ADUHAI AH 21
(Tien Kumalasari)
“Danar, kok berdiri di situ sih, masuklah,” sapa
dokter Nisa ramah.
Desy terkejut. Ia menggeser kursinya, lalu membiarkan
Danarto duduk di sampingnya.
“Kalian ini kompak sekali. Tadi Danarto bilang ingin
ketemu untuk menanyakan sakitnya Bunga, seperti juga Desy,” kata dokter Nisa,
membuat Desy tertegun. Benarkah Danarto ingin menanyakan sakitnya Bunga?
Kenapa?
“Iya Nis, aku tertarik pada anak itu. Tampaknya hanya
baby sitter dan ayahnya yang menungguinya,” kata Danarto sekenanya.
Desy menoleh ke arah Danarto, tapi Danarto pura-pura
tak melihatnya.
“Iya benar. Menurut Desy, ibunya sudah meninggal dua
tahun lalu. Desy memberi perhatian lebih karena tampaknya anak itu
butuh kasih sayang dari seorang ibu. Dan tampaknya, Desy lah yang punya pengaruh bagi
anak itu,” kata dokter Nisa sambil menatap Desy.
Desy hanya tersenyum, lalu menjawab pelan.
“Almarhumah ibunya Bunga, adalah pasien saya Dok, jadi
kami memang kenal dekat.”
“Tuh, kamu bisa menjadi ibu pengganti bagi anak-anak
itu dong?” kata dokter Nisa sambil tersenyum.
Danarto serta merta menoleh kearah Desy yang duduk di
sampingnya. Melihat bagaimana sikap Desy mendengar kata-kata dokter Nisa.
“Tidak Dok, kami hanya bersahabat,” jawab Desy pelan.
Danarto menghela napas lega.
“Jadi menurut dokter, perkembangan kesehatan Bunga
sangat baik?” tanya Desy mengalihkan pembicaraan.
“Ya, sangat baik. Itu karena kamu Desy,” kata dokter
Nisa.
“Tidak juga, saya hanya memberinya semangat, agar dia
merasa lebih tenang. Karena tak biasanya dia sakit dan harus dirawat.”
“Tentu, dan karena anak itu lebih tenang, maka lebih
gampang kami mengurusnya. Tidak seperti ketika awal datang kemari, dia
meronta-ronta sambil menjerit-jerit.”
“Baiklah, terima kasih banyak dok, saya hanya ingin
menanyakan itu,” kata Desy sambil berdiri. Danarto ikut berdiri.
“Aku juga pamit Nis, sudah jelas bagi aku. Semuanya,”
kata Danarto sambil membetulkan kursi, lalu melangkah keluar, mengikuti Desy.
Dokter Nisa menatap mereka sambil tersenyum. Berita
tentang kedekatan mereka sudah lama terdengar, walau Desy selalu menyangkalnya. Tadi dia hanya ingin menggodanya.
***
“Desy, tunggu …” pangil Danarto yang mengikuti langkah
Desy.
Desy terus melangkah, kelihatan bahwa dia memperlambat
langkahnya. Danarto sudah hampir bisa mengejarnya, ketika sebuah teriakan
terdengar.
“Aunty … Aunty …”
Sekarang Desy berhenti melangkah. Ia menoleh
ke belakang, dan dilihatnya Azka berlari kecil mengejarnya.
Danarto menghela napas kesal, karena dia juga melihat
laki-laki gagah itu mengikuti langkah anak kecil yang kemudian mendekati Desy.
Danarto berbelok ke arah lorong yang menyimpang dari
jalan semula yang ingin di lewati, hanya karena tak ingin mengganggu ke akraban
mereka.
“Aunty ..!”
Lalu Danarto melihat Desy kemudian menggendongnya.
“Dokter ternyata belum pulang?” kata laki-laki itu
yang kemudian berjalan berdampingan dengan Desy yang menggendong Azka.
“Saya baru saja menemui dokter Nisa.”
“Oh, apa kata dokter Nisa?”
“Baik. Bunga bisa sembuh lebih cepat.”
“Syukurlah.”
“Dokter bawa mobil sendiri?”
“Ya.”
“Oh, ya sudah, kalau tidak mau saya antar sekalian.”
“Terima kasih, tidak usah. Pak Harun kan harus
mengurus Bunga.”
“Ini Bunga saya tinggal bersama mbak Sri, jadi saya
pulang dengan membawa Azka.”
“Mudah-mudahan Bunga tidak rewel.”
“Mudah-mudahan tidak. Dia sudah lebih tenang.”
“Syukurlah.”
“Oh ya dokter, besok pagi itu sebenarnya hari ulang
tahun Bunga.”
“Oh ya?”
“Saya tidak sampai hati untuk tidak merayakannya. Jadi
besok saya akan merayakannya kecil-kecilan. Mungkin hanya membawa taart
kesukaan Bunga. Saya berharap dokter Nisa dan dokter Desy hadir juga, supaya
Bunga senang.”
“Baiklah, jam berapa acaranya?”
“Bukan acara apa-apa, pesanan taart saya akan siap
kira-kira jam sebelas siang, karena tadi saya pesan mendadak.”
“Baiklah, saya akan datang sekitar jam sebelas.”
“Terima kasih dokter.”
Keduanya sudah sampai di lobi. Harun meminta agar Azka
turun dari gendongan Desy, tapi Azka meronta.
“Aunty … Aunty …” teriaknya sambil merangkul leher
Desy erat sekali.
“Azka, Aunty mau pulang, besok kita ketemu lagi. Ya.”
Tapi Azka mempererat pelukannya.
“Aunty … Aunty … “ Harun memaksa Azka agar melepaskan
pelukannya, tapi Azka meronta dan menangis keras.
“Aduh, bagaimana ini?” kata Harun kebingungan.
“Azka mau ikut Aunty pulang?”
“Itut.. Aunty … “ rengeknya.
“Baiklah, Azka ikut Aunty ya,” kata Desy sambil terus
melangkah ke arah parkiran, diikuri Harun.
“Baiklah, sampai di rumah dokter ya, mungkin Azka akan
mau sesampai di sana.”
“Ya Pak. Sampai di rumah saya saja.”
Danarto mengawasi mereka dengan perasaan tak menentu.
Untuk bertemu, ada saja halangannya. Sekarang Desy malah membawa Azka ke
mobilnya.
Danarto membalikkan tubuhnya, ingin kembali ke
ruangannya, tapi tiba-tiba seseorang menabraknya.
“Hei … ini aku,” seru Danis yang sebenarnya mau mengganggu
Danarto.
“Kamu !” kesal Danarto sambil meninju dada sahabatnya
pelan.
“Ada apa? Mengapa kamu biarkan dia pergi bersama duda
itu?” ledek Danis.
“Kamu sudah tahu, siapa dia?”
“Sudah tahu. Dia pernah menjadi pasien aku setelah
isterinya meninggal. Kasihan. Tapi dia sangat setia. Sudah dua tahun belum juga
mau menikah lagi.”
“Sekarang dia mendekati Desy.”
Danis tertawa.
“Anak-anaknya sangat dekat dengan Desy. Kamu takut?”
“Entahlah, aku baru mau bicara sama dia, ada-ada saja
halangannya.”
“Kamu kesal?”
“Kesal dong. Permasalahanku sama Desy belum selesai.
Dia harus tahu tentang Hesti yang bukan siapa-siapa aku.”
“Masih ada waktu, datang saja ke rumahnya, beres kan?”
“Dia membawa anak kecil itu, pasti ke rumahnya. Mana
bisa aku bicara?”
“Sabar dong Dan. Sebuah cinta perlu diperjuangkan. Dan
perjuangan juga perlu kesabaran. Tapi harus cekatan juga sih, jangan sampai
duda ganteng merebut calon isteri kamu.”
“Aku juga ganteng kan?”
“Iya aku tahu. Tapi Desy kan bisa menilai. Mana yang
lebih gigih mengejar cintanya.”
“Kamu menakuti aku saja.”
“Bukan menakuti. Hal itu harus kamu pikirkan. Masalah
cekatan itu tadi lhoh. Kalau kamu kalah cepat, ya rasakan akibatnya. Jadilah
bujang lapuk.”
“Eh, nyumpahin aku ya?”
Keduanya tertawa, lalu berpisah ketika harus memasuki
ruangan masing-masing.
***
“Desy ? Itu anak yang kamu bawa tiga hari yang lalu,
bukan?” tanya Tindy heran.
“Iya Bu, ini ikut ayahnya nggak mau, malah minta ikut
Desy.”
“Aunty …”
“Iya sayang, nungguin papi di depan ya,” kata Desy
kemudian mengajak Azka duduk di teras. Tindy mengikutinya.
“Yang sakit bukan ini kan?”
“Bukan Bu, kakaknya. Sekarang masih dirawat.”
“Ibunya kemana? Mengapa ikut kamu?”
“Ibunya meninggal ketika anak ini dilahirkan.”
“Ya Tuhan,” kata Tindy sambil mengelus kapala Azka.
“Sudah bisa ngomong? Namamu siapa Nak?”
“Azka, ditanya sama eyang tuh, namamu siapa?”
Tapi Azka hanya menatapnya.
“Tidak mudah anak kecil mengenal orang asing.”
“Nanti kalau ayahnya sudah menjemput, Desy mau cerita
banyak tentang anak ini.”
Tindy mengangguk, lalu masuk ke dalam. Ketika keluar,
Tindy membawa toples berisi biskuit marie.
“Sayang, mau ini ?”
Azka menatapnya, lalu menatap Desy.
“Aunty …”
“Mau? Baiklah.”
Desy mengambilkan sebuah biskuit, dan diterima Azka.
“Makanlah sayang.”
Azka memakannya.
Lalu mobil Harun sudah memasuki halaman.
“Itu papi datang,” seru Desy.
Azka segera melihat ke arah mobil.
“Papi….” teriaknya.
Tindy yang masih berdiri di teras tak jadi masuk.
Harun turun dari mobil dan berjalan ke arah teras.
“Selamat siang, Ibu,” kata Harun sambil mendekat, lalu
mencium tangan Tindy.
“Selamat siang Nak, silakan duduk,” sambut Tindy
ramah.
“Saya hanya akan menjemput Azka.”
“Oh iya, putranya lucu.”
“Dia sangat dekat dengan dokter Desy. Ayo sayang, kita
pulang,” kata Harun yang segera meminta Azka dari gendongan Desy.
“Mau langsung pulang?” tanya Desy.
“Iya Dok, ada yang harus saya kerjakan. Ayo Azka, beri
salam sama Aunty.”
Azka menyalami tangan Desy, dan juga Tindy. Tapi
ketika ayahnya mengajak pergi, Azka berteriak-teriak.
“Aunty … Aunty…”
Harun menepuk-nepuk punggungnya, lalu menaikkannya ke
atas mobil.
Ketika mobil itu berlalu, Desy masih termangu di
halaman.
“Kasihan, kalau anaknya rewel di dalam mobil
bagaimana?” kata Tindy.
Desy naik ke teras, lalu mengikuti ibunya masuk ke
dalam rumah.
***
“Kamu tidak ketemu nak Danarto?” tanya Tindy ketika
mereka sedang bersantai di ruang tengah.
“Ketemu.”
“Sudah bicara ?”
“Tidak sempat bicara Bu.”
“Mengapa tidak sempat?”
“Desy sibuk karena anak-anak rewel, setelah mau pulang
dan tampaknya mas Danarto mau bicara, yang kecil gantian rewel.”
“Ya ampun.”
“Pasti ada kali lain yang lebih baik.”
“Kamu menganggap enteng masalah kamu sendiri. Bagi
bapak sama ibu, ini hal yang sangat penting untuk dibicarakan,” sesal Tindy.
“Nanti Desy akan bicara. Mungkin mas Danarto lebih memilih pilihan orang tuanya, siapa tahu.”
“Mengapa kamu mengira begitu? Ibu yakin dia sangat
mencintai kamu.”
“Kami belum bicara Bu.”
“Sepertinya kamu menganggap enteng permasalahan ini.
Apa kamu tertarik pada ayahnya Azka?”
Desy terkejut mendengar pertanyaan itu.
“Mengapa ibu mengira begitu?”
“Kamu dekat dengan anak-anaknya. Bahkan kamu
membatalkan niat kamu ketemu kakak kamu karena anak itu.”
“Desy hanya kasihan, tak ada maksud lain. Pak Harun
juga masih sangat mencintai isterinya, walau dua tahun sudah berlalu.”
“Melihat sikapnya tadi, ibu merasa khawatir. Bukan
apa-apa sebenarnya, terserah kamu mau memilih yang mana, tapi nak Danarto sudah
bersiap melamar kamu.”
“Ibu jangan mengira Desy akan memilih salah satu
diantaranya. Tidak. Tak mudah bagi Desy untuk tertarik kepada seseorang.”
“Kamu masih mencintai nak Danarto bukan?”
“Desy belum melupakannya Bu, tapi kan ada kendala yang
masih belum terurai.”
“Hati kamu juga susah terurai,” sergah Tindy.
“Tidak Bu, pasti ada waktunya nanti.”
“Mbak Desy mau mengajak aku ke mana?” tiba-tiba Tutut
muncul dan duduk di samping kakaknya, sudah berpakaian rapi.
“Anak ini senang sekali kalau diajak jalan, aku belum
dandan dianya sudah rapi,” kata Desy sambil berdiri.
“Mau kemana? Tanya Tindy.
“Hanya mau beli kado buat Bunga Bu, besok dia ulang
tahun,” kata Desy sambil berlalu.
“Siapa Bunga?”
“Itu Bu, anak kecil yang dirawat.”
“Ooh, jadi besok dia ulang tahun?”
“Mbak Desy sangat perhatian pada mereka.”
“Iya, tadi yang kecil rewel ketika ayahnya mengajak
pulang.”
“Jangan-jangan mbak Desy mau dijadikan ibu dari
anak-anak itu,” gumam Tutut.
“Eeeh, jangan ngegosip, ayo berangkat,” kata Desy yang
sudah berganti pakaian. Tutut hanya tertawa mendengar omelan kakaknya.
“Pergi dulu Bu, Pak,” pamit Desy kepada ibunya, dan
juga ayahnya yang sedari tadi asyik menonton televisi dan tak mengucapkan
apapun ketika Tindy berbincang dengan anaknya.
***
“Apakah dia belum sembuh?” tanya Tutut ketika dalam
perjalanan.
“Belum bisa dikatakan sembuh, walau keadaannya semakin
membaik.”
“Kasihan ya, pesta ulang tahun di rumah sakit.”
“Ayahnya yang ingin merayakannya, karena bocah itu
ingat kalau besok hari ulang tahunnya.”
“Mbak mau beli apa nanti, untuk hadiah?”
“Kalau anak perempuan, pastinya boneka kan?”
“Setuju, jangankan anak, aku saja yang sudah tua juga
masih suka boneka. Jadi aku nanti juga mau dong dibelikan.”
“Kamu? Masih mau? Boneka kamu sudah ada satu almari
penuh.”
“Tapi kan aku masih suka. Barangkali nanti ada yang
lucu.”
“Semoga nggak ada yang lucu,” gerutu Desy.
Tutut tertawa.
“Pasti ada lah, boneka itu semuanya lucu.”
Desy menghentikan mobilnya di sebuah toko mainan.
Tutut sangat antusias masuk ke dalam. Desy hanya geleng-geleng kepala. Mereka
tak sadar ketika sepasang mata mengawasi mereka dari kejauhan.
“Mbak, itu Mbak, lucu banget … beruang yang putih itu
Mbak.”
“Besar sekali. Bunga kan masih kecil, mana kuat
menggendongnya.”
“Bukan Bunga, tapi aku.”
“Eeeh, kamu tuh. Niatnya cari kado buat Bunga, kamu
malah memilih untuk diri kamu sendiri.”
“Iya, nanti aku pilihkan untuk Bunga,” kata Tutut yang
masih terus menerus melihat-lihat boneka yang dipajang.
“Ini buat Bunga, Mbak.”
“Mana?”
“Ini, kura-kura lucu.”
“Nggak ah, jelek. Bagaimana kalau ini? Boneka yang
bisa bicara.”
“O iya, itu bagus. Baiklah, terserah Mbak, aku tetap
minta beruang putih yang tadi.”
“Tutut!”
Tutut hanya tertawa, ia kemudian bergegas menghampiri
boneka yang sejak awal dipilihnya. Tapi Tutut terkejut, ketika boneka itu sudah
dipilih orang.
“Yaaah, Mbak Desy sih, tadi nggak diijinin, sekarang
sudah diambil orang deh,” omel Tutut dengan mulut cemberut.
Tapi Tutut terkejut, ketika dia membalikkan badan, beruang
putih yang tadi dipilihnya tiba-tiba sudah ada didepannya.
Tutut berteriak, karena boneka itu kemudian
memeluknya. Pasti ada yang melakukannya dong.
***
Besok lagi ya
AA
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteSelamat uti Nani juara 1
DeleteAduhai ....Ah eps 21
Alhamdulillah sdh tayang.
Matur nuwun bu Tien, salam sehat.
Selamat malming beserta AMANCU.
Selamat bu Nuraini juara
DeleteMenang nih j. Nani. Bu Tien, kasihan Danarto
DeleteYess.. Tks bu Tien..
ReplyDeleteSelamat mbak Nani jawaranya
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien.. salam Aduhaaai ❤️😘
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteMasih ruwet masalahnya, belum ada jawaban pasti Desy .
Kemana saja Sarman... tidak ada beritanya.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien salam sehat selalu..
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh hadir
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillaah AA tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga sehat selalu.
Alhamdulillah ADUHAI-AH 21 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhmdllh... yg dtunggu sdh hadir.... trmkasih, sht sllu...
ReplyDeleteTerima kasih.
ReplyDeleteSpt nya dr. Danis yg membelikan beruang
ReplyDeleteputih..pdkt...🤗
Pasti danis yg pegang beruang Putih. Terima Kasih mbak Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah AA21 telah tayang , terima kasih mbak Tien, tambah sehat dan bahagia bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteAntara Harun dan Danarto...ADUHAI AH 🥰
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien ...🙏
Aduh yg bawa boneka beruang dokter Danis kah atau sarmankah bikin penasaran....trims Bu Tien sudah menghibur
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien AA 21 sudah tayang. Salam seroja.
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 21 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Mulai jail, dengan bekal pengalaman yang dipunyai mudah saja meraih tujuannya bener bener trampil membuat kejutan; statusnya kan dupan, itu yang dimaksud cekatan kali ya..
ReplyDeleteDengan mudah menarik perhatian Tutut.
Tinggal siapa yang butuh aja, pasti kalau punya tujuan ya dikejar, tuh emak Tindy sudah mulai resah lihat sikap Desy seakan mengerdilkan masalah, ok kalau masalah menjaga diri dan menemukan rival yah tentu niat bertahan donk, ih, melow bangêt seeh, lagian belum jelas juga kan, trus gimana kalau rasa asih mu disentuh dengan rèngèkan bocah lucu yang menggemaskan, ya sudah sana Des ambil tuh dupan; langsung nyungsep dapur dèh.
Cari hadiah aja sudah di kuntit dupan yang ngincar adekmu.
Tapi terserahlah, emakmu juga hanya bisa nyaranin aja, bukankah saling mengenal keberduaan lebih di utamakan, bukan temuan temuan rasa yang menjadi kembang yang hanya sesaat senang yang di dahulukan.
Masalah perjodohan? Bertemu Danar saran emak Tindy, dan bicarakan lah.
Nggak tahu kali ini Sarman pergi kemana, nganter Hesti ke kost, jadi ngerti sekarang Hesti ada simpati sama Sarman, sengaja mau ketemu dan bicara.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke dua puluh satu sudah tayang.
Sehat, semangat, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta.
🙏
Alhamdulillah ADUHAI AH~21 sudah hadir, maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteWah jangan2 danarto tidak bisa memiliki desy seperti cerbung bukan milikku, kasihan danarto
ReplyDeleteSalem(Boston), May 14th, 2022
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien tayangannya seri ke 21! Saya sudah membacanya pagi ini! Salam sehat dan jangan lupa bahagia bunda Tien dan para sahabat PCTK dimana saja berada!
𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐞𝐩𝐬 21 𝐬𝐝𝐡 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠...🙏
ReplyDelete𝐒𝐞𝐦𝐨𝐠𝐚 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 ...𝐀𝐚𝐦𝐢𝐢𝐧 𝐘𝐑𝐀.🙏🙏🙏
Matur nuwun, bu Tien. Salam ADUHAI
ReplyDeleteSiapa yaa,...
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Ceritanya seru...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah...dan terimakasih ya bu Tien .aduhai sapa ya masa Danis seh
ReplyDeleteAlhamdulillah, Matur nuwun bu Tien untuk ADUHAAII Ah ,pancen Aduhaaii
ReplyDeleteDanarto piye,,Ayo semangat mumpung blm diambil Harun.hehe
Salam Sehat wal'afiat semua bu Tien 🤗💖
Matur nuwun Bu Tien...ADUHAI nya
ReplyDeleteTerima ksih bunda Tien AA 21 nya..slmt berhari minggu bersama keluarga..slm seroja dan tetap aduhai dri sukabumi🙏 🥰
ReplyDeleteHallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....