Thursday, May 12, 2022

ADUHAI AH 19

 

ADUHAI AH  19

(Tien Kumalasari)

 

“Aunty … Aunty …” anak kecil itu terus memanggil manggil.

“Azka sama siapa?”

Anak kecil itu melepaskan pelukannya, lalu jemarinya yang kecil menuding ke arah pintu masuk, di mana seorang laki-laki gagah melangkah mendekati mereka.

“Papiiii …” teriak Azka.

Desy berdiri tegak menyambutnya.

“Pak Harun?”

“Maaf Dokter, kami mengganggu,” kata laki-laki itu sambil menyalami Desy dan menggenggamnya erat. Perlu tenaga walau kecil untuk melepaskan genggaman itu.

“Kok bisa sampai kemari?”

“Bunga ada di rumah sakit, dia menangis terus karena minta ketemu sama Dokter. Saya mencari Dokter, tapi katanya, Dokter sedang cuti. Saya menanyakan alamat dokter dan nekat datang kemari.”

“Bunga ada di rumah sakit?”

“Katanya kena demam berdarah. Dia menjerit-jerit, hanya mau diperiksa Dokter Desy. Saya bingung.”

“Ya Tuhan.”

“Saya mohon, datanglah menemui Bunga, biarpun hanya sebentar, agar dia tenang.”

“Aunty … Aunty …”

Anak laki-laki kecil itu merengek, lalu Harun menggendongnya.

“Maukah dokter menolong saya?” kali ini suara Harun penuh permohonan. Desy tak tega menolaknya. 

Dua tahun yang lalu, Nuri, isteri Harun adalah pasiennya. Ia merasa cocok dan selalu datang bersama suaminya dan Bunga yang waktu itu masih kecil. Tapi tidak dinyana, Nuri meninggal ketika Azka dilahirkan.

Setelah itu Harun tetap selalu mengunjungi Desy di rumah sakit, walau hanya sekedar bertanya tentang penyakit atau obat-obatan, karena Bunga selalu merengek ingin ketemu Desy.  Mereka memanggilnya Aunty, tidak mau memanggil dokter.

Sebenarnya tadi Desy agak terkejut melihat mereka. Sudah agak lama Harun tak datang bersama anak-anak ke tempat prakteknya.

“Tolonglah Dokter, sebentar saja,” Harun kembali memohon.

“Baiklah, tunggu sebentar, saya pamit sama ibu saya dulu.”

“Aunty ..!”

Azka merosot turun dari gendongan ayahnya, lalu menarik-narik baju Desy. Desy tersenyum, lalu menggendongnya, mengajaknya masuk ke rumah.

“Lho, siapa ini?” seru Tindy ketika melihat anak kecil dalam gendongan Desy.

“Ada pasien di rumah sakit Bu, Desy mau ke rumah sakit sebentar,” kata Desy sambil mencium tangan ibunya.

“Oh, iya, hati-hati.”

“Maaf kami tergesa-gesa. Yang sakit kakaknya anak ini, masih kecil.”

“Iya … iya, ibu mengerti.”

Desy yang menggendong Azka segera menghampiri Harun yang sudah siap di mobil.

Tindy melepasnya dengan heran. Sekilas dia melihat seorang laki-laki gagah yang kemudian masuk ke dalam mobil yang menunggu di luar pagar.

“Aku belum pernah melihatnya,” gumamnya.

“Siapa Bu?”

“Itu, ada pasien datang kemari, menjemput Desy.”

“O, pasien?”

“Tampaknya anaknya sudah akrab sekali sama Desy.”

“Berarti Desy juga selalu baik kepada pasien-pasiennya. Syukurlah.”

Tapi tak lama setelah itu, sebuah mobil lain berhenti di halaman.

“Itu kan mobilnya Danarto?” seru Haryo.

“Iya, benar. Wah, tidak ketemu Desy lagi.”

Yang datang memang Danarto. Ia turun dari mobil dan melangkah mendekati teras, lalu menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Desy yang menyambutnya.

“Silakan duduk, Nak,” sapa Tindy.

“Dari rumah sakit?”

“Iya, baru selesai dinas Pak,” jawabnya sambil duduk ketika Haryo mempersilakan dengan tangannya.

“Saya ingin ketemu Desy.”

“Waduh, Desy baru saja keluar.”

“Pergi ke mana?”

“Tadi ada salah seorang pasiennya menjemput kemari. Belum jelas bagaimana, soalnya mereka buru-buru pergi. Kalau tidak salah yang sakit anak-anak.”

“Ke rumah sakit ya bu?”

“Iya, ada anak kecil segala. Ibu belum tahu siapa yang sakit.”

“Sebaiknya kamu langsung ke rumah sakit saja,” sambung Haryo.

“Iya benar. Pasti ketemu nanti di rumah sakit.”

“Baiklah Bu, Pak, kalau begitu saya langsung saja,” kata Danarto sambil berdiri.

***

“Di sana Bunga sama siapa? Nggak mungkin sendirian kan?”

“Sama Sri, pengasuhnya Azka, tapi saya tidak yakin Bunga bisa tenang.”

“Ketika Bapak tinggalkan apakah dia tidak menangis?”

“Saya bilang menjemput aunty, baru dia diam. Saya minta maaf telah mengganggu Dokter.”

“Tidak apa-apa kok.”

“Dokter mengambil cuti, pasti karena ada acara bukan?”

“Tidak, saya hanya ..  ingin istirahat saja,” kata Desy sekenanya.

“Saya tidak tahu, anak-anak sudah sangat dekat sama Dokter. Saya sedih, teringat almarhumah isteri saya. Kalau dia masih ada …”

“Dia sudah tenang. Pasti juga dia senang, seandainya bisa melihat, karena Pak Harun bisa merawat anak-anak dengan baik.”

Harun menghela napas.

“Apakah anak-anak saya butuh seorang ibu ya?”

“Ya, itu pasti.”

“Tapi saya tidak tertarik untuk mencari isteri lagi. Bayangan ibunya anak-anak selalu ada di benak saya. Saya sangat mencintainya,” kata Harun sendu.

“Saya bisa mengerti. Semoga dengan berjalannya waktu, Pak Harun segera bisa mendapatkan seorang ibu bagi anak-anak.”

“Saya takut untuk itu.”

“Mengapa takut?”

“Bagaimana kalau isteri saya nanti tidak bisa menyayangi anak-anak saya. Saya akan selalu dibayangi dosa kepada almarhumah.”

“Banyak wanita yang baik. Bapak kan bisa memilih. Mana yang bisa menyayangi anak-anak.”

“Seperti Bu Dokter ?”

Desy terkejut. Ia menoleh sekilas ke arah Harun yang menyetir mobil, kemudian ia menatap Azka yang ada di pangkuannya, dan tertidur dengan nyaman. Desy terharu. Perlahan ia mengelus kepalanya.

“Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa,” Harun buru-buru meralat ucapannya.

“Ya, saya mengerti.”

Desy tersenyum manis. Harun adalah seorang duda yang sangat setia kepada isterinya. Dia sangat baik dan santun. Sejak masih ada isterinya, mereka dekat seperti saudara.

***

Ketika mendekati ruang rawat inap dimana Bunga ada disana, Desy mendengar suara seorang anak menjerit-jerit. Desy bergegas masuk setelah menyerahkan Azka yang masih pulas, ke dalam gendongan seorang babby sitter yang semula menemani Bunga. Ia mendekati ranjang, melihat Bunga masih menangis. Tangan yang tersambung dengan infus diikat, karena Bunga meronta-ronta.

“Bunga …” panggil Desy lirih.

Bunga menoleh ke arah Desy, lalu tangisnya berhenti seketika.

“Aunty … Aunty …”

Desy merangkul Bunga, menciumi pipinya lembut. Tubuh Bunga masih panas.

“Anak cantik, anak pintar, mengapa menangis?”

“Sakit … Aunty ..”

“Kalau Bunga tidak menangis, pasti tidak akan sakit lagi.”

“Aunty jangan pergi, Bunga tidak mau sama mbak,” rengeknya.

Desy tersenyum, mengusap pipi Bunga lembut.

“Lepaskan tangan Bunga … sakiiit.”

“Oh, iya? Tapi kalau dilepaskan, Bunga tidak boleh bergerak-gerak ya. Lihat tuh, diatas itu ada obat, yang dimasukkan kemari, untuk mengusir sakitnya Bunga. Kalau Bunga meronta, obatnya tidak bisa masuk, lalu Bunga tidak sembuh-sembuh. Mau kan sembuh? Lalu pulang ke rumah, lalu main sama adik?”

Bunga mengangguk. Desy mengusap air mata yang masih membasah di pipi Bunga.

Lalu ia minta perawat agar melepaskan ikatan di tangan Bunga.

“Ingat ya, jangan banyak bergerak. Nanti kalau bergerak juga, darahnya akan keluar,” bujuk Desy tak henti-henti.

“Papi mana?”

“Itu, papi di sana,” kata Desy sambil menunjuk ke arah Harun yang duduk di sofa. Mbak Sri sang baby sitter menidurkan Azka di ranjang penunggu, lalu duduk di dekatnya.

“Aunty jangan pergi,” Bunga merengek lagi.

“Ya, aunty akan menunggui Bunga disini.”

“Benar?”

Desy mengangguk. Tapi dalam hati dia kebingungan. Meninggalkan Bunga, ia tak tega, sementara ia harus mengurus keinginannya pergi.

“Bunga jangan rewel ya, kalau rewel, aunty akan pergi,” kata Harun yang kemudian mendekat ke arah mereka.

“Bunga tidak rewel, papi.”

“Bagus.”

“Sekarang Bunga bobuk ya?”

“Aunty jangan pergi.”

“Tidak. Ayo bobuklah.”

***

Danarto sudah sampai di rumah sakit kembali. Ia langsung menuju ke ruang rawat untuk anak-anak, tapi ia tidak tahu di kamar mana Desy berada, karena tidak tahu siapa nama anak yang dirawat.

Danarto hanya mondar mandir di sekitar ruangan itu, kemudian duduk di sebuah bangku karena lelah.

Seorang perawat yang kebetulan lewat, heran melihat Danarto duduk di sana.

“Dokter, kok duduk di sini?” sapa perawat itu.

“Saya sedang mencari dokter Desy.”

“Oh, dokter Desy, tadi saya melihat di kamar VIP enam.”

“Siapa yang sakit?”

“Seorang anak bernama Bunga.”

“Oh, baiklah, terima kasih sus.”

Perawat itu berlalu, lalu Danarto berdiri. Ia berjalan ke arah ruang VIP enam, seperti perawat itu mengatakannya. Ia sudah sampai di sana, tapi ragu untuk masuk. Ia tidak mengenal siapa yang sakit, dan mengapa Desy ada di sana, soalnya Desy kan bukan dokter anak-anak?

Apa Desy mengenal orang tua anak itu? Saudaranya? Tidak, kalau saudara pasti ayah dan ibunya Desy mengenalnya. Tadi mereka tampak tidak tahu tentang siapa yang sakit.

Danarto berdiri agak jauh dari pintu itu, sedang menimbang-nimbang, akankah ia langsung masuk, ataukah lebih baik menunggu. Lalu ia memutuskan untuk menunggu saja. Kemudian ia duduk di sebuah kursi di luar ruangan itu.

“Kapan ya dia keluar? Aduh, apakah lebih baik aku masuk saja?” gumam Danarto.

Danarto hampir berdiri ketika tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, lalu dilihatnya Desy keluar. Danarto sudah membuka mulutnya untuk berteriak memanggil, tapi dengan tak disangka, dibelakang Desy muncul seorang laki-laki tegap dan gagah, kemudian melangkah di samping Desy. Mereka tampak berbincang akrab. Bahkan ketika Desy hampir terjatuh karena nyaris menabrak perawat yang lewat, dengan sigap laki-laki itu menahan tubuhnya.

Hati Danarto gemuruh tak menentu. Rasa cemburu menyergapnya. Lalu ia berdiri dan mengikuti dari jarak yang agak jauh.

“Siapa dia?” pertanyaan itu terus mengganggunya. Ia masih mengikutinya, ternyata mereka menuju ke arah parkiran. Ia melihat laki-laki itu membukakan pintu depan samping, dan Desy masuk ke dalamnya, sedangkan laki-laki itu duduk di belakang kemudi. Wajah penuh senyuman diantara mereka membuat dada Danarto semakin gemuruh. Desy menghindari dirinya, tapi kemudian dekat dengan seorang laki-laki yang entah siapa.

Mobil mereka berlalu. Barangkali laki-laki itu mengantarkan Desy pulang. Tapi Danarto tak mau mengikutinya. Ia justru berbalik arah, mencari keterangan tentang seorang anak bernama Bunga yang sedang dirawat.

***

Hari sudah siang. Hesti masih duduk di bawah pohon trembesi, dengan perut melilit karena lapar. Sudah berjam-jam dia menunggu Sarman. Bahkan sejak kemarin, tapi ternyata yang ditunggunya tak kunjung tiba.

Entah mengapa, dia merasa sangat gelisah. Hatinya terombang-ambing antara lelah mengejar sesuatu yang tak mungkin tertangkap, dan tuntutan ibunya agar terus mengejarnya.

Hesti berdiri, kemudian keluar dari kampus. Ia sengaja tak membawa motor, berharap ketemu Sarman yang nantinya diharapkan  akan mau mengantarkannya pulang. Tapi sejak kemarin dia memang harus berjalan kaki untuk pulang karena yang ditunggu ternyata tak datang.

Diseberang kampus itu ada warung soto, yang sebenarnya dia belum pernah mencobanya. Sekarang perutnya lapar, dan ia bermaksud makan di warung itu.

Hesti sedang bersiap menyeberang ketika sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya.

“Eeeihh!” pekiknya terkejut. Lalu terdengar suara tawa lirih.

Hesti melihatnya dengan kesal, tapi kemudian ia memekik senang.

“Mas Sarman !!”

“Mau ke mana? Bukankah rumah kostmu di sana dan tidak perlu menyeberang?”

“Aku lapar, tahu!” ketusnya.

“Yah, karena lapar kok jadi galak begini?”

“Aku capek menunggu kamu, sejak kemarin.”

“Menunggu aku? Memangnya kenapa?”

“Nanti aja ngomongnya, aku lapar nih.”

Sarman tertawa.

“Baiklah, aku antar kamu ke seberang, lalu aku tinggal ke perpus sebentar ya.”

“Lhoh, nggak mau nemenin aku makan?”

“Nanti aku temenin, tapi aku harus mengembalikan buku ini dulu. Hanya sebentar. Ayo aku antar ke sana, pesankan aku makan, dan es jeruk ya.”

Sarman menyeberangkan Hesti ke arah warung, kemudian meninggalkannya.

***

Danarto kembali ke ruang rawat inap anak-anak, menuju ke ruang dimana Bunga dirawat.

Perlahan dia mengetuk pintu, lalu masuk.

Dilihatnya seorang wanita berbaju putih, tapi bukan perawat di situ, karena yang dikenakannya bukan seragam perawat.

Danarto mengangguk, kemudian menoleh ke atas ranjang. Seorang gadis kecil tergolek pulas di sana. Lalu di ranjang penunggu ada lagi seorang anak kecil laki-laki. Diapun pulas.

“Bapak mencari siapa?” mbak Sri sang baby sitter bertanya karena belum pernah melihat Danarto.

“Saya dokter Danarto, temannya dokter Desy,” jawab Danarto sambil tersenyum.

“Oh, tapi dokter Desy sudah pulang, diantar bapak.”

“Yang sakit itu siapa?”

“Itu Bunga, putrinya pak Harun.”

“Oh, pasiennya dokter Desy?”

“Dokter yang menangani bukan dokter Desy, tapi Bunga selalu memanggil aunty nya.”

“Aunty nya itu siapa?”

“Bunga dan adiknya selalu memanggil dokter Desy, Aunty. Sejak masuk ke rumah sakit rewel, minta agar ayahnya memanggil dokter Desy. Kemudian dia tenang dan bisa tidur setelah dokter Desy datang.”

“Ibunya tidak kemari?”

“Ibunya sudah meninggal dua tahun yang lalu.”

“Ooh?”

“Kalau sedang rewel, mereka selalu teriak-teriak aunty … aunty .. Saya jadi repot ..  Semoga dokter Desy mau menjadi ibunya anak-anak itu,” gumam sang baby sitter seenaknya.

“Apa?”

***

Besok lagi ya.



 

 

33 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah.. Terimakasih bunda Tien ❤️😘

      Delete
    2. Alhamdulillah AD...AH_19 sudah tayang.
      Terima kasih bunda, salam SEROJA dan tetap semangat menulis buat kami semua.

      Delete
    3. Salem(Boston) MA May 12th 2022,

      Terima kasih bunda Tien Aduhai Ah ke 19 sudah saya baca pagi ini seruuuuu! Selamat malam bunda dan semua sahabat PCTK! Sehat dan semangat selalu ya, pak Yowa cepat sembuh ya!

      Delete
  2. Saingan asyiiik... makin menariiik... terima kasih mbu tin.. sehat² sllu

    ReplyDelete
  3. Danarto cemburu..ternyata ada saingannya

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah ...
    Syukron Mbak Tien 😊🌹🌹🌹
    Tambah penisirin krn tebakan kemarin salah ,kirain mbak Lala yg datang😊

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Waduh jd Aduhaaii ah ,,,
    Desy dan Harun oh no....🤭
    Danarto cemburu nih ya,,

    Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien 🤗💖

    ReplyDelete
  6. Makasih bunda Tien AA 19 sdh tayang..slm sht sll dan aduhai dri skbmi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah ADUHAI-AH 19 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah masih sore sdh tayang

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah, terima Kasih bu tien ...salam sehat

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 19 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah AA 19 telah tayang , terima kasih mbak Tien sehat dan bahagia selalu. Aamiin.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah ADUHAI AH 19 sdh hadir
    Ceritanya semakin ADUHAI AH..
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  14. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haduh, maaf malah terhapus... 😆😆😆

      Delete
    2. Bu Tien emang keren, setiap episodenya unpredictable, wkwkwk
      Pemirsa udah berandai-andai yg datang adalah Narend... Eh, koq lain.
      Konflik makin banyak dgn munculnya duda ganteng dan tegap...
      Tapi semoga Bu Tien, ngga menjodohkan mbak Desy dgn pak Harun.. Kasian mas Danar, cintanya diuji banget... 😊😊😊

      Delete
  15. Aduhai mbak Tien.....bacanya jd bingung muncul lagi tokoh baru....masa Desy sm Tutut dpt jodoh duda .... kayanya Hesti bakal dekat sm Sarman ..... bagaimana nasib dokter ganteng Danarto ?
    Salam sehat selalu dr Situbondo

    ReplyDelete
  16. Hati² Danarto, ada pesaing ini.
    Makasih mba Tien .
    Salam sehat dan selalu aduhai

    ReplyDelete
  17. Wuah wuah semangat; untuk memuluskan mimpi, jadi kenyataan, lha ini gara gara Haryo rumangsa bagus, bisa kementhus dolanan gobak sodor, nyamber nyampluk kiri kanan; anak-anaké dipetuk dupan.

    Lha Danarto dianggep arep mbales polahé bapakné, dadi Desy bayangané kåyå maju mundur, sida apa ora.
    Kebetulan ada aja masalahnya.
    Malah di samber Harun alasané anak, tapi kan dupan.
    Sudah terbukti setia.

    Oalah Dy, Tindy anak yang ada tinggal dua saja yang nyamber malah dupan semua.
    Ya udah tinggal bilang iya saja tå, beres, katanya rumit; makanya cari yang sudah pengalaman saja Desy, nggak usah repot langsung dapat anak dua lengkap lagi; putra dan putri.
    Adikmu tuh di taksir sama Danis; dupan juga.

    Sarman masih asyik nyoto sama Hesti, yang merasa nyaman buat tempat curhatan.
    Sarman kan berani memberi pertimbangan yang masuk akal bagi Hesti.
    Hesti nanti tinggal telepon Sriani; kalau sudah punya calon namanya Sarman jabatan dosen, kerènkan.


    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke sembilan belas sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏





    ReplyDelete
  18. Aduh...
    Mbak Tien membuat orang penasaran saja...

    ReplyDelete
  19. Oooh no....kehidupanmu semakin pelik Desy.....
    Suwun Bu Tien.....salam sehat selalu.....😊🙏

    ReplyDelete
  20. Oooo ..tidak ..makin ruwet ..ma Danar blm selesai ada lagi masalah ..duren ma 2 anak walah Bu Tien nih umyek2 pasti Danar cem cem...terima kasih bu Tien

    ReplyDelete
  21. Wah, makin ruwet...Desy yg hatinya sekeras batu, Danarto yg ragu ragu dlm setiap langkahnya dlm hadapi Desy....sekarang di tambah ada Duren dgn dua anak. Perjuangan Danarto semakin ribet, berat.. Bisakah Danarto menyelesaikannya.. Semoga...

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...