Wednesday, May 11, 2022

ADUHAI AH 18

 

ADUHAI AH  18

(Tien Kumalasari)

 

Danarto tiba-tiba merasa menyesal, telah datang ke Surabaya untuk menemui bu Sriani. Sebenarnya maksudnya baik, agar tampak lebih menghormati, tapi kedatangannya justru menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi hatinya. Surat apa yang akan ditunjukkannya? Dari kejauhan ia mendengar bu Sriani pamer kepada anak buahnya.

“Itu dokter Danarto, calon menantuku,” kata bu Sriani.

“Wah, ganteng sekali. Jadi itu calonnya Hesti ya Bu?”

“Iya lah, anakku kan cuma Hesti.”

“Bukannya Hesti masih baru saja masuk ke perguruan tinggi?”

“Biar saja. Kalau suaminya mengijinkan, biar tetap kuliah, kalau tidak, ya biar saja berhenti kuliah. Perempuan itu kalau suaminya sudah bisa mencukupi kebutuhannya, tidak perlu sekolah tinggi, apalagi bekerja. Yang penting bisa melayani, menerima gaji, belanja. Cukup toh?”

Danarto sangat sebal mendengar semuanya. Bu Sriani memang pergi ke ruangan samping ruang tamu, dimana beberapa anak buahnya bekerja, sehingga ia bisa mendengar jelas semua pembicaraan bernada sombong itu.

Ingin rasanya Danarto kabur saja tanpa pamit, tapi rasa kesopanan masih dimilikinya. Dengan sabar ia menunggu, sampai akhirnya bu Sriani keluar lagi dengan membawa sebuah amplop berwarna coklat.

“Naa, ini lho Danar, buktinya, bahwa ibu kamu ingin sekali berbesan dengan aku. Ya iyalah, kan aku ini sahabatnya sejak masih sekolah SD?” katanya sambil mengeluarkan isi amplop itu.

Danarto hanya menatapnya. Bu Sriani mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu sebuah foto dengan ukuran agak besar. Kemudian kertas dan foto itu diulurkannya kepada Danarto.

Danarto menerimanya, lalu membaca tulisan di kertas itu.

“Ini lho Sri, aku kirimkan foto kita setelah kita wisuda dulu itu”

Hanya itu tulisannya, dan Danarto tahu dan mengenalinya, itu memang tulisan ibunya. Tak ada surat perjanjian perjodohan. Lalu Danarto menatap foto itu. Dua orang gadis berkebaya, yang sama-sama cantik.

“Itu foto kami saat selesai wisuda SMA,” kata bu Sriani.

Danarto mengulurkan kembali kertas dan foto itu, penuh tanda tanya. Tak ada yang menyebutkan perjodohan antara dirinya dan Hesti.

“Lho, baca dulu dibalik foto itu, kok terburu-buru dikembalikan,” kesal bu Sriani.

Danarto kembali mengambil foto itu dan membalikkannya.

“Sri, besok kalau anak kita laki-laki dan perempuan, bisa nggak ya kita berbesan.”

Hanya itu tulisannya, dan lagi-lagi Danarto mengenali tulisan ibunya.

“Bagaimana, sudah kamu baca? Dan kamu bisa mengerti kan?”

Danarto menghela napas berat. Kesal sekali dia.

“Bagaimana ?” ulang bu Sriani.

“Saya tidak melihat adanya perjanjian di situ,” jawabnya lugas.

“Apa maksudmu? Kamu tidak bisa mencerna kata-kata yang tertulis?

“Saya tentu saja bisa mengerti arti tulisan itu.”

“Lalu?” bu Sriani membulatkan matanya.

“Tidak ada perjanjian apapun disitu. Saya menangkapnya sebagai sebuah harapan. Sebuah keinginan.”

“Jangan mencoba memelintir kalimat yang aku anggap sebagai wasiat itu Danar. Sebuah harapan, baiklah, memang benar, lalu apa kamu tidak ingin memenuhi harapan almarhumah ibu kamu? Itu sama dengan wasiat lho.”

“Berbeda Bu. Harapan adalah harapan, wasiat itu sesuatu yang diharapkan bisa dilaksanakan. Harus.”

“Apa maksudmu Danarto? Kamu ingin mengingkari pesan itu?”

“Itu juga bukan pesan. Saya mohon maaf, tidak bisa memenuhinya. Pertama, umur kami berbeda jauh, kedua, saya sudah punya calon isteri dan akan segera menikah.”

“Danarto!” kali ini Sriani berteriak.

Danarto berdiri.

“Saya mohon maaf. Harus segera kembali karena saya tidak bisa meninggalkan tugas saya,” katanya sambil mengulurkan tangan ingin menciumnya, tapi bu Sriani mengibaskannya dengan kasar.

Danarto hanya membungkukkan tubuhnya sekilas, kemudian melangkah keluar dari rumah.

Bu Sriani membanting-banting kakinya.

***

Hesti baru saja pulang dengan diantar Sarman, ketika ponselnya berdering, dari ibunya.

“Ya Bu,” sambut Hesti.

“Kamu ini bagaimana? Mendekati dan merayu Danarto saja tidak bisa.”

“Bagaimana caranya Bu, Hesti sudah melakukan banyak hal, dia bergeming.”

“Itu karena kamu bodoh,”

Bu Sriani lupa bahwa anaknya masih bocah dan tidak berpengalaman mendekati seorang pria yang menarik hatinya. Ia sungguh bingung, bahkan sampai mendapat malu karena usaha dengan dituntun Endah ternyata tidak berhasil.

“Ibu jangan marah.”

“Tentu saja ibu marah. Baru saja Danarto datang kemari.”

“Iya, aku sudah tahu, dia minta alamat rumah kita.”

“Dan dia menolak kamu.”

“Hesti juga sudah tahu.”

“Kamu gimana sih, sudah tahu … sudah tahu … usaha kamu bagaimana?”

“Hesti sudah berusaha Bu.”

“Datangi lagi dia, lakukan apa saja supaya dia suka sama kamu.”

“Nggak mau Bu, Hesti malu.”

“Malu bagaimana sih? Kalau kamu berhasil, maka kamu tidak akan malu.”

“Ya ampun Bu, Hesti sudah melakukan apapun. Bahkan pura-pura sakit sampai dibawa ke rumah sakit. Dia tetap tak peduli.”

“Kalau begitu temui gadis yang akan menjadi isterinya itu. Katakan bahwa kamu adalah calon isterinya yang sudah dijodohkan.”

“Teman Hesti sudah melakukannya.”

“Bagaimana gadis itu? Masih berhubungan dengan Danarto setelah mendengar bahwa kamu adalah tunangannya?”

“Nggak tahu aku Bu.”

“Cari dia, dan lihat, apakah temanmu itu berhasil.”

“Teman Hesti menelpon Desy, mengatakan bahwa dia adalah ibuku, dan mengatakan bahwa mas Danarto sudah dijodohkan.”

“Hasilnya?”

“Tidak tahu Bu.”

“Cari tahu. Kalau Danarto tidak mau sama kamu, dia juga tidak boleh menjadi isteri Danarto.”

“Aku lelah bu,” kali ini Hesti mengeluh.

“Kamu itu punya keinginan, tapi tidak mau berusaha dengan benar.”

“Ya bu.”

“Ya bu … ya bu … bagaimana?”

“Yaaaa ….”

“Berikan pada ibu nomor kontak temanmu itu.”

“Teman yang mana Bu?”

“Teman yang membantu kamu menelpon gadis itu.”

“Baiklah, nanti Hesti kirim lewat WA.”

Lalu Hesti menutup ponselnya. Ia memang lelah.

***

“Ya ampun, lama bagaimana? Berapa lama ? Yaaaah … masa cutiku sudah habis dong .. bisa dipercepat? … iya … penting dong, Baiklah.”

Tutut mengawasi tingkah kakaknya yang bolak balik menelpon temannya.

“Siapa sih Mbak?”

“Teman aku. Aku minta tolong menguruskan visa, katanya tidak bisa segera.”

“Mbak Desy sebenarnya kenapa sih, kok tiba-tiba ingin pergi?”

“Nggak apa-apa.”

“Aku pengin ikut kalau tidak tiba-tiba perginya.”

“Ikut?”

“Aku kangen sama Narend, sekarang pasti sudah bisa berjalan, berlarian, dan ngoceh seperti burung.”

“Sayangnya aku harus segera pergi.”

“Sebenarnya ada apa?”

“Tidak ada apa-apa. Kangen saja.”

“Marahan sama mas Danarto?”

“Ah …”

“Mbak sudah bilang sama dia kalau mbak mau pergi?”

“Belum.”

“Bukankah sebentar lagi akan ada acara lamaran?”

“Ah …”

“Dari tadi ah … ah …”

Tiba-tiba Desy tersenyum sendiri. Danarto senang sekali kalau mendengar desah ‘ah’ nya. Tapi tidak. Danarto harus dilupakannya.

***

Bu Sriani kembali menelpon Hesti dengan marah. Ia tak berhasil menghubungi nomor yang diberikannya.

“Kamu ini bagaimana sih Hes?”

“Ada apa lagi sih Bu?”

“Yang kamu berikan itu nomor beneran atau nomor palsu?”

“Ya nomor beneran lah Bu, biasanya Hesti juga menelpon nomor itu.”

“Berkali-kali ibu mencoba, tapi tidak berhasil. Nomornya tidak aktif.”

“Pasti dia telah mengganti nomornya.”

“Temui dia dan tanyakan nomor baru nya berapa? Ibu akan meminta dia melakukan sesuatu.”

Tapi dia sudah pindah juga Bu, Hesti tidak bisa menemuinya lagi.”

“Pindah bagaimana? Kalau dia itu teman kamu, masa kamu tidak tahu dimana rumahnya?”

“Tidak tahu Bu. Dia hanya seorang penjual gorengan. Tadi Hesti mencarinya, dia sudah tidak jualan ditempat semula lagi.”

“Ya ampuuun.”

Bu Sriani menutup ponselnya dengan kesal. Hesti mengusap air matanya. Ia sungguh merasa lelah menuruti kemauan ibunya. Ia sudah putus asa dan kebingungan. Tiba-tiba Hesti teringat seniornya yang baik hati. Sarman. Ia menyesal tidak menanyakan nomor kontaknya.

“Apakah besok aku bisa ketemu di kampus?” gumamnya pelan.

“Dia itu sering memarah-marahi aku, tapi aku senang mendengar omelannya. Jadi teringat almarhum ayahku,” gumamnya kemudian sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.

***

“Mengapa melamun sendirian di sini?” tegur Haryo ketika melihat Desy duduk di teras sendirian.

“Gerah, pengin udara segar Pak,” jawab Desy.

Haryo duduk di depannya. Ditatapnya wajah anak gadisnya. Ia melihat ada kegelisahan di sana.

“Kamu itu kan anak bapak yang pemberani, kuat.”

Desy menatap ayahnya.

“Tapi kamu takut memperjuangkan hidup kamu sendiri.”

“Desy tidak takut Pak.”

“Ya, tidak takut, tapi kan tidak berani. Sama saja kan?”

“Menurut Desy, berumah tangga itu rumit.”

“Masa?”

“Iya. Desy baru mau melangkah, sudah ada saja halangannya.”

“Bukankah halangan itu ujian?”

Desy menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Kamu jangan bercermin pada kelakuan bapakmu ini. Bapak memang laki-laki yang buruk untuk dijadikan contoh. Bapak telah membuat hati ibumu sakit, memorak- porandakan sebuah keluarga yang manis dan penuh kasih sayang. Tapi ini bukan cermin dari kehidupan sepenuhnya. Dunia itu begitu luas. Penuh warna dan ragam. Kamu adalah salah satu warna itu. Kamu salah satu dari ragam itu. Sebuah halangan bukan awal dari kegagalan. Kekuatan cinta itu sangat besar. Dan kekuatan cinta ibu kamu lah yang kemudian membuat bapak kembali.  Kembali ke sebuah jalan yang harusnya bapak lalui sejak awal.”

Desy terus menatap ayahnya, yang berbicara sambil menerawang ke langit-langit teras.

“Desy sudah berani mengambil keputusan,” gumamnya pelan.

“Lalu …”

“Tapi ada hal berat yang harus Desy hadapi.”

“Mendengar bahwa Danarto sudah dijodohkan?”

“Desy tak ingin merebutnya. Perjodohan dari orang tua adalah amanah yang harus dijalani bukan?”

“Kamu belum mendengar dari Danarto tentang hal itu.”

“Justru karena mas Danarto belum cerita itu, Desy jadi ragu-ragu. Mas Danarto menyimpan sebuah kebohongan.”

“Semua ada alasannya.”

“Mungkin. Dia pasti akan mencari-cari alasan itu.”

“Jangan berprasangka buruk pada seseorang. Komunikasi adalah jalan terbaik.”

Desy mengangguk pelan. Tapi tampaknya dia belum yakin pada apa yang harus dilakukannya.

***

Siang hari itu Danis menemui Danarto yang tampak sedang mencari-cari.

“Hei, mana oleh-oleh dari Surabaya?”

“Aku mau ketemu Desy.”

“Dia baru saja pergi.”

“Apa?”

“Dia mengajukan cuti selama seminggu.”

“Dia bilang apa?”

“Aku tidak ketemu. Orang kantor yang memberi tahu aku.”

Danarto menghela napas.

“Bagaimana kabar Surabaya?”

“Sudah selesai. Dia itu pembohong.”

“Pembohong? Maksudnya .. sebenarya kamu tidak di jodohkan?”

“Tidak. Hanya sebuah tulisan, besok kalau anak kita lahir laki-laki dan perempuan, bisa nggak ya kita berbesan. Itu tulisan yang tertulis dibalik selembar foto. Foto dia dan ibuku setelah lulus sekolah.”

“Wah, itu bukan perjanjian perjodohan. Hanya sebuah angan-angan. Tidak bisa dikatakan perjodohan. Anaknya saja belum pada lahir.”

“Aku diam-diam merekam pembicaraanku dengan ibunya Hesti.”

“Bagus. Desy harus mengerti. Tapi kemana dia ya, mengapa harus cuti segala?”

“Nanti aku mau ke rumahnya saja.”

“Nitip ya.”

“Nitip apa?”

“Nitip salam.”

“Untuk Desy?”

“Bukan, untuk Tutut.”

“Hei, apa kamu suka sama dia? Duda saja belum di sandang sudah main taksir,” omel Danarto.

“Apa sih? Kan cuma nitip salam. Nggak boleh, gitu?”

“Baiklah. Boleh kok. Nanti aku sampaikan, demi calon duda yang memelas ini,” canda Danarto. Dan keduanya terkekeh bersama.

***

Hesti termenung di bawah pohon trembesi. Ia berharap bisa bertemu Sarman. Banyak yang akan dikeluhkannya. Tapi sampai lewat tengah hari ia tak melihat seniornya itu lewat. Memang Sarman tidak setiap hari datang ke kampus. Hesti gelisah, merasa tak sanggup menahan beban yang tersampir di pundaknya. Ibunya bersikeras agar dirinya bisa mendapatkan Danarto, tapi ia sungguh merasa lelah berharap. Sebenarnya ini bukan maunya. Ia suka Danarto, karena siapa sih yang nggak suka, dokter, muda, ganteng, baik hati. Tapi kalau terus-terusan harus mengejarnya, ia merasa sudah kehabisan napas. Ia lebih merasa kesal karena ibunya terus menuntutnya agar tak berhenti mengejar.

“Tidak, aku tidak mau lagi,” gumamnya sambil berdiri, lalu melangkah menuju pulang. Hanya dengan tidur ia bisa melupakan semuanya.

***                                                                          

Setelah makan siang itu Tindy melihat Desy bersiap akan pergi.

“Mau ke mana?”

“Keluar sebentar bu.”

“Kamu tetap mau berangkat menemui kakak kamu?”

“Kalau visa sudah siap Bu.”

“Ya sudah, terserah kamu saja," kata Tindy pasrah.

“Desy pergi sebentar Bu.”

Desy sudah hampir masuk ke dalam mobilnya, ketika tiba-tiba dilihatnya seorang anak kecil berlari tertatih mendekatinya,

“Aunty … !”

Desy tegak disamping mobil, sebelum kemudian menubruk anak kecil itu dan memeluknya erat.

***

Besok lagi ya.

 

44 comments:

  1. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Salam ADUHAI

    ReplyDelete
  2. alhamdulillah... Adihai Ah
    maturnuwun bu Tien

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ....Trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  4. Selamat jeng Nani juara 1
    Matur nuwun bunda Tien. AA 18 semakin Aduhai Ah ๐Ÿคฉ

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ADUHAI AH~18 telah hadir..
    Maturnuwun bu Tien..๐Ÿ™

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah Uti Nani Juara 1, setelah kemarin gak nongol sebab lagi merayakan hut cucu tercintanya.
    Barakallahu fii umrik buat cucunda.

    ReplyDelete
  7. Ibu tien pancen piawi bikin hati pembaca gemes penasaran dan piye piye yo bacutxa crita ini siiiip aduahai ah

    ReplyDelete
  8. Terima kasih bunda Tien ADUHAI AH eps 18 sdh ditayangkan, tetap semangat dan bersabar walau karyamu "dibajak" orang, semoga Allah memberikan ganjaran atas keusilannya. Aamiin.

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun Mbak Tien. Salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah jeng Nani juarane๐Ÿ‘

    ReplyDelete
  11. Untung kakaknya Desy datang dari Amrik shg gagal deh Desy ke Amrik

    ReplyDelete
  12. Ditunggu ya bu lanjutannya. Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah .. Lala datang ya ?
    Syukron Mbak Tien ๐Ÿ™‚๐ŸŒท๐ŸŒท๐ŸŒท๐ŸŒท๐ŸŒท

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah....suwun bu Tien

    ReplyDelete
  15. Yeeee, mbak Desy ngga jadi kabur dari Mas Danar ... ๐Ÿ’ƒ๐Ÿ’ƒ๐Ÿ’ƒ๐Ÿ’ƒ
    Ayo Mas Danar, cepetan ke rumahnya..

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah ADUHAI-AH 18 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah dah tayang... makasih bunda salam sehatselalu ku tunggu kelanjutannya

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah mbak Tien semoga selalu sehat² semangat, salam aduhai ah....

    ReplyDelete
  19. Desy sudah hampir masuk ke dalam mobilnya, ketika tiba-tiba dilihatnya seorang anak kecil berlari tertatih mendekatinya,

    “Aunty … !”

    Desy tegak disamping mobil, sebelum kemudian menubruk anak kecil itu dan memeluknya erat.

    Lha dalah...... belum juga berhasil dapat visa...... ternyata kedahuluan Narend dan ibunya Lala sdh tiba di tanah air........

    Bunda memang piawi membuat hagti para pembacanya penasaran.... Selamat malam bunda dan tetap semangat.
    Salam ADUHAI dari mBandung.

    ReplyDelete
  20. ๐Œ๐š๐ญ๐ฎ๐ซ ๐’๐ฎ๐ฐ๐ฎ๐ง ๐๐ฎ ๐“๐ข๐ž๐ง ๐ž๐ฉ๐ฌ 18 ๐ญ๐ž๐ฅ๐š๐ก ๐ญ๐š๐ฒ๐š๐ง๐ ...๐Ÿ™๐Ÿ™

    ๐’๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐ฌ๐ž๐ก๐š๐ญ & ๐ฌ๐ž๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ ๐ฌ๐ž๐ฆ๐š๐ง๐ ๐š๐ญ ๐›๐ฎ๐š๐ญ ๐ข๐›๐ฎ ๐“๐ข๐ž๐ง & ๐ค๐ž๐ฅ๐ฎ๐š๐ซ๐ ๐š.๐ฌ๐š๐ฆ๐ฎ๐š...๐€๐š๐ฆ๐ข๐ข๐ง ๐˜๐‘๐€.

    ReplyDelete
  21. Lha kan nggak bisa nggรชgรชm kรชncรชng kemauan mu thรฅ, Des, trus gimana..
    Masih ingat kenangan bersama Danarto thรฅ, pakai senyum² ditegur Tutut; "gimana seeh dari tadi ah ah terus, malah senyum senyum sendiri, semoga nggak konslรจt".

    Nekat, mau pergi malah dipanggil Narend; "Aunty".

    Batal dรจh mau melarikan diri.

    Malah kebetulan, semua pada kumpul bisa menyaksikan menerima lamaran Danarto.

    Tut, mas Sarman di kabari ya, datang ke rumah, nich keluarga mau menerima tamu dari kerabat Danarto.

    ADUHAI

    Senangnya aunty Desy nguyel uyel Narend.

    Yang sudah bisa berlarian dan bicara terdengar lucu menggemaskan.

    Biarlah kepusingan dialami mereka yang mau ngakalin, batalnya Danarto melamar Desy, biar puas berpusing ria.

    Hallo Tutut, dapat salam dari dokter Danis. Cihuy..

    Masa seeh pasangan Danarto dan Desy yang direkomendasikan oleh dokter Linda; bisa bisanya mau di gagalkan dan di teror sama Endah; sorry lha yauw.



    Terimakasih Bu Tien,

    ADUHAI AH yang ke delapan belas sudah tayang,

    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan berbahagia bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun, bu Tien. Salam ADUHAI.....ah

    ReplyDelete
  23. Akhirnya Narend keponakan Desy sudah datang duluan,alamat Desy batal ke Lala dan Danarto segera bertemu dengan Desy ,masalah jd beres tapi tunggu besok lagi.
    Salam aduhai mbak Tien dari Tegal.

    ReplyDelete
  24. Desy gagal berangkat, dan Danarto sebentar lagi juga datang...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  25. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah berkunjung.

    Naahhh...bukan perjanjian, bukan wasiat. Tidak perlu direpotkan.

    Hesti masih 'hijau' sehingga belum dapat berfikir secara dewasa.

    Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  26. Wuih makin kesel ma Ibu nya Hesti ..ho ho ternyata endah yg ngaku2 ke Desy ..eee tahu dr mana no Desy ...?? Wah kok ya gak masuk akal .hesti ooo kasian Desy ayo Danarto cepat raih hatinya Desy melalui cintamu u Desy ..bu Tien nih buat jd bete aahj Aduhhai deh ptp ttp makasih deh ..jgn pisahksn Desy dan Danarti dan jujur Sarman ma Hesty cucok ...Endah perlu di kuliti ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿคฒ

    ReplyDelete
  27. Hmmm..kq jadi ikut geram liat bu.Sriani to ya...hadeeww ๐Ÿ˜”

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah AA18 telah tayang, terima kasih mbak Tien, senang Desy g bisa menghindari dr Danarto, makin penasaran nich. Moga mb Tien sehat dan bahagia selalu. Aamiin.

    ReplyDelete
  29. Ihi si kecil narend datang di pas waktu yg tepat....trims Bu tien

    ReplyDelete
  30. Terima kasih Bu Tien, makin berkembang makin asik.... ๐Ÿ‘

    ReplyDelete
  31. Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien..

    ReplyDelete
  32. Aduhai Ah.Alhamdulillah Maturnuwun

    ReplyDelete
  33. Semakin membuat penasaran untuk menunggu kelanjutannya... Moment nya pas dengan keinginan Desy, jadi tdk usah jauh jauh ke Amrik..
    Maturnuwun mbak Tien... Semoga senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin. Aamiin Yaa Robbal'alamiin...

    ReplyDelete
  34. Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
    ADUHAI.....

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...