ADUHAI AH 18
(Tien Kumalasari)
Danarto tiba-tiba merasa menyesal, telah datang ke
Surabaya untuk menemui bu Sriani. Sebenarnya maksudnya baik, agar tampak lebih
menghormati, tapi kedatangannya justru menimbulkan suasana tidak menyenangkan
bagi hatinya. Surat apa yang akan ditunjukkannya? Dari kejauhan ia mendengar bu
Sriani pamer kepada anak buahnya.
“Itu dokter Danarto, calon menantuku,” kata bu Sriani.
“Wah, ganteng sekali. Jadi itu calonnya Hesti ya Bu?”
“Iya lah, anakku kan cuma Hesti.”
“Bukannya Hesti masih baru saja masuk ke perguruan
tinggi?”
“Biar saja. Kalau suaminya mengijinkan, biar tetap
kuliah, kalau tidak, ya biar saja berhenti kuliah. Perempuan itu kalau suaminya
sudah bisa mencukupi kebutuhannya, tidak perlu sekolah tinggi, apalagi bekerja.
Yang penting bisa melayani, menerima gaji, belanja. Cukup toh?”
Danarto sangat sebal mendengar semuanya. Bu Sriani
memang pergi ke ruangan samping ruang tamu, dimana beberapa anak buahnya bekerja,
sehingga ia bisa mendengar jelas semua pembicaraan bernada sombong itu.
Ingin rasanya Danarto kabur saja tanpa pamit, tapi
rasa kesopanan masih dimilikinya. Dengan sabar ia menunggu, sampai akhirnya bu
Sriani keluar lagi dengan membawa sebuah amplop berwarna coklat.
“Naa, ini lho Danar, buktinya, bahwa ibu kamu ingin
sekali berbesan dengan aku. Ya iyalah, kan aku ini sahabatnya sejak masih
sekolah SD?” katanya sambil mengeluarkan isi amplop itu.
Danarto hanya menatapnya. Bu Sriani mengeluarkan
selembar kertas kecil, lalu sebuah foto dengan ukuran agak besar. Kemudian
kertas dan foto itu diulurkannya kepada Danarto.
Danarto menerimanya, lalu membaca tulisan di kertas
itu.
“Ini lho Sri, aku kirimkan foto kita setelah kita
wisuda dulu itu”
Hanya itu tulisannya, dan Danarto tahu dan
mengenalinya, itu memang tulisan ibunya. Tak ada surat perjanjian perjodohan.
Lalu Danarto menatap foto itu. Dua orang gadis berkebaya, yang sama-sama
cantik.
“Itu foto kami saat selesai wisuda SMA,” kata bu
Sriani.
Danarto mengulurkan kembali kertas dan foto itu, penuh
tanda tanya. Tak ada yang menyebutkan perjodohan antara dirinya dan Hesti.
“Lho, baca dulu dibalik foto itu, kok terburu-buru
dikembalikan,” kesal bu Sriani.
Danarto kembali mengambil foto itu dan membalikkannya.
“Sri, besok kalau anak kita laki-laki dan perempuan,
bisa nggak ya kita berbesan.”
Hanya itu tulisannya, dan lagi-lagi Danarto mengenali
tulisan ibunya.
“Bagaimana, sudah kamu baca? Dan kamu bisa mengerti
kan?”
Danarto menghela napas berat. Kesal sekali dia.
“Bagaimana ?” ulang bu Sriani.
“Saya tidak melihat adanya perjanjian di situ,”
jawabnya lugas.
“Apa maksudmu? Kamu tidak bisa mencerna kata-kata yang
tertulis?
“Saya tentu saja bisa mengerti arti tulisan itu.”
“Lalu?” bu Sriani membulatkan matanya.
“Tidak ada perjanjian apapun disitu. Saya menangkapnya
sebagai sebuah harapan. Sebuah keinginan.”
“Jangan mencoba memelintir kalimat yang aku anggap
sebagai wasiat itu Danar. Sebuah harapan, baiklah, memang benar, lalu apa kamu
tidak ingin memenuhi harapan almarhumah ibu kamu? Itu sama dengan wasiat lho.”
“Berbeda Bu. Harapan adalah harapan, wasiat itu
sesuatu yang diharapkan bisa dilaksanakan. Harus.”
“Apa maksudmu Danarto? Kamu ingin mengingkari pesan
itu?”
“Itu juga bukan pesan. Saya mohon maaf, tidak bisa
memenuhinya. Pertama, umur kami berbeda jauh, kedua, saya sudah punya calon
isteri dan akan segera menikah.”
“Danarto!” kali ini Sriani berteriak.
Danarto berdiri.
“Saya mohon maaf. Harus segera kembali karena saya
tidak bisa meninggalkan tugas saya,” katanya sambil mengulurkan tangan ingin
menciumnya, tapi bu Sriani mengibaskannya dengan kasar.
Danarto hanya membungkukkan tubuhnya sekilas, kemudian
melangkah keluar dari rumah.
Bu Sriani membanting-banting kakinya.
***
Hesti baru saja pulang dengan diantar Sarman, ketika
ponselnya berdering, dari ibunya.
“Ya Bu,” sambut Hesti.
“Kamu ini bagaimana? Mendekati dan merayu Danarto saja
tidak bisa.”
“Bagaimana caranya Bu, Hesti sudah melakukan banyak
hal, dia bergeming.”
“Itu karena kamu bodoh,”
Bu Sriani lupa bahwa anaknya masih bocah dan tidak
berpengalaman mendekati seorang pria yang menarik hatinya. Ia sungguh bingung,
bahkan sampai mendapat malu karena usaha dengan dituntun Endah ternyata tidak
berhasil.
“Ibu jangan marah.”
“Tentu saja ibu marah. Baru saja Danarto datang
kemari.”
“Iya, aku sudah tahu, dia minta alamat rumah kita.”
“Dan dia menolak kamu.”
“Hesti juga sudah tahu.”
“Kamu gimana sih, sudah tahu … sudah tahu … usaha kamu
bagaimana?”
“Hesti sudah berusaha Bu.”
“Datangi lagi dia, lakukan apa saja supaya dia suka
sama kamu.”
“Nggak mau Bu, Hesti malu.”
“Malu bagaimana sih? Kalau kamu berhasil, maka kamu
tidak akan malu.”
“Ya ampun Bu, Hesti sudah melakukan apapun. Bahkan
pura-pura sakit sampai dibawa ke rumah sakit. Dia tetap tak peduli.”
“Kalau begitu temui gadis yang akan menjadi isterinya
itu. Katakan bahwa kamu adalah calon isterinya yang sudah dijodohkan.”
“Teman Hesti sudah melakukannya.”
“Bagaimana gadis itu? Masih berhubungan dengan Danarto
setelah mendengar bahwa kamu adalah tunangannya?”
“Nggak tahu aku Bu.”
“Cari dia, dan lihat, apakah temanmu itu berhasil.”
“Teman Hesti menelpon Desy, mengatakan bahwa dia
adalah ibuku, dan mengatakan bahwa mas Danarto sudah dijodohkan.”
“Hasilnya?”
“Tidak tahu Bu.”
“Cari tahu. Kalau Danarto tidak mau sama kamu, dia
juga tidak boleh menjadi isteri Danarto.”
“Aku lelah bu,” kali ini Hesti mengeluh.
“Kamu itu punya keinginan, tapi tidak mau berusaha
dengan benar.”
“Ya bu.”
“Ya bu … ya bu … bagaimana?”
“Yaaaa ….”
“Berikan pada ibu nomor kontak temanmu itu.”
“Teman yang mana Bu?”
“Teman yang membantu kamu menelpon gadis itu.”
“Baiklah, nanti Hesti kirim lewat WA.”
Lalu Hesti menutup ponselnya. Ia memang lelah.
***
“Ya ampun, lama bagaimana? Berapa lama ? Yaaaah … masa
cutiku sudah habis dong .. bisa dipercepat? … iya … penting dong, Baiklah.”
Tutut mengawasi tingkah kakaknya yang bolak balik
menelpon temannya.
“Siapa sih Mbak?”
“Teman aku. Aku minta tolong menguruskan visa, katanya
tidak bisa segera.”
“Mbak Desy sebenarnya kenapa sih, kok tiba-tiba ingin
pergi?”
“Nggak apa-apa.”
“Aku pengin ikut kalau tidak tiba-tiba perginya.”
“Ikut?”
“Aku kangen sama Narend, sekarang pasti sudah bisa
berjalan, berlarian, dan ngoceh seperti burung.”
“Sayangnya aku harus segera pergi.”
“Sebenarnya ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Kangen saja.”
“Marahan sama mas Danarto?”
“Ah …”
“Mbak sudah bilang sama dia kalau mbak mau pergi?”
“Belum.”
“Bukankah sebentar lagi akan ada acara lamaran?”
“Ah …”
“Dari tadi ah … ah …”
Tiba-tiba Desy tersenyum sendiri. Danarto senang
sekali kalau mendengar desah ‘ah’ nya. Tapi tidak. Danarto harus dilupakannya.
***
Bu Sriani kembali menelpon Hesti dengan marah. Ia tak
berhasil menghubungi nomor yang diberikannya.
“Kamu ini bagaimana sih Hes?”
“Ada apa lagi sih Bu?”
“Yang kamu berikan itu nomor beneran atau nomor
palsu?”
“Ya nomor beneran lah Bu, biasanya Hesti juga menelpon
nomor itu.”
“Berkali-kali ibu mencoba, tapi tidak berhasil.
Nomornya tidak aktif.”
“Pasti dia telah mengganti nomornya.”
“Temui dia dan tanyakan nomor baru nya berapa? Ibu
akan meminta dia melakukan sesuatu.”
Tapi dia sudah pindah juga Bu, Hesti tidak bisa
menemuinya lagi.”
“Pindah bagaimana? Kalau dia itu teman kamu, masa kamu
tidak tahu dimana rumahnya?”
“Tidak tahu Bu. Dia hanya seorang penjual gorengan.
Tadi Hesti mencarinya, dia sudah tidak jualan ditempat semula lagi.”
“Ya ampuuun.”
Bu Sriani menutup ponselnya dengan kesal. Hesti
mengusap air matanya. Ia sungguh merasa lelah menuruti kemauan ibunya. Ia sudah
putus asa dan kebingungan. Tiba-tiba Hesti teringat seniornya yang baik hati.
Sarman. Ia menyesal tidak menanyakan nomor kontaknya.
“Apakah besok aku bisa ketemu di kampus?” gumamnya
pelan.
“Dia itu sering memarah-marahi aku, tapi aku senang
mendengar omelannya. Jadi teringat almarhum ayahku,” gumamnya kemudian sambil
merebahkan tubuhnya di ranjang.
***
“Mengapa melamun sendirian di sini?” tegur Haryo
ketika melihat Desy duduk di teras sendirian.
“Gerah, pengin udara segar Pak,” jawab Desy.
Haryo duduk di depannya. Ditatapnya wajah anak
gadisnya. Ia melihat ada kegelisahan di sana.
“Kamu itu kan anak bapak yang pemberani, kuat.”
Desy menatap ayahnya.
“Tapi kamu takut memperjuangkan hidup kamu sendiri.”
“Desy tidak takut Pak.”
“Ya, tidak takut, tapi kan tidak berani. Sama saja
kan?”
“Menurut Desy, berumah tangga itu rumit.”
“Masa?”
“Iya. Desy baru mau melangkah, sudah ada saja
halangannya.”
“Bukankah halangan itu ujian?”
Desy menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya di
kursi.
“Kamu jangan bercermin pada kelakuan bapakmu ini.
Bapak memang laki-laki yang buruk untuk dijadikan contoh. Bapak telah membuat
hati ibumu sakit, memorak- porandakan sebuah keluarga yang manis dan penuh kasih
sayang. Tapi ini bukan cermin dari kehidupan sepenuhnya. Dunia itu begitu luas.
Penuh warna dan ragam. Kamu adalah salah satu warna itu. Kamu salah satu dari
ragam itu. Sebuah halangan bukan awal dari kegagalan. Kekuatan cinta itu sangat
besar. Dan kekuatan cinta ibu kamu lah yang kemudian membuat bapak kembali.
Kembali ke sebuah jalan yang harusnya bapak lalui sejak awal.”
Desy terus menatap ayahnya, yang berbicara sambil
menerawang ke langit-langit teras.
“Desy sudah berani mengambil keputusan,” gumamnya
pelan.
“Lalu …”
“Tapi ada hal berat yang harus Desy hadapi.”
“Mendengar bahwa Danarto sudah dijodohkan?”
“Desy tak ingin merebutnya. Perjodohan dari orang tua
adalah amanah yang harus dijalani bukan?”
“Kamu belum mendengar dari Danarto tentang hal itu.”
“Justru karena mas Danarto belum cerita itu, Desy jadi
ragu-ragu. Mas Danarto menyimpan sebuah kebohongan.”
“Semua ada alasannya.”
“Mungkin. Dia pasti akan mencari-cari alasan itu.”
“Jangan berprasangka buruk pada seseorang. Komunikasi
adalah jalan terbaik.”
Desy mengangguk pelan. Tapi tampaknya dia belum yakin
pada apa yang harus dilakukannya.
***
Siang hari itu Danis menemui Danarto yang tampak sedang
mencari-cari.
“Hei, mana oleh-oleh dari Surabaya?”
“Aku mau ketemu Desy.”
“Dia baru saja pergi.”
“Apa?”
“Dia mengajukan cuti selama seminggu.”
“Dia bilang apa?”
“Aku tidak ketemu. Orang kantor yang memberi tahu
aku.”
Danarto menghela napas.
“Bagaimana kabar Surabaya?”
“Sudah selesai. Dia itu pembohong.”
“Pembohong? Maksudnya .. sebenarya kamu tidak di
jodohkan?”
“Tidak. Hanya sebuah tulisan, besok kalau anak
kita lahir laki-laki dan perempuan, bisa nggak ya kita berbesan. Itu tulisan
yang tertulis dibalik selembar foto. Foto dia dan ibuku setelah lulus sekolah.”
“Wah, itu bukan perjanjian perjodohan. Hanya sebuah
angan-angan. Tidak bisa dikatakan perjodohan. Anaknya saja belum pada lahir.”
“Aku diam-diam merekam pembicaraanku dengan ibunya
Hesti.”
“Bagus. Desy harus mengerti. Tapi kemana dia ya,
mengapa harus cuti segala?”
“Nanti aku mau ke rumahnya saja.”
“Nitip ya.”
“Nitip apa?”
“Nitip salam.”
“Untuk Desy?”
“Bukan, untuk Tutut.”
“Hei, apa kamu suka sama dia? Duda
saja belum di sandang sudah main taksir,” omel Danarto.
“Apa sih? Kan cuma nitip salam. Nggak
boleh, gitu?”
“Baiklah. Boleh kok. Nanti aku
sampaikan, demi calon duda yang memelas ini,” canda Danarto. Dan keduanya
terkekeh bersama.
***
Hesti termenung di bawah pohon
trembesi. Ia berharap bisa bertemu Sarman. Banyak yang akan dikeluhkannya. Tapi
sampai lewat tengah hari ia tak melihat seniornya itu lewat. Memang Sarman
tidak setiap hari datang ke kampus. Hesti gelisah, merasa tak sanggup menahan
beban yang tersampir di pundaknya. Ibunya bersikeras agar dirinya bisa
mendapatkan Danarto, tapi ia sungguh merasa lelah berharap. Sebenarnya ini
bukan maunya. Ia suka Danarto, karena siapa sih yang nggak suka, dokter, muda,
ganteng, baik hati. Tapi kalau terus-terusan harus mengejarnya, ia merasa sudah
kehabisan napas. Ia lebih merasa kesal karena ibunya terus menuntutnya agar tak
berhenti mengejar.
“Tidak, aku tidak mau lagi,” gumamnya
sambil berdiri, lalu melangkah menuju pulang. Hanya dengan tidur ia bisa
melupakan semuanya.
***
Setelah makan siang itu Tindy melihat
Desy bersiap akan pergi.
“Mau ke mana?”
“Keluar sebentar bu.”
“Kamu tetap mau berangkat menemui
kakak kamu?”
“Kalau visa sudah siap Bu.”
“Ya sudah, terserah kamu saja," kata Tindy pasrah.
“Desy pergi sebentar Bu.”
Desy sudah hampir masuk ke dalam
mobilnya, ketika tiba-tiba dilihatnya seorang anak kecil berlari tertatih
mendekatinya,
“Aunty … !”
Desy tegak disamping mobil, sebelum
kemudian menubruk anak kecil itu dan memeluknya erat.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda cerbungnya
ReplyDeleteTeroma kasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Salam ADUHAI
alhamdulillah... Adihai Ah
ReplyDeletematurnuwun bu Tien
Alhamdulillah ....Trimakasih bu Tien
ReplyDeleteSelamat jeng Nani juara 1
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien. AA 18 semakin Aduhai Ah ๐คฉ
Alhamdulillah ADUHAI AH~18 telah hadir..
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien..๐
Alhamdulillah Uti Nani Juara 1, setelah kemarin gak nongol sebab lagi merayakan hut cucu tercintanya.
ReplyDeleteBarakallahu fii umrik buat cucunda.
Ibu tien pancen piawi bikin hati pembaca gemes penasaran dan piye piye yo bacutxa crita ini siiiip aduahai ah
ReplyDeleteAlhmdllh.... terima kasih Mbu Tien...
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien ADUHAI AH eps 18 sdh ditayangkan, tetap semangat dan bersabar walau karyamu "dibajak" orang, semoga Allah memberikan ganjaran atas keusilannya. Aamiin.
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien. Salam sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah jeng Nani juarane๐
ReplyDeleteUntung kakaknya Desy datang dari Amrik shg gagal deh Desy ke Amrik
ReplyDeleteDitunggu ya bu lanjutannya. Salam sehat selalu
ReplyDeleteMakasih ibu๐
ReplyDeleteAlhamdulillah .. Lala datang ya ?
ReplyDeleteSyukron Mbak Tien ๐๐ท๐ท๐ท๐ท๐ท
Alhamdulillah....suwun bu Tien
ReplyDeleteYeeee, mbak Desy ngga jadi kabur dari Mas Danar ... ๐๐๐๐
ReplyDeleteAyo Mas Danar, cepetan ke rumahnya..
Alhamdulillah ADUHAI-AH 18 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillaah dah tayang... makasih bunda salam sehatselalu ku tunggu kelanjutannya
ReplyDeleteAlhamdulillah mbak Tien semoga selalu sehat² semangat, salam aduhai ah....
ReplyDeleteDesy sudah hampir masuk ke dalam mobilnya, ketika tiba-tiba dilihatnya seorang anak kecil berlari tertatih mendekatinya,
ReplyDelete“Aunty … !”
Desy tegak disamping mobil, sebelum kemudian menubruk anak kecil itu dan memeluknya erat.
Lha dalah...... belum juga berhasil dapat visa...... ternyata kedahuluan Narend dan ibunya Lala sdh tiba di tanah air........
Bunda memang piawi membuat hagti para pembacanya penasaran.... Selamat malam bunda dan tetap semangat.
Salam ADUHAI dari mBandung.
๐๐๐ญ๐ฎ๐ซ ๐๐ฎ๐ฐ๐ฎ๐ง ๐๐ฎ ๐๐ข๐๐ง ๐๐ฉ๐ฌ 18 ๐ญ๐๐ฅ๐๐ก ๐ญ๐๐ฒ๐๐ง๐ ...๐๐
ReplyDelete๐๐๐ฅ๐๐ฆ ๐ฌ๐๐ก๐๐ญ & ๐ฌ๐๐ฅ๐๐ฅ๐ฎ ๐ฌ๐๐ฆ๐๐ง๐ ๐๐ญ ๐๐ฎ๐๐ญ ๐ข๐๐ฎ ๐๐ข๐๐ง & ๐ค๐๐ฅ๐ฎ๐๐ซ๐ ๐.๐ฌ๐๐ฆ๐ฎ๐...๐๐๐ฆ๐ข๐ข๐ง ๐๐๐.
Lha kan nggak bisa nggรชgรชm kรชncรชng kemauan mu thรฅ, Des, trus gimana..
ReplyDeleteMasih ingat kenangan bersama Danarto thรฅ, pakai senyum² ditegur Tutut; "gimana seeh dari tadi ah ah terus, malah senyum senyum sendiri, semoga nggak konslรจt".
Nekat, mau pergi malah dipanggil Narend; "Aunty".
Batal dรจh mau melarikan diri.
Malah kebetulan, semua pada kumpul bisa menyaksikan menerima lamaran Danarto.
Tut, mas Sarman di kabari ya, datang ke rumah, nich keluarga mau menerima tamu dari kerabat Danarto.
ADUHAI
Senangnya aunty Desy nguyel uyel Narend.
Yang sudah bisa berlarian dan bicara terdengar lucu menggemaskan.
Biarlah kepusingan dialami mereka yang mau ngakalin, batalnya Danarto melamar Desy, biar puas berpusing ria.
Hallo Tutut, dapat salam dari dokter Danis. Cihuy..
Masa seeh pasangan Danarto dan Desy yang direkomendasikan oleh dokter Linda; bisa bisanya mau di gagalkan dan di teror sama Endah; sorry lha yauw.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke delapan belas sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan berbahagia bersama keluarga tercinta
๐
AlhamdulIllah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Salam ADUHAI.....ah
ReplyDeleteAkhirnya Narend keponakan Desy sudah datang duluan,alamat Desy batal ke Lala dan Danarto segera bertemu dengan Desy ,masalah jd beres tapi tunggu besok lagi.
ReplyDeleteSalam aduhai mbak Tien dari Tegal.
Desy gagal berangkat, dan Danarto sebentar lagi juga datang...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah berkunjung.
ReplyDeleteNaahhh...bukan perjanjian, bukan wasiat. Tidak perlu direpotkan.
Hesti masih 'hijau' sehingga belum dapat berfikir secara dewasa.
Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Keren ...seru...
ReplyDeleteWuih makin kesel ma Ibu nya Hesti ..ho ho ternyata endah yg ngaku2 ke Desy ..eee tahu dr mana no Desy ...?? Wah kok ya gak masuk akal .hesti ooo kasian Desy ayo Danarto cepat raih hatinya Desy melalui cintamu u Desy ..bu Tien nih buat jd bete aahj Aduhhai deh ptp ttp makasih deh ..jgn pisahksn Desy dan Danarti dan jujur Sarman ma Hesty cucok ...Endah perlu di kuliti ๐๐๐๐คฒ
ReplyDeleteHmmm..kq jadi ikut geram liat bu.Sriani to ya...hadeeww ๐
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah AA18 telah tayang, terima kasih mbak Tien, senang Desy g bisa menghindari dr Danarto, makin penasaran nich. Moga mb Tien sehat dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteIhi si kecil narend datang di pas waktu yg tepat....trims Bu tien
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, makin berkembang makin asik.... ๐
ReplyDeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteAduhai Ah.Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteSemakin membuat penasaran untuk menunggu kelanjutannya... Moment nya pas dengan keinginan Desy, jadi tdk usah jauh jauh ke Amrik..
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien... Semoga senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin. Aamiin Yaa Robbal'alamiin...
Aduhaiii....
ReplyDeleteSehat selalu mbak Tien
Si bocah kecil...Narend
ReplyDeleteHallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....