ADUHAI AH 17
(Tien Kumalasari)
Tindy menatap anaknya tak berkedip.
“Desy ?”
“Oh, ini apa. Bagus, masih bisa dipergunakan,”
gumamnya sambil mengambil sebuah buku tipis kecil yang tadi entah terselip di
mana.
“Desy?”
“Ibu, Desy ingin main kesana. Kangen sama mbak Lala,
kangen sama si kecil Narend,” katanya sambil duduk di sofa.
“Kangen sama mereka, atau lari dari situasi ini?”
Desy menghela napas berat.
“Pikirkan baik-baik sebelum melangkah. Ibu percaya,
bahwa kakak kamu pasti juga akan memarahi kamu atas sikap kamu yang seperti
ini.”
“Desy sudah bilang sama mbak Lala. Desy ingin
melanjutkan kuliah di sana.”
“Tidak,” kata Tindy tandas.
“Ibu, mengapa Desy tidak boleh mengembangkan karier
dengan menambah ilmu di sana?”
“Boleh, tapi tidak di sana. Disini kamu bisa menimba
ilmu setinggi apa yang kamu inginkan. Mengapa harus ke sana?”
“Mbak Lala diijinkan, kenapa Desy tidak?”
“Karena bukan itu keinginan kamu yang sebenarnya. Kamu
hanya ingin lari.”
Desy menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa, lebih
dari dewasa. Sebuah persoalan harus dihadapi dan diselesaikan. Bukan ditinggal
pergi.”
“Yang jelas adalah, Desy takut untuk menjalani hidup
berumah tangga.”
“Kamu sakit Desy. Sakit karena ketakutan yang tak
beralasan. Ibu kan sudah bilang, jangan bercermin pada keluarga yang gagal,
bercerminlah pada keluarga yang damai dan bahagia.”
Desy tak menjawab. Bayangan demi bayangan yang
menakutkan kembali melintas. Perlakuan ayahnya ketika itu, penderitaan ibunya
saat itu, ditambah kegagalan Danis dalam berumah tangga, dan ditambah lagi
suara telpon yang mengabarkan bahwa Danarto sudah ditunangkan. Semua membuatnya
takut.
“Terserah kalau kamu ingin bertemu kakak kamu di sana,
tapi tidak boleh terlalu lama. Apalagi sampai ingin menimba ilmu disana,” kata
Tindy tandas, kemudian berdiri dan meninggalkan kamar anaknya.
Desy masih terpaku di sofa. Alangkah mudah mengucapkan,
seperti yang dikatakan ibunya, tapi sulit bagi Desy untuk menjalaninya. Ia
begitu ragu untuk melangkah. Ia tak mempercayai siapapun. Ia hanya bisa
menutupi hatinya yang terluka, dengan menjauhi siapapun yang membuatnya luka.
***
“Nggak usah masuk lah Tut, turun di luar saja,” kata
Danis ketika hampir sampai di rumah sakit.
“Biar saja Mas, masa nganterin kok cuma sampai di
luar?”
“Nanti kamu gantian yang terlambat.”
“Waktunya masih lama. Ayo masuk saja,” pinta Tutut
kepada Danis yang membawa mobilnya.”
“Jadi menyusahkan nih,” kata Danis sambil langsung
memasukkan mobilnya ke halaman dan berhenti di lobi.
“Masa cuma begini saja susah?”
“Terima kasih banyak ya Tut?” kata Danis sambil turun.
“Sama-sama Mas, nanti perlu dijemput?”
Danis terbahak keras sekali.
“Dosa aku, kalau minta gadis cantik ini menjemput aku
pula.”
“Cuma begitu saja kok dosa?”
“Ya iya lah, sudah diantar, minta dijemput. Yuk, sudah
ah, nanti kamu terlambat.”
Tutut melambaikan tangan, lalu membawa mobilnya pergi.
Danis terus mengawasinya sampai bayangan mobil itu lenyap dari pandangan.
“Hei, Desy mengantar kamu?”
Danis terkejut ketika Danarto menepuk pundaknya keras.
“Danar! Sakit, tahu!”
“Kamu diantar Desy?”
“Ya ampun, khawatir amat. Itu bukan Desy tapi Tutut.”
“Oh, kirain … Soalnya kan itu mobilnya Desy.”
“Desy absen hari ini,” kata Danis sambil melangkah,
diikuti Danarto.
“Kemana dia?”
“Nggak tahu aku. Tadi aku mau nyamperin dia, karena
kan mobilnya aku bawa, tapi dia masih mandi, yang keluar Tutut. Dia bawa
mobilnya ke kampus, aku dianterin sampai ke rumah sakit.”
“Sebenarnya aku ingin bicara sama Desy. Kok malah
nggak datang sih?”
“Aku kira Desy masih ingin menjauh dari kamu. Dia itu
amat perasa.”
“Menurutmu aku harus bagaimana?”
“Selesaikan dulu permasalahan kamu dengan gadis itu,
baru bicara sama Desy.”
Danarto termenung. Ia ingat, bahwa ia harus ke
Surabaya. Sebaiknya siang ini dan langsung kembali.
“Aku mau ke Surabaya sebenarnya.”
“Mengapa tidak menelpon saja?”
“Nggak enak. Aku harus ketemu dan meyakinkan ibunya
Hesti bahwa aku sudah punya calon isteri. Aku kesal dia juga menelpon Desy yang
pasti membuat Desy terluka.”
“Baiklah, kamu benar, tidak enak bicara soal itu hanya
dengan menelpon.”
“Jadi aku akan pulang secepatnya nanti. Mudah-mudahan
tidak banyak pasien hari ini.”
“Semoga persoalan kamu segera beres. Ingin cepat-cepat
melihat kalian menikah.”
“Supaya kamu cepat ketularan ?” goda Danarto.
Danis hanya tertawa. Terbayang kembali gadis kecil
yang dulu sering diganggunya, dan sekarang sudah tumbuh dewasa, cantik
mempesona. Tutut, adiknya Desy.
***
Sarman sudah mau pulang dari kampus, setelah
mendapatkan buku-buku yang diperlukan dalam mengerjakan tugasnya. Tapi sebelum
ia masuk ke area parkir, dilihatnya seseorang duduk di bawah pohon besar. Pohon
trembesi yang sedang berbunga, dan sebagian bunganya yang rontok oleh angin
menyebar di pelataran sekitar, menampakkan warna-warna cantik menyegarkan.
Sarman mengenali gadis itu. Selalu saja ia melihat wajah murung menghiasi paras
cantiknya. Di situ juga seperti beberapa hari yang lalu dia melihatnya.
“Hai …” sapa Sarman sambil duduk di sebelahnya,
setelah sebelumnya menjumput kelopak bunga berwarna orange yang jatuh di
rambutnya.
“Mas Sarman?”
“Kenapa lagi?”
“Nggak apa-apa.”
“Patah hati kan? Cinta tak berbalas kan?”
Hesti merengut. Sarman menebak dengan sangat tepat.
“Jangan mengejek aku,” sungutnya.
“Bukan mengejek, hanya menebak. Persis ya?”
Mata Hesti berkejap-kejap. Kegagalan atas semua upaya
untuk mendekati Danarto sangat membuatnya kecewa. Dokter tampan itu bergeming,
bahkan mempermalukannya karena ia tahu dirinya berpura-pura sakit.
“Gara-gara penjual gorengan itu,” gerutunya tanpa
sadar bahwa Sarman tentu saja tak tahu siapa yang dimaksud.
“Beli gorengan? Nggak enak karena sudah dingin? Memang
gorengan itu enaknya dimakan saat hangat. Saat masih baru diangkat dari wajan.”
“Ih, ngarang.”
“Ngarang?”
“Ini bukan masalah beli gorengan.”
“Lalu …”
“Masalah … , enggak … nggak apa-apa.”
“Gimana sih? Aku sudah pasang telinga untuk
ngedengerin cerita, akhirnya hanya bilang nggak apa-apa.”
“Mas Sarman bilang, bahwa dokter Desy itu adik mas
Sarman?”
“Iya.”
“Pantesan ada miripnya.”
“Masa sih?”
“Hidungnya, matanya, mirip.”
Sarman meraba hidung dan matanya. Tak percaya dibilang
mirip.
“Benar kok.”
Sarman hanya tersenyum. Pastilah gadis itu
mengada-ada. Mereka kan hanya saudara angkat, mana bisa ada miripnya.
“Tapi benarkah dokter Desy itu kejam? Maaf lho Mas,
saya memang suka bicara terus terang.”
“Kejam?” Sarman menoleh ke arah gadis di sampingnya.
“Dia tega melukai penjual gorengan itu sampai wajahnya
penuh luka.”
“Apa? Kamu bicara tentang adik aku? Desy, melukai
penjual gorengan? Dongeng dari mana itu? Desy gadis yang baik, penuh kasih
sayang, santun.”
“Iyalah, adiknya sendiri, dipuji-puji …” kata Hesti
seenaknya.
“Bukan karena dia adikku. Tak mungkin saja mendengar
dia melakukan hal-hal yang kejam. Sampai melukai seorang penjual gorengan?
Siapa bilang?”
“Penjual gorengan itu, tadinya pacarnya dokter
Danarto, terus dokter Desy merebutnya, sampai melukai wajah penjual gorengan
itu.”
“Haaa? Apa dia mimpi? Dan kamu juga seperti anak kecil
yang begitu gampang percaya mendengar bualan semacam itu. Nggak mungkin semua
itu, nggak bener. Aku mengenal mereka semua dan tak mungkin mereka
melakukannya. Dimana penjual gorengan itu mangkal? Biar aku samperin dia,”
geram Sarman.
“Jangan Mas, biarin.”
“Lhoh, kok biarin. Ini pencemaran nama baik.”
“Jangan Mas, dia bilang, kalau cerita itu menjadi
kasus, aku juga akan ikut dipenjara.”
Sarman menepuk jidatnya. Gadis disampingnya ini polos,
atau memang bodoh? Sarman menoleh ke arah samping, melihat mata sayu yang
menyimpan banyak kekecewaan, dan rasa iba segera memenuhi hatinya.
“Kamu masih berharap untuk bisa memiliki dokter
Danarto?
Hesti diam saja.
“Kamu menyukainya?”
“Bukankah dia sangat ganteng? Pintar. Kata ibuku, aku
sangat pantas bisa berdampingan dengan dia.”
“Itu kan kata ibu kamu.”
“Apakah itu salah?”
“Kamu akan mengalami banyak kekecewaan ketika berusaha
mendekati dia. Itu pasti, karena dokter Danarto sangat mencintai Desy.”
“Tapi kami sebenarnya dijodohkan.”
“Kamu ingin berjodoh tapi tidak mendapatkan cintanya?
Hidup tanpa cinta itu sakit. Ketika kamu mencintai seseorang dan seseorang itu
tidak mencintai kamu, itu juga sakit. Bersikaplah dewasa, walau kamu masih
kanak-kanak.”
Hesti terdiam. Apakah memang dia harus menerima nasib?
Danarto bukan jodohnya? Keraguan merayapi hatinya. Berat ya, melepaskan harapan
atas Danarto yang menurutnya laki-laki yang sangat luar biasa. Ibunya telah
menimangnya dengan selendang harapan yang membuatnya selalu berangan-angan.
Sarman berdiri dan bermaksud mengambil sepeda
motornya, lalu pulang. Tapi Hesti memanggilnya.
“Mas!”
“Ya.” Sarman menoleh.
“Anterin aku pulang ya. Aku nggak bawa motor,” katanya
sambil berdiri dan mengikuti langkah Sarman.
“Baiklah. Bayar lho ya,” canda Sarman.
“Berapa?”
“Semangkuk bakso.”
“Mau, aku juga lapar.”
“Eh, nggak … aku bercanda. Kamu lapar? Aku saja yang
mentraktir kamu, ayuk.”
Hesti tersenyum. Senior yang satu ini ternyata
menyenangkan.
***
Siang itu sedianya Danis mau menumpang Danarto saat
pulang, tapi Danarto ternyata sudah pulang duluan karena hari itu dia akan ke
Surabaya. Danis berjalan keluar, sambil memanggil taksi online. Tapi di jam
sibuk begini ternyata susah mencari taksi. Danis berjalan keluar. Susah ya,
tidak punya kendaraan sendiri. Lalu ketika taksi yang dipesannya datang, ia
memintanya untuk diantar ke sebuah dealer mobil.
“Mas Danis !”
Teriakan nyaring itu terdengar ketika dia turun dari
taksi. Danis urung masuk ke dalam, karena yang memanggilnya kemudian memarkir
mobilnya di sana.
“Tutut?”
“Ayo bareng lagi.”
“Sebentar, aku mau …”
“Oh, mau beli mobil baru?” kata Tutut yang kemudian turun
dari mobilnya.
“Cuma melihat-lihat saja. Duitnya cukup enggak,” katanya
sambil tersenyum.
“Mas Danis bisa aja. Ya cukup lah. Ayo aku ikut.”
“Ayo, siapa tahu kamu juga pengin beli,” katanya
sambil melangkah masuk.
“Wah, aku beli mobil, duitnya dari mana? Ini juga pakai
mobilnya mbak Desy, kalau enggak ya mobilnya ibu.”
“Besok beli sendiri, kalau sudah lulus dan bekerja. Ya
kan?”
Tutut tersenyum. Ia mengikuti Danis melihat dan
memilih.
“Mas Danis pilih yang seperti apa sih?”
“Yang cukup duitnya buat beli.”
Keduanya tertawa renyah.
***
“Mana penjual gorengan itu? Sungguh aku ingin bertemu
dia,” kata Sarman yang memaksa Hesti agar mengantarkannya kepada penjual
gorengan yang telah banyak membual dan membuat Hesti percaya. Tadinya Hesti
keberatan, dia takut Endah akan membawa namanya dan menyeretnya ke penjara
seandainya Danarto melaporkannya pada polisi. Tapi Sarman menenangkannya, dan
membuatnya menuruti kemauannya.
“Biasanya disini,” kata Hesti ketika motor Sarman
telah berhenti atas permintaan Hesti.
“Nggak jualan barangkali?”
“Cari siapa Mas?” tanya seorang tukang tambal ban yang
mangkal di dekat gerobag, di mana Endah berjualan.
“Yang jual gorengan mana ya?”
“O, sudah pindah dari sini,” jawabnya.
“Pindah?” tanya Hesti heran.
“Tadi pagi-pagi sekali membawa gerobagnya pergi.
Katanya mau cari tempat lain yang lebih pas. Padahal sebenarnya di sini laris
lho.”
“Pindah, dia,” kata Hesti.
“Ya sudah, pasti dia takut ketahuan belangnya,” kata
Sarman yang kemudian menstarter motornya, dan menjalankannya ketika Hesti sudah
duduk di belakangnya.
“Berarti dia benar-benar bohong, dan sudah
menjerumuskan aku ke hal-hal yang memalukan,” seru Hesti kesal.
“Hal memalukan itu apa?”
“Nggak, aku nggak mau cerita.”
“Kok nggak mau?”
“Namanya juga memalukan, masa diceritakan.”
Sarman tersenyum. Hesti benar-benar lugu. Dalam hati
Sarman berharap agar Hesti bisa memahami arti sebuah cinta yang sesungguhnya,
bukan karena dorongan dari orang tuanya yang mengharapkan menantu keren seperti
Danarto.
***
“Kamu dari mana saja? Katanya nggak ada kelas?” tanya
Desy ketika Tutut sudah sampai di rumah.
“Ngobrol sama teman, lalu pulang dan ketemu mas Danis
lagi.”
“Haa? Ketemu Danis?”
“Ketemu di depan sebuah dealer mobil.”
“Danis beli mobil?”
“Tadi baru melihat-lihat, lalu aku mengantar dia
pulang. Memangnya kemana mobilnya?”
“Dibawa isterinya.”
“Oh, isterinya sering pakai mobil? Apa dia bekerja?”
“Tidak. Mereka mau bercerai.”
“Astaga naga. Jadi dia itu duda?”
“Calon duda.”
“Wah, duren dong,” kata Tutut cengengesan.
“Kamu tuh,” tegur Desy sambil meminta kunci mobilnya.
“Mbak mau kemana?”
“Ada urusan. Aku mau ketemu mbak Lala.”
“Apa? Kapan?”
“Secepatnya. Sudah, ngomongnya nanti, aku buru-buru,”
kata Desy sambil berlalu.
“Ya ampun, nggak bilang-bilang. Kalau bilang aku
pengin ikut,” omel Tutut.
***
Danarto sudah sampai di Surabaya, dan ketemu bu Sriani
yang sebenarnya sedang sibuk mengurus usaha garmen yang sudah lama digelutinya.
Suaminya sudah meninggal dan dia mengurusnya seorang diri bersama para
pembantunya.
“Aku senang kamu akhirnya datang Danar, apakah kamu
sudah setuju dan bersedia menikahi Hesti? Tidak apa-apa dia berhenti kuliah
kalau memang kamu menginginkannya,” katanya enteng.
“Saya mohon maaf Bu, kedatangan saya kemari justru
ingin mengatakan bahwa saya tidak bisa menjalani perjodohan itu.”
“Apa katamu?” nada suara bu Sriani meninggi.
“Saya sudah punya calon isteri, dan sebentar lagi akan
menikah.”
“Tidak bisa Danar. Apa kamu ingin menjadi anak yang
tidak berbakti? Apa kamu ingin almarhumah ibu kamu tidak tenang di alamnya
sana?”
“Saya yakin ibu akan mengerti.”
“Tidak. Tunggu sebentar, aku punya surat pernyataan
dari almarhumah tentang keinginannya itu. Biar aku ambilkan,” kata bu Sriani sambil
berdiri.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....tks Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aduhai Aaah
Alhamdulillah AD..AH_17 Sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih banda, salam sehat selalu.
Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah... matur suwun bu Tien
ReplyDeleteMakasih Bunda met malam dan met istirahat
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteAda bukti persetujuan perjodohan? Apa bukan aspal ? Kita lihat saja nanti bagaimana penyelesaian.
ReplyDeleteSalam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdulillah ADUHAI-AH 17 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien 🤗💖
ReplyDeleteSabar ya ,,Danarto,,,
Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien
Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulilah......
ReplyDeleteAlhamdulillah ...trimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien sudah tayang lebih awal.....semoga Desy semakin bersikap dewasa.....😊
ReplyDeleteSalam sehat selalu...🙏🙏
Wah Jan Bu sriani Ki pemaksaan tenan opo Yo gak isin to Yo....trims AA udah hadir
ReplyDeleteAduh...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Aduh surat pernyataan perjodohan...
ReplyDeleteAh... Gemesin banget sih. 😆😆😆
Bu Tien emang keren klo udah mengaduk-aduk perasaan pembacanya.
Sehat selalu ya Bu..
alhamdulillah..
ReplyDeleteadahai ah
Alhamdulilah, terima kasih bu tien, salam sehat
ReplyDeleteMakasih bu Tien,dan ini bu Srini ngengkel wae kok ya pingin nikahkan anaknya ma Dr Danarto hahaja cinta nya ma Desy kok ya cinta terkiwir2 hahhaah tambah runyam Desy lari u apa lg lari Desy kok gak elegan seh dak dewasa ..bu Tien aduh buat mangkel n geumes juga
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien yang semakin aduhai 👍❤
ReplyDeleteAlhamdulillaah dah tayang langsung baca... makasih bunda. Salamsehat selalu
ReplyDeleteWaduh.... ruet-ruet Aduhai Hai trs part nya.... sehat² Mbu Tien dan keluarga.....
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 17 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Bu Sriani.ngeyilll..
ReplyDeleteNgeyilll
ReplyDeleteMatursuwun mbak Tien...
ReplyDeleteAduhaiiakin banyak konflik...
Tunggu tayangan berikutnya...
Salam sehat mbak Tien
Aduhai ah, paling akal²an Bu Sriani.
ReplyDeleteSemoga Desi bahagia bersama Danarto .
Makasih mba Tien.
Salam sehat selalu
Kq y ada orang seperti Bu.Sriani itu,.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien, salam ADUHAI AH..😊
Alhamdulillah ADUHAI AH Eps 17 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Aduhai... Ah.... Bertambah ruwet bu Tien, hehehe
ReplyDeleteJangan percaya Danar, ttg surat itu. Bisa saja surat itu yg menulis ibunya Desy, untuk menjebak Danarto.. Semakin ruwet saja... Maturnuwun mbak Tien...
ReplyDeleteWow Sriani masuk kamar mengambil serat kekancingan
ReplyDeleteMuka Danarto abang ireng yang katanya ditulis tangan oleh ibunya..
Surat meragukan itu karena kertas merang tulisan paké péna tinta; blobor disana-sini menjadikan tidak terbaca dengan jelas
Djikalaoe soedah teroena akoe cocokken dengan anak koe
Semoga setoedjoe dan joega akoer
Lha ini pakai semoga akur lha berapa tahun tidak ada perembukan tentang ini gimana perjalanan hidupnya.
Selama ini Larsih tidak pernah menyinggung perjodohan pada diri Danarto, apa ini tidak memaksakan kehendak namanya.
Jaman sudah berlalu sudah tidak jamannya jodoh jodohan, tidak ada anak jaman sekarang yang mau dengan perjodohan kunå gini.
Jelas ini mengada ada saja, memutus harapan cita cita orang saja
Barusan kenal sudah sok dekat, jodoh jodohan lagi.
Hesti merasa nyaman bersama Sarman ketenangan dalam belajar juga dia dapat karena memang Sarman telaten melayani apa maunya Hesti, kesulitan kesulitan dalam belajar, dibimbingnya.
Hesti malah yang menolak perjodohan itu.
Bagaimana bisa hidup bersama tanpa belaian selendang saling menyayangi dan saling perhatian.
Kaya wayang kulit simpangan tanpa saling tegur, malah dalang sering nggapruk nggabruké kalau menggambarkan sedang berselisih paham, apa nggak tambah sakit.
Hati kosong tanpa isi, terlihat kaya orang kesurupan, menakutkan; orang kaya robot, ngikutin apa maunya dalang.
Yang penting perut isi.
Walah
Danarto kembali ke kewajiban pekerjaan nya, deleg-deleg; Desy sudah pergi menjauh diluar area, waw cuman dijawab - mohon tinggalkan pesan setelah bel berbunyi
Waduh di akhiri tanda pagar, semakin terbatas donk ada pagarnya.
Pong Pong bolong pecahå endogké siji piyak, ajur mblabar èpèk-èpèk napak lemah.
Ora biså nggegem
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke tujuh belas sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia lah selalu bersama keluarga tercinta
🙏
Terima msih AA 17 nya bunda..smkin penasaran aja bgmn dgn Danarto dan Desy..mungkinkah mrk bersatu dan bahagia..Salam seroja dri sukabumi unkbundaqu 🙏😘😘🌹🌹
ReplyDelete