Tuesday, May 10, 2022

ADUHAI AH 17

 

ADUHAI AH  17

(Tien Kumalasari)

 

Tindy menatap anaknya tak berkedip.

“Desy ?”

“Oh, ini apa. Bagus, masih bisa dipergunakan,” gumamnya sambil mengambil sebuah buku tipis kecil yang tadi entah terselip di mana.

“Desy?”

“Ibu, Desy ingin main kesana. Kangen sama mbak Lala, kangen sama si kecil Narend,” katanya sambil duduk di sofa.

“Kangen sama mereka, atau lari dari situasi ini?”

Desy menghela napas berat.

“Pikirkan baik-baik sebelum melangkah. Ibu percaya, bahwa kakak kamu pasti juga akan memarahi kamu atas sikap kamu yang seperti ini.”

“Desy sudah bilang sama mbak Lala. Desy ingin melanjutkan kuliah di sana.”

“Tidak,” kata Tindy tandas.

“Ibu, mengapa Desy tidak boleh mengembangkan karier dengan menambah ilmu di sana?”

“Boleh, tapi tidak di sana. Disini kamu bisa menimba ilmu setinggi apa yang kamu inginkan. Mengapa harus ke sana?”

“Mbak Lala diijinkan, kenapa Desy tidak?”

“Karena bukan itu keinginan kamu yang sebenarnya. Kamu hanya ingin lari.”

Desy menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa, lebih dari dewasa. Sebuah persoalan harus dihadapi dan diselesaikan. Bukan ditinggal pergi.”

“Yang jelas adalah, Desy takut untuk menjalani hidup berumah tangga.”

“Kamu sakit Desy. Sakit karena ketakutan yang tak beralasan. Ibu kan sudah bilang, jangan bercermin pada keluarga yang gagal, bercerminlah pada keluarga yang damai dan bahagia.”

Desy tak menjawab. Bayangan demi bayangan yang menakutkan kembali melintas. Perlakuan ayahnya ketika itu, penderitaan ibunya saat itu, ditambah kegagalan Danis dalam berumah tangga, dan ditambah lagi suara telpon yang mengabarkan bahwa Danarto sudah ditunangkan. Semua membuatnya takut.

“Terserah kalau kamu ingin bertemu kakak kamu di sana, tapi tidak boleh terlalu lama. Apalagi sampai ingin menimba ilmu disana,” kata Tindy tandas, kemudian berdiri dan meninggalkan kamar anaknya.

Desy masih terpaku di sofa. Alangkah mudah mengucapkan, seperti yang dikatakan ibunya, tapi sulit bagi Desy untuk menjalaninya. Ia begitu ragu untuk melangkah. Ia tak mempercayai siapapun. Ia hanya bisa menutupi hatinya yang terluka, dengan menjauhi siapapun yang membuatnya luka.

***

“Nggak usah masuk lah Tut, turun di luar saja,” kata Danis ketika hampir sampai di rumah sakit.

“Biar saja Mas, masa nganterin kok cuma sampai di luar?”

“Nanti kamu gantian yang terlambat.”

“Waktunya masih lama. Ayo masuk saja,” pinta Tutut kepada Danis yang membawa mobilnya.”

“Jadi menyusahkan nih,” kata Danis sambil langsung memasukkan mobilnya ke halaman dan berhenti di lobi.

“Masa cuma begini saja susah?”

“Terima kasih banyak ya Tut?” kata Danis sambil turun.

“Sama-sama Mas, nanti perlu dijemput?”

Danis terbahak keras sekali.

“Dosa aku, kalau minta gadis cantik ini menjemput aku pula.”

“Cuma begitu saja kok dosa?”

“Ya iya lah, sudah diantar, minta dijemput. Yuk, sudah ah, nanti kamu terlambat.”

Tutut melambaikan tangan, lalu membawa mobilnya pergi. Danis terus mengawasinya sampai bayangan mobil itu lenyap dari pandangan.

“Hei, Desy mengantar kamu?”

Danis terkejut ketika Danarto menepuk pundaknya keras.

“Danar! Sakit, tahu!”

“Kamu diantar Desy?”

“Ya ampun, khawatir amat. Itu bukan Desy tapi Tutut.”

“Oh, kirain … Soalnya kan itu mobilnya Desy.”

“Desy absen hari ini,” kata Danis sambil melangkah, diikuti Danarto.

“Kemana dia?”

“Nggak tahu aku. Tadi aku mau nyamperin dia, karena kan mobilnya aku bawa, tapi dia masih mandi, yang keluar Tutut. Dia bawa mobilnya ke kampus, aku dianterin sampai ke rumah sakit.”

“Sebenarnya aku ingin bicara sama Desy. Kok malah nggak datang sih?”

“Aku kira Desy masih ingin menjauh dari kamu. Dia itu amat perasa.”

“Menurutmu aku harus bagaimana?”

“Selesaikan dulu permasalahan kamu dengan gadis itu, baru bicara sama Desy.”

Danarto termenung. Ia ingat, bahwa ia harus ke Surabaya. Sebaiknya siang ini dan langsung kembali.

“Aku mau ke Surabaya sebenarnya.”

“Mengapa tidak menelpon saja?”

“Nggak enak. Aku harus ketemu dan meyakinkan ibunya Hesti bahwa aku sudah punya calon isteri. Aku kesal dia juga menelpon Desy yang pasti membuat Desy terluka.”

“Baiklah, kamu benar, tidak enak bicara soal itu hanya dengan menelpon.”

“Jadi aku akan pulang secepatnya nanti. Mudah-mudahan tidak banyak pasien hari ini.”

“Semoga persoalan kamu segera beres. Ingin cepat-cepat melihat kalian menikah.”

“Supaya kamu cepat ketularan ?” goda Danarto.

Danis hanya tertawa. Terbayang kembali gadis kecil yang dulu sering diganggunya, dan sekarang sudah tumbuh dewasa, cantik mempesona. Tutut, adiknya Desy.

***

Sarman sudah mau pulang dari kampus, setelah mendapatkan buku-buku yang diperlukan dalam mengerjakan tugasnya. Tapi sebelum ia masuk ke area parkir, dilihatnya seseorang duduk di bawah pohon besar. Pohon trembesi yang sedang berbunga, dan sebagian bunganya yang rontok oleh angin menyebar di pelataran sekitar, menampakkan warna-warna cantik menyegarkan. Sarman mengenali gadis itu. Selalu saja ia melihat wajah murung menghiasi paras cantiknya. Di situ juga seperti beberapa hari yang lalu dia melihatnya.

“Hai …” sapa Sarman sambil duduk di sebelahnya, setelah sebelumnya menjumput kelopak bunga berwarna orange yang jatuh di rambutnya.

“Mas Sarman?”

“Kenapa lagi?”

“Nggak apa-apa.”

“Patah hati kan? Cinta tak berbalas kan?”

Hesti merengut. Sarman menebak dengan sangat tepat.

“Jangan mengejek aku,” sungutnya.

“Bukan mengejek, hanya menebak. Persis ya?”

Mata Hesti berkejap-kejap. Kegagalan atas semua upaya untuk mendekati Danarto sangat membuatnya kecewa. Dokter tampan itu bergeming, bahkan mempermalukannya karena ia tahu dirinya berpura-pura sakit.

“Gara-gara penjual gorengan itu,” gerutunya tanpa sadar bahwa Sarman tentu saja tak tahu siapa yang dimaksud.

“Beli gorengan? Nggak enak karena sudah dingin? Memang gorengan itu enaknya dimakan saat hangat. Saat masih baru diangkat dari wajan.”

“Ih, ngarang.”

“Ngarang?”

“Ini bukan masalah beli gorengan.”

“Lalu …”

“Masalah … , enggak … nggak apa-apa.”

“Gimana sih? Aku sudah pasang telinga untuk ngedengerin cerita, akhirnya hanya bilang nggak apa-apa.”

“Mas Sarman bilang, bahwa dokter Desy itu adik mas Sarman?”

“Iya.”

“Pantesan ada miripnya.”

“Masa sih?”

“Hidungnya, matanya, mirip.”

Sarman meraba hidung dan matanya. Tak percaya dibilang mirip.

“Benar kok.”

Sarman hanya tersenyum. Pastilah gadis itu mengada-ada. Mereka kan hanya saudara angkat, mana bisa ada miripnya.

“Tapi benarkah dokter Desy itu kejam? Maaf lho Mas, saya memang suka bicara terus terang.”

“Kejam?” Sarman menoleh ke arah gadis di sampingnya.

“Dia tega melukai penjual gorengan itu sampai wajahnya penuh luka.”

“Apa? Kamu bicara tentang adik aku? Desy, melukai penjual gorengan? Dongeng dari mana itu? Desy gadis yang baik, penuh kasih sayang, santun.”

“Iyalah, adiknya sendiri, dipuji-puji …” kata Hesti seenaknya.

“Bukan karena dia adikku. Tak mungkin saja mendengar dia melakukan hal-hal yang kejam. Sampai melukai seorang penjual gorengan? Siapa bilang?”

“Penjual gorengan itu, tadinya pacarnya dokter Danarto, terus dokter Desy merebutnya, sampai melukai wajah penjual gorengan itu.”

“Haaa? Apa dia mimpi? Dan kamu juga seperti anak kecil yang begitu gampang percaya mendengar bualan semacam itu. Nggak mungkin semua itu, nggak bener. Aku mengenal mereka semua dan tak mungkin mereka melakukannya. Dimana penjual gorengan itu mangkal? Biar aku samperin dia,” geram Sarman.

“Jangan Mas, biarin.”

“Lhoh, kok biarin. Ini pencemaran nama baik.”

“Jangan Mas, dia bilang, kalau cerita itu menjadi kasus, aku juga akan ikut dipenjara.”

Sarman menepuk jidatnya. Gadis disampingnya ini polos, atau memang bodoh? Sarman menoleh ke arah samping, melihat mata sayu yang menyimpan banyak kekecewaan, dan rasa iba segera memenuhi hatinya.

“Kamu masih berharap untuk bisa memiliki dokter Danarto?

Hesti diam saja.

“Kamu menyukainya?”

“Bukankah dia sangat ganteng? Pintar. Kata ibuku, aku sangat pantas bisa berdampingan dengan dia.”

“Itu kan kata ibu kamu.”

“Apakah itu salah?”

“Kamu akan mengalami banyak kekecewaan ketika berusaha mendekati dia. Itu pasti, karena dokter Danarto sangat mencintai Desy.”

“Tapi kami sebenarnya dijodohkan.”

“Kamu ingin berjodoh tapi tidak mendapatkan cintanya? Hidup tanpa cinta itu sakit. Ketika kamu mencintai seseorang dan seseorang itu tidak mencintai kamu, itu juga sakit. Bersikaplah dewasa, walau kamu masih kanak-kanak.”

Hesti terdiam. Apakah memang dia harus menerima nasib? Danarto bukan jodohnya? Keraguan merayapi hatinya. Berat ya, melepaskan harapan atas Danarto yang menurutnya laki-laki yang sangat luar biasa. Ibunya telah menimangnya dengan selendang harapan yang membuatnya selalu berangan-angan.

Sarman berdiri dan bermaksud mengambil sepeda motornya, lalu pulang. Tapi Hesti memanggilnya.

“Mas!”

“Ya.” Sarman menoleh.

“Anterin aku pulang ya. Aku nggak bawa motor,” katanya sambil berdiri dan mengikuti langkah Sarman.

“Baiklah. Bayar lho ya,” canda Sarman.

“Berapa?”

“Semangkuk bakso.”

“Mau, aku juga lapar.”

“Eh, nggak … aku bercanda. Kamu lapar? Aku saja yang mentraktir kamu, ayuk.”

Hesti tersenyum. Senior yang satu ini ternyata menyenangkan.

***

Siang itu sedianya Danis mau menumpang Danarto saat pulang, tapi Danarto ternyata sudah pulang duluan karena hari itu dia akan ke Surabaya. Danis berjalan keluar, sambil memanggil taksi online. Tapi di jam sibuk begini ternyata susah mencari taksi. Danis berjalan keluar. Susah ya, tidak punya kendaraan sendiri. Lalu ketika taksi yang dipesannya datang, ia memintanya untuk diantar ke sebuah dealer mobil.

“Mas Danis !”

Teriakan nyaring itu terdengar ketika dia turun dari taksi. Danis urung masuk ke dalam, karena yang memanggilnya kemudian memarkir mobilnya di sana.

“Tutut?”

“Ayo bareng lagi.”

“Sebentar, aku mau …”

“Oh, mau beli mobil baru?” kata Tutut yang kemudian turun dari mobilnya.

“Cuma melihat-lihat saja. Duitnya cukup enggak,” katanya sambil  tersenyum.

“Mas Danis bisa aja. Ya cukup lah. Ayo aku ikut.”

“Ayo, siapa tahu kamu juga pengin beli,” katanya sambil melangkah masuk.

“Wah, aku beli mobil, duitnya dari mana? Ini juga pakai mobilnya mbak Desy, kalau enggak ya mobilnya ibu.”

“Besok beli sendiri, kalau sudah lulus dan bekerja. Ya kan?”

Tutut tersenyum. Ia mengikuti Danis melihat dan memilih.

“Mas Danis pilih yang seperti apa sih?”

“Yang cukup duitnya buat beli.”

Keduanya tertawa renyah.

***

“Mana penjual gorengan itu? Sungguh aku ingin bertemu dia,” kata Sarman yang memaksa Hesti agar mengantarkannya kepada penjual gorengan yang telah banyak membual dan membuat Hesti percaya. Tadinya Hesti keberatan, dia takut Endah akan membawa namanya dan menyeretnya ke penjara seandainya Danarto melaporkannya pada polisi. Tapi Sarman menenangkannya, dan membuatnya menuruti kemauannya.

“Biasanya disini,” kata Hesti ketika motor Sarman telah berhenti atas permintaan Hesti.

“Nggak jualan barangkali?”

“Cari siapa Mas?” tanya seorang tukang tambal ban yang mangkal di dekat gerobag, di mana Endah berjualan.

“Yang jual gorengan mana ya?”

“O, sudah pindah dari sini,” jawabnya.

“Pindah?” tanya Hesti heran.

“Tadi pagi-pagi sekali membawa gerobagnya pergi. Katanya mau cari tempat lain yang lebih pas. Padahal sebenarnya di sini laris lho.”

“Pindah, dia,” kata Hesti.

“Ya sudah, pasti dia takut ketahuan belangnya,” kata Sarman yang kemudian menstarter motornya, dan menjalankannya ketika Hesti sudah duduk di belakangnya.

“Berarti dia benar-benar bohong, dan sudah menjerumuskan aku ke hal-hal yang memalukan,” seru Hesti kesal.

“Hal memalukan itu apa?”

“Nggak, aku nggak mau cerita.”

“Kok nggak mau?”

“Namanya juga memalukan, masa diceritakan.”

Sarman tersenyum. Hesti benar-benar lugu. Dalam hati Sarman berharap agar Hesti bisa memahami arti sebuah cinta yang sesungguhnya, bukan karena dorongan dari orang tuanya yang mengharapkan menantu keren seperti Danarto.

***

“Kamu dari mana saja? Katanya nggak ada kelas?” tanya Desy ketika Tutut sudah sampai di rumah.

“Ngobrol sama teman, lalu pulang dan ketemu mas Danis lagi.”

“Haa? Ketemu Danis?”

“Ketemu di depan sebuah dealer mobil.”

“Danis beli mobil?”

“Tadi baru melihat-lihat, lalu aku mengantar dia pulang. Memangnya kemana mobilnya?”

“Dibawa isterinya.”

“Oh, isterinya sering pakai mobil? Apa dia bekerja?”

“Tidak. Mereka mau bercerai.”

“Astaga naga. Jadi dia itu duda?”

“Calon duda.”

“Wah, duren dong,” kata Tutut cengengesan.

“Kamu tuh,” tegur Desy sambil meminta kunci mobilnya.

“Mbak mau kemana?”

“Ada urusan. Aku mau ketemu mbak Lala.”

“Apa? Kapan?”

“Secepatnya. Sudah, ngomongnya nanti, aku buru-buru,” kata Desy sambil berlalu.

“Ya ampun, nggak bilang-bilang. Kalau bilang aku pengin ikut,” omel Tutut.

***

Danarto sudah sampai di Surabaya, dan ketemu bu Sriani yang sebenarnya sedang sibuk mengurus usaha garmen yang sudah lama digelutinya. Suaminya sudah meninggal dan dia mengurusnya seorang diri bersama para pembantunya.

“Aku senang kamu akhirnya datang Danar, apakah kamu sudah setuju dan bersedia menikahi Hesti? Tidak apa-apa dia berhenti kuliah kalau memang kamu menginginkannya,” katanya enteng.

“Saya mohon maaf Bu, kedatangan saya kemari justru ingin mengatakan bahwa saya tidak bisa menjalani perjodohan itu.”

“Apa katamu?” nada suara bu Sriani meninggi.

“Saya sudah punya calon isteri, dan sebentar lagi akan menikah.”

“Tidak bisa Danar. Apa kamu ingin menjadi anak yang tidak berbakti? Apa kamu ingin almarhumah ibu kamu tidak tenang di alamnya sana?”

“Saya yakin ibu akan mengerti.”

“Tidak. Tunggu sebentar, aku punya surat pernyataan dari almarhumah tentang keinginannya itu. Biar aku ambilkan,” kata bu Sriani sambil berdiri.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

35 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Aduhai Aaah

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah AD..AH_17 Sdh hadir.
    Terima kasih banda, salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah... matur suwun bu Tien

    ReplyDelete
  6. Makasih Bunda met malam dan met istirahat

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien.

    ReplyDelete
  8. Ada bukti persetujuan perjodohan? Apa bukan aspal ? Kita lihat saja nanti bagaimana penyelesaian.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ADUHAI-AH 17 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien 🤗💖
    Sabar ya ,,Danarto,,,

    Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien

    ReplyDelete
  11. Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah ...trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, suwun Bu Tien sudah tayang lebih awal.....semoga Desy semakin bersikap dewasa.....😊
    Salam sehat selalu...🙏🙏

    ReplyDelete
  14. Wah Jan Bu sriani Ki pemaksaan tenan opo Yo gak isin to Yo....trims AA udah hadir

    ReplyDelete
  15. Aduh...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  16. Aduh surat pernyataan perjodohan...
    Ah... Gemesin banget sih. 😆😆😆

    Bu Tien emang keren klo udah mengaduk-aduk perasaan pembacanya.
    Sehat selalu ya Bu..

    ReplyDelete
  17. Alhamdulilah, terima kasih bu tien, salam sehat

    ReplyDelete
  18. Makasih bu Tien,dan ini bu Srini ngengkel wae kok ya pingin nikahkan anaknya ma Dr Danarto hahaja cinta nya ma Desy kok ya cinta terkiwir2 hahhaah tambah runyam Desy lari u apa lg lari Desy kok gak elegan seh dak dewasa ..bu Tien aduh buat mangkel n geumes juga

    ReplyDelete
  19. Matur nuwun bu Tien yang semakin aduhai 👍❤

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillaah dah tayang langsung baca... makasih bunda. Salamsehat selalu

    ReplyDelete
  21. Waduh.... ruet-ruet Aduhai Hai trs part nya.... sehat² Mbu Tien dan keluarga.....

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 17 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  23. Matursuwun mbak Tien...
    Aduhaiiakin banyak konflik...
    Tunggu tayangan berikutnya...
    Salam sehat mbak Tien

    ReplyDelete
  24. Aduhai ah, paling akal²an Bu Sriani.
    Semoga Desi bahagia bersama Danarto .
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  25. Kq y ada orang seperti Bu.Sriani itu,.

    Matur nuwun bunda Tien, salam ADUHAI AH..😊

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah ADUHAI AH Eps 17 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  27. Aduhai... Ah.... Bertambah ruwet bu Tien, hehehe

    ReplyDelete
  28. Jangan percaya Danar, ttg surat itu. Bisa saja surat itu yg menulis ibunya Desy, untuk menjebak Danarto.. Semakin ruwet saja... Maturnuwun mbak Tien...

    ReplyDelete
  29. Wow Sriani masuk kamar mengambil serat kekancingan

    Muka Danarto abang ireng yang katanya ditulis tangan oleh ibunya..
    Surat meragukan itu karena kertas merang tulisan paké péna tinta; blobor disana-sini menjadikan tidak terbaca dengan jelas
    Djikalaoe soedah teroena akoe cocokken dengan anak koe
    Semoga setoedjoe dan joega akoer

    Lha ini pakai semoga akur lha berapa tahun tidak ada perembukan tentang ini gimana perjalanan hidupnya.
    Selama ini Larsih tidak pernah menyinggung perjodohan pada diri Danarto, apa ini tidak memaksakan kehendak namanya.
    Jaman sudah berlalu sudah tidak jamannya jodoh jodohan, tidak ada anak jaman sekarang yang mau dengan perjodohan kunå gini.
    Jelas ini mengada ada saja, memutus harapan cita cita orang saja
    Barusan kenal sudah sok dekat, jodoh jodohan lagi.

    Hesti merasa nyaman bersama Sarman ketenangan dalam belajar juga dia dapat karena memang Sarman telaten melayani apa maunya Hesti, kesulitan kesulitan dalam belajar, dibimbingnya.

    Hesti malah yang menolak perjodohan itu.
    Bagaimana bisa hidup bersama tanpa belaian selendang saling menyayangi dan saling perhatian.

    Kaya wayang kulit simpangan tanpa saling tegur, malah dalang sering nggapruk nggabruké kalau menggambarkan sedang berselisih paham, apa nggak tambah sakit.
    Hati kosong tanpa isi, terlihat kaya orang kesurupan, menakutkan; orang kaya robot, ngikutin apa maunya dalang.
    Yang penting perut isi.
    Walah

    Danarto kembali ke kewajiban pekerjaan nya, deleg-deleg; Desy sudah pergi menjauh diluar area, waw cuman dijawab - mohon tinggalkan pesan setelah bel berbunyi
    Waduh di akhiri tanda pagar, semakin terbatas donk ada pagarnya.
    Pong Pong bolong pecahå endogké siji piyak, ajur mblabar èpèk-èpèk napak lemah.
    Ora biså nggegem


    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tujuh belas sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia lah selalu bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  30. Terima msih AA 17 nya bunda..smkin penasaran aja bgmn dgn Danarto dan Desy..mungkinkah mrk bersatu dan bahagia..Salam seroja dri sukabumi unkbundaqu 🙏😘😘🌹🌹

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...