ADUHAI AH 15
(Tien Kumalasari)
Danarto membelalakkan matanya. Rasa kesal kemudian
memenuhi dadanya. Ia langsung membalikkan tubuhnya, dan keluar dari kamar. Ia
merasa bahwa Hesti sedang memaksanya untuk menarik perhatiannya.
Ia keluar dari kamar dan menuju ke arah mobilnya, lalu
menjalankannya keluar dari rumah.
Hesti bukannya tertidur. Ia hanya pura-pura tidur, dan
bersiap mendendangkan rintihan dan rengekan seperti menahan sakit, kalau saja
Danarto membangunkannya. Tapi dengan
kecewa Hesti kemudian bangkit, ketika mendengar deru mobil keluar dari halaman.
“Dia pergi lagi?” pekiknya kesal.
Hesti turun dari tempat tidur, bingung harus melakukan
apa. Ia ingin menelpon sang guru, tapi sialnya dia kehabisan pulsa.
Lalu ia melangkah keluar dari kamar. Hari sudah gelap,
karena malam mulai merayap.
“Apakah aku harus pulang ke rumah kost sekarang? Tapi
kepalang tanggung. Nanti kelihatan sekali bahwa aku berpura-pura. Terlanjur mengeluh
sakit, bagaimana tiba-tiba aku pulang begitu saja? Tidak, aku akan tetap
disini, biar sampai pagi sekalipun. Aduh, tapi aku harus membeli pulsa.”
Lalu ia melangkah keluar dari rumah, bermaksud membeli
pulsa. Ia hanya berjalan kaki karena terlanjur memasukkan sepeda motornya ke
dalam garasi. Itu pula sebabnya Danarto yang belum membuka garasi untuk
memasukkan mobilnya, sama sekali tidak mengira ada motor didalamnya, sehingga
dia juga tidak tahu bahwa Hesti masih berada di dalam rumahnya, bahkan di dalam
kamarnya.
Hesti enggan mengambil motornya, karenanya dia hanya
berjalan kaki, mencari warung yang menjual pulsa.
Tapi ketika ia keluar dari halaman itu, dilihatnya
sebuah mobil berhenti didekat pagar.
“Celaka, apakah itu mobil mas Danarto?”
Hesti mengawasi mobil itu dengan cermat, dan merasa lega
karena mobil itu bukan mobil Danarto. Ia melanjutkan langkahnya mencari pulsa,
ketika melihat mobil itu memutar arah dan menjauhi tempat itu.
“Ah, rupanya hanya orang kesasar,” gumamnya sambil
meneruskan langkahnya.
Mobil itu adalah mobil Desy, tapi bukan Desy
pengendaranya. Danis yang sedang kacau ingin mencari teman untuk berbincang,
lalu ia pergi ke rumah Danarto, tapi ketika dia menelponnya karena tak melihat mobil
Danarto dihalaman, ternyata Danarto tidak ada di rumah. Itu sebabnya ia kemudian
memutar balik mobilnya untuk kembali pulang.
Ia kembali menelpon Danarto didalam perjalanan itu.
“Sebenarnya kamu pergi kemana sih?”
Danarto tertawa.
“Ini hal yang lucu sebenarnya. Aku tuh mau pergi ke rumah
kamu, malah kamu ke rumah aku, gimana sih?”
“Kamu ke rumah aku? Baiklah, aku menuju pulang nih.”
“Benar, kamu pulang?”
“Iya. Kamu sudah sampai di rumah aku?”
“Belum. Ini aku lagi menuju ke sana.”
“Baiklah, aku sedang mencari teman untuk berbincang.”
“Kok sama sih, aku ke rumah kamu juga ingin mencari
teman untuk berbincang.”
“Ya ampun … berarti sesungguhnya kamu tidak
benar-benar ikhlas melepaskan isteri kamu.”
“Yah, namanya manusia Dan, dan sebuah perpisahan itu
kan pasti juga menyakitkan. Aku bilang ikhlas, baiklah, ikhlas, tapi rasa gelisah
itu pasti ada.”
“Ya, aku bisa mengerti.”
“Kalau kamu sampai duluan, tungguin aku di teras. Aku
ngebut nih.”
“Jangan ngebut. Lalu lintas lagi rame.”
“Tapi ngomong-ngomong aku tadi melihat seorang gadis
keluar dari rumah kamu.”
“Haa? Kamu melihatnya? Dia naik sepeda motor?”
“Tidak, berjalan kaki. Dia melihat kearah mobil ini,
tapi aku tidak turun karena kamu bilang bahwa kamu nggak ada di rumah.”
“Karena gadis itulah aku pergi dari rumah.”
“Haa, dia siapa? Nggak jelas wajahnya, gelap sih.
Hesti?”
“Ya, nanti saja ceritanya. Aku tungguin, aku nanti mau
tidur di rumah kamu.”
“Oke. Aku bisa ngebut kok, jalanan nggak begitu rame.”
***
“Mbak, ayo kita pulang. Aku sudah kekenyangan nih,”
keluh Tutut ketika Desy masih berputar-putar dengan mobilnya.
“Nanti dulu, aku ingin pulang lebih malam. Pasti dia
datang ke rumah dan aku nggak ingin ketemu dia.”
“Mbak Desy itu aneh. Harusnya Mbak ketemu mas Danarto
dan bicara, bukannya malah menghindar begini,” kata Tutut yang sudah mendengar
tentang perjodohan Danarto dengan gadis lain. Desy sudah menceritakan semuanya.
“Tidak sekarang.”
“Kapan?”
“Entahlah, hatiku sedang tidak tenang.”
“Aneh.”
“Menikah itu rumit. Bisa menyakitkan. Belum menikah
saja aku sudah merasa sakit.”
“Aduh … aku bisa ikut-ikutan takut nih,” gumam Tutut.
Desy terus menjalankan mobilnya mengitari kota, dan
kemudian sampai agak di pinggiran kota.
“Hiih, kenapa melewati kuburan sih?”
“Oh ya, ini kuburan ya? Tapi tunggu, aku sepertinya
pernah kemari.”
“Kamu? Kemari? Ngapain?” kata Desy yang bersiap
memutar mobilnya.
“Ini makam ibunya mas Sarman. Iya benar. Berarti kita
dekat dengan rumah di mana mas Sarman tinggal,” seru Tutut.
“Benar? Ayo di mana rumahnya? Kita ke sana saja.”
“Ke rumah mas Sarman ?”
“Iya, katanya tidak jauh dari tempat pemakaman ini.”
“Nanti dulu, didepan itu kan perkampungan, aku sih
tidak tahu persisnya, tapi kita kan bisa bertanya sama orang-orang sekitar.”
“Baiklah.”
Dan ketika itulah ia melihat seseorang sedang
menyeberang jalan, dengan membawa tas kresek, entah apa isinya.
“Itu kan mas Sarman!” teriak Tutut.
Desy menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu
membuka jendela dan berteriak.
“Mas Sarman!”
Sarman yang sudah sampai di seberang berhenti
melangkah. Ia menoleh ke arah mobil, dimana ia mendengar seseorang memanggil
namanya. Ia tentu saja mengenali mobil itu. Bergegas ia melangkah mendekati
mobil.
“Desy ? Tutut ?” serunya kaget.
“Dimana mas Sarman tinggal?”
“Di depan situ. Yang ada gardu ronda. Ayuk mampir,”
ajak Sarman.
Keduanya turun dengan bersemangat. Bagaimanapun Sarman
sudah menjadi keluarga yang disayang oleh semuanya.
“Aku kangen sama mas Sarman,” kata Desy.
“Aku juga kangen,” sambung Tutut yang kemudian
mengikuti langkah Sarman untuk menyeberang jalan.
Mereka memasuki sebuah rumah kecil yang hanya memiliki
satu bilik. Tak ada kursi ataupun meja untuk menjamu tamu. Sebuah tikar digelar
di sana. Dan ada sebuah meja kecil dengan laptop dan beberapa tumpukan buku di atasnya,
terletak di sudut ruangan. Tapi lampu penerangan cukup terang. Barangkali
Sarman menyiapkannya karena dia butuh belajar dan mengerjakan skripsinya.
“Ini benar-benar gubug. Gubug derita,” candanya.
“Wah, nyaman … “ seru Tutut.
“Silakan duduk. Aku nggak punya kursi.”
“Ini enak. Dingiin…” kata Desy yang kemudian
berselonjor di tikar, diikuti Tutut.
“Dingin, aku ngantuk sekarang. Katanya sambil
merebahkan dirinya di tikar itu.
“Mas Sarman tadi dari mana?”
Sarman menunjuk ke arah keresek hitam yang baru saja
diletakkannya di atas meja.
“Itu, beli keripik, untuk camilan,” lalu di raihnya
keresek itu, ditunjukkannya ke hadapan kedua adik angkatnya.
“Aku mauuuu,” teriak Tutut yang kemudian meraih
bungkusan itu dan mencomotnya. Sarman tersenyum. Ia tak pernah melupakan sikap
Tutut yang terkadang seenaknya dan agak manja.
“Keripik singkong, hmmm … gurih … boleh aku habiskan?”
“Boleh dong, habisin saja. Aku ambilkan minum ke belakang
ya, tapi adanya hanya air putih, kata Sarman sambil berdiri dan beranjak ke
belakang.
“Ya ampun Tut, kamu rakus sekali. Itu kan buat mas
Sarman. Camilan sambil bekerja,” tegur Desy.
“Nggak apa-apa kan Mas, besok aku ganti, aku antarkan
ke kampus deh,” kata Tutut yang terus menikmati keripik singkongnya tanpa
malu-malu.
Sarman keluar sambil membawa tiga gelas air putih
kemasan, berikut sedotannya. Ia tersenyum lebar melihat ulah Tutut yang tanpa
sungkan terus mencomot keripik singkongnya.
“Enak, dimana belinya?”
“Tadi ada penjual keripik lewat, aku beli di situ.
Sekarang sudah pergi.”
“Sayang sekali, kalau masih ada aku mau beli dibawa ke
rumah deh,” kata Tutut yang tak berhenti mengunyah.
“Anak satu ini benar-benar malu-maluin,” gerutu Desy
sambil meneguk minumannya.
Sarman hanya tertawa. Berminggu-minggu berusaha
mengendapkan perasaanya kepada Tutut sambil menekuni tugasnya, ia hampir
berhasil. Dan kedatangan Tutut kali ini tidak begitu membuatnya berdebar dan
bergejolak seperti sebelumnya. Ia sudah tahu bagaimana sebaiknya dia bersikap. Kedewasaannya
yang membuatnya begitu cepat bisa menata batinnya.
“Mas Sarman kapan pulang?” tanya Desy.
“Semoga tak lama lagi. Bulan depan aku bisa selesai,
mudah-mudahan tak banyak revisi, dan segera kelar.”
“Aamiin.”
“Cepatlah pulang begitu selesai, ya Mas,” rengek
Tutut. Sikapnya tak berubah, walau dia tahu bahwa Sarman pernah bilang bahwa
dia mencintai dirinya.
“Iya. Tapi ngomong-ngomong kalian ini dari mana, kok
malam-malam bisa sampai ke sini?”
“Itu, Mbak Desy lagi galau, nyetir mobil nggak jelas
arahnya,” keluh Tutut.
“Kenapa galau?”
Desy menghela napas panjang.
“Berantem sama mas Danarto?”
“Tidak. Mas Danarto ternyata sudah dijodohkan oleh
orang tuanya.”
“Apa?”
“Padahal sebenarnya Mbak Desy sudah bersedia menikah,”
kata Tutut dengan mulut tak berhenti mengunyah. Desy diam saja. Tak apa kalau
Sarman mendengar persoalannya.
Tiba-tiba Sarman teringat sesuatu. Mahasiswa baru di
kampusnya yang bernama Hesti, ingin merebut laki-laki yang disukainya, dari
pacarnya yang bernama Desy.
“Gadis itu bernama Hesti?” tanya Sarman mencoba
menebak.
“Lhoh, kok Mas Sarman tahu?”
“Dia mahasiswa baru di kampus aku.”
“Oh ya? Kok mas Sarman bisa menebak bahwa dia gadis
yang dijodohkan sama mas Danarto?” tanya Desy.
“Hesti pernah cerita. Dia ingin merebut mas Danarto.
Aku sudah menasehatinya, sepertinya dia mendengarkan nasehatku, tapi apa dia
nekat?”
“Entahlah, aku tidak tahu. Tadi pagi ibunya menelpon
aku, dan minta agar aku menjauhi mas Danarto.”
“Waduh, nggak benar itu. Besok kalau ketemu di kampus
aku harus menegurnya.”
“Biarkan saja Mas, aku jadi belum ingin menikah kok.”
“Mengapa hanya karena seorang gadis kecil kamu harus
mundur?”
“Bukan karena gadis kecilnya itu. Tapi aku merasa
seandainya aku nekat menikah, maka hal itu akan menjadi momok yang selalu
menghantui pernikahan aku. Aku tak ingin rumah tanggaku terasa tidak nyaman.”
“Bukankah mas Danarto sangat mencintai kamu? Kalian
itu pasangan yang sangat serasi. Mas Danar pasti bisa membahagiakan kamu.
Jangan takut untuk melangkah.”
“Baiklah, nanti akan aku pikirkan.”
“Mas, keripiknya habis,” kata Tutut sambil meremas
bungkus keripiknya.
Sarman mengulurkan tissue dan disambut Tutut, kemudian
dipergunakan untuk mengelap tangan dan mulutnya.
“Ya ampun Tut. Perutmu bisa meledak,” omel Desy.
“Yee, memangnya bom, bisa meledak,” katanya sambil
meraih minumannya.
Sarman hanya tertawa melihat mulut mungil itu tampak
berminyak setelah menghabiskan sebungkus keripik.
“Ayo kita pulang, sudah kamu habiskan camilannya mas
Sarman tuh.”
“Nggak apa-apa kok, biarin, di sini kalau malam banyak orang
jualan makanan.”
“Mas Sarman betah tinggal ditempat sepi seperti ini?”
“Betah dong, aku seharian di sini, dan merasa tenang.”
“Kalau di rumah sana kan digangguin terus sama Tutut,”
omel Desy. Tutut hanya tersenyum, lalu menghabiskan minumannya.
“Baiklah, ayo pulang,” kata Tutut sambil berdiri.
“Kami pulang ya Mas,” kata Desy mengikutinya.
“Mas Sarman cepat pulang ya,” kata mereka hampir
bersamaan, sambil melangkah keluar rumah.
***
“Jadi gadis itu ternyata sangat nekat ya Dan?”
“Itulah, aku tahu dia hanya pura-pura sakit. Tadi
begitu pulang aku terkejut dia tidur di kamarku. Aku langsung keluar dan pergi
ke mari.”
“Aku melihatnya keluar dari halaman rumah kamu. Jadi
kelihatan kalau memang dia berpura-pura.”
“Biar dia tahu rasa.”
“Harusnya dia sadar bahwa kamu nggak suka sama dia.
Tapi kok nekat ya.”
“Mungkin karena dia berpegang pada perjodohan itu.
Dikiranya hal itu akan bisa mengikat aku. Sedih aku, susah payah aku mengejar
kesediaan Desy, ee begitu berhasil, gadis itu merusaknya.”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku akan menemui ibunya dan mengatakan bahwa aku tidak
bersedia menikahi Hesti.”
“Itu benar, selesaikan urusan kamu dengan Hesti
terlebih dulu, baru bicara sama Desy.”
***
Pagi hari itu Danarto bersiap pulang. Ia harus pulang
karena sebelum bertugas dia harus berganti pakaian. Dia tak bisa mengenakan
baju Danis karena Danis tubuhnya lebih kecil.
Ia berhenti di halaman, dan berharap Hesti sudah pergi
setelah mengetahui dirinya tidak pulang semalaman.
Tapi ternyata tidak. Begitu memasuki kamarnya dilihatnya
gadis itu masih tergolek dengan nyaman. Kamar itu dipenuhi aroma minyak kayu
putih yang menyengat. Rupanya Hesti telah menuang sebotol minyak kayu putih
agar tampak bahwa Hesti benar-benar kesakitan. Danarto tak peduli, ia membuka
almari dan mengambil pakaian yang akan dikenakannya, lalu pergi ke kamar mandi sekalian
membawa baju gantinya.
Begitu selesai mandi Danarto tidak masuk ke dalam kamarnya. Ia mengenakan
sepatu dan bersiap pergi. Ketika itulah Hesti keluar dari kamar dengan terhuyung,
lalu jatuh di depan pintu.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah......
ReplyDeleteAD...AH_15 sdh tayang.
Matur suwun, bun.
Selamat Kakek juara1
DeleteMtnuwun mbk Tien
Alhamdulillah. Sudah tayang lagi
DeleteMskasih Bunda untuk cerbungnya
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAduhai Ah
Trimakasih sdh muncul... Sehat sll mbak tien
ReplyDeleteBener2 aduhai kangenin tenan
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 15 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdullilah AA 15 sdh tayang..terima ksih bunda Tien..slmt mlm dan slmt isyrht..slm sht sll..🙏💖🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 15 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah ADUHAI AH 15 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Terima kasih Bu Tien.....
ReplyDeleteAlhmdllh terimksih Mbu Tien.... mkin serrruuu
ReplyDeleteAh... Lagi-lagi drama nih Hesti.
ReplyDeleteJangan buat ada kesempatan buat Hesti ya Bu Tien...
Pembaca esmosi jiwa nihhh... 😆😆😆😆
Alhamdulillah...AA sudah tayang .
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien ... Semoga Berkah dan Ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu melindungi kita semua Aamiin😊🌹
Alhamdulillah, jumpa lagi bunda Tien, salam sehat dan aduhai..
ReplyDeleteDr danarto cerdik pandai dan prefektionis gentlemen lihat ada gadis tergeletak didepan pintu tdk gugup diraba nadi tangan napas dihidung normal semua ambil hp telepon rs panggil ambulans utk jemput hesti yg tergeletak dipintu krn modus pura2 sakit itu baru siiiip. Guruxa endah kalah pinter dgn dr danarto bikin sinetron hehehe
ReplyDeleteSetuju..hehe
DeleteTrimakasih.
ReplyDeleteSehat sll mbak tien
Hesti ko nekat amat?....
ReplyDeleteTerimakasih mbak Tien...
Trmksh mb Tien AA15 sdh tayang...smg Hesti tdk berbuat nekat. Slm seroja utk mb Tien dan para pctk🤗
ReplyDeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteAtau klau perlu panggil dr danis utk saksi klau dr danarto betul2 org baik ngk clutak dgn wanita lain
ReplyDeleteHesti dinaikin brankar dan diangkat masukin ambulan dibawa ke rs utk dirawat oleh perawat pasti seru nih ngk berani macem2e lagi dgn dr danarto gimana hebohxa di mobil ambulan hehehe keringat dingin hesti pasti dleweran ketahuan bohongxa klau sakit pura2 apa lagi di ambulan hanya ada perawat saja dr danarto hanya nitip bawa ke igd rs hehehe seru
Sarman yg akan bantu Desy dan Danarto yaa kan dia kakak mrk ..Danis ma Tutut aja ..Dr yg manis hahaha yg diinginkannya walau duda nantinya ..semoga Tindy bisa memberi pengertian .
ReplyDeleteHesti tak tai mali..makasih Bu Tien
Seruuu
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteSetuju pak Muhajir, Danar memanggil ambulans untuk membawa Hesti ke Rumah Sakit.
Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang ADUHAI AH.
Alhamdulillah...AA 15 sudah tayang .
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien ... Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga. Aamiin
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah..cerita lancar mengalir dan berhasil bikin pembaca gregeten. Hesti...hesti..kok berguru pada Endah yang gemblung to. Tobat..Hesti salah asuh. Kasihan Sarman kalau mengalihkan perhatiannya dari Tutut kepadanya. Hmmm...yang jelas, ide mb Tien itu adaaaa saja untuk membuat kita pada gemesss
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.
Terima kasih mbak tien, semoga mbak tien sehat² selalu.
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien....Semoga bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Jangan kasi kesempatan Hesti merusak kebahagiaan Danarto Desi .
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu aduhai
Terus membaru
ReplyDeleteLanjut bu tien
ReplyDeleteBikin ibu2 Baper..nih nanyain kelanjutanya.seht2 slalu bu tien
Bu Tien... maturnuwun.... Dan sy tunggu kelanjutannya baik Aduhai maupun setangkai mawar buat ibu
ReplyDeleteHallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,
Salem(Boston)MA May 09,2022, Terima kasih bunda Tien untuk Aduhai Ah yang ke 16 yang seru habis......... semoga bunda Tien dan sdr2 PCTK selalu sehat,semangat! Salam hangat dari Salem the Witch city MA!
ReplyDelete