Friday, November 29, 2019

DALAM BENING MATAMU 56

DALAM BENING MATAMU  56

(Tien Kumalasari)

 

Adhit ingin segera mendapatkan jawaban atas perasaan cintanya pada Dinda, Ia ingin menunda urusannya tentang Mirna. Hatinya sudah mantap, ketika ponsel berdering dan itu dari Dewi. Adhit terpaksa mengangkatnya.

"Hallo Wi... ada apa?"

"Untunglah kamu lagi on. Susah bener menghubungi kamu."

"Ya, lagi bertapa aku," candanya.

"Gawat Dhit, aku terpaksa minta tolong sama kamu."

"Mirna? Ada apa dengan dia ?"

 "Kamu kan tau bahwa dia itu orang gila, kasihan Mirna. Kebetulan aku dipertemukan dengannya dan tau semuanya. Ternyata dia yang dinikahi Aji, tapi setelah hamil di sia-siakannya. Baru sehari dia bejerja di tokoku, setelah mengontrak rumah sendiri bersama ayahnya."

"Kemana Aji ?"

"Kemarin dia mencegar Mirna ketika Mirna mau berangkat ke tokoku, yang kebetulan nggak jauh dari rumah kontrakannya. Lalu Mirna sengaja membawanya ketokoku. Dia terkejut melihat aku. Aku sudah me maki-makinya habis habisan. Tapi sa'at itu dia ngotot ingin bertemu Mirna, sepertinya dia butuh pertolongan Mirna, entah apa, tapi aku melarangnya bertemu. Tapi sorenya ketika Mirna pulang, mungkin Aji mencegatnya lagi, dan entah apa yang dilakukannya, Mirna sampai masuk rumah sakit dan keguguran."

"Dirumah sakit mana?"

"Ayud yang kebetulan mengetahui sa'at Mirna dioperasi atau mungkin di kuret karena kehamilannya yang gagal, paginya ingin menemui dirumah sakit itu, tapi pihak rumah sakit bilang kalau Aji sudah memindahkannya ke rumah sakit lain."

"Karena apa? Parahkah keadaan Mirna?"

"Tidak, aku curiga Aji memang menyembunyikan Mirna, karena tau bahwa Ayud melihatnya dan mengenalnya."

"Ada apa ya?"

"Itulah Dhit aku mengajak kamu untuk menyelidiki masalah ini."

"Tapi aku mau ke jakarta hari ini."

"Tolong Dhit, aku menghawatirkan Mirna."

Adhit bimbang, antara keinginan segera mengetahui kelanjutan perasaannya terhadap Dinda, dan membantu Dewi 

"Gimana Dhit ? Bisa kan? Aku masih dirumah sakit bersama Ayud nih. Pokoknya aku tunggu ya."

"Ya baiklah, aku kesana sekarang, Ayud sudah mengatakan rumah sakitnya tadi."

***

"Bapak, mana bapak?" keluh Mirna ketika perawat sedang mengukur tensinya siang itu. 

"Bapak Aji menunggu diluar bu, sabar ya, keadaan ibu lemah seteah dikuret, ibu harus istirahat dulu disini. "

Mirna sedih, ia memikirkan bapaknya yang entah berada dimana. Ia mendengar laporan perawat pagi tadi kepada suaminya. Tekanan darahnya rendah, hb nya juga sangat rendah. Kalau siang ini tidak membaik, ia harus mendapatkan transfusi darah.

Ketika perawat itu akan pergi, terbersit keinginan Mirna untuk meminta tolong. Ia harus menghubungi Dewi, ia sadar keadaannya tak begitu bagus, ia dalam tekanan Aji, dan ayahnya dipergunakannya sebagai alat untuk memaksanya.

"Suster...."

Perawat itu berhenti melangkah, berbalik mendatangi Mirna.

"Ada apa bu, akan saya panggilkan pak Aji."

"Jangan, tolonglah saya.."

"Apa yang bisa saya lakukan?"

"Tolong catatlah nomor telephone ini.."

Perawat itu lalu mengambil kertas yang entah darimana, mungkin dicatat disudut kertas laporannya, lalu mencatat nomor yang dikatakan Mirna. 

"Tolong mbak, kirimkan pesan ke nomor itu, bahwa saya ada dirumah sakit ini, saya bekerja disana dan nggak tau kalau harus terbaring disini."

"Baiklah bu.."

"Eh mbak..." panggil Mirna lagi ketika perawat itu akan berlalu.

"Ya bu?"

"Tolong jangan bilang pak Aji tentang pesan saya ini."

Perawat itu mengangguk. Lalu keluar dari ruangan.

Mirna merasa sedih, sakit ditubuhnya tak begitu dirasakannya. Ia hanya memikirkan ayahnya. Ia berharap perawat itu benar-benar menolongnya, dan Dewi segera bisa datang menemuinya.

Ketika Aji masuk, Mirna pura-pura memejamkan matanya. Tapi Aji tetap mengajaknya bicara.

"Mirna, tolonglah aku..Hari ini aku harus kembali ke kantor polisi. Aku sudah bilang bahwa kamu sakit. Mungkin polisi akan datang kemari, tolong aku ya Mir."

Mirna membuka matanya. Dilihatnya wajah Aji yang pias, jauh dari keangkuhan yang biasanya diperlihatkannya sesa'at setelah diketahuinya dia mengandung.

"Dimana bapak?" katanya lemah.

"Bapak baik-baik saja, aku akan membawanya kemari setelah kamu mengatakan pada polisi tentang apa yang aku katakan kemarin."

Mirna kembali memejamkan matanya. Sungguh ia tak ingin berbohong, tapi ia juga ingin segera bertemu ayahnya.

"Maukah Mirna?"

Mirna mengangguk pelan. Itu membuat Aji merasa lega. Diciumnya pipi Mirna, tapi kemudian Mirna membuang mukanya. Laki-laki yang berstatus sebagai suaminya ini tak pernah membuatnya bahagia, tak pernah berhasil menumbuhkan cinta, dan kini justru memercikkan kebencin dengan melibatkannya pada kejahatan yang telah dilakukannya.

***

Ayud dan Dewi gembira ketika melihat Adhit datang. Adhit memeluk adiknya lalu mengelus perutnya yang mulai membuncit.

"Rupanya kangen juga ya sama keponakanmu ini?" canda Ayud.

"Iya, kangen bener, tapi bagaimana lagi. Harusnya siang ini aku mau ke Jakarta."

"Mas, kayaknya Mirna dalam bahaya, kita harus menolongnya,"

"Waduh, ini salah dia sendiri, dulu nggak mau gerterus terang kalau mau menikah dengan Aji."

"Iya mas, kan itu sudah lewat, ayo sekarang kita cari Mirna dimana."

"Sebentar, sebentar.. ada pesan WA ini, entah dari siapa, nggak kenal nomornya, tunggu.. siapa tau penting."

"Barangkali dari Mirna?

"Oh, dari perawat rumah sakit, ini dia alamatnya, Mirna yang nyuruh kita kesana, ayo kesana cepat."

"Ayud, kamu kembali saja ke kantor, nanti kamu kecapean, biar aku sama Dewi yang mengurusnya." kata Adhit ketika melihat Ayud mengikutinya.

"Iya YUd, sudah ada Adhit, kamu kembal saja ke kantor."

"Baiklah, tapi kabari aku kalau ada apa-apa ya."

***

Ketika tiba dirumah sakit itu, Adhit dan Ayud langsung menuju dimana ruang Mirna dirawat, karena bunyi WA itu juga menyebutkannya.

Ketika memasuki ruangan itu, dilihatnya Mirna terbaring dengan wajah pucat.

"Mirna ?"

Ada rona merah tersirat pada wajah Mirna ketika melihat Dewi datang. Dalam hati ia berterimakasih pada perawat yang dititipinya pesan. Tapi ia terkejut melihat Adhit datang juga bersama Dewi. Ia tak kuasa menahan debar jantungnya. Laki-laki tampan yang selalu dikaguminya, dan yang berusaha dilupakannya, sekarang ada dihadapannya, memandangnya penuh iba. 

"Pak Adhit.." bisiknya lirih.

"Aku memintanya untuk membantu mencari kamu, karena katanya Aji memindahkanmu ke rumah sakit lain, untunglah ada yang memberi tau keberadaanmu."

"Saya minta tolong perawat mbak, saya butuh pertolongan."

"Apa yang sesungguhnya terjadi ? Aku ikut prihatin mendengar kamu keguguran,"

"Bapak disekap oleh mas Aji," kata Mirna lirih, air mata mulai menggenangi kelopaknya, menetes membasahi pipinya.

"Disekap bagaimana?" tanya Dewi dan Adhit hampir bersamaan.

Lalu Mirna menceritakan semuanya, dengan ter bata-bata. Mulai ketika Aji mencegatnya ketika pulang dari toko Dewi sampai dirinya dibawa kerumah sakit itu.

"Kalau saja kamu berterus terang kalau mau menikah dengan bedebah itu, pasti aku akan mencegahnya, karena aku sudah tau siapa dia. Tapi sudahlah, semuanya sudah terlanjur, dan kamu harus segera keluar dari kemelut ini." kata Adhit mmenyesali peristiwa itu.

"Dia benar benar gila. Ternyata dia pembunuh."

"Penjahat kelas teri, gampang saja kalau mau membuat dia masuk penjara."

"Kamu jangan mau mengakui kebohongan itu Mirna."

"Tapi bapak dalam bahaya mbak," isak Mirna.

"Kurangajar benar dia itu," kata Dewi geram.

"Begini saja, aku akan melaporkan semua ini pada polisi."

"Bapak saya bagaimana pak."

"Jangan khawatir, nanti polisi akan mengaturnya. Dewi, kamu disini dulu menemni Mirna, saya akan ke kantor polisi."

Dewi mengangguk. Mirna menatap kepergian bekas bos yang masih ganteng itu dengan matanya. Dan laki-laki yang dikagumi itu sedang berusaha membantunya. Dipejamkannya matanya sambil melantunkan do'a dalam hati, agar dirinya benar-benar bisa terlepas dari keterlibatan kejahatan Aji.

"Tenanglah Mirna, Adhit pasti akan menolong kamu," kata Mirna yang merasa iba memandangi wajah pucat itu.

"Ma'afkan saya mbak, saya telah membebani mbak Dewi dengan persoalan saya."

"Jangan berfikir begitu, aku khawatir benar-benar ketika mendengar kamu bertemu Aji lagi."

"Saya hanya menghawatirkan bapak, dimana mas Aji menyekapnya."

"Percayalah Mirna, semuanya akan baik-baik saja."

Mirna mengangguk, sedikit merasa tenang karena Dewi menemaninya.

***

Raharjo sedikit kecewa menerima pesan dari Adhit siang itu.

"Adhit tidak bisa datang siang ini seperti janjinya, katanya ada urusan penting," kata Raharjo yang masih berada dirumah Galang.

"Katanya buru-buru ingin tau jawabannya, mengapa dia menundanya lagi?"

"Mungkin ada urusan pekerjaan yang harus ditanganinya."

"Tapi Ayud bilang Adhit sudah beberapa hari tidak ke kantor."

"Padahal rencananya besok aku mau kembali ke Medan mas."

"Lho, katanya kamu mau meminta Retno untuk menyusul kemari."

"Nggak mas, masalah ini harus aku bicarakan dirumah, dengan hati-hati. Tidak bisa disini."

"Benar juga ya, tapi bagaimana kalau besok Adhit datang dan kamu sudah kembali?"

"Bagaimana kalau mas Galang suruh Adhit ke Medan saja."

"Ke Medan?"

"Sebaiknya aku yang memberi tau masalah ini mas... bukan mas Galang, karena akulah yang membuat semuanya menjadi kacau begini."

"Tidak Jo,  bukan kacau, ada jalan untuk keluar dari masalah ini, karena kita adalah saudara, yang menganggap semua perso'alan bisa dipikul bersama."

"Baiklah, aku telephone Adhit sekarang saja ya mas, biar dia langsung ke Medan besok."

"Tapi katakan juga nanti harus ke Jakarta dulu, ibunya ingin ketemu."

Raharjo mengangguk, lalu memutar nomor telephone Adhit. Terdengar nada panggil, tapi Adhit tidak mengangkatnya. Ber kali-kali dilakukan, tetap Adhit tidak mau mengangkatnya.

"Kok nggak diangkat ya," kata Raharjo.

Coba aku yang menelpon ya Jo."

Namun baik Raharjo maupun Adhit, tak mendapat jawaban atas panggilan telephone yang dilakukannya.

Tentu saja Adhit tidak mengangkatnya, karena waktu itu dia sedang ada di kantor polisi. Ketika dia datang, waktu itu Aji juga sedang memasuki kantor polisi itu. Begitu melihat Aji, Adhit langsung mendekat, geram melihat wajah tampan yang tampak kumal, tapi matanya penuh kelicikan. Ia teringat ketika Aji mengganggu Dinda, lalu dengan sekali tonjokan dihantamnya wajah Aji, dan membuat Aji terhuyung huyung.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


13 comments:

  1. Terima kasih bu untuk cerita bagusnya.... Ditunggu segera kelanjutannta....

    ReplyDelete
  2. Wow..makin bagus alur ceritanya.Semangat mbak Tien

    ReplyDelete
  3. Hoow ceritanya bikin aku ketagihan , ayok dong ditambah sehari 2 episode gitu sayang.

    ReplyDelete
  4. Selalu penasaran dgn kelanjutan ceritanya...

    ReplyDelete
  5. Cepat bu terusan nya + pensaran jadinya.

    ReplyDelete
  6. Ibu sejak kemarin smp mlm ini no 57 belum dikirim, memang sdh di stop smp no 56 saja? Kl memang sdh tidak ada lagi, saya tidak akan menunggu lagi,makasih..

    ReplyDelete
  7. Yang episode 55 kok g ada ya bu saya cari2

    ReplyDelete
  8. Bu Tien.. ep 55 koq ngga ada? Di share dunk..

    ReplyDelete
  9. Wah sayang, eps.55 ga ada...padahal pengin tau gimana cara Galang dan Putri cerita tentang Adhit kepada Rahardjo, pengin tau reaksi Teguh juga...😅

    ReplyDelete
  10. Iya... knp episode 55 nya gak tayang atau episode 56 ini sebenarnya episode 55

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...