CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 14
(Tien Kumalasari)
Adisoma tertegun. Kelihatannya dunia kepercayaan dari sang istri akan runtuh. Istri penurut dan patuh, istri yang selalu menghormati dan tentu saja mempercayai, sedang menatapnya curiga, dan menunggu jawaban yang harus bisa membuatnya lega. Saat ini sang istri sedang marah karena Arum kabur dengan membawa bayinya, lalu melihat sabuk bermata intan tergeletak di kamar pembantu. Apa yang harus dijawabnya? Alasan apa yang bisa membuat sang istri tak curiga? Melepas sabuk di kamar pembantu, perempuan, muda dan cantik pula.
“Kangmas, bukankah ini punya Kangmas?” ulangnya.
Adisoma menerima sabuk yang diulungkan sang istri dengan perasaan tak karuan.
“Iya, bagaimana bisa berada di sini?”
“Ini yang kemarin sore saya pasangkan sebelum kangmas berangkat ke keraton bukan?”
Memang, alasan pergi ke keraton selalu menjadi alasan setiap kali ia akan menemui Arum. Demikian juga yang dilakukannya semalam, dan karena dengan alasan ketemu pembesar dari kerajaan lain, ia memakai pakaian dinas masuk keraton. Saraswati yang tak mau tahu tentang kesibukan suaminya di keraton, benar ada tamu ataukah tidak, ia tak pernah ingin membuktikannya. Ia percaya Adisoma amat mencintainya, tak mungkin ia berbohong.
“Ini … tadi malam, sebelum berangkat ke keraton … memang … memang … hilang, Diajeng.”
“Bagaimana sabuk bisa hilang? Bukankah ada kancing yang pasti kencang?”
“Entah mengapa, memang jatuh, entah di mana.”
“Tapi mengapa bisa ada di kamar Arum?”
“Aku juga heran.”
Tiba-tiba Tangkil yang sedari tadi ikut nimbrung di luar kamar Arum setelah Saraswati marah-marah di sana, kemudian mendekat.
“Maaf, Den Ayu, sebenarnya saya yang menemukan sabuk itu di halaman,” kata Tangkil.
Adisoma menatapnya heran. Mengapa Tangkil berkata begitu?”
“Kamu yang menemukannya?”
“Ketika saya sedang mengitari halaman. Hal yang selalu saya lakukan.”
“Lalu mengapa bisa berada di kamar ini?”
“Kebetulan ketika saya melintasi dapur, saya melihat Arum sedang keluar dari pintu. Jadi saya serahkan sabuk itu kepada Arum, agar kalau dia masuk ke dalam untuk menyusukan den Aryo, bisa dibawanya sekalian.”
Adisoma menatap Tangkil dengan rasa terima kasih. Ia heran mengapa Tangkil melakukannya.
“Oh, jadi begitu?”
“Rupanya karena akan segera kabur, dia lupa pada pesan saya, lalu meninggalkan sabuk itu begitu saja.”
Saraswati mengangguk-angguk. Bisa dimengerti.
“Untunglah Arum bukan orang jahat yang ingin menguasai barang yang bukan miliknya, sehingga sabuk itu tidak dibawanya,” lanjutnya.
“Wajah Saraswati kembali suram.
“Bukan orang jahat katamu? Dia membawa anakku. Anak yang sudah diberikannya kepadaku, dan aku diam-diam juga memberinya imbalan uang yang tidak sedikit. Lalu dia berbohong, kabur dengan membawa Aryo, itu bukan kejahatankah namanya?”
“Ampun Den Ayu, maksud saya tentang harta benda. Padahal kalau dijual sabuk ini bisa laku ratusan juta.”
Saraswati tak menjawab. Rupanya ia tak peduli tentang sabuk itu, karena ia sudah menerima alasan adanya sabuk di kamar Arum. Ia sedih dan tentu saja kesal karena merasa Arum telah mengingkari janjinya.
Adisoma memburunya, dan mengucapkan kata-kata menghibur untuk sang istri. Namun sebenarnya dia sedang berpikir tentang ucapan Tangkil. Dia sedang menyelamatkannya? Walau terdengar aneh, tapi rupanya sang istri tidak memperhatikan keanehan itu. Bagaimana sabuk bisa jatuh tanpa terasa? Saraswati sedang memikirkan Arum yang telah melarikan ‘anaknya’.
***
Tangkil sedang menyelonjorkan kakinya sambil bersandar di tembok gardu, ketika mendengar suara berdehem.
“Mul?”
Tiba-tiba sang bendoro muncul di hadapannya. Tangkil segera menarik kakinya dan melipatnya.
“Ampun Den Mas, tidak tahu kalau Den Mas yang datang.”
Adisoma duduk di depan Tangkil. Ngelesot sambil menyandarkan pula tubuhnya.
“Saya ambilkan kursi kalau_”
“Tidak. Begini saja. Kamu sedirian?”
“Simul sedang pamit ke belakang, katanya perutnya sakit.”
“Aku mau bertanya tentang apa yang kamu lakukan kemarin.”
“Saya mohon maaf kalau dianggap salah,” katanya sambil menundukkan kepalanya.
“Tidak. Kamu tidak salah. Aku berterima kasih pada kamu. Bukankah kamu memang ingin menyelamatkan aku dari murka istriku?”
“Maksud saya begitu, kalau Den Mas berkenan.”
“Mengapa kamu melakukan itu? Berarti kamu sudah tahu tentang apa yang akhir-akhir ini aku lakukan?”
“Maaf, tapi saya tidak sengaja.”
“Tidak sengaja mengapa?”
“Hanya kebetulan melihat, beberapa kali .. Den Mas … memasuki kamar Arum. Sungguh, saya tidak sengaja.”
“Kamu melihatnya, dan kamu diam saja?”
“Saya juga laki-laki,” kata Tangkil sambil menundukkan wajahnya.
Adisoma tersenyum. Sesama lelaki dilarang saling membuka rahasia?
“Maaf, Den Mas.”
“Mengapa berkali-kali kamu meminta maaf?” kata Adisoma sambil mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Lalu ia memberikan beberapa lembar ratusan ribu kepada Tangkil, membuat Tangkil menganga.
“Ini … apa?”
“Terima saja. Sebagai ungkapan rasa terima kasihku.”
“Sebenarnya tidak usah. Saya hanya tidak ingin terjadi huru hara di istana Den Mas ini.”
“Terima saja,” titah Adisoma yang kemudian Tangkil menerima pemberian itu dengan suka cita. Segera ia memasukkan ke dalam sakunya.
“Terima kasih banyak, Den Mas.”
“Besok aku akan menyuruh orang memata-matai kepergian Arum. Ke mana kira-kira dia kabur?”
“Barangkali ke desanya.”
“Aku kira tidak. Dia tidak punya siapa-siapa. Ada ibu angkatnya, yang berbuat sewenang-wenang dengan mengusirnya ketika dia hamil.”
”Besok saya akan mencoba mencarinya.”
“Man, ada luwak di dekat kandang ayam,” tiba-tiba Simul muncul, yang kemudian menjatuhkan tubuhnya di lantai ketika mengetahui sang bendoro duduk di sana.
“Ampun Den Mas.”
“Tidak apa-apa. Masuklah. Di mana ada luwak?”
“Di dekat kandang ayam peliharaan mbok Manis. Tapi saya sudah mengusirnya.”
“Bagus. Sekarang aku mau ke dalam, kalian boleh ngopi. Mbok Manis pasti masih terjaga,” kata Adisoma sambil berdiri, kemudian meninggalkan gardu itu.
***
Malam hari itu Satria masih berbincang dengan kekasihnya. Baru saja Dewi memperlihatkan sebuah bangunan kecil, dari ponselnya. Ada beberapa bangku di dalamnya.
“Itu sekolah yang kamu buat?” tanya Satria.
“Ya. Aku bersyukur akhirnya bisa membuat sekolah kecil untuk anak-anak yang tidak mengenal sekolah. Kalau pagi untuk anak-anak, kalau sore untuk ibu-ibu dan bapak-bapak yang buta hurup.”
“Bukan main kamu, Dewi. Aku mendukung keinginan kamu untuk memajukan desa dimana sekarang kamu tinggal.”
“Aku bekerja sama dengan sebuah sekolah yang ada di kota. Nanti anak-anak yang putus sekolah sudah dipilah-pilah tergantung kemampuan mereka, atau tingkat di kelas sebelumnya. Orang tuanya tak mampu. Aku membantu mereka, dengan membiayai. Tentu kerja sama dengan sekolah terkait juga meringankan aku dalam hal dana. Mereka dengan senang hati membantu. Anak-anak yang masih kecil bersekolah di rumahku, semacam taman kanak-kanak, begitu. Hanya bermain sambil belajar, agar nanti siap untuk masuk ke sekolah dasar.”
“Kamu juga bekerja sama dengan kepala dusun bukan?”
“Tentu, mereka berterima kasih atas upayaku memajukan dusun ini.”
“Syukurlah, berarti kamu tidak sendirian.”
“Tentu saja tidak. Aku hanya punya keinginan, mereka ikut membantu pelaksanaannya. Tak lama lagi tak ada yang buta hurup di sini.”
“Senang sekali mendengarnya. Tapi bagaimana anak-anak itu pergi ke kota untuk bersekolah, sementara kamu pernah mengatakan bahwa mereka tak punya kendaraan?
“Aku menyewa sebuah mobil pick up untuk mengangkut anak-anak itu. Ia menjemput dan mengantarkan pulang.”
“Dewi, apa kamu punya uang yang cukup untuk itu semua?”
Terdengar Dewi tertawa kecil.
“Aku punya banyak perhiasan. Emas dan permata tidak murah. Aku tidak membutuhkannya dan tidak ingin memakainya. Aku menjualnya untuk semua kebutuhan itu.”
“Tapi uangmu bisa habis, Dewi. Kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri.”
“Mbok Randu pinter masak. Dia berjualan makanan, ikut mobil kalau pagi dengan menjual makanan itu, pulang bersama anak-anak. Laku lhoh, bisa untuk makan kami berdua.”
Satria menelan ludah, menahan haru atas besarnya perjuangan Dewi. Ia tak butuh perhiasan yang gemerlap dibadan, tapi dia punya perhiasan di hati yang lebih gemerlap melebihi ribuan bintang dilangit.
“Hati-hati menjaga dirimu. Jangan sampai kelelahan, apalagi jatuh sakit.”
“Terima kasih atas perhatianmu. Kapan ya kita bisa bertemu?”
“Aduh, aku juga kangen untuk bertemu, tapi aku belum punya bekal yang cukup untuk itu. Aku juga sedang berjuang, kuliah dan mencari uang.”
“Kita harus bersabar. Aku dan kamu melakukan perjuangan yang sama mulianya. Pada suatu hari, kalau Allah mengijinkan, kita pasti bertemu. Apa kamu pernah mendengar berita tentang keluargaku?”
“Aku juga jarang pulang, aku akan mencoba bertanya pada ibu, barangkali bisa memberikan berita yang kamu inginkan.”
“Terima kasih Satria. Sayangnya hari ini hujan sedang turun. Tak ada rembulan mengambang di awang sana, dimana aku bisa menitipkan salam untuk kamu.”
“Tapi ada angin yang selalu berhembus, aku selalu menitipkan salam dan rindu lewat angin lalu.”
Dewi tersenyum lebar. Ia membuka jendela kamarnya yang sederhana. Diantara hujan ada angin yang bertiup, membawa rindu yang dititipkan Satria kepadanya.
***
Pagi hari itu Dewi bangun kesiangan. Ketika ia keluar dari kamar, dilihatnya mbok Randu sudah menata dagangannya, membungkus nasi pecel yang akan dijualnya dan selalu habis setiap pulang.
“Maaf Mbok, aku tidak bisa membantu. Semuanya sudah selesai,” kata Dewi sambil duduk di kursi dapur, di mana di meja sudah ada puluhan bungkus nasi pecel dan nasi oseng yang akan dijualnya ke kota.”
“Tidak apa-apa Neng,” kata mbok Randu yang dilarang memanggil dengan sebutan den ajeng di tempat perantauannya.
“Yang di piring ini untuk aku?”
“Iya, oseng daun peppaya dan goreng ikan asin. Banyak yang suka lhoh.”
“Aku juga suka. Nanti pasti aku habiskan,” kata Dewi.
“Ayo aku bantu membawa ke pinggir jalan, nanti telat, mobilnya sudah lewat, bagaimana?”
“Ini sudah selesai semua kok. Tinggal memasukkan di bakul.”
“Sini aku bantu.”
“Baiklah, simbok ambil selendang dulu.”
Begitulah kesibukan mBok Randu dan Dewi setiap hari. Begitu mbok Randu berangkat untuk berjualan, Dewi mengajar anak-anak kecil di sebuah bangunan yang khusus dibuatnya untuk belajar. Banyak mainan disediakan di sana, membuat anak-anak betah belajar. Kecuali itu para orang tua yang bekerja diladang ataupun bekerja di sawah, bisa menitipkan anaknya di sana. Setelah siang, menjelang sore barulah dia mengajar ibu-ibu dan bapak-bapak yang buta hurup.
Dewi tidak pernah kesepian walau jauh dari orang tua, karena ia melakukan hal yang disukainya. Terkadang ada rindu menyesak dadanya, terutama kepada ibundanya, tapi rasa itu ditekannya. Ia juga belum ingin mengabarkan keberadaannya, karena kalau keluarganya tahu, pasti dia akan dipaksanya untuk pulang.
***
Hari itu Adisoma mengendarai mobilnya mengitari kota, lalu melaju ke arah luar kota. Bayangan Arum selalu menyelimuti benaknya. Ada rasa bersalah yang mem buatnya sangat menyesal. Arum bukan perempuan lemah. Arum bukan perempuan yang mudah ditaklukkan. Ia juga bukan perempuan murahan. Ia menurut karena situasi yang tidak mendukung. Seandainya bisa, pasti dia sudah berteriak memaki-makinya setiap dia datang. Arum selalu menangis dan melawan, tapi tanpa daya. Lalu kepergiannya adalah satu-satunya jalan untuk menghindari nafsu bejatnya.
Sungguh Adisoma menyesal, dan sekarang dengan gelisah mencari keberadaannya. Ke mana dia akan mencari?
Hari gelap, bukan karena malam. Mendung yang menggantung berwarna hitam legam. Para pengendara melajukan kendaraannya. Para pejalan kaki bergegas mempercepat langkahnya agar tidak kehujanan di jalan.
Gerimis mulai turun, Adisoma ingin memutar mobilnya dan merasa bahwa hari itu tidak berhasil menemukan yang dicarinya. Tapi tiba-tiba seorang wanita menggendong bayi menyeberang jalan. Ia memayungi tubuh anaknya yang digendong dengan selendang, sedangkan sebelah tangannya menenteng tas yang pastinya lumayan berat.
Adisoma membelalakkan matanya. Tiba-tiba ia mengerem mobilnya sampai berderit, lalu keluar memburu wanita yang hampir ditabraknya.
“Arum!!”
***
Besok lagi ya.