Monday, May 19, 2025

CUNTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 14

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  14

(Tien Kumalasari)

 

Adisoma tertegun. Kelihatannya dunia kepercayaan dari sang istri akan runtuh. Istri penurut dan patuh, istri yang selalu menghormati dan tentu saja mempercayai, sedang menatapnya curiga, dan menunggu jawaban yang harus bisa membuatnya lega. Saat ini sang istri sedang marah karena Arum kabur dengan membawa bayinya, lalu melihat sabuk bermata intan tergeletak di kamar pembantu. Apa yang harus dijawabnya? Alasan apa yang bisa membuat sang istri tak curiga? Melepas sabuk di kamar pembantu, perempuan, muda dan cantik pula.

“Kangmas, bukankah ini punya Kangmas?” ulangnya.

Adisoma menerima sabuk yang diulungkan sang istri dengan perasaan tak karuan.

“Iya, bagaimana bisa berada di sini?”

“Ini yang kemarin sore saya pasangkan sebelum kangmas berangkat ke keraton bukan?”

Memang, alasan pergi ke keraton selalu menjadi alasan setiap kali ia akan menemui Arum. Demikian juga yang dilakukannya semalam, dan karena dengan alasan ketemu pembesar dari kerajaan lain, ia memakai pakaian dinas masuk keraton. Saraswati yang tak mau tahu tentang kesibukan suaminya di keraton, benar ada tamu ataukah tidak, ia tak pernah ingin membuktikannya. Ia percaya Adisoma amat mencintainya, tak mungkin ia berbohong.

“Ini … tadi malam, sebelum berangkat ke keraton … memang … memang … hilang, Diajeng.”

“Bagaimana sabuk bisa hilang? Bukankah ada kancing yang pasti kencang?”

“Entah mengapa, memang jatuh, entah di mana.”

“Tapi mengapa bisa ada di kamar Arum?”

“Aku juga heran.”

Tiba-tiba Tangkil yang sedari tadi ikut nimbrung di luar kamar Arum setelah Saraswati marah-marah di sana, kemudian mendekat.

“Maaf, Den Ayu, sebenarnya saya yang menemukan sabuk itu di halaman,” kata Tangkil.

Adisoma menatapnya heran. Mengapa Tangkil berkata begitu?”

“Kamu yang menemukannya?”

“Ketika saya sedang mengitari halaman. Hal yang selalu saya lakukan.”

“Lalu mengapa bisa berada di kamar ini?”

“Kebetulan ketika saya melintasi dapur, saya melihat Arum sedang keluar dari pintu. Jadi saya serahkan sabuk itu kepada Arum, agar kalau dia masuk ke dalam untuk menyusukan den Aryo, bisa dibawanya sekalian.”

Adisoma menatap Tangkil dengan rasa terima kasih. Ia heran mengapa Tangkil melakukannya.

“Oh, jadi begitu?”

“Rupanya karena akan segera kabur, dia lupa pada pesan saya, lalu meninggalkan sabuk itu begitu saja.”

Saraswati mengangguk-angguk. Bisa dimengerti.

“Untunglah Arum bukan orang jahat yang ingin menguasai barang yang bukan miliknya, sehingga sabuk itu tidak dibawanya,” lanjutnya.

“Wajah Saraswati kembali suram.

“Bukan orang jahat katamu? Dia membawa anakku. Anak yang sudah diberikannya kepadaku, dan aku diam-diam juga memberinya imbalan uang yang tidak sedikit. Lalu dia berbohong, kabur dengan membawa Aryo, itu bukan kejahatankah namanya?”

“Ampun Den Ayu, maksud saya tentang harta benda. Padahal kalau dijual sabuk ini bisa laku ratusan juta.”

Saraswati tak menjawab. Rupanya ia tak peduli tentang sabuk itu, karena ia sudah menerima alasan adanya sabuk di kamar Arum. Ia sedih dan tentu saja kesal karena merasa Arum telah mengingkari janjinya.

Adisoma memburunya, dan mengucapkan kata-kata menghibur untuk sang istri. Namun sebenarnya dia sedang berpikir tentang ucapan Tangkil. Dia sedang menyelamatkannya? Walau terdengar aneh, tapi rupanya sang istri tidak memperhatikan keanehan itu. Bagaimana sabuk bisa jatuh tanpa terasa? Saraswati sedang memikirkan Arum yang telah melarikan ‘anaknya’.

***

Tangkil sedang menyelonjorkan kakinya sambil bersandar di tembok gardu, ketika mendengar suara berdehem.

“Mul?”

Tiba-tiba sang bendoro muncul di hadapannya. Tangkil segera menarik kakinya dan melipatnya.

“Ampun Den Mas, tidak tahu kalau Den Mas yang datang.”

Adisoma duduk di depan Tangkil. Ngelesot sambil menyandarkan pula tubuhnya.

“Saya ambilkan kursi kalau_”

“Tidak. Begini saja. Kamu sedirian?”

“Simul sedang pamit ke belakang, katanya perutnya sakit.”

“Aku mau bertanya tentang apa yang kamu lakukan kemarin.”

“Saya mohon maaf kalau dianggap salah,” katanya sambil menundukkan kepalanya.

“Tidak. Kamu tidak salah. Aku berterima kasih pada kamu. Bukankah kamu memang ingin menyelamatkan aku dari murka istriku?”

“Maksud saya begitu, kalau Den Mas berkenan.”

“Mengapa kamu melakukan itu? Berarti kamu sudah tahu tentang apa yang akhir-akhir ini aku lakukan?”

“Maaf, tapi saya tidak sengaja.”

“Tidak sengaja mengapa?”

“Hanya kebetulan melihat, beberapa kali ..  Den Mas  … memasuki kamar Arum. Sungguh, saya tidak sengaja.”

“Kamu melihatnya, dan kamu diam saja?”

“Saya juga laki-laki,” kata Tangkil sambil menundukkan wajahnya.

Adisoma tersenyum. Sesama lelaki dilarang saling membuka rahasia?

“Maaf, Den Mas.”

“Mengapa berkali-kali kamu meminta maaf?” kata Adisoma sambil mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Lalu ia memberikan beberapa lembar ratusan ribu kepada Tangkil, membuat Tangkil menganga.

“Ini … apa?”

“Terima saja. Sebagai ungkapan rasa terima kasihku.”

“Sebenarnya tidak usah. Saya hanya tidak ingin terjadi huru hara di istana Den Mas ini.”

“Terima saja,” titah Adisoma yang kemudian Tangkil menerima pemberian itu dengan suka cita. Segera ia memasukkan ke dalam sakunya.

“Terima kasih banyak, Den Mas.”

“Besok aku akan menyuruh orang memata-matai kepergian Arum. Ke mana kira-kira dia kabur?”

“Barangkali ke desanya.”

“Aku kira tidak. Dia tidak punya siapa-siapa. Ada ibu angkatnya, yang berbuat sewenang-wenang dengan mengusirnya ketika dia hamil.”

”Besok saya akan mencoba mencarinya.”

“Man, ada luwak di dekat kandang ayam,” tiba-tiba Simul muncul, yang kemudian menjatuhkan tubuhnya di lantai ketika mengetahui sang bendoro duduk di sana.

“Ampun Den Mas.”

“Tidak apa-apa. Masuklah. Di mana ada luwak?”

“Di dekat kandang ayam peliharaan mbok Manis. Tapi saya sudah mengusirnya.”

“Bagus. Sekarang aku mau ke dalam, kalian boleh ngopi. Mbok Manis pasti masih terjaga,” kata Adisoma sambil berdiri, kemudian meninggalkan gardu itu.

***

Malam hari itu Satria masih berbincang dengan kekasihnya. Baru saja Dewi memperlihatkan sebuah bangunan kecil, dari ponselnya. Ada beberapa bangku di dalamnya.

“Itu sekolah yang kamu buat?” tanya Satria.

“Ya. Aku bersyukur akhirnya bisa membuat sekolah kecil untuk anak-anak yang tidak mengenal sekolah. Kalau pagi untuk anak-anak, kalau sore untuk ibu-ibu dan bapak-bapak yang buta hurup.”

“Bukan main kamu, Dewi. Aku mendukung keinginan kamu untuk memajukan desa dimana sekarang kamu tinggal.”

“Aku bekerja sama dengan sebuah sekolah yang ada di kota. Nanti anak-anak yang putus sekolah sudah dipilah-pilah tergantung kemampuan mereka, atau tingkat di kelas sebelumnya. Orang tuanya tak mampu. Aku membantu mereka, dengan membiayai. Tentu kerja sama dengan sekolah terkait juga meringankan aku dalam hal dana. Mereka dengan senang hati membantu. Anak-anak yang masih kecil bersekolah di rumahku, semacam taman kanak-kanak, begitu. Hanya bermain sambil belajar, agar nanti siap untuk masuk ke sekolah dasar.”

“Kamu juga bekerja sama dengan kepala dusun bukan?”

“Tentu, mereka berterima kasih atas upayaku memajukan dusun ini.”

“Syukurlah, berarti kamu tidak sendirian.”

“Tentu saja tidak. Aku hanya punya keinginan, mereka ikut membantu pelaksanaannya. Tak lama lagi tak ada yang buta hurup di sini.”

“Senang sekali mendengarnya. Tapi bagaimana anak-anak itu pergi ke kota untuk bersekolah, sementara kamu pernah mengatakan bahwa mereka tak punya kendaraan?

“Aku menyewa sebuah mobil pick up untuk mengangkut anak-anak itu. Ia menjemput dan mengantarkan pulang.”

“Dewi, apa kamu punya uang yang cukup untuk itu semua?”

Terdengar Dewi tertawa kecil.

“Aku punya banyak perhiasan. Emas dan permata tidak murah. Aku tidak membutuhkannya dan  tidak ingin memakainya.  Aku menjualnya untuk semua kebutuhan itu.”

“Tapi uangmu bisa habis, Dewi. Kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri.”

“Mbok Randu pinter masak. Dia berjualan makanan, ikut mobil kalau pagi dengan menjual makanan itu, pulang bersama anak-anak. Laku lhoh, bisa untuk makan kami berdua.”

Satria menelan ludah, menahan haru atas besarnya perjuangan Dewi. Ia tak butuh perhiasan yang gemerlap dibadan, tapi dia punya perhiasan di hati yang lebih gemerlap melebihi ribuan bintang dilangit.

“Hati-hati menjaga dirimu. Jangan sampai kelelahan, apalagi jatuh sakit.”

“Terima kasih atas perhatianmu. Kapan ya kita bisa bertemu?”

“Aduh, aku juga kangen untuk bertemu, tapi aku belum punya bekal yang cukup untuk itu. Aku juga sedang berjuang, kuliah dan mencari uang.”

“Kita harus bersabar. Aku dan kamu melakukan perjuangan yang sama mulianya. Pada suatu hari, kalau Allah mengijinkan, kita pasti bertemu. Apa kamu pernah mendengar berita tentang keluargaku?”

“Aku juga jarang pulang, aku akan mencoba bertanya pada ibu, barangkali bisa memberikan berita yang kamu inginkan.”

“Terima kasih Satria. Sayangnya hari ini hujan sedang turun. Tak ada rembulan mengambang di awang sana, dimana aku bisa menitipkan salam untuk kamu.”

“Tapi ada angin yang selalu berhembus, aku selalu menitipkan salam dan rindu lewat angin lalu.”

Dewi tersenyum lebar. Ia membuka jendela kamarnya yang sederhana. Diantara hujan ada angin yang bertiup, membawa  rindu yang dititipkan Satria kepadanya.

***

Pagi hari itu Dewi bangun kesiangan. Ketika ia keluar dari kamar, dilihatnya mbok Randu sudah menata dagangannya, membungkus nasi pecel yang akan dijualnya dan selalu habis setiap pulang.

“Maaf Mbok, aku tidak bisa membantu. Semuanya sudah selesai,” kata Dewi sambil duduk di kursi dapur, di mana di meja sudah ada puluhan bungkus nasi pecel dan nasi oseng yang akan dijualnya ke kota.”

“Tidak apa-apa Neng,” kata mbok Randu yang dilarang memanggil dengan sebutan den ajeng di tempat perantauannya.

“Yang di piring ini untuk aku?”

“Iya, oseng daun peppaya dan goreng ikan asin. Banyak yang suka lhoh.”

“Aku juga suka. Nanti pasti aku habiskan,” kata Dewi.

“Ayo aku bantu membawa ke pinggir jalan, nanti telat, mobilnya sudah lewat, bagaimana?”

“Ini sudah selesai semua kok. Tinggal memasukkan di bakul.”

“Sini aku bantu.”

“Baiklah, simbok ambil selendang dulu.”

Begitulah kesibukan mBok Randu dan Dewi setiap hari. Begitu mbok Randu berangkat untuk berjualan, Dewi mengajar anak-anak kecil di sebuah bangunan yang khusus dibuatnya untuk belajar. Banyak mainan disediakan di sana, membuat anak-anak betah belajar. Kecuali itu para orang tua yang bekerja diladang ataupun bekerja di sawah, bisa menitipkan anaknya di sana. Setelah siang, menjelang sore barulah dia mengajar ibu-ibu dan bapak-bapak yang buta hurup.

Dewi tidak pernah kesepian walau jauh dari orang tua, karena ia melakukan hal yang disukainya. Terkadang ada rindu menyesak dadanya, terutama kepada ibundanya, tapi rasa itu ditekannya. Ia juga belum ingin mengabarkan keberadaannya, karena kalau keluarganya tahu, pasti dia akan dipaksanya untuk pulang.

***

Hari itu Adisoma mengendarai mobilnya mengitari kota, lalu melaju ke arah luar kota. Bayangan Arum selalu menyelimuti benaknya. Ada rasa bersalah yang mem buatnya sangat menyesal. Arum bukan perempuan lemah. Arum bukan perempuan yang mudah ditaklukkan. Ia juga bukan perempuan murahan. Ia menurut karena situasi yang tidak mendukung. Seandainya bisa, pasti dia sudah berteriak memaki-makinya setiap dia datang. Arum selalu menangis dan melawan, tapi tanpa daya. Lalu kepergiannya adalah satu-satunya jalan untuk menghindari nafsu bejatnya.

Sungguh Adisoma menyesal, dan sekarang dengan gelisah mencari keberadaannya. Ke mana dia akan mencari?

Hari gelap, bukan karena malam. Mendung yang menggantung berwarna hitam legam. Para pengendara melajukan kendaraannya. Para pejalan kaki bergegas mempercepat langkahnya agar tidak kehujanan di jalan.

Gerimis mulai turun, Adisoma ingin memutar mobilnya dan merasa bahwa hari itu tidak berhasil menemukan yang dicarinya. Tapi tiba-tiba seorang wanita menggendong bayi menyeberang jalan. Ia memayungi tubuh anaknya yang digendong dengan selendang, sedangkan sebelah tangannya menenteng tas yang pastinya lumayan berat.

Adisoma membelalakkan matanya. Tiba-tiba ia mengerem mobilnya sampai berderit, lalu keluar memburu wanita yang hampir ditabraknya.

“Arum!!”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

Saturday, May 17, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 13

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  13

(Tien Kumalasari)

 

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku, Tangkil? Apa yang kamu lakukan di sini?”

Tangkil mengangkat wajahnya. Apakah sang den mas ini lupa bahwa dia punya tugas yang bertumpuk-tumpuk di istana kecil ini? Ya tukang kebun, ya kusir kereta, ya sopir mobil, ya mengatasi segala sesuatu yang terjadi, termasuk memimpin para penjaga malam yang bertugas meronda.

“Saya sedang meronda bersama Simul, Den Mas.”

“Mana dia?”

“Sesungguhnya kami sedang mencurigai sesuatu. Barangkali ada maling memasuki tempat ini. Jadi Simul saya suruh mengawasi sebelah sana, saya sebelah sini.”

Adisoma mengerutkan dahinya, mendengar kata ‘maling’. Apakah Tangkil menuduhnya maling? Tapi tidak, Tangkil kan tidak mengatakan bahwa dirinyalah yang menjadi maling? Tapi dia memasuki kamar Arum dengan diam-diam, apakah itu namanya maling?

“Mohon maaf Den Mas, saya tidak mengira kalau yang saya lihat adalah Den Mas.”

“Kamu mengira saya malingnya?”

“Tidak, mana saya berani.”

“Aku sedang ingin berjalan-jalan di sekitar tempat ini.”

“Maaf saya tidak tahu. Apalagi ketika den ayu Saraswati menyuruh mengunci regol, den ayu bilang kalau Den Mas sedang mengantarkan tamu.”

“Tidak jadi. Tamunya memilih jalan sendiri. Jadi aku pulang, lalu berjalan-jalan di sekitar halaman.”

“Baiklah, kalau begitu saya akan kembali ke pos ronda.”

Adisoma mengangguk, kemudian berlalu. Apakah Tangkil melihatnya keluar dari kamar Arum?

“Tapi kalaupun dia tahu, memangnya kenapa? Aku penguasa di istana kecilku ini, siapa yang berani melarang apa yang aku lakukan?” kata batin Adisoma sambil melangkah menuju ke beranda rumahnya.

***

Simul melangkah mendekati Tangkil, ketika ia tak menemukan apa-apa yang mencurigakan.

“Tidak ada apa-apa. Aman seperti biasanya. Apa man Tangkil melihat sesuatu?”

“Den mas ….”

“Den mas apa? Melihat den mas? Aku juga melihat den mas baru saja memasuki beranda. Entah dari mana, tampaknya tidak melalui regol yang digembok. Kalau melalui regol, pasti ia memanggil salah seorang penjaga.“

“Barangkali lewat pintu belakang.”

“Oh, benarkah? Tak biasanya dia pulang melalui pintu belakang.”

“Dia mau melalui pintu belakang atau samping atau depan, siapa yang melarang?” kata Tangkil sambil merebahkan tubuhnya di atas tikar di pos penjagaan.

“Iya juga sih. Hanya tidak biasanya,” kata Simul yang ikut-ikutan merebahkan tubuhnya di samping Tangkil.

Dari jauh kokok ayam terdengar.

“Ah, hampir pagi,” kata Simul sambil menguap. Ia tahu bahwa hari sudah menjelang pagi. Tapi lumayan memejamkan mata selama beberapa jam saja.

Tapi Tangkil tak bisa terlelap seperti temannya. Ada perasaan aneh yang mendekati curiga, melihat sang junjungan mengendap endap di malam buta, seperti maling. Alasan sang den mas adalah berjalan jalan. Berjalan-jalan? Tak biasanya begitu. Baru sekali ini. Tangkil juga seorang laki-laki. Kehadiran abdi cantik yang membawa bayi tak bisa tidak, menarik perhatian laki-laki di istana kecil itu. Hanya karena merasa sudah tua, maka Tangkil mengacuhkannya. Tapi pasti tidak demikian dengan sang den mas yang pastinya masih perkasa. Benarkah kehadiran perempuan itu yang membuat tiba-tiba junjungannya ingin berjalan-jalan? Hanya berjalan-jalan, atau ada sesuatu yang lain? Tadi arahnya dari bilik para pembantu.

Kesal dengan perasaannya sendiri, Tangkil urung memejamkan matanya. Ia bangun dan pergi ke dapur, untuk membuat minuman hangat.

***

Tangkil sedang menyeruput kopi dengan tegukan terakhir, ketika tiba-tiba mendengar langkah kaki. Ia mengira mbok Manis yang biasanya bangun di pagi buta sudah akan memulai aktifitasnya di dapur itu. Biasanya mbok Manis langsung menyapanya begitu melihat dirinya duduk di bangku dapur. Tapi kali ini tak ada sapa yang terdengar. Tangkil menoleh, dan melihat Arum mengambil gelas dan menuangkan air putih dari teko yang ada di meja.

Melihat Tangkil menoleh ke arahnya, Arum hanya mengangguk. Ia belum begitu kenal dengan semua abdi, kecuali dengan mbok Manis.

Tangkil membalasnya dengan anggukan. Tapi ia menangkap sesuatu di wajah Arum. Wajah yang sembab, kebanyakan menangis.

Tak tahan untuk mendiamkannya, Tangkil lebih dahulu menyapanya.

“Arum, kok sudah bangun?”

“Iya, Man.”

“Kamu sakit?”

“Tidak.”

“Wajahmu pucat.”

“Tidak apa-apa, hanya masuk angin,” lalu Arum dengan cepat meninggalkan dapur, kembali masuk ke kamarnya.

Ada rasa pilu di hati Arum melihat tempat tidurnya yang acak-acakan. Ada rindu yang terhempas oleh garis kehidupan yang tidak berpihak kepada dirinya. Lalu mengapa ia harus berjumpa, dimana perjumpaan itu hanya akan membuat hatinya sakit? Cinta yang diucapkannya, pasti bukanlah cinta. Ada nafsu menyelimuti ucapannya, menyelimuti segala apa yang dilakukannya.

Arum melihat wajahnya di dalam cermin. Wajah yang kelihatan lelah dan sembab. Pantas man Tangkil mengira dirinya sakit.

Arum keluar lagi untuk menuju ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya berulang kali, agar wajah pucat dan sembabnya tak begitu kentara. Ia juga sekalian mandi. Lalu setelahnya ia ingin masuk ke kamar Aryo untuk melihat keadaannya, sekaligus menyusukannya.

***

Hari hampir pagi ketika itu. Adisoma melongok ke kamar sang istri, yang tidur dalam lelap. Di lihatnya Aryo juga tergolek tenang di boxnya. Ia menyentuh pipi gembul bayi mungil itu dengan perasaan yang mengharu biru. Seperti mimpi ia menatapnya, yang wajahnya bersih dan bersinar. Bayi itu adalah darah dagingnya. Ia kembali mengulurkan tangannya untuk mengelus kepalanya, lalu ia keluar dari kamar.

Adisoma menuju ruang tengah, membaringkan tubuhnya di sebuah kursi malas yang empuk. Ia memejamkan matanya. Ingatannya kembali melayang ke arah kamar Arum, yang walau di awal dia melawan, akhirnya dia menyerah juga. Adisoma tersenyum senang. Ia tahu Arum masih mencintainya. Adisoma tak akan kesepian. Lalu ia terlelap, masih dengan mimpi-mimpi tentang Arum, yang masih seperti dulu. Manis dan pasrah.

***

Ketika mendengar Aryo merengek, Saraswati bangkit dari ranjangnya. Ia tak melihat sang suami, berarti ia memang tidak pulang. Tapi ia tak begitu mempedulikannya. Ia meraih tubuh mungil Aryo yang ternyata ngompol.

Dengan tersenyum ia menggantikan popoknya. Aryo menghentikan rengekannya, menatap wanita cantik yang sedang menggantikan popoknya dengan senyuman lembut. Tapi ia bukan ibu kandungnya. Apakah bayi kecil itu sesungguhnya mengerti bahwa wanita cantik yang bukan ibunya itu mengasihinya bagai kepada anak kandungnya sendiri?

Lalu Saraswati mengangkat tubuh Aryo, membopongnya ke arah belakang. Di ruang tengah ia melihat suaminya sedang tertidur.

“Kangmas, kapan pulangnya? Mengapa tidur di sini?”

Adisoma membuka matanya, melihat sang istri berdiri di sampingnya, sambil menggendong Aryo.

Tangannya meraih tubuh bayi kecil itu sambil tersenyum, lalu kembali ia memejamkan matanya. Ia merasa sangat lelah dan tentu saja mengantuk.

“Lelah ya Kangmas? Sampai ke mana jalan-jalannya?”

“Jauh,” katanya singkat lalu memiringkan tubuhnya, memunggungi sang istri. Barangkali menghindari pertanyaan tentang jalan-jalan yang dikarangnya.

Saraswati menatapnya haru. Kasihan, melihat sang suami tampak kelelahan. Pasti jalan-jalannya benar-benar jalan kaki, tidak dengan mobil. Bukankah Solo kota yang tak pernah tidur?

“Kangmas tidak pindah tidur di kamar?”

Adisoma tidak menjawab.

“Aku berikan dulu Aryo kepada Arum karena sudah saatnya dia minum ASI. Nanti aku ambilkan selimut untuk Kangmas,” katanya, kemudian melanjutkan langkahnya ke arah belakang.

“Mana Arum?” tanya Saraswati kepada mbok Manis yang sedang berkutat di dapur.

“Masih di kamarnya, Den Ayu, saya panggilkan sebentar.”

“Biar aku ke kamarnya saja.”

Mbok Manis mengangguk, Saraswati melanjutkan langkahnya.

Pintu kamar Arum terbuka, dilihatnya Arum sedang membersihkan kamarnya, mengganti alas tidurnya. Melihat den ayunya, Arum menghentikan kegiatannya.

“Arum, pastinya Aryo lapar. Kamu sudah mandi?”

“Sudah, Den Ayu,” katanya sambil menerima Aryo dari tangan Saraswati.

“Kamu kelihatan pucat? Sakit? Kemarin baik-baik saja.”

“Agak masuk angin, tapi tidak apa-apa Den Ayu.”

“Berikan ASI nya, tapi jangan di sini, di kamarnya saja.”

“Baik.”

***

Memasuki kamar Aryo, dada Arum berdebar kencang. Bagaimana kalau si den mas itu ada di dalam? Tapi kemudian rengek Aryo membuatnya langsung masuk karena ia harus segera menyusukannya.

Ia menutup pintu kamar, dan merasa lega karena tak ada siapa-siapa di kamar itu.

Arum mendekap Aryo erat-erat ke dadanya, sebelum kemudian memberikan ASI nya, yang dihisapnya dengan sangat lahap.

“Kamu lapar? Semalam tak ada yang membangunkan bibi untuk memberimu minum. Seandainya ada, pasti hal memalukan itu tak akan terjadi.

Wajah Arum memerah, ia menyesal telah menyerah. Ia menyesal karena takut kehilangan pekerjaan sehingga melepaskan kembali hasrat setan yang berhasil menguasainya. Kemudian ia menitikkan air mata.

Ketika kemudian pintu terbuka tiba-tiba, Arum sangat terkejut. Adisoma berdiri di pintu dan tertegun menatapnya. Arum segera membalikkan tubuhnya untuk menyembunyikan apa yang seharusnya tidak dilihat orang. Tapi tiba-tiba Adisoma mendekatinya dan berbisik di telinganya.

“Jangan malu kepada suami sendiri.”

Arum tertegun. Suami? Rasa kesal menguasai hatinya. Apakah sebuah hubungan terlarang bisa tiba-tiba menjadi hubungan yang halal? Dari mana istilah suami itu diberikannya.

“Pergilah. Ini kamar den ayu.”

“Dia sedang mandi. Kalau mandi dia lama sekali.”

“Pergiii.”

“Kamu akan segera menjadi istriku, percayalah. Tapi kalau kamu mau, kalau tidak, bagiku tidak apa-apa. Aku bisa mengunjungi kamu di setiap malam saat aku membutuhkannya."

Lalu Adisoma keluar dari kamar dengan senyuman lebar. Alangkah menyenangkan bisa mengganggu Arum dengan ucapan konyolnya.

Arum ingin menjerit sekeras-kerasnya. Walaupun dia mencintai ayah dari bayi yang sedang dipangkunya, tapi dia tidak suka cara dia memperlakukannya. Dengan gampang mengucapkan cinta, dengan gampang dia bisa mempermainkannya karena dia berkuasa.

Aryo merengek, dan entah mengapa tiba-tiba menangis keras. Apakah si bayi ikut merasakan derita sang ibu?

“Sayang, minumlah sampai kenyang, ibu tidak apa-apa,” bisiknya.

Tapi tiba-tiba Saraswati muncul di kamar itu, membuat jantung Arum hampir meloncat dari tempatnya karena mengira Adisoma kembali masuk ke kamar itu.

“Arum, bukankah aku sudah bilang bahwa kamu harus memanggilnya den Aryo, bukan sayang, bukan ‘nak’. Dan aku juga menyuruhmu agar Aryo terbiasa memanggilmu dengan sebutan bibi? Sudah bagus sebutan itu untuk kamu, bukan? Itu adalah kebaikanku karena kamu telah memberikan anakmu dengan suka rela.

“Mohon ampun, Den Ayu, saya khilaf. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Maklumlah, belum lama den Aryo menjadi putra Den Ayu.”

“Ingatlah bahwa kamu adalah seorang abdi. Tidak sepantasnya anakku memanggilmu bibi kecuali karena kebaikanku.”

“Saya mengerti, Den Ayu.”

Arum melanjutkan menyusukan Aryo, sementara Saraswati menuju ke ruang lain untuk berdandan. Seorang abdi yang lain sedang menunggunya untuk melayani.

***

Dan seperti yang pernah diucapkannya, Adisoma selalu mengganggu Arum disaat dia membutuhkan. Arum merasa sangat direndahkan. Sungguh ia tak ingin Adisoma mengambilnya sebagai istri. Tapi dia juga tak sudi menjadi pemuas nafsu sang bendoro.

Malam itu Arum bebenah untuk pergi. Baru dua bulan dia mengabdi, tapi dia merasa sangat tersiksa. Hal yang sangat memberatkannya adalah harus berpisah dengan Aryo.

Mana mungkin aku meninggalkan darah dagingku? Kata batinnya.

Itu adalah malam terakhir untuk menerima kedatangan Adisoma, sebelum dia memutuskan untuk pergi. Ia sudah tahu jalan untuk keluar, dan dia merasa akan bisa melakukannya. Tentu saja dia akan membawa Aryo. Ia hanya punya bekal yang tak seberapa dari gajinya selama dua bulan, tapi dia akan memikirkannya nanti. Ia tak tahan lagi.

***

 Pagi hari itu istana kecil itu heboh luar biasa. Arum pergi dengan membawa Aryo. Padahal semalam masih tidur di box bayi yang diletakkan di sebelah ranjang Saraswati.

Sambil menangis Saraswati mengobrak abrik kamar Arum, di mana tak selembar pakaianpun tertinggal di sana.

“Sudahlah Diajeng, toh sebenarnya Aryo juga bukan darah dagingmu,” bujuk Adisoma yang sebenarnya juga gelisah dengan kepergian Arum.

“Kangmas bagaimana, aku sudah terlanjur menyayangi Aryo, bagaimana aku bisa melepaskannya begitu saja? Ternyata Arum pembohong. Jahat."

“Tenang saja, nanti aku akan mencarinya.”

Tiba-tiba Saraswati melihat sesuatu tergeletak di lantai. Sebuah sabuk dengan untaian permata. Ia memungutnya.

“Kangmas, bukankah ini punya Kangmas?”

***

Besok lagi ya.

Friday, May 16, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 12

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  12

(Tien Kumalasari)

 

Arum terbelalak menyadari bahwa laki-laki yang dicintai adalah junjungan di istana kecil itu. Adisoma mendekat, tapi tiba-tiba Saraswati memasuki kamar, dan mendengar Arum menyebut suaminya dengan ‘kamu’. Sontak denayu itu sangat marah.

“Arum, apa maksudmu? Kamu memanggil junjunganmu dengan sebutan ‘kamu’? Itu sebuah dosa besar.” sentaknya marah.

Arum meluncur ke lantai dengan Aryo masih di pangkuan. Ia segera menyadari kesalahannya. Sambil berurai air mata ia mencari jawaban yang untunglah segera ditemukan.

“Mohon dimaafkan Den Ayu. Tadi … sebenarnya saya ingin memberi ASI kepada den Aryo, saya terkejut ketika seseorang muncul, dan tanpa sadar berteriak dengan panggilan yang tidak patut. Mohon ampun Den Ayu, hamba berteriak secara spontan karena terkejut ketika saya sedang mau membuka baju, lalu seseorang muncul,” katanya sambil menangis.

Adisoma mundur ke belakang. Ia bisa mengerti Arum memanggilnya begitu, karena dulu mereka berkenalan tanpa Arum ketahui siapa dirinya, sehingga tak sungkan memanggil aku dan kamu, seperti kepada orang biasa yang dekat dengannya.

Dan untunglah Saraswati yang bijaksana segera memaklumi kejadian itu, dan menganggap Arum tidak sengaja. Wajah yang kemerahan karena marah itu menjadi surut, lalu dia menarik lengan suaminya untuk diajaknya keluar, sebelum dengan lembut meminta Arum kembali melanjutkan memberikan ASI kepada Aryo.

Walaupun merasa lega, tapi debar di dada Arum tak hendak berhenti. Laki-laki yang meninggalkannya adalah priyayi luhur yang dihormati, sedangkan dirinya menganggap sebagai laki-laki biasa yang sangat dekat dan dicintainya.

Arum tidak tahu harus bersikap bagaimana. Haruskah dia bahagia, ataukah kecewa. Lalu ia tersadar ketika Aryo kembali merengek.

“Maaf den Aryo, maafkan bibi. Bibi bingung harus bagaimana, sedangkan ayah kandungmu ternyata adalah juga ayah angkatmu,” katanya lirih sambil menyusukan ‘anaknya’ dan kembali berurai air mata.

Seperti mengerti apa yang dirasakan ibunya, mata Aryo yang setengah terpejam kemudian terbuka, lalu menatap sang ‘ibu’ tak berkedip.

“Minumlah Den, mengapa menatapku seperti itu?” kata Arum sambil memeluk Aryo erat.

Aryo menempel ke dada ‘ibunya’ lalu merasa tenang dalam dekapan wanita yang melahirkannya itu.

***

Saraswati yang tak merasakan kecurigaan apapun, menegur suaminya yang tiba-tiba masuk ke kamar, dimana Arum sedang menidurkan Aryo.

“Tentu saja Arum terkejut, tidak mengira ada laki-laki tiba-tiba masuk ke kamar itu,” tegur Saraswati.

“Aku tidak tahu, aku mau masuk ke kamarmu sebenarnya.”

“Bukankah saya sedang ada diluar berbincang dengan mbok Manis?”

“Maaf, aku tidak tahu. Hanya ingin masuk ke kamarmu dan bicara sesuatu.”

“Kangmas ingin bicara tentang apa?”

“Sekarang aku jadi lupa mau bicara tentang apa.”

“Kangmas itu aneh sekali. Mau bicara kok tiba-tiba lupa.”

“Kelihatannya sesuatu yang tidak penting. Oh iya, aku mau pamit jalan-jalan sebentar, menemani tamu-tamu istana dari luar kota yang ingin berkeliling kota.”

“Mau naik kereta?”

“Tidak, mereka membawa mobil. Aku jalan saja ke sana, nanti ikut mobil-mobil mereka.”

“Tapi nanti pulang kan Kangmas?”

“Belum tahu Diajeng, mungkin jalan-jalan sampai pagi.”

“Ya sudah. Saya mau melihat Aryo dulu.”

Adisoma keluar dari rumah dengan berjalan kaki, sementara Saraswati masuk ke dalam kamarnya. Ia  melihat Arum masih ada di sana, duduk sambil memandangi box bayi, diam tak bergerak.

“Arum, Aryo sudah tidur kan?”

Arum tampak terkejut, karena sebenarnya dia sedang melamun, memikirkan perjalanan hidup yang membawanya sampai ke tempat ini.

“Eh, Den Ayu,” katanya sambil berdiri.

“Mengapa kamu masih duduk di situ? Kamu sedang memikirkan sesuatu?”

“Tidak Den Ayu, saya sebenarnya sedang gelisah. Den Aryo agak rewel dari tadi.”

“Benarkah?” Saraswati menyentuh dahi Aryo.

“Tapi badannya tidak panas. Mengapa gelisah? Apa ada yang sakit, kakinya, tangannya atau perutnya?”

“Tidak Den Ayu, barangkali agak pilek.”

“Besok lumatkan bawang merah, taruh di ubun-ubunnya. Bilang pada mbok Manis, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.”

“Baik, Den Ayu.”

"Kamu kembalilah ke kamarmu, kalau Aryo rewel lagi, aku panggil kamu.”

“Baik, Den Ayu.”

Arum beringsut mundur, lalu keluar dari kamar untuk kembali ke kamarnya sendiri, yang bersebelahan dengan kamar Mbok Manis. Kamar itu bekas kamar mbok Randu yang sudah pergi bersama Dewi setahun yang lalu.

Ketika Arum memasuki kamarnya, dari kegelapan, dibalik sebuah pohon manggis, sepasang mata mengawasinya.

***

Baru saja Arum akan menutup pintunya, mbok Manis mendekatinya.

“Lama sekali kamu baru kembali? Apa den ayu memarahimu?”

“Tidak. Mengapa simbok mengira begitu?”

“Tadi sepertinya den ayu marah ketika kamu memaki den mas Adisoma.”

“Itu Mbok, aku tidak tahu kalau yang masuk den mas Adisoma. Aku baru akan menyusukan den Aryo, tiba-tiba ada yang masuk, laki-laki pula, jadi aku tidak sadar siapa yang aku maki.”

“Tadi aku mendengar den ayu marah. Aku langsung mengundurkan diri mendengarnya.”

“Hanya sesaat. Setelah aku mengatakan apa yang terjadi, den ayu tidak marah.”

“Mengapa kamu lama sekali?”

“Itu … den Aryo rewel, sepertinya agak pilek. Kata den ayu, besok simbok disuruh menumbuk bawang merah, lalu dikasihkan ke ubun-ubun den Aryo.”

“Iya, aku sudah tahu. Semoga besok pileknya sudah mereda. Ya sudah, istirahatlah, sudah malam, aku juga mau tidur.”

“Selamat tidur Mbok,” kata Arum sambil menutup pintunya.

***

Arum merebahkan tubuhnya, tapi tak bisa segera memejamkan mata. Pertemuan dengan Adisoma yang dikenalnya dengan sebutan mas Adi, karena itulah nama yang dikenalkan oleh Adisoma ketika mendekati Arum, membuatnya sangat terguncang. Semuanya sungguh tak terduga. Tak pernah diimpikannya dia akan bertemu lagi. Dan yang sangat membuatnya terkejut, bahwa ‘mas Adi’ yang sudah tidak lagi muda itu adalah pemilik istana kecil dimana dirinya mengabdi. Seperti mimpi Arum merasakannya.

“Ya Tuhan, betapapun besarnya aku mencintai dia, tapi aku tak pernah bermimpi akan bertemu lagi dengannya. Ini sangat mengganggu pikiranku. Aku tak sanggup kalau harus berhadapan dengan dia, sebagai abdi dan bendoro,” gumamnya lirih sambil berkali-kali mengusap air matanya.

Tapi tiba-tiba sebuah ketukan halus di pintu terdengar.

Arum mengusap air matanya. Apakah den ayu memanggilnya karena Aryo kembali rewel?

Ia bangkit lalu membuka pintunya, dan tiba-tiba seseorang menyerobot masuk, lalu mengunci pintu kamar itu.

Arum mundur kebelakang, kakinya terasa sangat lemas.

“Kamu menangis?”

Laki-laki yang adalah den mas Adisoma itu melangkah maju mendekati Arum, sampai Arum kembali mundur sampai menyentuh tempat tidurnya, lalu jatuh terduduk di atasnya.

“Ampun, Den Mas. Saya mohon, keluarlah,” katanya gemetar.

“Arum, aku tidak pernah melupakan kamu.”

“Saya mohon, jangan membuat saya celaka, jadi keluarlah, Den Mas.”

“Dulu kamu memanggil aku mas Adi, bukan?” sekarang Adisoma duduk di dekat Arum, lalu Arum beringsut menjauh.

“Sekarang Den Mas bukan siapa-siapa bagi saya. Saya mohon, pergilah. Kedatangan Den mas akan membuat saya celaka. Kalau saya diusir dari sini, bagaimana saya bisa melanjutkan hidup saya?”

“Mana mungkin kamu diusir? Ini rumah milik aku.”

“Saya bukan siapa-siapa. Tolong. Den Mas membuat saya takut.”

“Arum, aku juga tidak bisa melupakan kamu.”

“Den Mas adalah pembohong. Kalau tidak bisa melupakan saya, mengapa saya ditinggalkan saat saya mengandung?”

“Beberapa hari sesudahnya aku mencari kamu di rumah, tapi orang tua angkatmu mengatakan kalau kamu pergi dari rumah, entah kemana kamu pergi.”

“Saya diusir begitu mereka tahu saya hamil. Saya terlunta-lunta sampai melahirkan, dan akhirnya sampai di tempat ini, mengabdi demi melanjutkan hidup saya. Sekarang saya mohon Den Mas keluar. Tolong, Den Mas. Saya tahu saya bukan siapa-siapa. Saya mohon,” kata Arum memelas.

Tapi bukannya menuruti kemauan Arum, Adisoma justru semakin mendekati Arum, membuat Arum beringsut menjauh.

“Apa yang akan Den Mas lakukan?”

“Tiba-tiba aku kangen sama kamu,” katanya sambil meraih tubuh Arum, tapi Arum kemudian berdiri lalu menjauh.

“Den Mas akan membuat saya celaka? Saya mohon, pergilah Den Mas,” Arum mulai menangis.

“Arum, aku memang tidak pernah mencintai kamu, tapi ketika tiba-tiba melihatmu, ada perasaan ingin mendekati kamu kembali,” Adisoma berdiri dan mendekati Arum yang semakin ketakutan.

“Tolong Den Mas, kasihanilah saya,” Arum mundur, sampai tubuhnya merapat ke tembok. Adisoma sudah berada sangat dekat di depan Arum. Arum gemetar. Ia merasa dunia akan segera berakhir. Bagaimana mungkin dia bisa hidup kalau ketahuan berduaan bersama Adisoma di kamarnya?

Arum sadar, dia sangat mencintai ‘mas Adi’ yang beberapa waktu yang lalu selalu memberikan kesenangan dan memanjakannya. Tapi mendengar bahwa dia tidak pernah mencintai, hatinya terasa sakit, walau tahu bahwa memang Adisoma bukan dan tak akan pernah menjadi miliknya.

Arum tak berkutik ketika Adisoma meletakkan kedua tangannya di tembok, menghalanginya pergi.

“Apa yang akan Den Mas lakukan?”

“Tiba-tiba aku ingin memiliki kamu, Arum. Dari tak pernah cinta, lalu sekarang aku benar-benar jatuh cinta.”

“Lepaskan saya. Saya tak mengira, seorang priyayi luhur tega melakukan hal-hal rendah dan memalukan.”

“Arum, kamu berani memaki aku?”

“Lepaskan saya, atau saya akan berteriak.”

“Kalau kamu berteriak, dan ketahuan aku ada di dalam sini, hidupmu akan habis. Kamu akan terlunta lunta dijalanan.”

Arum terisak dan menangis tertahan. Sesungguhnya dia takut berteriak, karena kalau teriakan itu terdengar dari luar, dirinya yang akan celaka. Tak mungkin Adisoma akan diusir dari rumahnya sendiri. Hanya dirinya.

“Den Mas tidak kasihan pada saya.”

“Aku kasihan dan sangat mengasihi.”

Lalu pekik tertahan yang kemudian terdengar, berbaur dengan suara burung hantu yang memekik di halaman.

***

Man Tangkil berjalan mengitari halaman, bersama dengan seorang pembantunya.

“Ada apa ya Mul, malam hari ini terasa sangat mencekam,” kata man Tangkil kepada Simul pembantunya.

“Burung hantu pertanda buruk. Jangan-jangan ada maling ya Man?”

“Berani sekali maling memasuki tempat ini.”

“Tapi ini pertanda buruk Man.”

“Kamu berjalan ke arah barat, aku ke timur. Siapa tahu ada yang mencurigakan.”

“Baiklah.”

“Hati-hati. Kalau sekiranya ada yang berbahaya, kamu tabuh kentongan dan berteriak. Mengerti?”

“Mengerti Man.”

Simul berjalan ke arah yang ditunjuk man Tangkil, sementara man Tangkil ke arah sebaliknya.

Suara burung hantu itu masih terdengar, membuat bulu kuduk meremang. Tapi Tangkil sudah biasa meronda di sekitar halaman. Dia pemberani, tak ada yang ditakuti.

Mata tuanya masih setajam burung elang. Ia melihat ke sekitar tempat, melongok ke tempat yang tersembunyi.

Tiba-tiba man Tangkil melihat sesosok bayangan, menyelinap diantara pepohonan. Dengan berani Tangkil memburunya, lalu berteriak.

“Berhenti!!” ia masih memburu bayangan itu, yang kemudian memang berhenti.

Dengan lincah Tangkil melompat ke arahnya, lalu tiba-tiba ia jatuh terduduk, mengelesot di tanah. Orang didepannya sangat dikenalnya, karena ia adalah junjungannya.

“Apa yang kamu lakukan, Tangkil?”

Tangkil menundukkan wajahnya. Dalam hati ia berkata, harusnya saya yang bertanya, apa yang Den Mas lakukan malam-malam begini menyelinap di antara taman? Tapi ia tak mampu mengucapkan apapun, hanya tertunduk menatap tanah berpasir yang berwarna legam.

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, May 15, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 11

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  11

(Tien Kumalasari)

 

Saraswati terkejut, mendengar denting sendok mencium lantai.

“Eh, kangmas, sendoknya jatuh? Mbok, tolong ambilkan yang bersih,” titahnya kepada mbok Manis, yang segera bergegas mengambilkan sendok bersih untuk junjungannya.

“Arum, bawa den Aryo ke belakang dulu, aku mau meladeni kangmas.”

“Baik Den Ayu,” jawab Arum sambil menggendong Aryo yang masih terlelap.

“Kalau tidurnya sudah nyenyak, tidurkan saja di kamar.”

“Sebentar lagi saatnya minum ASI, Den Ayu.”

“Baiklah, kan kamu yang mengetahui jam berapa kamu harus memberikan ASI.”

Arum mengangguk, kemudian berlalu. Tanpa sedikitpun menoleh kepada den mas Adisoma yang sejak tadi menatapnya tak berkedip. Tak ada keberanian menatap junjungan pria karena sudah menjadi tradisi di keluarga itu.

“Kangmas, silakan makan. Mengapa menatap Arum terus? Dia cantik kan?” kata Sarawati tanpa menaruh perasaan apapun. Ia tahu gadis cantik selalu menarik perhatian kaum pria. Masa iya, kangmas yang dicintainya akan tertarik pada pembantu?

Adisoma terkejut. Ia sadar telah memperhatikan Arum sampai membuat sang istri curiga.

“Tidak, bukan apa-apa. Bagiku wanita cantik hanyalah dirimu, Diajeng," rayunya sambil menyendok nasi.

Saraswati tersenyum manis. Benarkah tak ada wanita cantik selain dirinya? Ia tahu sang suami berbohong, hanya untuk menutupi perasaan kagumnya ketika melihat Arum. Bukankah dirinya semakin menjadi tua, sedangkan Arum masih muda menawan?

“Itu abdi barumu?”

“Iya Kangmas. Kangmas belum pernah melihatnya kan? Dia cantik dan rajin. Karena kasihan, saya menerima dia menjadi abdi, membantu mbok Manis di dapur.”

“Iya. Kelihatannya dia baik dan cekatan. Syukurlah mendapatkan abdi yang baik.”

Adisoma berbincang dengan sang istri tentang abdi barunya, tapi sebenarnya  pikiran Adisoma melayang kemana-mana. Ia mengenal Arum. Pernah mengenalnya dengan sangat dekat. Ketika ia sedang mengendarai mobilnya sendirian saat malam, ketika ia sedang melarikan diri dari sepi yang menghentak rasa, saat sang istri enggan didekati, saat dia merasa bahwa jiwanya masih serasa muda.

Di dalam gelapnya malam yang sebenarnya belum terlalu malam, mobil yang dikendarai Adisoma memasuki sebuah daerah yang sepi, dimana di kiri kanan jalan yang tampak hanya hamparan tanaman padi diantara tanaman perdu yang mengitarinya.

Sepotong bulan yang mengintip masih mampu menerangi sesosok perempuan yang berjalan sambil membawa keranjang.

Adisoma melewatinya, dan sempat melihat wajah gadis dengan baju panjang dan selendang tersampir di pundak, serta keranjang kosong di tangan kirinya.

Entah karena kasihan, atau entah karena rasa keingin tahuan mengapa perempuan muda berjalan sendirian ditengah sepinya malam, Adisoma menghentikan mobilnya.

Perempuan itu terkejut, lalu melangkah minggir. Tampaknya ketakutan melihat mobil berhenti di dekatnya, apalagi ketika dilihatnya seorang laki-laki turun dari dalamnya.

“Jangan takut, aku bukan orang jahat,” kata Adisoma.

Lampu mobil itu tidak dimatikan, menyinari wajah laki-laki yang mendekat ke arahnya. Bukan anak muda. Tapi Adisoma adalah laki-laki yang matang, dan memiliki pesona luar biasa. Pandangannya yang lembut, menandakan dia bukan orang jahat. Tapi tetap saja perempuan itu minggir-minggir ketakutan.

Ketika ia bermaksud melewati Adisoma, Adisoma menangkap lengannya. Perempuan itu meronta, tentu saja.

“Aku sudah bilang, kamu tidak usah takut. Aku bukan orang jahat. Mengapa kamu kelihatan takut.”

“Lepaskan saya, saya mau pulang,” lirih perempuan itu.

“Baiklah, akan aku antar kamu pulang. Jangan takut. Di mana rumahmu?”

“Di depan situ, tidak jauh.”

“Masuklah ke mobil, aku antar kamu.”

“Tidak usah … ss … saya_”

“Daripada jalan kaki.”

Tiba-tiba ia merasa bahwa tak mungkin menghindari laki-laki di depannya. Perempuan itu masuk ke dalam mobil ketika Adisoma membukakan pintu depan untuknya.

Ia duduk seperti kelinci kecil yang ketakutan ketika mobil itu berjalan.

“Kamu takut? Jangan takut, aku bukan orang jahat.”

Perempuan itu terdiam. Menatap arah depan yang menjadi terang oleh sorot lampu mobil.

“Siapa namamu?”

“Arum.”

“Kamu mau ke mana, malam-malam jalan sendirian?”

“Mau pulang.”

“Oh iya, maksudku … kamu dari mana?”

“Dari … mengambil uang.”

“Mengambil uang? Di mana mengambil uang?”

“Di dusun sebelah,” jawab Arum yang mulai lancar berbicara ketika tak tampak laki-laki itu melakukan sesuatu yang jahat atau kurang sopan.

“Bagus sekali mengambil uang. Uang apa itu?”

“Kalau pagi mengantar sayuran hasil kebun, sorenya baru bisa mengambil uangnya.”

“Oo, kamu jualan sayur?”

“Simbok yang jualan. Saya hanya membantu.”

“Bagus sekali. Tapi kenapa mengambilnya malam begini? Apa tidak bahaya seorang gadis berjalan sendirian di tempat gelap. Kalau ada orang jahat bagaimana? Eh ya, kamu gadis kan? Atau sudah punya suami?”

“Belum.”

“Baiklah, kenapa mengambilnya malam? Bukan saat masih sore sehingga tidak kemalaman di jalan?”

“Biasanya juga sore, tapi tadi dia pergi sampai hari gelap baru pulang. Jadi saya pulangnya kemalaman karena kalau pulang harus membawa uangnya.”

“O, begitu rupanya? Apa simbokmu sudah tua sehingga kamu yang disuruh mengantar sayuran pagi dan sorenya mengambil uangnya?”

“Masih agak muda. Tapi dia bukan simbok kandung saya. Saya yatim piatu.”

“Lalu dia siapanya kamu?”

“Orang lain yang memungut saya.”

“Kamu sekolah?”

“Hanya sampai SD. Setelah bapak meninggal saya tidak sekolah lagi. Sebentar, itu rumah simbok.”

Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Ketika Arum turun, Adisoma memberinya sejumlah uang. Arum ingin menolak, tapi Adisoma memasukkan uang itu ke dalam keranjang kosong yang dibawanya.

Pertemuan itu berlanjut, dan Adisoma sering mengajaknya bepergian. Orang tua angkatnya membiarkan karena Adisoma selalu memberinya uang yang banyak.

“Kangmas, sayurnya keburu dingin,” suara itu mengejutkannya.

“Oh, iya.”

“Kangmas kenapa? Seperti melamun begitu.”

“Bukan melamun. Ini, saya sariawan, sakit untuk makan,” jawabnya yang tentu saja berbohong.

“Mbok, nanti buatkan jamu untuk sariawan, kasihan Kangmas, gara-gara sariawan lalu makannya jadi tidak enak.”

“Baik, Den Ayu.”

“Tidak usah, aku sudah punya obatnya kok. Tadi sudah mampir beli di apotik.”

“Mengapa masih suka minum obat? Ada jamu yang manjur untuk sariawan,” kata Saraswati.

“Tidak usah, sudah terlanjur membeli obat, sayang kalau tidak dipergunakan. Sekarang saya mau makan, tapi pelan-pelan.”

“Kasihan, makan jadi tidak enak Kangmas.”

“Jangan khawatir, nanti juga pasti habis.”

Tapi hari itu Adisoma memang makan tak terasa enak. Bayangan Arum terus menghantuinya. Gadis yang pernah dinodainya kemudian ditinggalkannya, tiba-tiba muncul dalam keluarganya. Apakah artinya adalah memang dia harus bertanggung jawab terhadap benih yang ditaburnya? Adisoma tidak pernah mencintai Arum. Ia hanyalah pelampiasan nafsunya. Tapi bayi yang dilahirkannya adalah darah dagingnya.

***

Malam hari itu Satria mendapat telpon dari ibunya. Sudah setahun dia tidak pernah pulang. Bu Karti merasa sangat rindu.

“Maaf Bu, Satria sedang menekuni kuliah, tapi juga sambil bekerja, jadi maafkan kalau sampai tidak pernah pulang.”

“Kamu bekerja apa? Sekolah belum selesai tapi bekerja?”

“Hanya kerja sambilan Bu, untuk mengurangi beban biaya kuliah.”

“Katanya kamu mendapat bea siswa. Lagi pula ayahmu juga sudah menyediakan biaya untuk kuliah kamu.”

“Itu benar, tapi tidak semua kebutuhan kuliah kemudian menjadi gratis. Ada buku-buku, ada perlengkapan lain yang harus dibeli sendiri.”

“Jadi kamu sama sekali tidak bisa pulang?”

“Kalau ada waktu pasti pulang, kalau tidak pulang juga kan Satria pasti menelpon, terutama bapak.”

“Bapakmu sering mendapat telponmu tapi ibu tidak.”

“Setiap kali menelpon pasti bapak sedang di kantor. Tapi baiklah, besok-besok pasti Satria menelpon Ibu.”

“Sekarang nak Sinah mau bicara nih, bicaralah.”

“Maaf Bu, Satria sedang ada di jalan.”

“Sedang apa kamu malam-malam di jalan?”

“Baru belanja kebutuhan. Sudah ya Bu.”

Satria buru-buru menutup ponselnya, lalu mematikannya, sehingga tidak bisa bersambung lagi walau sang ibu menelponnya berkali-kali.

***

“Keterlaluan anak itu. Begitu sibuknya sehingga tidak bisa berlama-lama bicara. Padahal kan nak Sinah juga ingin ngomong.”

“Satria bilang dia juga sibuk bekerja diwaktu senggang, jadi waktunya tidak banyak,” kata pak Sawal.

“Aku hanya memikirkan nak Sinah, sepertinya dia tidak pernah memperhatikannya, padahal nak Sinah dengan setia menunggu,” kata bu Karti lagi.

“Bu, aku kan sudah bilang, jangan mengganggu Satria dengan segala macam perjodohan. Biarkan dia fokus pada kuliahnya,” kesal pak Sawal.

“Masa hanya bicara saja tidak mau.”

“Dia tidak mau, karena kamu pasti menghubungkan pembicaraan itu dengan perjodohan. Ini bukan jamannya jodoh menjodohkan. Anak kalau sudah dewasa bisa mencari jodohnya sendiri,” kesal pak Sawal kemudian meninggalkan sang istri sendirian.

“Laki-laki selalu tidak mau mengerti,” omelnya.

“Orang tua tidak akan menjerumuskan anaknya. Yang namanya memilih untuk anak itu kan ya pasti yang terbaik,” ia masih terus mengomel.

“Ada apa sih Bu, kok marah-marah?” tiba-tiba Sinah muncul didekat bu Karti.

“Kesal sama Satria, tapi juga kesal sama bapaknya.”

“Memangnya ada apa?”

“Sudah setahun tidak pernah pulang, begitu ditelpon, jawabnya sangat tergesa-gesa, aku suruh ngomong sama nak Sinah saja alasannya sedang di jalan. Bapaknya bukannya membantu malah menyalahkan, siapa yang tidak kesal.”

“Ibu tidak usah kesal. Jogya itu tidak jauh dari sini. Kalau ibu ingin, saya antarkan saja ibu ke sana,” kata Sinah enteng.

Bu Karti terkejut. Dipandangnya Sinah dengan pandangan tak percaya.

“Apa? Kita ke sana?”

“Mengapa tidak? Jogya itu dekat. Kita bisa naik bis, atau kereta.”

“Lha di mana Satria tinggal kan kita tidak tahu? Nanti kesasar bagaimana?”

“Ibu tuh, seperti anak kecil saja. Nanti kalau sampai di sana, kita telpon Satria, pasti dia mau menjemput kita.”

“Begitukah?”

“Iya Bu, jangan khawatir. Kapan ibu bisa?”

“Besok siang saja, soalnya paginya aku kan harus menyiapkan segala sesuatunya untuk bapaknya Satria. Makan siang, kalau dia pulang siang, juga makan malam.”

“Baiklah, terserah ibu saja. Nanti Sinah bantu menyiapkan semuanya supaya kita bisa segera pergi.”

***

Tapi begitu sang istri malam itu meminta ijin untuk pergi ke Jogya, pak Sawal tidak mengijinkannya.

“Kamu tidak usah macam-macam Bu, apa maksudnya mau ke Jogya? Ibu hanya akan mengganggu saja. Barangkali dia sedang kuliah atau bekerja, lalu Ibu datang, apa tidak mengganggu?”

“Tapi ibu ingin sekali ketemu Pak. Seorang ibu itu berbeda dengan ayah. Kalau ayah, dia laki-laki, lebih tidak peduli, tapi ibu itu berbeda Pak, lama tidak ketemu, ibu sudah sangat rindu. Lagi pula ibu hanya ingin melihatnya saja, masa mengganggu?”

“Aku tidak percaya kalau itu kemauan Ibu karena Ibu kangen sama Satria.”

“Apa maksud Bapak?”

“Ibu itu hanya ingin mendekatkan Satria sama Sinah kan?”

“Bapak ngomongnya jangan keras-keras, nanti dia mendengar, jadi tidak enak.”

“Memangnya kenapa kalau mendengar? Biar dia tahu kalau dia tidak dikehendaki di sini, baik oleh aku apalagi Satria.”

“Bapak!” bu Karti berteriak.

“Ibu yang selalu mendorong Sinah untuk tetap menunggu Satria. Bagaimana kalau ternyata Satria tidak mau?”

“Satria bukan tidak mau. Dia hanya ingin menyelesaikan kuliahnya dulu.”

“Maksud Ibu, kalau kuliahnya selesai, lalu dia akan bersedia menikahi Sinah?”

“Pak, jangan keras-keras menyebut namanya. Nanti dia dengar.”

“Ya sudah, aku mau istirahat. Dan ingat, aku tidak mengijinkan ibu pergi ke Jogya.”

***

Malam hari itu Adisoma tidak pergi ke mana-mana. Ia duduk di ruang tengah, sambil menatap istrinya yang asyik menggendong Aryo. Entah mengapa Aryo sangat rewel malam itu. Ia  bukannya kelaparan, tapi kelihatannya badannya memang terasa agak kurang enak.

“Kelihatannya dia sakit. Suruh Tangkil mengantarkan ke dokter.”

“Ini sudah malam. Besok pagi saja. Nanti saya suruh Arum memberi ASI saja. ASI itu adalah obat.”

“Ya sudah, terserah Diajeng saja.”

Tak lama setelah Arum dipanggil, dia sudah kembali memberi ASI kepada Aryo, yang kemudian tertidur pulas.

“Arum, tidurkan saja, supaya kamu bisa beristirahat,” kata Saraswati.

“Baik, Den Ayu.”

Arum membawa Aryo ke dalam kamar. Tapi begitu ditidurkan, Aryo kembali merengek, jadi Arum mengangkatnya kembali. Lalu ia duduk di kursi yang ada di kamar itu, untuk menyusukannya lagi.

Tapi tiba-tiba seseorang muncul di pintu. Arum urung melakukannya. Dipandangnya orang yang berdiri di pintu. Dia belum pernah bertemu den mas Adisoma. Kalaupun ia dipanggil Saraswati, dia hanya menundukkan wajahnya. Itu dilakukannya, karena semua abdi perempuan dilarang menatap bendoro kakung dengan terang-terangan.

Tapi kali itu Arum menatapnya, lalu berteriak.

“Kamu??”

***

Besok lagi ya.

 

 

CUNTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 14

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  14 (Tien Kumalasari)   Adisoma tertegun. Kelihatannya dunia kepercayaan dari sang istri akan runtuh. Istri...