ADUHAI AH 22
(Tien Kumalasari)
“Aduuh, apa sih ini ?” pekik Tutut berkali-kali,
karena beruang putih itu terus mengejarnya walau dia sudah mendorong-dorongnya.
“Mbak Desy mana nih … mbaaak …”
Lalu Tutut melihat beberapa pelayan toko tertawa
sambil menutup mulutnya.
Tutut yang merasa kesal karena tak mendengar suara
kakaknya agar membelanya, lalu membalikkan tubuhnya dan setengah berlari
menjauh.
Tiba-tiba terdengar seseorang terkekeh, dan
mengejarnya, tentulah sambil membawa beruang putih itu.
Tutut berhenti, dan menoleh ke arah samping.
Dilihatnya Danis tertawa lebar.
“Mas Danis !!” sungut Tutut.
“Jangan marah dong. Aku tahu tadi kamu merengek minta
dibelikan beruang ini. Tapi Desy tidak menggubrisnya bukan? Dia sedang asyik
mencarikan kado buat calon anak tirinya,” canda Danis.
“Apa? Anak tiri? Serius?”
“Nggaak, aku hanya bercanda …” lalu Danis tertawa
sambil mengulurkan boneka beruang itu.
“Silakan diambil tuan putri, aku tidak bakalan bermain
dengan boneka.”
“Aku belum membayarnya, aku cari mbak Desy dulu.”
“Sudah aku bayar, nggak usah repot.”
“Mas Danis !” kata Tutut sambil menatap Danis.
“Iya, itu untuk kamu. Bukankah kamu suka?”
“Aduuh, aku nggak repot sih, tapi mas Danis yang repot
kan?”
“Nggak. Untuk tuan putri cantik, nggak ada yang
repot.”
Tutut tersenyum lebar.
“Kok mas Danis ada disini? Mau beli mainan juga?”
“Tidak, aku tadi melihat kamu sama Desy masuk ke mari,
aku ikutan masuk. Aku tidak sendiri lho.”
“Memangnya mas Danis sama siapa? Istri?”
“Yah, kenapa mengejek aku. Aku kan sudah tidak punya
isteri, bujangan ini, tahu.”
“Ahaaa, bujangan? Nggak tepat dong. Itu namanya duda.”
“Duda tapi keren kan?”
“Hmmh, aku nggak mau bilang. Eh, mas Danis sama siapa
sih?” tanya Tutut sambil matanya mencari-cari. Ia heran tak melihat kakaknya di
sekitar tempat itu.
“Cari kakak kamu? Sudah ada yang menculik, ayo kamu
sama aku saja.”
“Eh, apa maksudnya?”
“Ayo, kamu mau ke mana, aku antar. Mobilku baru,
tahu.”
“Oh, jadi beli mobil. Ya ampun, eh tunggu dulu, aku
bilang sama mbak Desy dulu, nanti dia mencari aku.”
“Nggak bakalan deh mencari kamu, kan dia sedang
diculik?”
“Mas Danis tuh,” kesal Tutut.
“Desy sedang bersama Danarto. Puas?”
“Oo, jadi ada mas Danarto?”
“Dan dia sudah tahu kalau aku yang menculik kamu. Ayo
kita pergi, mereka butuh bicara.”
Tutut mengangguk. Ia senang kakaknya bertemu Danarto.
Semoga semuanya segera menjadi jelas, dan akan baik-baik saja.
***
Desy sedang membayar harga mainan yang tadi dibelinya, sedangkan Danarto yang
memang menemuinya hanya menunggu di belakangnya, karena Desy menolak ketika
Danarto akan membayarnya.
“Aku mau bicara, sebaiknya di mana?” tanya Danarto
yang kali ini tak ingin kehilangan lagi.
“Terserah kamu saja.”
“Disebelah ada warung selat dan gado-gado, kamu suka
kan?”
Desy hanya mengangguk. Ia belum tahu akan berkata apa.
Ia masih menduga Danarto akan menepati keinginan almarhumah ibunya tentang
perjodohan itu.
“Desy, berhari-hari aku menunggu untuk bisa berbicara
dengan kamu. Tapi tampaknya kamu selalu menghindar. Dan kalau tidak, pasti ada
saja halangannya,” kata Danarto membuka percakapan itu setelah memesan selat
solo yang menjadi kesukaan mereka berdua.
“Ya, aku sangat terguncang, dan merasa bahwa apa yang
sudah kita sepakati adalah tidak benar.”
“Mengapa tidak benar?”
“Aku semakin takut menghadapi hidup berumah tangga.”
“Ketakutanmu adalah tidak beralasan.”
“Apakah kamu akan mengatakan tentang perjodohan itu
dan kapan kalian akan menikah?”
“Desy. Kamu tidak menanyakan semuanya dan langsung
menuduh dengan sangat kejam.”
“Kejam?”
“Aku sudah datang ke Surabaya, menemui ibunya Hesti.”
“Bagus dong. Sudah jelas semuanya kan?”
“Tidak. Dengar, aku merekam pembicaraan aku dengan bu
Sriani, ibunya gadis itu.”
Danarto mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, berikut sebuah earphone yang disambungkannya ke ponsel, lalu memberikannya kepada Desy.
"Dengarkan baik-baik, agar kamu tahu semuanya."
Danarto memutar pembicaraannya dengan bu Sriani sejak awal kedatangannya sampai dia berpamit untuk pulang. Dengan earphone itu ia berharap para pelanggan lainnya tak mendengar percakapan yang di rekamnya.
Desy mendengarkannya dengan cermat, dan Danarto menikmati
pesanan mereka yang sudah terhidang, sesendok demi sesendok, dan sangat pelan,
sambil menunggu Desy selesai mendengar rekaman itu.
Desy terkejut. Ia tak mengira bahwa Danarto memang tak
tahu tentang perjodohan itu.
Desy melepaskan earphone itu, dan mengulurkan kembali
ponsel Danarto.
“Bagaimana ?”
“Aku bisa mengerti.”
“Kamu marah sama aku?”
“Mengapa kamu tidak mengatakan apa-apa tentang
perjodohan itu, dan membiarkan ibu dari gadis itu menelpon aku?”
“Karena aku tidak menganggap hal itu serius.
Almarhumah ibuku tidak pernah mengatakan apa-apa, dan tiba-tiba dia datang dan
mengatakan bahwa ada ikatan perjanjian antara ibuku dan dia.”
Desy menatap Danarto, dengan seribu satu permintaan
maaf, tanpa mengucapkan apapun.
“Ayo dimakan dulu selatnya,” ajak Danarto sambil
melanjutkan menyendok makanannya.
Desy tersenyum manis.
“Aku kangen sama kamu,” bisik Danarto.
“Ah …”
“Aku juga kangen itu,” kata Danarto sambil tersenyum.
Desy juga ingin mengatakan, bahwa dia juga kangen.
Tapi dia kan Desy, terlalu gengsi untuk mengatakannya. Bahkan dia juga sangat
pelit untuk mengatakan cinta. Padahal disadarinya, bahwa lelaki di depan inilah
yang dicintainya.
“Beberapa hari ini kamu membuat aku cemburu,” kata
Danarto sambil terus menatap kekasihnya.
Desy mengangkat wajahnya.
“Ayah dari anak-anak yang memanggilmu aunty, sangat
gagah dan tampan.”
“Lalu …”
“Aku takut dong.”
Desy tersenyum sangat manis. Terbayang wajah duda
keren yang anak-anaknya sangat dekat dengannya. Dia memang gagah dan tampan.
“Tapi aku yakin, aku lebih tampan dari dia,” lanjut Danarto sambil tersenyum juga.
Desy tersenyum semakin lebar.
“Katakan bahwa itu benar,” kata Danarto percaya diri,
“Ah … “
“Kok ah sih. Benar tidak?”
“Apanya?”
“Bahwa aku lebih ganteng dari dia.”
“Dikasih tahu nggak ya …” goda Desy.
Tapi Danarto senang, kekakuan diantara keduanya sudah
mencair.
“Aku akan ke rumah kamu besok, dan bicara tentang
lamaran pada bapak sama ibu.”
Desy tak menjawab. Bukan Desy namanya kalau selalu
tampak antusias mendengar sesuatu yang menyenangkannya. Ia hanya tersenyum
sambil terus menikmati selat yang dipesannya.
“Tapi aku nanti numpang ya, aku nggak bawa mobil. Tadi
Danis mengajak aku mencoba mobil barunya, dan sekarang dia kabur entah kemana.”
“Ya, nanti aku antar pulang.”
“Mampir ke rumah kita dulu ya, aku mau melihat
seberapa jauh mereka menata rumah itu, supaya kalau ada yang kurang kita bisa
membenahinya.”
“Rumah kita?”
“Rumah kita.”
“Ah …”
***
Rupanya Danis menculik Tutut untuk dibawa ke sebuah
warung bakso, karena Tutut menginginkannya.
“Suka bakso?” tanya Danis setelah memesan kepada pelayan.
“Suka sih. Jadi ingat kakak saya,” jawab Tutut yang tiba-tiba
teringat Sarman.
“Kakak? Mbak Lala? Kalau Desy seingat aku nggak begitu
suka bakso, walaupun doyan juga sih.”
“Bukan mbak Lala. Kakak sulung aku, laki-laki.”
“Kamu punya kakak laki-laki? Seingat aku nggak deh.”
“Punya dong, kakak angkat. Namanya Sarman, dia pintar
sekali.”
“O, ada kakak angkat pula rupanya. Jangan-jangan pacar
kamu?”
“Ngaco ah, kan aku sudah bilang kakak. Kakak ya kakak,
bukan pacar.”
“Dia di mana?”
“Tadinya di rumah, tapi saat ini dia sedang menyepi,
karena sedang mengerjakan skripsinya.”
“Menyepi?”
“Kalau di rumah aku gangguin,” kata Tutut sekenanya.
Sementara itu bakso pesanan mereka sudah terhidang di
meja. Juga dua gelas jus alpukat yang tampak menyegarkan.
“Hm, segar, diudara yang panas seperti ini,” katanya
sambil menyedot jus nya dengan nikmat. Danis menatapnya tersenyum. Gadis ini
semakin lama semakin menarik. Hush. Danis memarahi dirinya sendiri. Bodoh.
Menjadi duda belum resmi sudah berpaling.
“Itu dia. Mas! Mas Sarmaaan!” tiba-tiba Tutut
berteriak.
Yang dipanggil urung melangkah ke dalam, menatap Tutut
yang sedang duduk berdua dengan seorang pria ganteng.
“Sini !!”
Tak urung Sarman mendekat. Ia sudah jauh-jauh hari
menata batinnya, dan menyapu bersih segala rasa yang tidak semestinya kepada
Tutut. Aku siapa, dia siapa. Selalu itu yang dibisikkannya dalam batin, setiap
kali teringat gadis manja itu.
“Mas Sarman, duduk sini,” pintanya.
Danis berdiri, lalu menjabat tangan Sarman. Dia sudah
mendengar barusan, bahwa Sarman adalah kakak angkat Tutut. Lumayan ganteng, dan
badannya juga tegap. Untunglah Tutut mengatakan bahwa Sarman hanya kakak
angkatnya, bukan pacarnya. Kalau pacar, aduh, lebih baik Danis mundur karena
kalah gagah. Eh, pikiran apa lagi nih, batin Danis yang kesal kepada dirinya sendiri.
Sarman menyambut tangan Danis dengan hangat.
“Mas Danis ini temannya mbak Desy, dokter spesialis
penyakit dalam,” kata Tutut memperkenalkan Danis.
Sarman mengangguk.
“Lha ini, yang aku ceritakan tadi Mas, kakak aku yang
namanya Sarman.”
“Oh, iya. Panjang umur dong, baru saja dibicarakan,
terus muncul,” kata Danis.
“Aamiin.”
“Sebentar, aku pesankan satu lagi. Mau minum apa Mas?”
tanya Danis.
“Sebenarnya saya mau beli tapi dibawa pulang, buat
makan di rumah,” kata Sarman.
“Tidak apa-apa, nanti juga pesan untuk dibawa pulang,
sekarang rame-rame makan disini dulu,” kata Danis sambil melambai ke arah pelayan.
“Satu lagi mas, eh … mas Sarman mau minum apa? Jus
seperti ini?” tanyanya kemudian kepada Sarman.
“Terserah saja Mas. Dipaksa nih aku,” gumam Sarman.
“Bakso tambah satu, jus alpukat nya juga tambah satu
ya,” pesannya kepada pelayan.
“Nggak apa-apa Mas Sarman, aku juga kangen makan bakso
bersama Mas Sarman,” kata Tutut.
“Nggak nyangka bisa ketemu di sini.”
“Berarti Mas Sarman bisa merasakan apa yang aku
rasakan. Aku kangen, lalu Mas Sarman tiba-tiba ingin beli bakso disini.”
“Aku dari kampus.”
“Sudah selesai Mas?” tanya Tutut.
“Sudah. Alhamdulillah.”
“Waah, senang mendengarnya, berarti mas Sarman segera
pulang dong,” kata Tutut sambil tersenyum.
Sarman hanya mengangguk.
Lalu ketiganya berbincang hangat, sambil menikmati
baksonya.
***
“Kok pulang sendiri Des? Tutut mana?” tanya Tindy yang
sedang duduk sendirian di teras.
“Tutut tadi pergi sama Danis.”
“Lhoh, kok tiba-tiba ada nak Danis?”
“Tadi ketemu, Danis sedang bersama mas Danarto.”
“Jadi kamu juga ketemu nak Danarto bukan?”
“Iya, Desy tadi mengantarkan mas Danarto pulang juga,
karena mas Danarto tidak membawa mobil.”
“Sudah bicara?”
“Sudah.”
“Lalu … “
Desy tersenyum, lalu memeluk ibunya.
“Hei, ada apa? Hubungan kalian tidak putus bukan?”
tanya Tindy khawatir.
“Tidak Bu. Mas Danarto akan datang besok, untuk membicarakan
lamaran itu.”
“Bagus kalau begitu. Ingat, ini bukan permainan.
Segala yang sudah dibicarakan harus dipegang, jangan lagi mempermainkan
perasaan orang tua.”
“Iya Bu.”
“Ya sudah, berangkat sana, menyusul kakakmu, katanya
kangen sama Narend?” goda Tindy.
“Tidak, Desy sudah membatalkan pembuatan visa itu.
Pasti ada kali lain yang lebih baik untuk bertemu Mbak Lala dan suaminya, serta
Narend.”
“Kakakmu akan datang saat kamu menikah.”
“Benarkah?” sambut Desy gembira.
“Dia sudah menelpon ibu. Dia juga heran atas sikap
kamu. Kamu itu pemberani, galak, nggak ada yang kamu takuti. Lala bilang, dulu kamu
hampir melabrak orang yang membuat kamu kesal dan marah. Kalau tidak ada kakak
kamu, sudah pasti hal itu akan terjadi. Tapi sekarang, untuk diri kamu sendiri
kamu seperti tidak punya keberanian.”
“Maaf Bu, Desy salah.”
“Bagaimana dengan perjodohan itu?”
“Tidak ada. Ibunya gadis itu ingin menjadikan mas
Danarto menjadi menantunya, dengan segala cara. Perjanjian perjodohan itu tidak ada.”
“Tuh kan, Makanya ibu bilang, komunikasi itu perlu.
Bukan kemudian malah diem-dieman, dan menghindar. Kapan selesainya persoalan
kalau begitu itu?”
“Iya Bu.”
“Ya sudah, istirahatlah. Itu bungkusan hadiah yang
akan kamu berikan untuk kakaknya Azka besok?”
“Iya Bu.”
“Semoga dia senang. Lhah sekarang mengapa Tutut malah
belum pulang?”
***
Hesti sedang belajar di kamarnya sore itu. Ia selalu
teringat kata-kata Sarman, bahwa dia harus fokus pada kuliahnya, dan ia merasa
itu benar, daripada selalu menangisi hal yang tidak perlu. Tiba-tiba dia
terkejut mendengar ketukan di pintu, dan suara memanggilnya. Suara yang amat dikenalnya.
“Hesti … Hesti …”
Hesti membuka pintu dan tertegun, melihat ibunya
berdiri di depan pintu, dengan wajah marah.
“Ibu? Mengapa Ibu datang kemari?”
“Pertanyaan macam apa itu? Kamu tidak pernah
mengaktifkan ponsel kamu, sehingga ibu tidak bisa menghubungi kamu,” kata bu
Sriani sambil terus saja masuk, dan meletakkan tas di lantai begitu saja.
“Maaf Bu, Hesti sedang sibuk belajar. Mengapa Ibu
datang kemari?”
“Omong kosong kamu itu. Tugas kamu harus tetap kamu
jalankan. Ibu akan membantu kamu.”
“Apa yang akan Ibu lakukan? Hesti tidak ingin menjadi
isteri siapapun. Hesti akan fokus pada kuliah Hesti.”
“Kalau kamu tidak bisa menjadi isterinya, perempuan
itu juga tidak. Besok ibu akan menemuinya di rumah sakit.”
“Ibu!”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSelamat bu Nani.
Terimakasih bu Tien.
Manusang bu Tien, AA sdh tayang
ReplyDeleteSelamat Uti Nani number one.
ReplyDeleteYESSSSS......
ADUHAI AH_22, sudah tayang, siapa yang berada dalam boneka?
Yuk kita baca bersama.
Terima kasih bu Tien, Selamat malam, tetap sehat, tetap semangat, tetap menulis buat kami semua.....🙏🙏🙏
Alhamdulillah ADUHAI AH~22 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien..
ReplyDelete🙏🙏🙏
Alhamdulillah , makasih Bunda untuk cerbungnya
ReplyDeleteTak kiro libur mas Danarnya.
ReplyDeleteAlhamdulillah ternyata tidak
Matur nuwun bunda Tin sayang 😍
Alhamdulillah 2hari libur tayang skrng gasik, matur nuwun bu Tien, salam aduhai
ReplyDeleteAlhamdullilah bunda Tien AA22 sdh hadir..salam sht sll dan met rehat . .🙏😍❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah ..... sdh tayang .....maturnuwun sanget bu Tien
ReplyDeleteSemoga bu Tien sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDelete𝐖𝐚𝐝𝐮𝐡𝐡𝐡𝐡....𝐢𝐧𝐢 𝐛𝐠𝐦𝐧 𝐢𝐛𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐇𝐞𝐬𝐭𝐲 𝐤𝐨𝐤 𝐧𝐞𝐤𝐚𝐝....𝐡𝐚..𝐡𝐚.
ReplyDelete𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐮𝐭𝐤 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚..🙏🙏🙏
Alhamdulillah ... Desi & Danarto dah baikan .
ReplyDeleteSyukron Mbak Tien.🌷🌷🌷🌷🌷
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteSriani adalah tokoh yang sulit dicari bandingannya, kalau dalam kethoprak atau sandiwara panggung bayarannya besar.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Ah.... Beneran kelewatan bu Sriani itu.
ReplyDeletePasti dalam dunia nyata ada juga ya tipe Bu Sriani, yg suka menghalalkan segala cara.
😆😆😆😆😆 iihhh takut..
Bu Tien, jodohnya mbak Desy tetap mas Danar kan.... hihihihi
Kok Ibunya Hesti semakin nekat ya.....
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
“Omong kosong kamu itu. Tugas kamu harus tetap kamu jalankan. Ibu akan membantu kamu.”
ReplyDelete“Apa yang akan Ibu lakukan? Hesti tidak ingin menjadi isteri siapapun. Hesti akan fokus pada kuliah Hesti.”
“Kalau kamu tidak bisa menjadi isterinya, perempuan itu juga tidak. Besok ibu akan menemuinya di rumah sakit.”
Ibu macam apa Sriani ini...... anak perempuannya kok dijual murah....bahkan tidak ada harganya sama sekali.....
Sudah Hesti jangan hiraukan.... fokus belajar... kata b u Tien, bukan kata Sarman dalam cerita ini...... Yang ada disini semuanya karena bu Tien, bukan karena Danarto, bukan karena Danis......
Dalangnya bu Tien.
Hahaha...🤣🤣🤣
DeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 22 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terimakasih bu Tien, salam aduhai dan semoga sehat selalu.
ReplyDeleteMbak Tien piawai dalam menjaga konflik cerita...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Bu Bu sriani kayak anakmu Ki nggak laku po sampai dibela belain nggak punya malu menghalalkan segala cara....wong salah bakal kalah....tunggu aja sriani tgl mainmu bakal kisinan.. trims Bu Tien bikin greget
ReplyDeleteTeringat penilaian ibunya, sangat menguatkan kemantapan langkahnya, jadi emosikah Desy setelah apa yang dikemukakan Sriani, ditempat praktek Desy, bisa lincahkah Desy dalam mengemukakan pendapatnya,
ReplyDeleteHesti ogah ogahan nganter maknya menjadikan halangan maksud Sriani mau menemui Desy.
Harun salah mengartikan sehingga ada friksi dengan Danarto.
Bayangané umyeg di sal nya bunga, menjadikan pesta ultah yang menakutkan bagi Bunga.
Kedatangan Mak Lampir berkata kata, waduh Sriani ada kenal sama Harun kah.
Halah mung ngobor obori thok, kokèhan crigis.
Rasah macem macem, mung tukang crigis; paling paling diplekotho mênèh.
Muluk muluk bar mumpluk trus mimpês karo mbêdhêgêl.
Ih beneran Danis ngarep arep Tutut jadi teman hidupnya, kan masih kecil, ya dikarbit dulu bersabar ria, mak Tindy gimana tuh..
si Tutut
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke dua puluh dua sudah tayang,
Sehat, semangat, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
CRIGIS, Naaang
DeleteBetul ....
DeleteCriiiggiiisss....
🤫🤫
Aduh...bu.Sriani masih kekeh juga ini...🙄
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien AA22 telah tayang..
Salam ADUHAI AH...selalu pastinya.
AA dah datang ... peluk atau baca... baca deh alhamdulillah desy dah sadarcuman itu tuh ci ibunya hesty alias bu sriani sebel aku..
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSelalu bisa mengharu biru kan perasaan penggemar nya.
Salam hangat selalu. Aduhai "ah"
Alhamdulillah AA 22 telah tayang , terima kasih mbak Tien, sehat dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteAlhamdulillah AA sudah tayang, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhdulillah Desy sudah menyadari ...semoga lamaran Danarto dapat berjalan dengan lancar... hesti menyadari bahwa cinta gak bisa dipaksa...
ReplyDeleteAlhamdulillah AA sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
ReplyDeleteSalam sehat selalu....🙏😊
Ibunya Hesti nekat banget...
ReplyDeleteMoga tak ada kendala lagi ya Danar tuk ngelamar Desy
Geuleh itu sm ibunya Hesti. Smg lamaran dr Danarto g terpengaruh ..lanjut Y terus Desy jgn kepengaruh y dgn omongannya ibunya Hesti..
ReplyDeleteWeudan pemaksaan nih ibu nya Hesti. Danarto dah punya calon dan cita2nya hampir deal
ReplyDelete