ADUHAI AH 16
(Tien Kumalasari)
Danarto agak terkejut, karena tubuh yang terjatuh itu
mengeluarkan suara debam yang lumayan keras. Ditatapnya tubuh yang tergolek
di lantai. Ia ingin membiarkannya, tapi ada rasa tak tega. Ia berdiri kemudian melangkah
mendekat. Ia sedikit membungkukkan badannya dan tetap yakin bahwa gadis itu
berpura-pura.
“Kamu kenapa?”
Hesti bergeming.
“Apa kamu pingsan?”
“Toloong,” sekarang tangannya menggapai sambil
merintih lemas.
“Aku tahu kamu berpura-pura,” kata Danarto sambil
menegakkan tubuhnya.
“Aku … sakit beneran …”
“Jangan membuat lelucon dan drama yang tidak masuk
akal. Semalam kamu bisa berjalan keluar kan? Kamu kira aku tidak tahu?”
Hesti agak terkejut ketika mendengar bahwa Danarto
mengetahui saat dia keluar rumah. Tapi dengan sigap ia menemukan jawabannya.
“Aku … semalam … membeli obat … “
“Oh ya? Obat apa? Ke apotek?”
“Ke … warung, badanku agak panas, sekarang aku lemas.
Toloong aku … Mas…”
“Baiklah, tunggu sebentar.”
Danarto mengambil ponselnya kemudian menelpon entah
siapa. Tapi Hesti mendengar Danarto mengatakan sesuatu.
“Ya di sini, di rumah aku. Baik, segera. Ya, kritis.”
Lalu Danarto menutup ponselnya, kemudian melanjutkan
memasang sapatunya, dan membiarkan Hesti masih tergolek di lantai.
“Maas … “
“Sabar sebentar, dan tetaplah di situ.”
“Tolooong Mas,” rintihnya lagi.
“Aku akan menolong kamu. Aku akan membawa kamu ke
rumah sakit.”
“Jangaan …”
“Apa maksudmu? Kamu banyak keluhan dan aku tidak bisa
memberikan obatnya tanpa tahu apa sebenarnya penyakit kamu.”
“Antarkan aku pulang ke kost saja …”
“Tidak. Mana mungkin aku membiarkan orang sakit pulang
ke tempat kost dan tidak membawanya ke rumah sakit?”
“Tolong Mas …”
Danarto sudah selesai memasang sepatunya. Ia berjalan
ke arah belakang, menuang air panas ke dalam cangkir yang sudah diberinya 1 zak
teh celup dan gula. Ia mengaduknya, mengambil sedotan dan dibawanya mendekati Hesti.
“Minumlah teh ini, dengan sedotan.”
Ya ampun, alangkah kejamnya dokter Danarto. Tapi ia
memang sedang memberi pelajaran kepada Hesti bahwa akal-akalannya tak akan
membuat hatinya goyah.
Hesti hampir menangis menyaksikan perlakuan Danarto
kepadanya.
“Minumlah dengan sedotan, biar tubuhmu hangat. Lantai
itu kan dingin.”
Tapi Hesti enggan meminumnya. Ia menahan keluarnya air
mata dengan sekuat tenaga, tapi tak urung air mata itu menetes juga. Danarto
menoleh mendengar isak Hesti. Hampir hatinya runtuh. Ia sangat tak tahan
melihat wanita menangis. Tapi ia menguatkannya.
“Sudah, jangan menangis, pertolongan akan segera
tiba.”
Isak Hesti semakin keras. Danarto melangkah ke teras,
menunggu ambulans yang dipanggilnya.
Hesti ingin menjerit-jerit. Semua usahanya sia-sia.
Danarto bergeming, enggan menyentuhnya. Tapi Hesti masih punya harapan. Ketika
ambulans datang, pasti Danarto akan menggendongnya. Ia akan berdalih tak kuat
berjalan karena sangat lemas.
Dan akhirnya ambulans itu datang. Hesti meringkuk
lemas, sambil memejamkan matanya. Lalu terdengar langkah-langkah mendekat. Hesti
membuka matanya, melihat dua orang perawat membawa usungan, lalu mengangkat
tubuhnya dan meletakkannya dalam usungan. Mata Hesti terbelalak menatap Danarto
yang memandangi kerja anak buahnya sambil tersenyum puas. Hati Hesti seperti
dicabik-cabik. Ia tak berani meronta walau itu diinginkannya. Bukankah tadi ia
bilang sangat lemas?
“Langsung ke UGD, biar dokter jaga menanganinya.”
perintah Danarto.
“Ketika raung ambulans terdengar menjauh, Danarto
meraih cangkir berisi minuman hangat yang tadi diberikan kepada Hesti dan tak
disentuhnya. Ia membawanya ke sofa dan meminumnya dengan sekali teguk.
Danarto menyandarkan tubuhnya. Ia merasa bahwa masih
ada yang harus dilakukannya. Ia masuk ke kamar dan melihat sebuah tas tergeletak
diatas nakas. Ia juga melihat ponsel yang kemudian dimasukkannya ke dalam tas
itu, dan meraih kunci motor yang ada di situ juga. Ia membawa semuanya keluar
dan melangkah menuju garasi. Ia mengeluarkan motor Hesti, dan memasukkan mobilnya
ke dalam garasi. Ia mengunci pintu rumah, lalu mengendarai sepeda motor Hesti
menuju rumah sakit.
***
Ketika ia memasuki ruang UGD, seorang dokter jaga
menemuinya.
“Tak ditemukan penyakit apapun. Mungkin dia hanya
kecapekan,” lapornya kepada Danarto, karena dia tahu Danarto lah yang
mengirimkan pasien bernama Hesti ke rumah sakit.
Danarto mendekati Hesti yang sudah duduk di tepi
pembaringan. Matanya sembab karena menangis.
“Mana lagi yang terasa sakit?”
Hesti turun dari pembaringan.
“Hesti, ini tas kamu yang tertinggal di kamar. Ada
ponsel, tapi aku tak membukanya lho. Ini kunci motor kamu, aku taruh di area
parkir, kalau kamu mau pulang sekarang,” katanya sambil mengulurkan tas dan
kunci mobil.
Hesti tak menjawab. Ia menerima barang-barang yang
diberikan Danarto kemudian melangkah keluar.
“Tunggu.”
Danarto mengejarnya sampai ke lobi, kemudian
mengajaknya duduk di tempat yang agak terpisah dari orang-orang.
“Mengapa kamu melakukan semua itu? Kamu tidak sakit.
Mana mungkin kamu bisa mengelabui seorang dokter?”
Hesti duduk membeku di tempatnya.
“Kamu masih sangat muda. Siapa mengajari kamu semua
itu?”
“Bekas pacar Mas,” jawabnya tandas. Danarto
membulatkan matanya.
“Bekas pacar aku? Siapa?”
“Yang jual gorengan.”
“Apa? Yang jual gorengan siapa?”
“Namanya Endah. Mas meninggalkannya karena dokter Desy
yang jahat dan kejam itu merebutnya.”
Danarto semakin membelalakkan matanya, belum bisa
menangkap arti kata yang diucapkan Hesti. Dokter Desy jahat dan kejam? Aduhai,
gadis yang lembut hati walaupun agak galak itu jahat dan kejam?
“Mengapa kamu menyebutnya jahat dan kejam?”
“Dia merebut Mas dari tangan dia kan? Dan dokter Desy
juga mencakar wajahnya sehingga cacat sampai sekarang.”
Danarto terpana.
“Siapa yang kamu maksud itu? Dokter Desy gadis yang
baik.”
“Baik di hadapan Mas, sesungguhnya dia kejam kan? Masa
demi merebut cinta Mas dia tega mencakar-cakar wajahnya sampai cacat begitu.”
“Aduh, ini dongeng dari mana pula?”
“Penjual gorengan itu, bekas pacar Mas.”
“Aku belum pernah pacaran sebelum ini. Penjual
gorengan siapa?”
“Namanya Endah. Aku sudah mengatakannya tadi."
Danarto terkejut. Endah … gadis itu … Danarto tak bisa
melupakannya. Bukan karena terkesan oleh kecantikannya, tapi ulahnya seperti
yang dilakukan Hesti. Pura-pura sakit, lalu kabur ketika dia akan memeriksanya
melalui USG. Tapi Desy mencakar wajahnya? Dan dia mengakui menjadi bekas
pacarnya? Danarto ingin tertawa dalam kekesalannya.
“Mas sudah ingat sekarang?”
“Aku ingat gadis itu. Dia yang mengajari kamu
pura-pura sakit? Ya lah, dia pernah melakukannya saat ingin mengejar aku.”
“Apa? Mas pernah pacaran dengan dia kan?”
Danarto menggeleng keras.
“Dia itu mimpi.”
“Apa?”
“Semua yang dia katakan itu bohong. Aku tak pernah
pacaran sama dia. Aku benci pembohong itu. Dan dokter Desy gadis yang baik.
Mana mungkin dia melakukannya?”
“Mas membelanya karena mencintainya?”
“Temui gadis penjual gorengan itu dan bawa ke
hadapanku.”
Danarto berdiri, siap meninggalkan Hesti yang masih
terpaku di tempat duduknya.
“Aku tunggu. Dia harus membuktikan kebenaran dari
kata-katanya. Itu pencemaran nama baik, ada pasal yang bisa menjeratnya.”
Lalu Danarto pergi, tapi kemudian ia berhenti.
“Katakan di mana alamat ibu kamu di Surabaya.”
“Mas mau menemui ibuku?”
“Ya, di mana alamatnya?”
“Rungkut. Tunggu aku tuliskan.”
Hesti dengan bersemangat menuliskan alamat ibunya,
lalu dikirimkan lewat pesan singkat kepada Danarto.
“Supaya jelas, aku tuliskan disitu.”
“Terima kasih.”
“Mas mau melamar aku kan?”
“Tidak. Aku mau bilang sama ibu kamu bahwa aku sudah
punya calon isteri,” kata Danarto kemudian melangkah menjauh, meninggalkan
Hesti yang pucat pasi.
***
“Ikut kamu menemui dia? Tidak. Mana mungkin …” kata Endah ketika Hesti menemuinya.
“Dia minta agar Mbak menemui dia. Dia bilang apa yang
Mbak katakan itu bohong.”
“Laki-laki itu pembohong. Dan karena dia pembohong,
dia mengatakan bahwa orang lain adalah
bohong.”
“Kalau begitu buktikan kalau Mbak benar. Bahwa Mbak
dulu adalah pacarnya, dan wajah Mbak rusak karena dicakar oleh dokter Desy.”
“Tidak, aku tidak mau lagi berurusan sama dia.”
“Mbak harus datang. Dia mengatakan bahwa itu pencemaran
nama baik, ada pasal yang bisa menjerat Mbak. Itu hukum kan? Mbak bisa
dipenjara.”
“Kamu ini bodoh atau apa, Aku berusaha membantu kamu,
malah kamu menjerumuskan aku pada persoalan yang pelik.”
“Aku hanya mengatakan seperti apa yang Mbak katakan.”
“Dasar bocah ingusan. Sudah, pergi sana, dan jangan
menemui aku lagi.”
“Bagaimana membuktikan kebenaran kata Mbak yang sudah
Mbak ucapkan?”
“Aku tidak butuh itu. Dia percaya atau tidak,
terserah. Dan sekali lagi pergilah, aku sedang melayani pembeli. Dan satu lagi,
jangan mengungkit masalah itu kembali. Ingat, kalau sampai terjadi proses
hukum, kamu juga akan ikut dipenjara,” kata Endah tandas.
Hati Hesti menjadi ciut seketika.
***
“Selamat pagi,” sapa Danis ketika berdiri di depan teras,
dan melihat Tutut baru keluar dari pintu.
“Pagi. Eh, mas Danis !!”
“Desy mana?”
“Baru mandi tuh.”
“Baru mandi? Ini sudah siang, dan baru mandi?”
“Kayaknya nggak ke rumah sakit hari ini.”
“Lhoh, karena mobilnya aku bawa?”
“Nggak. Bukan karena itu. Memang dia berniat tidak ke
rumah sakit kok. Mobilnya bawa aja lagi. Tadi mbak Desy bilang begitu.”
“Wah, nggak enak dong, masa aku bawa terus mobilnya.
Aku tinggal saja kalau begitu. Ini sudah siang, aku sudah terlambat.”
“Lhoh, kalau mobilnya ditinggal bukannya lebih
terlambat lagi? Bawa aja Mas.”
“Enggak, tolong bilang sama Desy, terima kasih, gitu
ya, aku mau naik taksi saja.”
“Jangan Mas, begini saja, aku kan mau ke kampus, aku
bawa mobilnya, nanti Mas aku antar sampai ke rumah sakit.”
“Ngerepotin dong.”
“Nggak, duduk lah sebentar, aku ke belakang dulu,
bilang sama mbak Desy,” kata Tutut sambil langsung membalikkan tubuhnya tanpa
menunggu jawaban dari Danis.
Danis terpaksa menunggu. Diam-diam dia mengagumi Tutut
yang sekarang tampak labih dewasa, dan juga … cantik. Aduhai. Belum juga
mendapat sertifikat duda sudah tertarik sama seorang gadis? Danis menepuk
jidatnya sendiri. Dasar mata keranjang, umpatnya dalam hati. Dulu suka sama
Desy, sekarang tertarik sama adiknya?
Berkali-kali Danis memarahi dirinya sendiri.
Tak lama kemudian Tutut muncul dengan membawa tas yang
digantungkan di punggungnya.
“Aku sudah bilang sama Mbak Desy Ayo kita berangkat.”
“Lhoh, nak Danis. Lama sekali nggak ketemu ya,”
tiba-tiba Tindy keluar dan menyapa ramah.
“Iya Bu,” katanya sambil mendekat dan mencium tangan
Tindy.
“Kami berangkat dulu Bu, mas Danis sudah terlambat
katanya,” kata Tutut.
“Baiklah, hati-hati ya.”
“Maaf merepotkan Bu.”
“Ya enggak Nak, nggak ada yang repot kok.”
“Salam buat bapak ya Bu,” kata Danis sebelum
membalikkan tubuhnya.
“Iya, Bapak masih belum selesai sarapan tuh. Nanti ibu
sampaikan.”
Danis mengangguk, lalu keduanya menuju ke arah mobil.
“Aku dulu yang membawa ya,” kata Danis sambil duduk di
belakang kemudi.
“Okey, Pak Dokter.”
Tindy masuk ke dalam setelah keduanya keluar dari
halaman.
“Siapa Bu?” tanya Haryo yang baru saja selesai
menyuapkan suapan terakhirnya.
“Nak Danis, yang dulu sering datang kemari.”
“O, yang temannya Danarto?”
“Benar. Temannya Danarto. Tadi mau mengembalikan
mobil, lalu mobilnya dibawa Tutut sekalian ke kampus, tapi mengantarkan nak
Danis dulu.”
“Desy tidak ke rumah sakit?”
“Katanya tidak. Anak itu susah dimengerti. Ibu minta
agar bicara dengan nak Danarto dulu, supaya jelas permasalahannya. Tapi dia
malah menghindari ketemu. Pusing ibu memikirkan anak itu.”
“Soalnya dia ditelpon sama ibunya gadis itu.”
“Iya juga sih. Tapi harusnya dia ngomong sama nak
Danarto.”
“Nanti kalau hatinya sudah tenang. Desy bukan
anak-anak lagi. Dia pasti tahu apa yang harus dilakukannya.”
Tindy terdiam. Banyak sekali masalah yang harus
dipikirkannya. Masalah Sarman belum selesai, sekarang Desy. Tapi Tindy memiliki
kesabaran yang luar biasa. Ia percaya bahwa semua persoalan akan bisa selesai
dengan sendirinya.
***
Tindy memasuki kamar Desy yang ternyata sudah selesai
mandi. Ia tampak sibuk mencari sesuatu.
“Tadi nak Danis kemari.”
“Iya, Tutut sudah mengatakannya. Katanya Tutut akan
mengantarkannya ke rumah sakit.”
“Memangnya mobil nak Danis kemana? Rusak?”
“Bukan, dibawa isterinya.”
“Oh, isterinya lagi bepergian?"
“Mereka akan bercerai.”
“Ya Tuhan. Mereka menikah belum lama kan? Baru setahun
lebih sedikit? Dan punya anak satu? Ya kan?”
“Iya Bu, tapi namanya nggak cocok, dan bercerai itu
solusi terbaik menurut mereka.”
“Kasihan anaknya.”
“Pernikahan itu ternyata sangat rumit.”
“Tidak, mengapa kamu berkata begitu? Jangan melihat
pernikahan demi pernikahan yang gagal. Lihatlah pernikahan yang langgeng dan
bahagia.”
Desy diam saja. Ia membuka laci almari, dan membolak-balikkan
isinya.
“Sebenarnya kamu sedang mencari apa?”
“Paspor bu.”
“Apa?”
***
Besok lagi ya.
Mantap
ReplyDeleteSelamat pa Bambang Juara 1 dalam menjemput kedatangan HESTI, yang nyebelin.....
DeleteHadiah bisa diambil di Karangrejo Tengah VII No. 12 Perumahan UNTAG Semarang.
Horreey.. pak Bambang jusraaa👍
DeleteTerimakasih bunda Tien.. salam sehat penuh rasa Aduhaaai❤️😘
DeleteMakasih Bunda untuk cerbungnya
ReplyDeleteSelamat Mas Bambng juara 1
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien AA 16 sdh tayang gasik
Manusang bu Tien, Aduhai Ah baca dulu yaa.
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang gasik
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bU Tiem
ADUHAI...AH_16
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang.
Terima kasih bunda, salam seger waras & tetep ADUHAI......
++mas kakek Bandung++
Aduhai....Aaah.... tnyt rumah ibunya Hesty ada di Surabaya Rungkut.... Tetanggaan dong sama sy mbak Tien.... besok2 tak samperin ah.... heheheeee
ReplyDeleteAlhamdulillah, yg di tunggu dah datang..
ReplyDeleteMatur nuwun, salam sehat dan Aduhai..
Alhamdulillah, yg di tunggu AA16 sdh terbit..
ReplyDeleteMatur nuwun mb Tien, salam sehat dan Aduhai..
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Mbu Tien... makin pinisirn trs ... sehat² trs Mbu Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien.....sore sdh mengudara....😊
ReplyDeleteSalam sehat selalu....🙏😊
Makasih Mbak Tien.. Salam sehat Aduhai selalu.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, smg sehat selalu, salam Aduhai Ah dari Pasuruan
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, ADUHAI AH makin ADUHAI 👍
ReplyDeleteYang ditunggu sdh tayang. Mksh, bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteWah Desy jadi berencana untuk belajar ke luar negeri ya, tidak menunggu klarifikasi dari Danar dulu.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Dr danarto emang oyee cerdik pandai pinter percaya diri ngk mau sembarangan mau dikadalin hesti hehehev betul dugaanku pasti telepon ambulan utk bawa hesti ke igd rs hehehe ketahuan bohongxa dr danarto laki2 yg berbudi pasti banyak ujianxa sampai difitnah endah segala dr dessyxa
ReplyDeleteDan utk menguji seberapa besar cintaxa dr danarto
Dr hesti pergi ikut kakakxa lala di ln
Makin seru dan makin penasaran menunggu selanjutxa siiiiip
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah....ADUHAI AH 16 dah tayang gasik terima kasih Bu Tien
ReplyDeletealhamdulillah dah tayang...mksh bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 16 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 16 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulilah AA udah hadir
ReplyDeleteAlhamdullilah AA 16 sdh hadir..mksih y bunda..slm seroja dan aduhai dri sukabumi😘😘🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah.. terimakasih mbak Tien..🙏🙏 Semoga sehat selalu
ReplyDeleteMakin seru dan makin ADUHAI saja, jadi tambah penasaran ini bun...☺
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteDessy minggat...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulillah AA 16 sdh tyg. Manusang dan Slm seroja utk mb Tien dan para pctk🤗
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSekembalinya dari Surabaya untuk menyatakan perbedaan pendapat pada Sriani dan memberikan teguran mengapa sampai melakukan yang tidak sepatutnya, pada Desy sampai menelpon.
ReplyDeleteDengan begitu susah Danarto mendapat jawaban setuju untuk hidup bersama membangun keluarga, ke alotan Desy itu yang merupakan tantangan tersendiri bagi Danarto.
Dia tidak mau mendapatkan secara mudah mendapatkan calon istri, bahkan sampai melakukan kebohongan seperti yang sudah-sudah dilakukan beberapa orang untuk menarik simpatinya.
Mudah mudahan sekembalinya dari menemui Sriani, Tindy dapat memberikan pertimbangan agar Desy yang dengan alasan akan sekolah lagi menyusul Lala, bisa ditunda.
Apalagi Sarman juga sudah memberi saran pada Desy agar jangan hanya masalah kecil dibesar besarkan, walaupun itu alasan yang lumrah, melanjutkan sekolah.
Kemendadakan itu yang tampak Desy terlalu banyak pertimbangan, dia ingatkan dia sudah cukup usia untuk berkeluarga.
Semoga sekembalinya dari Surabaya Danarto masih berkesempatan menjelaskan pada idaman hatinya.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke enam belas sudah tayang,
sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Tks bu tien ttp sehat
ReplyDeleteAduh mbak Desy koq malah menghindar dari mas Danar, ngobrol dongs biar clear masalah nya.
ReplyDeleteAh.... Gemes aku.