ADUHAI AH 23
(Tien Kumalasari)
“Mengapa menatap ibu seperti itu?” kata bu Sriani
kesal.
“Untuk apa Ibu melakukannya? Ibu hanya akan mendapat
malu.”
“Bukan aku yang akan mendapat malu, tapi dia. Gadis
itu, yang telah melakukan hal yang melanggar.”
“Melanggar apa Bu?”
“Melanggar perjanjian ibu dengan almarhumah ibunya
Danarto. Kamu tidak mengerti juga ya?”
“Bu, aku tidak mau menjadi isterinya, percuma ibu
melakukannya.”
“Terserah kamu mau bilang apa. Ibu sangat marah
menerima perlakuan Danarto ketika datang ke rumah. Dia sama sekali tidak
menghargai ibu, dan walau tidak mengatakannya, dia seakan bilang bahwa ibu
adalah pembohong. Dia pergi begitu saja, nggak ada sopan-sopannya. Ibu harus
membalas perlakuan itu.”
“Barangkali dia juga kesal karena ibu seperti memaksa.”
“Bukan memaksa, aku hanya menunjukkan sebuah fakta,
bahwa ada sebuah ikatan antara aku dan ibunya, dan ibu ingin agar dia
menghormatinya.”
Hesti diam menunduk, sambil merangkul kedua lututnya.
“Orang itu harus punya harga diri.”
“Kalau ibu ke sana, ibu seperti tak punya harga diri
juga.”
“Hesti ! Kamu berani mengatai ibumu seperti itu. Kamu
itu anak durhaka, tahu. Sekarang ini, kalau ibu melakukannya, bukan karena
ingin menjadikan dia menantu ibu, tapi ingin membalas perlakuannya.”
Hesti ingin menjerit sekuat-kuatnya. Ia sudah tahu dan
menyadari sepenuhnya bahwa Danarto tak akan mau menjadikannya isteri. Apa yang
dikatakan Sarman sangat merasuki jiwanya, karena semuanya adalah benar.
Janganlah mencintai milik orang lain, kamu masih kecil, fokuslah kepada kuliah
kamu. Dan Hesti akan melakukannya. Mas Sarman adalah laki-laki terbaik yang
pernah ditemuinya. Yang memarahinya berkali-kali dan menganggap bahwa apa yang
dilakukannya adalah salah.
“Mengapa kamu diam?”
Hesti mengangkat wajahnya, dan menampakkan pelupuknya
yang bersimbah air mata.
“Kamu menangis?”
Hesti tak menjawab.
“Kedatangan ibumu adalah untuk membalas perlakuan dia.
Ibu sakit ketika ia meninggalkan rumah kita tanpa rasa hormat sama sekali. Ia
berbeda dengan almarhum ibunya yang sangat lembut dan santun, dan menganggap
ibu ini saudaranya. Pasti dokter perempuan itu telah mempengaruhinya.”
“Sudahlah Bu, hentikan semuanya. Biarkan Hesti
menyelesaikan kuliah Hesti terlebih dulu. Jodoh itu bukan kita yang meraihnya,
tapi Dia yang memberinya.”
“Ya ampuuun,” bu Sriani geleng-geleng kepala.
“Kemana anak ibu yang penurut dan selalu membesarkan
hati ibu? Kemana semua itu Hesti, siapa yang mempengaruhi kamu? O, ibu ingat
sebuah nama ketika beberapa hari yang lalu … eh... bukan, kemarin atau satu dua
hari yang lalu, makan bersama kamu. Dia bernama Sarman. Dia kan yang
mempengaruhi kamu?”
“Dia seorang yang baik.”
“Oh ya? Seberapa besar perhatiannya atas kamu? Dengar
Hesti, kamu itu cantik. Kalau laki-laki berbaik-baik sama kamu itu sudah
sewajarnya, karena pasti mereka menginginkan perhatian dari kamu, supaya kamu
suka, supaya kamu tertarik. Dan kamu tidak menyadarinya? Ya, benar, kamu masih
sangat muda untuk menyadari sebuah tipu muslihat. Dan karena pengaruh dari
mereka itu, maka sikap kamu berubah. Kamu berani menentang ibumu, bahkan tidak
menghormati ibumu sama sekali. Begitu kan?”
“Ibu salah,” kata Hesti pelan. Hatinya sudah menciut
karena ibunya baru datang sudah membawa amarah yang tak terkendali. Tapi ia
bukannya takut. Entah dari mana datangnya, ia bisa memilah mana yang baik dan
mana yang buruk.
“Kenapa ibu salah? Dimana letak kesalahan ibumu? Ibumu
membela kamu, membuat kamu hidup terhormat dengan laki-laki yang terhormat
pula, kamu sekarang menentangnya. Ibu ingin membela martabat ibu, kamu juga
mencelanya.”
Hesti tak lagi ingin menjawab. Ia tahu setiap jawaban
akan semakin membuat ibunya murka.
***
“Kemana saja kamu tadi ?” tanya Desy malam itu di kamar
mereka.
“Jalan saja, lalu beli bakso, lalu ketemu mas Sarman
deh,” kata Tutut yang berbaring di samping kakaknya.
“Ketemu mas Sarman? Di mana?”
“Ketika dia mau beli bakso. Maksudnya mau dibawa
pulang, tapi aku memaksanya untuk makan bersama kami dulu di sana.”
“Oh ya? Ngomong apa saja dia?”
“Ngomong tentang skripsinya yang sudah selesai.”
“Syukurlah. Senang mendengarnya. Semoga dia segera
kembali ke rumah ini.”
“Iya, aku tadi juga bilang begitu. Kasihan, dia tampak
kurus.”
“Masa?”
“Iya. Biarpun masih ganteng sih, tapi kelihatan kalau
agak kurusan. Mungkin sering tidur malam, bolak balik ke kampus. Capek ya.”
“Pastinya. Lalu kapan kamu selesainya? Sudah di salip sama mas Sarman tuh, padahal kamu kuliah lebih dulu.”
“Iya, otaknya beda. Dia lebih encer, aku terlalu
kental,” jawab Tutut seenaknya.
“Dasar kamu tuh tidak bersungguh-sungguh. Dan menurut
aku, kamu selalu bergantung sama mas Sarman. Sedikit-sedikit tanya mas Sarman.
Ketika dia tak ada, kamu seperti tak bersemangat.”
“Iya sih.”
“Jangan bilang kamu jatuh cinta sama dia. Bisa heboh
rumah ini.”
Tutut tertawa.
“Ada-ada saja. Cinta? Enggak lah. Mas Sarman itu kakak
aku.”
“Tapi dia cinta sama kamu kan?”
“Sepertinya tidak lagi. Dia menatap aku biasa saja.
Ketika melihat aku sedang bersama mas Danis, dia juga tidak kelihatan cemburu.”
“Syukurlah. Nanti bapak sama ibu pasti senang mendengar mas
Sarman sudah selesai mengerjakan skripsinya. Tinggal ujian, kalau sudah oke,
dan selesai.”
“Carikan isteri buat dia Mbak.”
“Kamu ada-ada saja. Jaman sekarang tidak ada yang
namanya mencarikan suami atau isteri.”
“Ada satu.”
“Ada?”
“Itu, gadis yang dijodohin sama mas Danarto.”
“Ah ya, namanya Hesti. Cantik sih orangnya, tapi dia
masih kecil. Baru masuk kuliah. Berarti umurnya belum ada duapuluh tahun.”
“Sekarang bagaimana?”
“Nggak tahu aku. Mas Danarto bilang sudah ketemu
ibunya dan menyangkal perjodohan itu.”
“Oh ya? Biarpun itu wasiat dari orang yang sudah
meninggal?”
“Tidak. Hanya sebuah foto dari kedua ibu itu, yang
dibaliknya tertulis, bisakah kita berbesan kalau anak kita laki-laki dan
perempuan, atau apa, aku nggak hapal kalimatnya. Intinya begitu. Apa itu
perjanjian?”
“Wah, sudah mencair rupanya hati Mbak.”
“Doakan lancar semuanya ya. Aku ingin hidup aku
baik-baik saja.”
“Pasti lah Mbak, aku doakan Mbak. Pokoknya yang
terbaik untuk Mbakku tersayang ini.”
“Terima kasih, adikku yang tersayang, walau terkadang
nyebelin. Eh, senang kamu ya, sudah dapat boneka beruang putih. Tuh, memenuhi
kamar saja. Dimasukkan ke almari mainan kamu juga ngga cukup kan?”
“Biarin saja dia duduk manis disitu, senang aku
memandanginya sebelum tidur.”
“Bisa mimpi ketemu beruang beneran kamu.”
“Ih, jangan dong. Kalau ketemu yang memberi beruang
itu, aku mau.”
“Hei, kamu suka sama mas Danis?”
“Mbak Desy kok gitu. Cuma bilang begitu saja dikatain
suka,” sungut Tutut.
“Nggak apa-apa sih, kan dia baik. Tapi ya itu, dia
duda beranak satu. Eh, duda tapi belum bersertifikat,” kata Desy sambil
tertawa.
“Aku nggak ingin mikirin cinta dulu. Katanya harus
segera selesai kuliah?”
“Benar. Jadi jangan selewengan.”
“Besok aku boleh nggak ikut ke rumah sakit?”
“Ngapain ikut? Kemarin dulu juga bilang ikut.”
“Ingin melihat calon anak tiri Mbak."
“Apa?” kata Desy sambil memukul adiknya dengan guling.
“Itu yang bilang mas Danis. Tadi tuh ketika aku sedang
mencari-cari, Mbak dimana ya, kata mas Danis lagi nyariin kado buat calon anak
tirinya.”
“Dasar Danis. Awas besok kalau ketemu.”
“Ya sudah aku mau tidur. Aku bawa boneka beruang ke
sini ya, biar nemenin aku tidur.”
“Nggak bisa, menuh-menuhin saja. Dekat kamu saja sudah
gerah, ditambah beruang segede itu,” kesal Desy.
Tutut cemberut, tapi tak berani menentang kakaknya.
***
“Selamat pagi,” sapa Harun ketika memasuki ruang
praktek dokter Nisa.
“Selamat pagi, pak Harun, silakan duduk. Ada yang bisa
saya bantu? Bunga baik-baik saja kan?”
“Iya Dok, berkat Dokter, Bunga sudah semakin baik, dan
tidak terlalu rewel.”
“Berkat saya, atau berkat dokter Desy?”
Harun tertawa renyah.
“Berkat kedua-duanya Dok.”
“Kalau dia terus membaik, mungkin dua tiga hari lagi
boleh pulang. Untunglah belum terlambat ditangani. Pak Harun sangat menjaga
anak-anak, sehingga sedikit saja sakit, sudah dibawa ke dokter. Itu bagus.”
“Saya ini kan hanya sendirian, bersama seorang baby
sitter. Jadi saya sangat berhati-hati dalam menjaga anak saya. Seperti pesan
almarhumah ibunya sebelum meninggal,” kata Harun yang tiba-tiba tampak sedih.
“Pak Harun sangat luar biasa, bisa menjadi ayah dan
ibu sekaligus.”
“Iya dok. Mmm ... begini, kedatangan saya kemari, kalau dokter
tidak keberatan, saya minta dokter ke ruangan Bunga sebentar. Sekitar jam
sebelas, begitu.”
“Memangnya ada apa Pak?”
“Hari ini Bunga ulang tahun. Ia tidak melupakannya,
dan saya tak sampai hati untuk tidak merayakannya walau kecil-kecilan.”
“O, begitu? Aduh, mengapa bilangnya mendadak, saya
tidak punya kado buat Bunga, bagaimana?”
“Tidak apa-apa Dok, kedatangan dokter sudah membuat
kami sangat bahagia.”
“Baiklah Pak Harun, sebentar lagi saya selesai. Jam
sebelas nanti saya ke sana.”
“Terima kasih sebelumnya Dokter. Sekarang saya permisi
dulu,” kata Harun sambil berdiri. Ketika Harun melangkah keluar, dokter Nisa
menatapnya dengan penuh kekaguman.
“Benar-benar seorang ayah yang luar biasa,” gumam
dokter Nisa pelan.
Dokter Anisa Purbasari adalah dokter spesialis anak
yang masih gadis. Dulu pernah bertunangan, tapi calon suaminya meninggal karena
kecelakaan. Setelah itu dia tak pernah lagi memikirkan yang namanya jodoh. Tiga
tahun berlalu, dinikmatinya dengan hidup menyendiri, walau terkadang merasa
sepi.
***
“Mana aunty?” tanya Bunga ketika ayahnya datang. Mbak
Sri sudah memakaikan baju baru yang indah untuk Bunga.
“Aduh, Bunga cantik sekali.”
“Kata Mbak Sri, Bunga seperti mami.”
“Oh, iya benar. Mami cantik, Bunga juga cantik.”
“Mana aunty?”
“Nanti aunty akan datang, juga ibu dokter Nisa yang
cantik dan ramah.”
“Tapi aku takut ibu dokter Nisa.”
“Mengapa takut?”
“Kalau dia datang, selalu menyuruh suster memasukkan
obat ke situ. Bunga sakit, papi,” rengek Bunga.
“O, sayang. Itu bukan sesuatu yang menakutkan. Dokter
Nisa itu kan dokter. Dia menyuruh suster perawat memasukkan obat ke dalam infus
itu, karena ibu dokter ingin agar Bunga segera sembuh. Kalau Bunga sembuh,
kemudian kita bisa pulang ke rumah, dan Bunga bisa bermain bersama adik seperti
biasanya. Bunga suka kan?”
Bunga mengangguk pelan, walaupun masih merasa ragu.
“Bunga harus percaya, bahwa dokter Nisa ingin
menyembuhkan Bunga. Kalau Bunga tidak diberi obat, maka Bunga tidak akan segera
sembuh. Mengerti kan?”
“Tapi itu sakit …”
“Sakit sedikiiit, tapi nanti segera sembuh. Bunga
pengin segera pulang kan?”
“Iya, papi.”
“Nah, nanti kalau dokter Nisa datang kemari, Bunga
harus memberi salam dengan manis.”
“Iya, papi.”
“Kapan aunty akan datang?”
“Sebentar lagi. Bunga, sabar ya. Sebentar, papi mau
mencari mbak Sri, supaya mbak Sri bisa menata kue taart yang cantik buat Bunga.”
“Bolehkah Bunga bangun?”
“Nanti menunggu ibu dokter Nisa dulu, apakah Bunga boleh
bangun atau tidak. Sabar ya.”
“Nanti menyanyi ulang tahun ya, papi?”
“Iya, tentu, sayang. Sekarang diam dulu disini.
Sebentar lagi tamu-tamu kita datang.”
***
“Mas, nanti ikut ya,” kata Desy ketika bertemu Danarto
di ruang prakteknya.”
“Ikut kemana?”
“Itu … ke ruang rawat inapnya Bunga.”
“O, merayakan ulang tahun. Kan aku tidak diundang.”
“Ya nggak apa-apa, kan kamu datang bersama aku?”
“Bagaimana kalau dia cemburu?”
“Dia siapa?”
“Itu, ayahnya Bunga.”
“Ada-ada saja. Kami hanya bersahabat, karena
anak-anaknya dekat sama aku. Yang cemburu jadinya malah Mas tuh.”
“Nggak apa-apa kalau aku cemburu, bukankah cemburu
tandanya cinta?”
“Ah …”
“Hm … seneng mendengarnya lagi.”
“Ya sudah mas, aku ke ruang aku dulu. Sebentar lagi
jam sebelas. Mas nyamperin aku ya. Hadiahnya masih di sana.
“Baiklah.”
Desy kembali ke ruangannya, dan terkejut ketika
perawat pembantunya memberi tahu, bahwa ada tamu sedang menunggu.
“Siapa sus?” tanya Desy heran.
“Seorang ibu.”
“Bukan pasien?”
“Bukan Dok. Pasien sudah habis. Katanya cuma ingin
ketemu saja.”
Desy mengangguk, lalu masuk ke dalam ruangannya.
Dilihatnya seorang wanita duduk sambil menyilangkan kakinya. Berpakaian bagus,
dan berdandan apik. Desy merasa belum pernah melihat wanita itu.
“Selamat siang ibu,” sapanya sambil duduk di depan
tamunya.
“Selamat siang,” jawab wanita yang sama sekali tidak menunjukkan
sikap ramah. Matanya menatap tajam ke arah Desy.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Desy.
“Dokter tidak menanyakan siapa saya?”
“Oh ya, baiklah, siapa ibu sebenarnya? Rasanya saya
belum pernah bertemu sebelum ini.”
“Betul, karena saya juga baru bertemu dokter sekarang
ini. Nama saya Sriani, dari Surabaya.”
Desy tertegun.
“Surabaya?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien
Selamat buat jeng Hermina Juara 1
DeleteMatur nuwun bu Tien AA_23 sudah tayang.
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI....AH
Juara 1 mbk Hermin, selamat ya mbk...
DeleteTks pa Djoko, mb Nani.. Td kebetulan pas buka pctk ada MST hehe..
DeleteAlhamdulillah AA sdh tayang
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Sehat selalu nggih mbk
Alhamdulillah doa kita bunda Tien sehat selalu yah mb Nani
DeleteMakasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah.,. Sdh tayang.. Tks Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteAkan ada 'perang'kah di rumah sakit? Mudah mudahan keadaan terkendali dan tidak terlalu mencemaskan.
DeleteBaru setengah jalan ceritanya, jadi pasti akan ada kejadian diluar perkiraan.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdullilah sdh tayang AA23..terima ksih bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrahat..slm seroja dri skbmi😘😘🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteADUHAI...AH Eps 23 sdh tayang, bagaimana Tutut & Danis yg blm pulang, mak Lampir Sriati yang memaksa Hesti & lamaran Danarto ke orang tua Desy? Yuk kita ikuti bersama.
Terima kasih bu Tien, salam sehat dan tetap Semangat.
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAh.... Besok lagi yaa... 😁😁😁😁
ReplyDeleteSehat selalu Bu Tien, salam dari Bandung 😘
AA tayang.....suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 23 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
AA dah ada tayang
ReplyDeleteMatur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang, salam aduhaai dari Pagelaran, Lampung
ReplyDelete𝐉𝐢𝐚𝐧 𝐒𝐫𝐢𝐚𝐧𝐢 𝐧𝐠𝐚𝐰𝐮𝐫𝐫𝐫 ...𝐧𝐠𝐥𝐚𝐛𝐫𝐚𝐤 𝐤𝐨𝐤 𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐒𝐚𝐤𝐢𝐭...😄😄😄
ReplyDelete𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 ...𝐞𝐩𝐬 23 𝐬𝐝𝐡 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧🙏🙏🙏
Yah maklum seh org gak punya etika,dlm otaknya bundhet ruwet isinya cuma emosi ajah
DeleteTerima kasih Bu Tien, semoga selalu sehat.
ReplyDeleteAlhamdulillah AA sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Salam ADUHAI AH
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah AA sdh tayang...smg Desy bs mengatasi keakuan bu Srianti ... smg mas Danarto segera datang dan membantu Desy ... Aamiin YRA🤲🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah ....
ReplyDeleteADUHAI AH 23 dah tayang mksh bu Tien
Alhamdulillah ... Aduhai Ah .. jd nggak sabar lanjutannya.☺️
ReplyDeleteMatur nuwun nggih Mbak Tien ... semoga kita semua sehat Aamiin.😊🌹🌹🌹🌹
Lah sriani sriani kok gak due isin blas....trims Bu tien
ReplyDeleteNekad sekali bu sriani ini. Bakal rame nih ruang praktek dr. Desy, bakal ada danarto, tutut, mungkin juga danis.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, semoga mbak sehat² selalu. Salam sejahtera utk keluarga.
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, semoga mbak Tien sehat selalu. Salam sejahtera untuk seluruh keluarga.
ReplyDeleteAlhamdulillah, AA23 sdh hadir.. mksh bunda Tien😊😊
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 23 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Konflik lagi...
ReplyDeleteMbak Tien memang hebat...
Terima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, terimakasih bu Tien.
ReplyDeleteMau apa lagi sih ibunya Hesti dah ditolak tu ya ditolak kok nekat ...
ReplyDeleteAnaknya aja dah nyadar kalau dia ibarat mengharapkan sesuatu yg tak mungkin kok malah ibunya yg nekat mau balas dendam dg mendatangi dokter Desy
Moga Desy dan Danarto kuat iman tak terpengaruh pada omongan bu Sriani juga yg lainnya.
Kapan sih lamarannya mas Danar...
Moga lancar dan sukses sampai hari H.Aamiin
Terimakasih Bunda Tien, semakin seruuuu, akhirnya Desy baikan lg...tp Ibunya Hesti parahhh.....
ReplyDeleteSehat2 selalu ya Bun..
salam aduhaiii
Ketua panitia sibuk meneliti lagi adakah undangan yang belum tersampaikan.
ReplyDeleteHé hé hé adiknya Purbalarang jadi dokter spesialis
Yang terpana kepiawaian mengawal anggotanya agar nyaman.
Ini Kamandaka ku.
Ada tamu menggebu gebu menemui Desy, mbregudul campur bawur têtêp kêkêh minta menjauhi Danarto.
Tanpa tegur sapa Danarto datang langsung mengajak Desy; ayo mana kadonya, sudah waktunya ke ultah Bunga anak kita.
Bèn bingung sisan, katanya belum nikah, ini malah bilang punya anak.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang kedua puluh tiga sudah tayang,
Sehat, semangat, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Aduhai
Alhamdulillah... Trmksh ibu Tien. Ceritanyamakin menarik dan membuat penasaran. Smg bu Tien sll sehat.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteMantab Makin Aduhaaii ah ,, Harun & Nisa seperti nya,,,
Tp ,Desy hrs sabar ya menghadapi ibunya Hesti ,,,kl jodoh Tanya bu Tien ya 😁😁
Sehat wal'afiat semua ya bu Tien 🤗😍
Alhamdulillah... Matursuwun bu Tien. Ceritanya makin ADUHAI dan membuat penasaran. Salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah..wahwah seruuu nih
ReplyDelete