Saturday, May 7, 2022

ADUHAI AH 15

 

ADUHAI AH  15

(Tien Kumalasari)

 

Danarto membelalakkan matanya. Rasa kesal kemudian memenuhi dadanya. Ia langsung membalikkan tubuhnya, dan keluar dari kamar. Ia merasa bahwa Hesti sedang memaksanya untuk menarik perhatiannya.

Ia keluar dari kamar dan menuju ke arah mobilnya, lalu menjalankannya keluar dari rumah.

Hesti bukannya tertidur. Ia hanya pura-pura tidur, dan bersiap mendendangkan rintihan dan rengekan seperti menahan sakit, kalau saja Danarto  membangunkannya. Tapi dengan kecewa Hesti kemudian bangkit, ketika mendengar deru mobil keluar dari halaman.

“Dia pergi lagi?” pekiknya kesal.

Hesti turun dari tempat tidur, bingung harus melakukan apa. Ia ingin menelpon sang guru, tapi sialnya dia kehabisan pulsa.

Lalu ia melangkah keluar dari kamar. Hari sudah gelap, karena malam mulai merayap.

“Apakah aku harus pulang ke rumah kost sekarang? Tapi kepalang tanggung. Nanti kelihatan sekali bahwa aku berpura-pura. Terlanjur mengeluh sakit, bagaimana tiba-tiba aku pulang begitu saja? Tidak, aku akan tetap disini, biar sampai pagi sekalipun. Aduh, tapi aku harus membeli pulsa.”

Lalu ia melangkah keluar dari rumah, bermaksud membeli pulsa. Ia hanya berjalan kaki karena terlanjur memasukkan sepeda motornya ke dalam garasi. Itu pula sebabnya Danarto yang belum membuka garasi untuk memasukkan mobilnya, sama sekali tidak mengira ada motor didalamnya, sehingga dia juga tidak tahu bahwa Hesti masih berada di dalam rumahnya, bahkan di dalam kamarnya.

Hesti enggan mengambil motornya, karenanya dia hanya berjalan kaki, mencari warung yang menjual pulsa.

Tapi ketika ia keluar dari halaman itu, dilihatnya sebuah mobil berhenti didekat pagar.

“Celaka, apakah itu mobil mas Danarto?”

Hesti mengawasi mobil itu dengan cermat, dan merasa lega karena mobil itu bukan mobil Danarto. Ia melanjutkan langkahnya mencari pulsa, ketika melihat mobil itu memutar arah dan menjauhi tempat itu.

“Ah, rupanya hanya orang kesasar,” gumamnya sambil meneruskan langkahnya.

Mobil itu adalah mobil Desy, tapi bukan Desy pengendaranya. Danis yang sedang kacau ingin mencari teman untuk berbincang, lalu ia pergi ke rumah Danarto, tapi ketika dia menelponnya karena tak melihat mobil Danarto dihalaman, ternyata Danarto tidak ada di rumah. Itu sebabnya ia kemudian memutar balik mobilnya untuk kembali pulang.

Ia kembali menelpon Danarto didalam perjalanan itu.

“Sebenarnya kamu pergi kemana sih?”

Danarto tertawa.

“Ini hal yang lucu sebenarnya. Aku tuh mau pergi ke rumah kamu, malah kamu ke rumah aku, gimana sih?”

“Kamu ke rumah aku? Baiklah, aku menuju pulang nih.”

“Benar, kamu pulang?”

“Iya. Kamu sudah sampai di rumah aku?”

“Belum. Ini aku lagi menuju ke sana.”

“Baiklah, aku sedang mencari teman untuk berbincang.”

“Kok sama sih, aku ke rumah kamu juga ingin mencari teman untuk berbincang.”

“Ya ampun … berarti sesungguhnya kamu tidak benar-benar ikhlas melepaskan isteri kamu.”

“Yah, namanya manusia Dan, dan sebuah perpisahan itu kan pasti juga menyakitkan. Aku bilang ikhlas, baiklah, ikhlas, tapi rasa gelisah itu pasti ada.”

“Ya, aku bisa mengerti.”

“Kalau kamu sampai duluan, tungguin aku di teras. Aku ngebut nih.”

“Jangan ngebut. Lalu lintas lagi rame.”

“Tapi ngomong-ngomong aku tadi melihat seorang gadis keluar dari rumah kamu.”

“Haa? Kamu melihatnya? Dia naik sepeda motor?”

“Tidak, berjalan kaki. Dia melihat kearah mobil ini, tapi aku tidak turun karena kamu bilang bahwa kamu nggak ada di rumah.”

“Karena gadis itulah aku pergi dari rumah.”

“Haa, dia siapa? Nggak jelas wajahnya, gelap sih. Hesti?”

“Ya, nanti saja ceritanya. Aku tungguin, aku nanti mau tidur di rumah kamu.”

“Oke. Aku bisa ngebut kok, jalanan nggak begitu rame.”

***

“Mbak, ayo kita pulang. Aku sudah kekenyangan nih,” keluh Tutut ketika Desy masih berputar-putar dengan mobilnya.

“Nanti dulu, aku ingin pulang lebih malam. Pasti dia datang ke rumah dan aku nggak ingin ketemu dia.”

“Mbak Desy itu aneh. Harusnya Mbak ketemu mas Danarto dan bicara, bukannya malah menghindar begini,” kata Tutut yang sudah mendengar tentang perjodohan Danarto dengan gadis lain. Desy sudah menceritakan semuanya.

“Tidak sekarang.”

“Kapan?”

“Entahlah, hatiku sedang tidak tenang.”

“Aneh.”

“Menikah itu rumit. Bisa menyakitkan. Belum menikah saja aku sudah merasa sakit.”

“Aduh … aku bisa ikut-ikutan takut nih,” gumam Tutut.

Desy terus menjalankan mobilnya mengitari kota, dan kemudian sampai agak di pinggiran kota.

“Hiih, kenapa melewati kuburan sih?”

“Oh ya, ini kuburan ya? Tapi tunggu, aku sepertinya pernah kemari.”

“Kamu? Kemari? Ngapain?” kata Desy yang bersiap memutar mobilnya.

“Ini makam ibunya mas Sarman. Iya benar. Berarti kita dekat dengan rumah di mana mas Sarman tinggal,” seru Tutut.

“Benar? Ayo di mana rumahnya? Kita ke sana saja.”

“Ke rumah mas Sarman ?”

“Iya, katanya tidak jauh dari tempat pemakaman ini.”

“Nanti dulu, didepan itu kan perkampungan, aku sih tidak tahu persisnya, tapi kita kan bisa bertanya sama orang-orang sekitar.”

“Baiklah.”

Dan ketika itulah ia melihat seseorang sedang menyeberang jalan, dengan membawa tas kresek, entah apa isinya.

“Itu kan mas Sarman!” teriak Tutut.

Desy menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu membuka jendela dan berteriak.

“Mas Sarman!”

Sarman yang sudah sampai di seberang berhenti melangkah. Ia menoleh ke arah mobil, dimana ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tentu saja mengenali mobil itu. Bergegas ia melangkah mendekati mobil.

“Desy ? Tutut ?” serunya kaget.

“Dimana mas Sarman tinggal?”

“Di depan situ. Yang ada gardu ronda. Ayuk mampir,” ajak Sarman.

Keduanya turun dengan bersemangat. Bagaimanapun Sarman sudah menjadi keluarga yang disayang oleh semuanya.

“Aku kangen sama mas Sarman,” kata Desy.

“Aku juga kangen,” sambung Tutut yang kemudian mengikuti langkah Sarman untuk menyeberang jalan.

Mereka memasuki sebuah rumah kecil yang hanya memiliki satu bilik. Tak ada kursi ataupun meja untuk menjamu tamu. Sebuah tikar digelar di sana. Dan ada sebuah meja kecil dengan laptop  dan beberapa tumpukan buku di atasnya, terletak di sudut ruangan. Tapi lampu penerangan cukup terang. Barangkali Sarman menyiapkannya karena dia butuh belajar dan mengerjakan skripsinya.

“Ini benar-benar gubug. Gubug derita,” candanya.

“Wah, nyaman … “ seru Tutut.

“Silakan duduk. Aku nggak punya kursi.”

“Ini enak. Dingiin…” kata Desy yang kemudian berselonjor di tikar, diikuti Tutut.

“Dingin, aku ngantuk sekarang. Katanya sambil merebahkan dirinya di tikar itu.

“Mas Sarman tadi dari mana?”

Sarman menunjuk ke arah keresek hitam yang baru saja diletakkannya di atas meja.

“Itu, beli keripik, untuk camilan,” lalu di raihnya keresek itu, ditunjukkannya ke hadapan kedua adik angkatnya.

“Aku mauuuu,” teriak Tutut yang kemudian meraih bungkusan itu dan mencomotnya. Sarman tersenyum. Ia tak pernah melupakan sikap Tutut yang terkadang seenaknya dan agak manja.

“Keripik singkong, hmmm … gurih … boleh aku habiskan?”

“Boleh dong, habisin saja. Aku ambilkan minum ke belakang ya, tapi adanya hanya air putih, kata Sarman sambil berdiri dan beranjak ke belakang.

“Ya ampun Tut, kamu rakus sekali. Itu kan buat mas Sarman. Camilan sambil bekerja,” tegur Desy.

“Nggak apa-apa kan Mas, besok aku ganti, aku antarkan ke kampus deh,” kata Tutut yang terus menikmati keripik singkongnya tanpa malu-malu.

Sarman keluar sambil membawa tiga gelas air putih kemasan, berikut sedotannya. Ia tersenyum lebar melihat ulah Tutut yang tanpa sungkan terus mencomot keripik singkongnya.

“Enak, dimana belinya?”

“Tadi ada penjual keripik lewat, aku beli di situ. Sekarang sudah pergi.”

“Sayang sekali, kalau masih ada aku mau beli dibawa ke rumah deh,” kata Tutut yang tak berhenti mengunyah.

“Anak satu ini benar-benar malu-maluin,” gerutu Desy sambil meneguk minumannya.

Sarman hanya tertawa. Berminggu-minggu berusaha mengendapkan perasaanya kepada Tutut sambil menekuni tugasnya, ia hampir berhasil. Dan kedatangan Tutut kali ini tidak begitu membuatnya berdebar dan bergejolak seperti sebelumnya. Ia sudah tahu bagaimana sebaiknya dia bersikap. Kedewasaannya yang membuatnya begitu cepat bisa menata batinnya.

“Mas Sarman kapan pulang?” tanya Desy.

“Semoga tak lama lagi. Bulan depan aku bisa selesai, mudah-mudahan tak banyak revisi, dan segera kelar.”

“Aamiin.”

“Cepatlah pulang begitu selesai, ya Mas,” rengek Tutut. Sikapnya tak berubah, walau dia tahu bahwa Sarman pernah bilang bahwa dia mencintai dirinya.

“Iya. Tapi ngomong-ngomong kalian ini dari mana, kok malam-malam bisa sampai ke sini?”

“Itu, Mbak Desy lagi galau, nyetir mobil nggak jelas arahnya,” keluh Tutut.

“Kenapa galau?”

Desy menghela napas panjang.

“Berantem sama mas Danarto?”

“Tidak. Mas Danarto ternyata sudah dijodohkan oleh orang tuanya.”

“Apa?”

“Padahal sebenarnya Mbak Desy sudah bersedia menikah,” kata Tutut dengan mulut tak berhenti mengunyah. Desy diam saja. Tak apa kalau Sarman mendengar persoalannya.

Tiba-tiba Sarman teringat sesuatu. Mahasiswa baru di kampusnya yang bernama Hesti, ingin merebut laki-laki yang disukainya, dari pacarnya yang bernama Desy.

“Gadis itu bernama Hesti?” tanya Sarman mencoba menebak.

“Lhoh, kok Mas Sarman tahu?”

“Dia mahasiswa baru di kampus aku.”

“Oh ya? Kok mas Sarman bisa menebak bahwa dia gadis yang dijodohkan sama mas Danarto?” tanya Desy.

“Hesti pernah cerita. Dia ingin merebut mas Danarto. Aku sudah menasehatinya, sepertinya dia mendengarkan nasehatku, tapi apa dia nekat?”

“Entahlah, aku tidak tahu. Tadi pagi ibunya menelpon aku, dan minta agar aku menjauhi mas Danarto.”

“Waduh, nggak benar itu. Besok kalau ketemu di kampus aku harus menegurnya.”

“Biarkan saja Mas, aku jadi belum ingin menikah kok.”

“Mengapa hanya karena seorang gadis kecil kamu harus mundur?”

“Bukan karena gadis kecilnya itu. Tapi aku merasa seandainya aku nekat menikah, maka hal itu akan menjadi momok yang selalu menghantui pernikahan aku. Aku tak ingin rumah tanggaku terasa tidak nyaman.”

“Bukankah mas Danarto sangat mencintai kamu? Kalian itu pasangan yang sangat serasi. Mas Danar pasti bisa membahagiakan kamu. Jangan takut untuk melangkah.”

“Baiklah, nanti akan aku pikirkan.”

“Mas, keripiknya habis,” kata Tutut sambil meremas bungkus keripiknya.

Sarman mengulurkan tissue dan disambut Tutut, kemudian dipergunakan untuk mengelap tangan dan mulutnya.

“Ya ampun Tut. Perutmu bisa meledak,” omel Desy.

“Yee, memangnya bom, bisa meledak,” katanya sambil meraih minumannya.

Sarman hanya tertawa melihat mulut mungil itu tampak berminyak setelah menghabiskan sebungkus keripik.

“Ayo kita pulang, sudah kamu habiskan camilannya mas Sarman tuh.”

“Nggak apa-apa kok, biarin, di sini kalau malam banyak orang jualan makanan.”

“Mas Sarman betah tinggal ditempat sepi seperti ini?”

“Betah dong, aku seharian di sini, dan merasa tenang.”

“Kalau di rumah sana kan digangguin terus sama Tutut,” omel Desy. Tutut hanya tersenyum, lalu menghabiskan minumannya.

“Baiklah, ayo pulang,” kata Tutut sambil berdiri.

“Kami pulang ya Mas,” kata Desy mengikutinya.

“Mas Sarman cepat pulang ya,” kata mereka hampir bersamaan, sambil melangkah keluar rumah.

***

“Jadi gadis itu ternyata sangat nekat ya Dan?”

“Itulah, aku tahu dia hanya pura-pura sakit. Tadi begitu pulang aku terkejut dia tidur di kamarku. Aku langsung keluar dan pergi ke mari.”

“Aku melihatnya keluar dari halaman rumah kamu. Jadi kelihatan kalau memang dia berpura-pura.”

“Biar dia tahu rasa.”

“Harusnya dia sadar bahwa kamu nggak suka sama dia. Tapi kok nekat ya.”

“Mungkin karena dia berpegang pada perjodohan itu. Dikiranya hal itu akan bisa mengikat aku. Sedih aku, susah payah aku mengejar kesediaan Desy, ee begitu berhasil, gadis itu merusaknya.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan menemui ibunya dan mengatakan bahwa aku tidak bersedia menikahi Hesti.”

“Itu benar, selesaikan urusan kamu dengan Hesti terlebih dulu, baru bicara sama Desy.”

***

Pagi hari itu Danarto bersiap pulang. Ia harus pulang karena sebelum bertugas dia harus berganti pakaian. Dia tak bisa mengenakan baju Danis karena Danis tubuhnya lebih kecil.

Ia berhenti di halaman, dan berharap Hesti sudah pergi setelah mengetahui dirinya tidak pulang semalaman.

Tapi ternyata tidak. Begitu memasuki kamarnya dilihatnya gadis itu masih tergolek dengan nyaman. Kamar itu dipenuhi aroma minyak kayu putih yang menyengat. Rupanya Hesti telah menuang sebotol minyak kayu putih agar tampak bahwa Hesti benar-benar kesakitan. Danarto tak peduli, ia membuka almari dan mengambil pakaian yang akan dikenakannya, lalu pergi ke kamar mandi sekalian membawa baju gantinya.

Begitu selesai mandi Danarto tidak masuk ke dalam kamarnya. Ia mengenakan sepatu dan bersiap pergi. Ketika itulah Hesti keluar dari kamar dengan terhuyung, lalu jatuh di depan pintu.

***

Besok lagi ya.

 

41 comments:

  1. Alhamdulillah......
    AD...AH_15 sdh tayang.
    Matur suwun, bun.

    ReplyDelete
  2. Trimakasih sdh muncul... Sehat sll mbak tien

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ADUHAI-AH 15 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  4. Alhamdullilah AA 15 sdh tayang..terima ksih bunda Tien..slmt mlm dan slmt isyrht..slm sht sll..🙏💖🌹

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 15 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah ADUHAI AH 15 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  7. Alhmdllh terimksih Mbu Tien.... mkin serrruuu

    ReplyDelete
  8. Ah... Lagi-lagi drama nih Hesti.
    Jangan buat ada kesempatan buat Hesti ya Bu Tien...


    Pembaca esmosi jiwa nihhh... 😆😆😆😆

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah...AA sudah tayang .
    Matur nuwun Mbak Tien ... Semoga Berkah dan Ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu melindungi kita semua Aamiin😊🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, jumpa lagi bunda Tien, salam sehat dan aduhai..

    ReplyDelete
  11. Dr danarto cerdik pandai dan prefektionis gentlemen lihat ada gadis tergeletak didepan pintu tdk gugup diraba nadi tangan napas dihidung normal semua ambil hp telepon rs panggil ambulans utk jemput hesti yg tergeletak dipintu krn modus pura2 sakit itu baru siiiip. Guruxa endah kalah pinter dgn dr danarto bikin sinetron hehehe

    ReplyDelete
  12. Trimakasih.
    Sehat sll mbak tien

    ReplyDelete
  13. Hesti ko nekat amat?....
    Terimakasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  14. Trmksh mb Tien AA15 sdh tayang...smg Hesti tdk berbuat nekat. Slm seroja utk mb Tien dan para pctk🤗

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien..

    ReplyDelete
  16. Atau klau perlu panggil dr danis utk saksi klau dr danarto betul2 org baik ngk clutak dgn wanita lain
    Hesti dinaikin brankar dan diangkat masukin ambulan dibawa ke rs utk dirawat oleh perawat pasti seru nih ngk berani macem2e lagi dgn dr danarto gimana hebohxa di mobil ambulan hehehe keringat dingin hesti pasti dleweran ketahuan bohongxa klau sakit pura2 apa lagi di ambulan hanya ada perawat saja dr danarto hanya nitip bawa ke igd rs hehehe seru

    ReplyDelete
  17. Sarman yg akan bantu Desy dan Danarto yaa kan dia kakak mrk ..Danis ma Tutut aja ..Dr yg manis hahaha yg diinginkannya walau duda nantinya ..semoga Tindy bisa memberi pengertian .
    Hesti tak tai mali..makasih Bu Tien

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Setuju pak Muhajir, Danar memanggil ambulans untuk membawa Hesti ke Rumah Sakit.
    Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah...AA 15 sudah tayang .
    Matur nuwun Mbak Tien ... Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga. Aamiin

    ReplyDelete
  20. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah..cerita lancar mengalir dan berhasil bikin pembaca gregeten. Hesti...hesti..kok berguru pada Endah yang gemblung to. Tobat..Hesti salah asuh. Kasihan Sarman kalau mengalihkan perhatiannya dari Tutut kepadanya. Hmmm...yang jelas, ide mb Tien itu adaaaa saja untuk membuat kita pada gemesss

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah
    Makasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete
  23. Terima kasih mbak tien, semoga mbak tien sehat² selalu.

    ReplyDelete
  24. Trimakasih bu Tien....Semoga bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  25. Jangan kasi kesempatan Hesti merusak kebahagiaan Danarto Desi .
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu aduhai

    ReplyDelete
  26. Lanjut bu tien
    Bikin ibu2 Baper..nih nanyain kelanjutanya.seht2 slalu bu tien

    ReplyDelete
  27. Bu Tien... maturnuwun.... Dan sy tunggu kelanjutannya baik Aduhai maupun setangkai mawar buat ibu

    ReplyDelete
  28. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono

    ReplyDelete
  29. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,

    ReplyDelete
  30. Salem(Boston)MA May 09,2022, Terima kasih bunda Tien untuk Aduhai Ah yang ke 16 yang seru habis......... semoga bunda Tien dan sdr2 PCTK selalu sehat,semangat! Salam hangat dari Salem the Witch city MA!

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...