancur dia.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Matur nuwun bunda Tien..Cerbung baru "Sebuah Janji" telah tayang perdana..๐๐
ReplyDeleteAlhamdulillah *SEBUAH JANJI* sudah tayang perdana, terima kasih bunda Tien, semoga bu Tien sehat selalu dan menghibur kami. Tetap ADUHAI.
ReplyDeletealhamdulilah...
ReplyDeleteAssik tayang makasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun mbak Tien, episode perdana cerbung Sebuah Janji sudah tayang. Semoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
ReplyDeleteAlhamdulillaah....
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien cantik ๐❤❤
Alhamdulillah... Cerbung baru sudah tayang, salam sehat dan bahagia selalu untuk bunda Tien sekeluarga.
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYang ditunggu tunggu yelah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu
Tetap semangat
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteMbak Tien tak pernah kekurangan idea...
Matur nuwun, bu Tien.
ReplyDelete๐๐ฅ๐ก๐๐ฆ๐๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฅ๐ฅ๐๐ก ๐ฌ๐ฎ๐๐๐ก ๐ญ๐๐ฒ๐๐ง๐ ...๐๐๐ฒ๐ ๐ฉ๐ข๐ค๐ข๐ซ ๐ง๐ฎ๐ง๐ ๐ ๐ฎ ๐ฌ๐๐ฆ๐ฉ๐๐ข ๐๐๐ง๐ข๐ง.
ReplyDelete๐๐๐ฅ๐๐ฆ ๐ฌ๐๐ก๐๐ญ ๐ฌ๐๐ฅ๐๐ฅ๐ฎ ๐๐ฎ ๐๐ข๐๐ง..๐๐๐
Wah telat.. Hehehe.. Sehat selalu bund๐๐๐
ReplyDeleteHallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSudah ada sebuah janji
Alhamdulillah sdh tayang serial terbaru.....suwun Bu Tien...๐๐
ReplyDeleteSalam sehat selalu...
Ada yang baru tapi bukan sepatu
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...Janjinya sudah ditepati...judul baru sudah muncul. Ironis ya ceritanya...Sekar yang terpaksa putus kuliah malah bisa bantu biaya kuliah anak Bibik yang bekerja di rumahnya. Pasti seru nih...biasanya bikin baper. Siap-siap aja...๐๐๐ Semoga ibu Tien sehat selalu.๐๐๐
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah ternyata cerbung baru SEBUAH JANJI~01 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI sdh tayang.
ReplyDeleteSuwun bu Tien, salam sehat selalu
Alhamdulillah cerbung baru dah tayang, makasih Bunda
ReplyDeleteHore cerbung Baru..nuhun bu Tien
ReplyDeleteAsyiik cerbung perdananyasdh hadir..terima ksih bunda Tien..slm sht sll dri skbmi๐๐ฅฐ๐น
ReplyDelete