ADUHAI AH 20
(Tien Kumalasari)
Melihat mata Danarto terbelalak, mbak Sri tersenyum
senang, merasa tak berdosa. Iyalah, masa punya harapan kok berdosa? Mana tahu
dia bagaimana perasaan Danarto mendengar apa yang diucapkannya.
Tiba-tiba terdengar rengekan.
“Aunty … Aunty …”
Mbak Sri bergegas mendekati dimana Bunga berbaring.
“Mana Aunty … mana Aunty… aku mau Aunty …”
“Sayang, ini mbak Sri … “ bujuk mbak Sri sambil
memegang sebelah tangan Bunga.
“Aku nggak mau mbak Sri … aku mau Aunty …”
“Dengar ya, cantik … Aunty lagi pulang sebentar saja,
nanti pasti kembali lagi kemari. Ya, Bunga minta apa? Minum? Mau roti ?”
“Mau Aunty … “ Bunga berteriak. Mbak Sri mulai panik.
“Aduh, bagaimana ini … “
Danarto menatap adegan itu dengan perasaan tak
menentu. Ada seorang anak yang ingin selalu dekat dengan Desy. Apakah dia harus
berteriak mengatakan bahwa Desy adalah miliknya? Kecintaannya? Calon isterinya?
Mbak Sri mengambil ponsel, kemudian menelpon
majikannya.
“Ya Pak, ini saya… iya … bangun dan berteriak-teriak
memanggil ibu dokter … saya sudah bilang bahwa Aunty baru pulang, nanti pasti
kembali, tapi dia tetap saja menangis. Bapak masih bersama bu dokter? Tolong
kembali sebentar Pak, hanya bu dokter yang bisa menghentikannya. Baiklah Pak.”
Danarto mendekati ranjang Bunga, mengelus kepalanya
lembut.
“Anak baik, jangan menangis ya …”
“Aunty … aku mau Aunty … “ rengeknya keras. Danarto
merasa iba. Anak kecil ini merindukan kasih sayang seorang ibu. Apakah itu
didapatkannya dari Desy? Aduhai …
“Sayang, Aunty mau datang kemari, berhentilah
menangis, ya.”
Mendengar hal itu tangis Bunga berhenti.
“Aunty mau kemari?”
“Iya, asalkan Bunga tidak menangis.”
“Aku tidak menangis,” katanya sambil mengusap air
matanya dengan sebelah telapak tangannya.
Danarto mengambil tissue dan membantu mengelap sisa
air mata itu. Bunga menatapnya lekat karena belum pernah melihat sebelumnya.
“Mbak, ini siapa?” Bunga bertanya kepada mbak Sri.
“Itu pak dokter juga, temannya Aunty,” jawab mbak Sri.
“Temannya Aunty? Bukan temannya papi?”
“Aku juga temannya papi. Nggak boleh menangis lagi ya,”
kata Danarto yang kemudian membalikkan tubuhnya.
“Dokter mau kemana?”
“Dokter Desy akan segera datang. Aku pergi dulu,” kata
Danarto sambil melangkah keluar dari ruangan.
Lalu rengekan yang lain terdengar.
“Papiiii … Aunty …”
Mbak Sri segera berlari menghampiri Azka.
Danarto menghela napas. Dua anak kecil begitu menyukai
Desy.
Ia membuka pintu dan menutupnya pelan.
Ia melangkah dengan perasaan tak menentu. Haruskah dia
cemburu karena Desy disayangi gadis kecil itu dan juga adiknya? Tapi bagaimana
kalau ayah dari gadis kecil itu juga menyayanginya? Sedangkan mbak Sri sang baby
sitter saja juga punya harapan agar Desy bisa menjadi ibu dari anak itu.
Bagaimana sikap Desy menghadapi semua itu?
Tiba-tiba Danarto melihat dua orang bergegas masuk.
Danarto berbelok ke arah lorong yang lain untuk menghindari mereka. Itu Desy
dan laki-laki gagah yang pastinya ayah dari kedua anak tadi.
Dada Danarto serasa tersengat aliran listrik. Ia
menyandarkan tubuhnya di tembok, dan mengatur napasnya yang terengah-engah.
“Dokter Danarto?”
Danarto terkejut. Seorang perawat lewat dan
menyapanya.
“Oh, eh … iya.”
“Dokter kenapa?”
“Tidak … tidak apa-apa, tadi … tadi … hampir menabrak
orang.”
“Oh. Maaf dokter,” perawat itu berlalu.
Danarto melanjutkan langkahnya, menuju ke arah parkiran.
***
Desy memang diminta untuk kembali oleh Harun, dengan
kata-kata memelas dan penuh permohonan.
“Tolonglah Dok, hanya saat Bunga sakit. Agar
pengobatannya bisa maksimal. Kalau tidak sedang sakit dia gampang dibujuk,”
katanya yang meruntuhkan hati Desy.
Itu sebabnya Desy bersedia kembali ke rumah sakit.
Bunga tampak gembira melihat Desy.
“Aunty … mengapa pergi?”
“Iya sayang, Aunty mau pulang sebentar saja. Mengapa
menangis?”
“Aku mau Aunty di sini.”
“Sayang, Aunty harus pulang untuk beristirahat. Kalau
Aunty kecapekan, bisa sakit. Kalau sakit, tidak akan bisa datang menemui Bunga,”
bujuk Harun lembut.
“Benarkah?”
“Iya sayang. Aunty tidak bisa terus menerus di sini.
Kadang-kadang harus pulang juga.”
“Nanti kembali lagi?”
“Iya, pasti sayang.”
“Tadi ada om dokter,” kata Bunga.
“Om dokter?” tanya Desy heran. Dokter yang menangani
Bunga adalah dokter Nisa, spesialis anak.
“Dia itu temannya Aunty.”
“Oh ya?”
“Dia temannya papi juga.”
“Siapa ya? Siapa Sri?” tanya Harun kepada mbak Sri.
“Itu … namanya … eh … siapa tadi ya .. pakai To … To..
eh Narto apa siapa tadi, Sri kurang memperhatikan. Tapi dia baik, membujuk
Bunga, mengusap air matanya. Dia tuh ganteng banget,” kata Sri tanpa malu-malu,
sambil menggendong Azka yang kembali tidur.
“Dokter Narto? Danarto ?” tanya Desy.
“Na, sepertinya itu bu dokter, dokternya masih muda,
ganteng banget.”
Desy berdebar. Danarto datang kemari? Mengapa tidak
menunggu dia datang? Tuh kan, rupanya Desy ingin juga ketemu pria yang
sesungguhnya amat dicintainya.
“Tapi tadi tuh begitu saya bilang dokter akan segera
datang, lalu dia pergi. Barangkali sungkan, soalnya Bunga bukan pasiennya.
Barangkali lho.”
“Itu temannya Aunty, sama papi …”
“Iya,” senyum Desy sambil memegang kepala Bunga.
“Masih panaskah, Dokter?”
“Tidak, sudah lebih baik. Besok saya akan menemui
dokter Nisa untuk menanyakan perkembangan kesembuhannya. Baru sehari di sini,
tidak apa-apa. Kita harus menjaganya.”
“Terima kasih Dokter, dan sungguh saya minta maaf
karena telah mengganggu dokter, padahal dokter kan sebenarnya sedang cuti?”
kata Harun penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa, yang penting Bunga tidak rewel dan
selalu patuh.”
“Padahal dia hanya patuh sama Dokter Desy.”
“Saya akan sering menjenguknya.”
“Aunty jangan pergi.”
“Sayang, seperti tadi papi bilang, Aunty kadang-kadang
juga harus beristirahat. Tapi Aunty janji, akan sering datang kemari.”
“Benar?”
“Tentu saja benar, sayang. Tapi Bunga harus janji,
tidak boleh rewel, dan harus menurut apa yang dikatakan dokter, harus minum dan
makan. Kalau Bunga tidak mau menurut, Aunty tidak akan datang kemari,” kata
Desy lembut sambil terus mengusap kepala Bunga.
“Bunga menurut.”
“Tidak boleh nangis? Tidak boleh rewel?”
Bunga mengangguk.
Desy meninggalkan Bunga ketika anak kecil itu sudah
merasa tenang dan bersedia
ditinggalkannya.
***
Begitu sampai di rumah, ayah dan ibunya langsung
bertanya.
“Tadi ketemu Danarto kan?” ayahnya yang lebih dulu
bertanya.
“Ketemu lah, kan dia juga pergi ke rumah sakit?”
sambung ibunya.
“Tidak, Desy tidak ketemu.”
“Tidak? Apa dia tidak jadi ke rumah sakit?”
“Entahlah Pak, dia tidak menemui Desy,” kata Desy
sambil langsung masuk ke dalam.
“Anak itu seperti tak peduli,” gerutu Tindy.
“Kasihan Danarto. Mungkin dia kesal dan enggan
menemuinya.”
“Nanti Bapak kasih tahu lagi dia, supaya dia mengerti.”
“Pastinya dia mengerti. Masa anak sebesar itu tidak
mengerti apa yang dikatakan orang tuanya?”
Tindy menghela napas.
“Anak itu sangat kaku dalam berpikir,” keluh Tindy.
“Semoga pada saatnya nanti dia bisa mengendalikan
perasaannya sendiri. Aku yakin dia sebenarnya suka sama Danarto.”
“Aku juga berpikir begitu.”
“Apa dia jadi akan berangkat menyusul kakaknya?”
“Entahlah, tampaknya menunggu visa jadi.”
“Sebaiknya kamu bilang juga sama Lala tentang adiknya.
Biasanya Desy mau mendengarkan kata-kata kakaknya.”
“Aku sudah pernah omong-omong sama Lala. Katanya juga
mau bicara sendiri sama Desy. Mungkin dia sibuk dan belum sempat, entahlah.”
“Semoga yang terbaik untuk anak-anak kita.”
“Aamiin.”
***
“Katanya lapar, kok cuma sedikit makannya?” tanya
Sarman ketika menemani makan Hesti di warung depan kampus.
“Ini, sudah habis satu mangkuk,” kata Hesti sambil
menunjukkan mangkuknya yang sudah kosong.
“Kalau lapar kan harusnya habis beberapa mangkuk,
gitu.”
“Aduh, mana muat. Lagian aku nggak bisa makan banyak.
Takut gendut.”
Sarman tertawa.
“Kebanyakan wanita takut gendut ya? Aku tuh makan
banyak tapi nggak pernah bisa gendut lhoh.”
“Tapi kekar,” kata Hesti yang tak sengaja memuji.
“Maksud kamu, aku gagah kan?” canda Sarman.
“Iih … “
“Kan kamu sendiri yang bilang.”
“Sebenarnya aku tuh lagi sedih banget.”
“Aku tahu, karena kamu jelas tidak bisa merebut mas
Danarto kan?”
“Bukan cuma itu …”
“Apa lagi? Kalau kamu suka kepada seseorang, dilihat
dulu situasinya, jangan asal suka. Jangan-jangan kamu suka kepada pria yang
sudah punya istri juga.”
“Yeee … ya enggak. Aku tuh belum selesai ceritanya.
Suka banget marah-marahin aku sih.”
“Kamu itu masih anak-anak. Jalan pikiran kamu masih
seperti bocah. Bocah itu kalau ingin mainan, dia merengek sampai mainan itu
didapat.”
“Enak aja. Aku bukan anak-anak, aku sudah mahasiswa.”
“Mahasiswa yang masih kanak-kanak. Paling tidak cara
kamu berpikir. Belajarlah menjadi dewasa.”
“Aduuh. Aku belum selesai mengeluhnya.”
“Ya sudah, katakan ada apa lagi.”
“Aku sudah putuskan, tidak akan lagi mengejar mas
Danarto.”
“Tuh bagus.”
“Tapi ibuku itu Mas, menuntut terus supaya aku bisa
menjadi isterinya.”
“Kalau begitu ibu kamu yang tidak punya pikiran
dewasa. Mengejar sesuatu yang tak mungkin, bahkan mengorbankan anaknya.”
“Aku sedih Mas, setiap hari di telpon. Aku sudah tidak
mau lagi melakukannya. Aku sudah kehilangan muka nih.”
“Lhah, muka kamu ditaruh di mana kok bisa ilang?”
“Mas Sarman bercanda deh. Aku benar-benar sedih nih.”
“Tidak usah sedih. Bilang sama ibu kamu, bahwa kamu
tidak suka dia, titik.”
“Enaknya, titik.”
Lalu ponsel, Hesti benar-benar berdering, dari ibunya.
Mau tak mau Hesti mengangkatnya.
“Ya Bu.”
“Kamu di mana?”
“Lagi makan sama mas Sarman,” jawab Hesti kelepasan
bicara.
“Apa? Sarman siapa? Kamu jangan asal dekat sama laki-laki.
Melihat namanya saja ibu sudah tahu bahwa dia laki-laki tidak berkelas.”
“Ibu jangan bilang begitu. Dia senior Hesti, sudah
hampir lulus dia.”
“Ibu tidak percaya. Kamu itu kan gampang dibodohi.
Bagaimana dengan Danarto?”
“Ibu, aku sudah lelah. Nanti saja ibu telpon ya, ini
lagi di warung dan banyak orang,” kata Hesti lalu menutup ponselnya. Kemudian
ia mematikannya supaya ibunya tidak bisa menelponnya lagi.
Sarman menatap Hesti yang menampakkan wajah memelas.
Bahkan ada air mata mengambang di pelupuknya.
“Aku sudah bilang bahwa aku lelah. Ibu terus saja
memarahi aku.”
“Teruslah bilang lelah, dan fokus pada kuliah kamu.
Nanti kamu akan bisa melupakannya,” kata Sarman yang merasa kasihan pada Hesti.
“Aku sudah mematikan ponsel aku, supaya ibu tidak
menelpon lagi.”
“Baiklah. Sekarang jangan sedih lagi ya, ingat pesan
aku, fokus pada kuliah kamu.”
Hesti mengangguk pelan. Ia selalu merasa nyaman
di dekat Sarman. Ia juga kesal ibunya mengatakan bahwa Sarman tidak berkelas.
Sarman adalah laki-laki terbaik yang pernah dikenalnya. Menurutnya, Sarman adalah
luar biasa.
***
“Mbak Desy membatalkan niat pergi hanya karena gadis
kecil itu?”
“Aku kasihan sama dia. Kalau aku tidak ada, dia tak
akan mau dirawat, apalagi sampai diinfus yang terkadang juga merasakan sakit
ketika disuntikkan cairan obat ke dalamnya.
“Gadis kecil itu luar biasa. Jangan-jangan ayahnya
yang menarik hati mbak Desy.”
“Hush! Sembarangan.”
“Seorang laki-laki, punya dua orang anak, yang besar
baru berumur lima tahun kurang, pastilah dia masih muda. Ibu bilang, ayah anak
itu gagah dan cakep.”
“Apa hubungannya?”
“Barangkali Mbak suka.”
“Ngawur.”
“Kalau si anak sangat dekat dengan Mbak, bisa-bisa
ayahnya berharap begitu lhoh.”
“Begitu bagaimana?”
“Ingin menjadikan Mbak sebagai ibu pengganti anak-anak
itu. Susah lho, anak kecil bisa cocok dengan seseorang, apalagi kalau dia harus
disebut ibu.”
“Sok tahu kamu.”
“Itu benar.”
“Aku tidak pernah mimpi menjadi isteri seorang duda.”
“Memangnya kenapa? Duda kalau keren, baik…”
“Jangan-jangan kamu sendiri yang tertarik sama duda.”
Tutut terbahak keras sekali.
“Hih, anak gadis tertawanya ngakak begitu. Kalau ibu
mendengar bisa dijewer kuping kamu.”
“Habis Mbak nuduhnya lucu. Awas lho, ucapan adalah doa.
Memangnya Mbak suka punya ipar seorang duda?”
“Nggak tahu ah, kamu ngomongnya ngelantur. Aku mau tidur
sekarang.”
“Besok pagi ke rumah sakit lagi?”
“Aku sudah janji.”
“Aku ikut ya?”
“Ikut?”
“Pengin melihat gadis kecil itu.”
“Gadis kecil itu, apa ayahnya?”
“Yeee, Mbak Desy tuh, nuduhnya kebangetan deh.”
Desy tak menjawab. Ia memejamkan matanya sambil
memeluk guling. Tapi sebenarnya hatinya sedang bertanya-tanya sepanjang sore
ini. Mengapa Danarto tidak menemuinya?
***
Agak siang Desy datang ke rumah sakit, lalu menghibur
Bunga dengan dongeng dan bujukan-bujukan manis agar Bunga tidak rewel. Harun
senang karena kedatangan Desy bisa membuat Bunga tidak terlalu rewel.
Setelah itu Desy pergi ke ruangan dokter Nisa, yang
menangani sakitnya Bunga.
“Aku dengar kamu lagi cuti Des?”
“Iya Dok. Memang lagi cuti.”
“Demi Bunga kamu rela datang ke rumah sakit setiap
hari.”
“Kasihan anak itu.”
“Aku dengar Bunga sangat susah, tapi dia sangat
menurut sama kamu. Dan syukurlah, kesehatannya membaik, walau baru dua hari
dirawat.”
“Sebenarnya dia butuh seorang ibu.”
“Nah, kamu sangat disukai oleh dia, jangan-jangan
diharapkan kamu bisa menjadi ibunya Bunga.”
“Saya … “
Saat itulah Danarto sudah berdiri di tengah pintu
ruangan dokter Nisa yang memang terbuka.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Terimakasih bunda Tien.. salam sehat fan tetap Aduhaaai ❤️๐๐
DeleteYesssss.... !!!
DeleteTayang sudah ADUHAI...AH eps 20
Bgmn kelanjutan Desy & Danarto, Danis & Tutut, Sarman & Hesti, yuk kita ikuti bersama.
Terima kasih bu Tien, salam ADUHAI....
Horai om kakek juara. Bu Tien....bikin penisirin aja.... Ah
DeleteMantap
ReplyDeleteSelamat kakek Habi juara1
ReplyDeleteManusang jeng Wiwik
DeleteJuara nya kakek Habi
ReplyDeleteIya.....gara2 yang biasa ngemeste HPne ngadat trus telepon aku.
DeleteDadi aku sing nulis Em Es Te
Trimakasih bu Tien.... semoga bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteHatur nuhun Bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Horeee...aduhai...aah...telah tayang...suwun bunda Tien..
ReplyDeleteAsyiik AA 20 sdh tayang..mksih bunda Tien..slm sht sll dan tetap aduhai dri sukabumi ๐๐ฅฐ๐น
ReplyDeleteMatur nuwun mbakyu Tienkumalasari salam sayang n aduhaai dari kebon Lampung
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 20 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 20 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Ah..... Aku ngga rela, klo mbak Desy berjodoh dgn pak Harun.
ReplyDeleteMas Danar, sabaaaarrrr yaa, klo jodoh ngga akan kemana.
Makin gemessiinn ceritanya...
Sehat selalu Bu Tien, salam dari Bandung.
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda ...
Salam sehat & aduhaiii
Terimakasih bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteNah lo.........
ReplyDelete“Nah, kamu sangat disukai oleh dia, jangan-jangan diharapkan kamu bisa menjadi ibunya Bunga.”
“Saya … “
Saat itulah Danarto sudah berdiri di tengah pintu ruangan dokter Nisa yang memang terbuka.
Tambah sakit, hati Danarto....... sudah dua orang pendukung agar Desy jadi ibunnya Bunga dan Azka, yaitu baby sitter dan dr. Nisa....
Lanjoooooottttt
Menyimak dan penasaran terus.......
Haduh mba Tien senang banget bikin penggemarnya penasaran.
ReplyDeleteMakasih mba Tien .
Salam sehat selalu
Mbak Tien memang luar biasa...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Terima kasih bunda Tien, alam sehat selalu dan Aduhai Ah...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tienq yang makin ADUHAI
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulillah...
ReplyDeleteBarokallahu fiik, mba' Tien...
Sehat wal'afiat jasmani dan rohani selalu bersama keluarga.
Aamiin Yaa Rabbal'aalamiin...
๐๐ฅ๐ก๐๐ฆ๐๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฅ๐ฅ๐๐ก ...๐ฌ๐๐ฅ๐๐ฆ ๐ฌ๐๐ก๐๐ญ ๐ฎ๐ญ๐ค ๐๐ฎ ๐๐ข๐๐ง ๐๐๐ง ๐ค๐๐ฅ๐ฎ๐๐ซ๐ ๐.๐๐๐
ReplyDeleteMulai ngintip ngintip tokoh tokoh dupan.
ReplyDeleteKaya apa orangnya, bisa bisanya emak Tindy berkomentar begitu, itu yang ada di angan Tutut.
Lha itu dr Nisa bilang sangat susah mencari pengganti ibu yang bisa dan dipercaya bisa mendampingi anak-anak kalau anak-anak itu sendiri tidak suka.
ADUHAI
Hayo Desy pilih mana;
Yang harus pakai masa percobaan ..
Apa yang langsung on the road, bingung mengambil sikap kan.
Apalagi kalau Danarto mbumboni sok legawa;
"Iya, kasihan anaknya, anak baik menyenangkan, tapi tadi aku bilang nurut kok anaknya nggak rewel lagi".
Hรฅrรฅtรฅ Danarto sudah ngrasakakรฉ mbedรชdรชg di entรจni jawaban, nggak segera njawab, ngambang terus; putus, apa nyambung.
Nah lho ada pilihan.
Tinggal pilih yang mana.
Lihat Danarto disitulah juga, Desy malah bengong, dengan harap harap cemas, betul ada perjodohan nggak ya..
Ingat semalem digodain Tutut.
Kalau Hesti kan; Sarman is the best.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH , yang ke dua puluh sudah tayang,
Sehat, semangat sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Trims Bu Tien AA udah hadir
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien .ayo tuh Dr Danarto dah dtg menunggu cinta tdk akan lekang oleh waktu๐๐๐คฒ๐๐๐
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteKapan ya Danarto bisa ketemu Desy, sulit amat, padahal momen ini saya harap segera terwujud. Saya menunggu dgn sabar mbak Tien, maturnuwin...
ReplyDeleteHebat mbak Tien, membuat Saya senyum² sendiri waktu Baca.
ReplyDeleteTerima Kasih mbak Tien. Didoakan, semoga mbak Tien sehat² selalu.
Salam sejahtera utk keluarga.
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....