CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 13
(Tien Kumalasari)
“Kamu tidak menjawab pertanyaanku, Tangkil? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Tangkil mengangkat wajahnya. Apakah sang den mas ini lupa bahwa dia punya tugas yang bertumpuk-tumpuk di istana kecil ini? Ya tukang kebun, ya kusir kereta, ya sopir mobil, ya mengatasi segala sesuatu yang terjadi, termasuk memimpin para penjaga malam yang bertugas meronda.
“Saya sedang meronda bersama Simul, Den Mas.”
“Mana dia?”
“Sesungguhnya kami sedang mencurigai sesuatu. Barangkali ada maling memasuki tempat ini. Jadi Simul saya suruh mengawasi sebelah sana, saya sebelah sini.”
Adisoma mengerutkan dahinya, mendengar kata ‘maling’. Apakah Tangkil menuduhnya maling? Tapi tidak, Tangkil kan tidak mengatakan bahwa dirinyalah yang menjadi maling? Tapi dia memasuki kamar Arum dengan diam-diam, apakah itu namanya maling?
“Mohon maaf Den Mas, saya tidak mengira kalau yang saya lihat adalah Den Mas.”
“Kamu mengira saya malingnya?”
“Tidak, mana saya berani.”
“Aku sedang ingin berjalan-jalan di sekitar tempat ini.”
“Maaf saya tidak tahu. Apalagi ketika den ayu Saraswati menyuruh mengunci regol, den ayu bilang kalau Den Mas sedang mengantarkan tamu.”
“Tidak jadi. Tamunya memilih jalan sendiri. Jadi aku pulang, lalu berjalan-jalan di sekitar halaman.”
“Baiklah, kalau begitu saya akan kembali ke pos ronda.”
Adisoma mengangguk, kemudian berlalu. Apakah Tangkil melihatnya keluar dari kamar Arum?
“Tapi kalaupun dia tahu, memangnya kenapa? Aku penguasa di istana kecilku ini, siapa yang berani melarang apa yang aku lakukan?” kata batin Adisoma sambil melangkah menuju ke beranda rumahnya.
***
Simul melangkah mendekati Tangkil, ketika ia tak menemukan apa-apa yang mencurigakan.
“Tidak ada apa-apa. Aman seperti biasanya. Apa man Tangkil melihat sesuatu?”
“Den mas ….”
“Den mas apa? Melihat den mas? Aku juga melihat den mas baru saja memasuki beranda. Entah dari mana, tampaknya tidak melalui regol yang digembok. Kalau melalui regol, pasti ia memanggil salah seorang penjaga.“
“Barangkali lewat pintu belakang.”
“Oh, benarkah? Tak biasanya dia pulang melalui pintu belakang.”
“Dia mau melalui pintu belakang atau samping atau depan, siapa yang melarang?” kata Tangkil sambil merebahkan tubuhnya di atas tikar di pos penjagaan.
“Iya juga sih. Hanya tidak biasanya,” kata Simul yang ikut-ikutan merebahkan tubuhnya di samping Tangkil.
Dari jauh kokok ayam terdengar.
“Ah, hampir pagi,” kata Simul sambil menguap. Ia tahu bahwa hari sudah menjelang pagi. Tapi lumayan memejamkan mata selama beberapa jam saja.
Tapi Tangkil tak bisa terlelap seperti temannya. Ada perasaan aneh yang mendekati curiga, melihat sang junjungan mengendap endap di malam buta, seperti maling. Alasan sang den mas adalah berjalan jalan. Berjalan-jalan? Tak biasanya begitu. Baru sekali ini. Tangkil juga seorang laki-laki. Kehadiran abdi cantik yang membawa bayi tak bisa tidak, menarik perhatian laki-laki di istana kecil itu. Hanya karena merasa sudah tua, maka Tangkil mengacuhkannya. Tapi pasti tidak demikian dengan sang den mas yang pastinya masih perkasa. Benarkah kehadiran perempuan itu yang membuat tiba-tiba junjungannya ingin berjalan-jalan? Hanya berjalan-jalan, atau ada sesuatu yang lain? Tadi arahnya dari bilik para pembantu.
Kesal dengan perasaannya sendiri, Tangkil urung memejamkan matanya. Ia bangun dan pergi ke dapur, untuk membuat minuman hangat.
***
Tangkil sedang menyeruput kopi dengan tegukan terakhir, ketika tiba-tiba mendengar langkah kaki. Ia mengira mbok Manis yang biasanya bangun di pagi buta sudah akan memulai aktifitasnya di dapur itu. Biasanya mbok Manis langsung menyapanya begitu melihat dirinya duduk di bangku dapur. Tapi kali ini tak ada sapa yang terdengar. Tangkil menoleh, dan melihat Arum mengambil gelas dan menuangkan air putih dari teko yang ada di meja.
Melihat Tangkil menoleh ke arahnya, Arum hanya mengangguk. Ia belum begitu kenal dengan semua abdi, kecuali dengan mbok Manis.
Tangkil membalasnya dengan anggukan. Tapi ia menangkap sesuatu di wajah Arum. Wajah yang sembab, kebanyakan menangis.
Tak tahan untuk mendiamkannya, Tangkil lebih dahulu menyapanya.
“Arum, kok sudah bangun?”
“Iya, Man.”
“Kamu sakit?”
“Tidak.”
“Wajahmu pucat.”
“Tidak apa-apa, hanya masuk angin,” lalu Arum dengan cepat meninggalkan dapur, kembali masuk ke kamarnya.
Ada rasa pilu di hati Arum melihat tempat tidurnya yang acak-acakan. Ada rindu yang terhempas oleh garis kehidupan yang tidak berpihak kepada dirinya. Lalu mengapa ia harus berjumpa, dimana perjumpaan itu hanya akan membuat hatinya sakit? Cinta yang diucapkannya, pasti bukanlah cinta. Ada nafsu menyelimuti ucapannya, menyelimuti segala apa yang dilakukannya.
Arum melihat wajahnya di dalam cermin. Wajah yang kelihatan lelah dan sembab. Pantas man Tangkil mengira dirinya sakit.
Arum keluar lagi untuk menuju ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya berulang kali, agar wajah pucat dan sembabnya tak begitu kentara. Ia juga sekalian mandi. Lalu setelahnya ia ingin masuk ke kamar Aryo untuk melihat keadaannya, sekaligus menyusukannya.
***
Hari hampir pagi ketika itu. Adisoma melongok ke kamar sang istri, yang tidur dalam lelap. Di lihatnya Aryo juga tergolek tenang di boxnya. Ia menyentuh pipi gembul bayi mungil itu dengan perasaan yang mengharu biru. Seperti mimpi ia menatapnya, yang wajahnya bersih dan bersinar. Bayi itu adalah darah dagingnya. Ia kembali mengulurkan tangannya untuk mengelus kepalanya, lalu ia keluar dari kamar.
Adisoma menuju ruang tengah, membaringkan tubuhnya di sebuah kursi malas yang empuk. Ia memejamkan matanya. Ingatannya kembali melayang ke arah kamar Arum, yang walau di awal dia melawan, akhirnya dia menyerah juga. Adisoma tersenyum senang. Ia tahu Arum masih mencintainya. Adisoma tak akan kesepian. Lalu ia terlelap, masih dengan mimpi-mimpi tentang Arum, yang masih seperti dulu. Manis dan pasrah.
***
Ketika mendengar Aryo merengek, Saraswati bangkit dari ranjangnya. Ia tak melihat sang suami, berarti ia memang tidak pulang. Tapi ia tak begitu mempedulikannya. Ia meraih tubuh mungil Aryo yang ternyata ngompol.
Dengan tersenyum ia menggantikan popoknya. Aryo menghentikan rengekannya, menatap wanita cantik yang sedang menggantikan popoknya dengan senyuman lembut. Tapi ia bukan ibu kandungnya. Apakah bayi kecil itu sesungguhnya mengerti bahwa wanita cantik yang bukan ibunya itu mengasihinya bagai kepada anak kandungnya sendiri?
Lalu Saraswati mengangkat tubuh Aryo, membopongnya ke arah belakang. Di ruang tengah ia melihat suaminya sedang tertidur.
“Kangmas, kapan pulangnya? Mengapa tidur di sini?”
Adisoma membuka matanya, melihat sang istri berdiri di sampingnya, sambil menggendong Aryo.
Tangannya meraih tubuh bayi kecil itu sambil tersenyum, lalu kembali ia memejamkan matanya. Ia merasa sangat lelah dan tentu saja mengantuk.
“Lelah ya Kangmas? Sampai ke mana jalan-jalannya?”
“Jauh,” katanya singkat lalu memiringkan tubuhnya, memunggungi sang istri. Barangkali menghindari pertanyaan tentang jalan-jalan yang dikarangnya.
Saraswati menatapnya haru. Kasihan, melihat sang suami tampak kelelahan. Pasti jalan-jalannya benar-benar jalan kaki, tidak dengan mobil. Bukankah Solo kota yang tak pernah tidur?
“Kangmas tidak pindah tidur di kamar?”
Adisoma tidak menjawab.
“Aku berikan dulu Aryo kepada Arum karena sudah saatnya dia minum ASI. Nanti aku ambilkan selimut untuk Kangmas,” katanya, kemudian melanjutkan langkahnya ke arah belakang.
“Mana Arum?” tanya Saraswati kepada mbok Manis yang sedang berkutat di dapur.
“Masih di kamarnya, Den Ayu, saya panggilkan sebentar.”
“Biar aku ke kamarnya saja.”
Mbok Manis mengangguk, Saraswati melanjutkan langkahnya.
Pintu kamar Arum terbuka, dilihatnya Arum sedang membersihkan kamarnya, mengganti alas tidurnya. Melihat den ayunya, Arum menghentikan kegiatannya.
“Arum, pastinya Aryo lapar. Kamu sudah mandi?”
“Sudah, Den Ayu,” katanya sambil menerima Aryo dari tangan Saraswati.
“Kamu kelihatan pucat? Sakit? Kemarin baik-baik saja.”
“Agak masuk angin, tapi tidak apa-apa Den Ayu.”
“Berikan ASI nya, tapi jangan di sini, di kamarnya saja.”
“Baik.”
***
Memasuki kamar Aryo, dada Arum berdebar kencang. Bagaimana kalau si den mas itu ada di dalam? Tapi kemudian rengek Aryo membuatnya langsung masuk karena ia harus segera menyusukannya.
Ia menutup pintu kamar, dan merasa lega karena tak ada siapa-siapa di kamar itu.
Arum mendekap Aryo erat-erat ke dadanya, sebelum kemudian memberikan ASI nya, yang dihisapnya dengan sangat lahap.
“Kamu lapar? Semalam tak ada yang membangunkan bibi untuk memberimu minum. Seandainya ada, pasti hal memalukan itu tak akan terjadi.
Wajah Arum memerah, ia menyesal telah menyerah. Ia menyesal karena takut kehilangan pekerjaan sehingga melepaskan kembali hasrat setan yang berhasil menguasainya. Kemudian ia menitikkan air mata.
Ketika kemudian pintu terbuka tiba-tiba, Arum sangat terkejut. Adisoma berdiri di pintu dan tertegun menatapnya. Arum segera membalikkan tubuhnya untuk menyembunyikan apa yang seharusnya tidak dilihat orang. Tapi tiba-tiba Adisoma mendekatinya dan berbisik di telinganya.
“Jangan malu kepada suami sendiri.”
Arum tertegun. Suami? Rasa kesal menguasai hatinya. Apakah sebuah hubungan terlarang bisa tiba-tiba menjadi hubungan yang halal? Dari mana istilah suami itu diberikannya.
“Pergilah. Ini kamar den ayu.”
“Dia sedang mandi. Kalau mandi dia lama sekali.”
“Pergiii.”
“Kamu akan segera menjadi istriku, percayalah. Tapi kalau kamu mau, kalau tidak, bagiku tidak apa-apa. Aku bisa mengunjungi kamu di setiap malam saat aku membutuhkannya."
Lalu Adisoma keluar dari kamar dengan senyuman lebar. Alangkah menyenangkan bisa mengganggu Arum dengan ucapan konyolnya.
Arum ingin menjerit sekeras-kerasnya. Walaupun dia mencintai ayah dari bayi yang sedang dipangkunya, tapi dia tidak suka cara dia memperlakukannya. Dengan gampang mengucapkan cinta, dengan gampang dia bisa mempermainkannya karena dia berkuasa.
Aryo merengek, dan entah mengapa tiba-tiba menangis keras. Apakah si bayi ikut merasakan derita sang ibu?
“Sayang, minumlah sampai kenyang, ibu tidak apa-apa,” bisiknya.
Tapi tiba-tiba Saraswati muncul di kamar itu, membuat jantung Arum hampir meloncat dari tempatnya karena mengira Adisoma kembali masuk ke kamar itu.
“Arum, bukankah aku sudah bilang bahwa kamu harus memanggilnya den Aryo, bukan sayang, bukan ‘nak’. Dan aku juga menyuruhmu agar Aryo terbiasa memanggilmu dengan sebutan bibi? Sudah bagus sebutan itu untuk kamu, bukan? Itu adalah kebaikanku karena kamu telah memberikan anakmu dengan suka rela.
“Mohon ampun, Den Ayu, saya khilaf. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Maklumlah, belum lama den Aryo menjadi putra Den Ayu.”
“Ingatlah bahwa kamu adalah seorang abdi. Tidak sepantasnya anakku memanggilmu bibi kecuali karena kebaikanku.”
“Saya mengerti, Den Ayu.”
Arum melanjutkan menyusukan Aryo, sementara Saraswati menuju ke ruang lain untuk berdandan. Seorang abdi yang lain sedang menunggunya untuk melayani.
***
Dan seperti yang pernah diucapkannya, Adisoma selalu mengganggu Arum disaat dia membutuhkan. Arum merasa sangat direndahkan. Sungguh ia tak ingin Adisoma mengambilnya sebagai istri. Tapi dia juga tak sudi menjadi pemuas nafsu sang bendoro.
Malam itu Arum bebenah untuk pergi. Baru dua bulan dia mengabdi, tapi dia merasa sangat tersiksa. Hal yang sangat memberatkannya adalah harus berpisah dengan Aryo.
Mana mungkin aku meninggalkan darah dagingku? Kata batinnya.
Itu adalah malam terakhir untuk menerima kedatangan Adisoma, sebelum dia memutuskan untuk pergi. Ia sudah tahu jalan untuk keluar, dan dia merasa akan bisa melakukannya. Tentu saja dia akan membawa Aryo. Ia hanya punya bekal yang tak seberapa dari gajinya selama dua bulan, tapi dia akan memikirkannya nanti. Ia tak tahan lagi.
***
Pagi hari itu istana kecil itu heboh luar biasa. Arum pergi dengan membawa Aryo. Padahal semalam masih tidur di box bayi yang diletakkan di sebelah ranjang Saraswati.
Sambil menangis Saraswati mengobrak abrik kamar Arum, di mana tak selembar pakaianpun tertinggal di sana.
“Sudahlah Diajeng, toh sebenarnya Aryo juga bukan darah dagingmu,” bujuk Adisoma yang sebenarnya juga gelisah dengan kepergian Arum.
“Kangmas bagaimana, aku sudah terlanjur menyayangi Aryo, bagaimana aku bisa melepaskannya begitu saja? Ternyata Arum pembohong. Jahat."
“Tenang saja, nanti aku akan mencarinya.”
Tiba-tiba Saraswati melihat sesuatu tergeletak di lantai. Sebuah sabuk dengan untaian permata. Ia memungutnya.
“Kangmas, bukankah ini punya Kangmas?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteNuwun mas Kakek
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat dan tetap ADUHAI.
ReplyDeleteSalam taklimku kagem mas Tom, semoga walau perlahan recoverynya lancar untuk kembali sehat dan bisa beraktivitas lagi.
Aaamiin 🤲🤲🤲🌹❤️
Matur nuwun, Bu Tien. Sehat selalu nggih
ReplyDeleteHamdallah
ReplyDeleteAlhandulillah... utk bunda Tien matur nuwun smg bunda selalu diparingi sehat.. Aamiin
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Cintaku jauh di pulau sebrang sudah tayang
Semoga bunda dan pak Tom widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Alhamdulillah "Cintaku Jauh di Pulau Seberang 13" sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien🙏
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
🏝️🩵🏝️🩵🏝️🩵🏝️🩵
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏 💞
Cerbung CJDPS_13
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja🦋🌸
🏝️🩵🏝️🩵🏝️🩵🏝️🩵
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteInsyaAllah bunda dan Keluarga selalu sehat dan bahagia, aamiin 🤲🏽❤️
Wah... ada orang minggat lagi. Kemana ya, awas kalau sampai halim lagi. Siapa mau bertanggungjawab.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Slmt mlm bundaqu..terima ksih cerbungnya..slmt istrht dan slm shr sll unk bunda dan pak Tom..🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteHayooo kamu ketahuan lg to...
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 13 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Matur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan dg keluarga tercinta....
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 13 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 13..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Sehat wal Afiat juga kagem Pakdhe Tom.
Aamiin
Arum..memang sebaiknya kamu keluar dari tembok Kadipaten untuk bersembunyi, daripada jadi budak nafsu oleh Pepunden mu.
Waah...Arum pergi, mencurigakan...tapi barang bukti yg tertinggal makin bikin ketahuan.😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sejahtera.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Walah, saya kira Arum jadi peran antagonis menghancurkan rumah tangga Saraswati, lalu menjadi istri mas Adi, ternyata sampai episode ini masih menjadi perempuan baik, ibu Baik....
ReplyDeleteYang pasti ningrat tidak selamanya harus bersama ningrat, masih bisa jatuh cinta pada non ningrat, bahkan orang miskin.
Kami dari kota Malang, selalu menunggu kelanjutan kisah tulisan buTien...
Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu fsn dan selamat istirahat
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete0h 0h .....seorang Den mas berkelakuan bejad... dlm kenyataan mkin ada ya ...
ReplyDeleteNah lo...den mas...ada barang bukti yg tercecer. Masihkah bisa berkilah?😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu.🙏🏻
Alhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya, semoga pak Tom Widayat semakin sehat wal'afiat juga.,🙏🤗🥰
ReplyDeleteSeru nih, alasan apa yg akan terucap dr den mas Adisoma,