Thursday, May 15, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 11

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  11

(Tien Kumalasari)

 

Saraswati terkejut, mendengar denting sendok mencium lantai.

“Eh, kangmas, sendoknya jatuh? Mbok, tolong ambilkan yang bersih,” titahnya kepada mbok Manis, yang segera bergegas mengambilkan sendok bersih untuk junjungannya.

“Arum, bawa den Aryo ke belakang dulu, aku mau meladeni kangmas.”

“Baik Den Ayu,” jawab Arum sambil menggendong Aryo yang masih terlelap.

“Kalau tidurnya sudah nyenyak, tidurkan saja di kamar.”

“Sebentar lagi saatnya minum ASI, Den Ayu.”

“Baiklah, kan kamu yang mengetahui jam berapa kamu harus memberikan ASI.”

Arum mengangguk, kemudian berlalu. Tanpa sedikitpun menoleh kepada den mas Adisoma yang sejak tadi menatapnya tak berkedip. Tak ada keberanian menatap junjungan pria karena sudah menjadi tradisi di keluarga itu.

“Kangmas, silakan makan. Mengapa menatap Arum terus? Dia cantik kan?” kata Sarawati tanpa menaruh perasaan apapun. Ia tahu gadis cantik selalu menarik perhatian kaum pria. Masa iya, kangmas yang dicintainya akan tertarik pada pembantu?

Adisoma terkejut. Ia sadar telah memperhatikan Arum sampai membuat sang istri curiga.

“Tidak, bukan apa-apa. Bagiku wanita cantik hanyalah dirimu, Diajeng," rayunya sambil menyendok nasi.

Saraswati tersenyum manis. Benarkah tak ada wanita cantik selain dirinya? Ia tahu sang suami berbohong, hanya untuk menutupi perasaan kagumnya ketika melihat Arum. Bukankah dirinya semakin menjadi tua, sedangkan Arum masih muda menawan?

“Itu abdi barumu?”

“Iya Kangmas. Kangmas belum pernah melihatnya kan? Dia cantik dan rajin. Karena kasihan, saya menerima dia menjadi abdi, membantu mbok Manis di dapur.”

“Iya. Kelihatannya dia baik dan cekatan. Syukurlah mendapatkan abdi yang baik.”

Adisoma berbincang dengan sang istri tentang abdi barunya, tapi sebenarnya  pikiran Adisoma melayang kemana-mana. Ia mengenal Arum. Pernah mengenalnya dengan sangat dekat. Ketika ia sedang mengendarai mobilnya sendirian saat malam, ketika ia sedang melarikan diri dari sepi yang menghentak rasa, saat sang istri enggan didekati, saat dia merasa bahwa jiwanya masih serasa muda.

Di dalam gelapnya malam yang sebenarnya belum terlalu malam, mobil yang dikendarai Adisoma memasuki sebuah daerah yang sepi, dimana di kiri kanan jalan yang tampak hanya hamparan tanaman padi diantara tanaman perdu yang mengitarinya.

Sepotong bulan yang mengintip masih mampu menerangi sesosok perempuan yang berjalan sambil membawa keranjang.

Adisoma melewatinya, dan sempat melihat wajah gadis dengan baju panjang dan selendang tersampir di pundak, serta keranjang kosong di tangan kirinya.

Entah karena kasihan, atau entah karena rasa keingin tahuan mengapa perempuan muda berjalan sendirian ditengah sepinya malam, Adisoma menghentikan mobilnya.

Perempuan itu terkejut, lalu melangkah minggir. Tampaknya ketakutan melihat mobil berhenti di dekatnya, apalagi ketika dilihatnya seorang laki-laki turun dari dalamnya.

“Jangan takut, aku bukan orang jahat,” kata Adisoma.

Lampu mobil itu tidak dimatikan, menyinari wajah laki-laki yang mendekat ke arahnya. Bukan anak muda. Tapi Adisoma adalah laki-laki yang matang, dan memiliki pesona luar biasa. Pandangannya yang lembut, menandakan dia bukan orang jahat. Tapi tetap saja perempuan itu minggir-minggir ketakutan.

Ketika ia bermaksud melewati Adisoma, Adisoma menangkap lengannya. Perempuan itu meronta, tentu saja.

“Aku sudah bilang, kamu tidak usah takut. Aku bukan orang jahat. Mengapa kamu kelihatan takut.”

“Lepaskan saya, saya mau pulang,” lirih perempuan itu.

“Baiklah, akan aku antar kamu pulang. Jangan takut. Di mana rumahmu?”

“Di depan situ, tidak jauh.”

“Masuklah ke mobil, aku antar kamu.”

“Tidak usah … ss … saya_”

“Daripada jalan kaki.”

Tiba-tiba ia merasa bahwa tak mungkin menghindari laki-laki di depannya. Perempuan itu masuk ke dalam mobil ketika Adisoma membukakan pintu depan untuknya.

Ia duduk seperti kelinci kecil yang ketakutan ketika mobil itu berjalan.

“Kamu takut? Jangan takut, aku bukan orang jahat.”

Perempuan itu terdiam. Menatap arah depan yang menjadi terang oleh sorot lampu mobil.

“Siapa namamu?”

“Arum.”

“Kamu mau ke mana, malam-malam jalan sendirian?”

“Mau pulang.”

“Oh iya, maksudku … kamu dari mana?”

“Dari … mengambil uang.”

“Mengambil uang? Di mana mengambil uang?”

“Di dusun sebelah,” jawab Arum yang mulai lancar berbicara ketika tak tampak laki-laki itu melakukan sesuatu yang jahat atau kurang sopan.

“Bagus sekali mengambil uang. Uang apa itu?”

“Kalau pagi mengantar sayuran hasil kebun, sorenya baru bisa mengambil uangnya.”

“Oo, kamu jualan sayur?”

“Simbok yang jualan. Saya hanya membantu.”

“Bagus sekali. Tapi kenapa mengambilnya malam begini? Apa tidak bahaya seorang gadis berjalan sendirian di tempat gelap. Kalau ada orang jahat bagaimana? Eh ya, kamu gadis kan? Atau sudah punya suami?”

“Belum.”

“Baiklah, kenapa mengambilnya malam? Bukan saat masih sore sehingga tidak kemalaman di jalan?”

“Biasanya juga sore, tapi tadi dia pergi sampai hari gelap baru pulang. Jadi saya pulangnya kemalaman karena kalau pulang harus membawa uangnya.”

“O, begitu rupanya? Apa simbokmu sudah tua sehingga kamu yang disuruh mengantar sayuran pagi dan sorenya mengambil uangnya?”

“Masih agak muda. Tapi dia bukan simbok kandung saya. Saya yatim piatu.”

“Lalu dia siapanya kamu?”

“Orang lain yang memungut saya.”

“Kamu sekolah?”

“Hanya sampai SD. Setelah bapak meninggal saya tidak sekolah lagi. Sebentar, itu rumah simbok.”

Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Ketika Arum turun, Adisoma memberinya sejumlah uang. Arum ingin menolak, tapi Adisoma memasukkan uang itu ke dalam keranjang kosong yang dibawanya.

Pertemuan itu berlanjut, dan Adisoma sering mengajaknya bepergian. Orang tua angkatnya membiarkan karena Adisoma selalu memberinya uang yang banyak.

“Kangmas, sayurnya keburu dingin,” suara itu mengejutkannya.

“Oh, iya.”

“Kangmas kenapa? Seperti melamun begitu.”

“Bukan melamun. Ini, saya sariawan, sakit untuk makan,” jawabnya yang tentu saja berbohong.

“Mbok, nanti buatkan jamu untuk sariawan, kasihan Kangmas, gara-gara sariawan lalu makannya jadi tidak enak.”

“Baik, Den Ayu.”

“Tidak usah, aku sudah punya obatnya kok. Tadi sudah mampir beli di apotik.”

“Mengapa masih suka minum obat? Ada jamu yang manjur untuk sariawan,” kata Saraswati.

“Tidak usah, sudah terlanjur membeli obat, sayang kalau tidak dipergunakan. Sekarang saya mau makan, tapi pelan-pelan.”

“Kasihan, makan jadi tidak enak Kangmas.”

“Jangan khawatir, nanti juga pasti habis.”

Tapi hari itu Adisoma memang makan tak terasa enak. Bayangan Arum terus menghantuinya. Gadis yang pernah dinodainya kemudian ditinggalkannya, tiba-tiba muncul dalam keluarganya. Apakah artinya adalah memang dia harus bertanggung jawab terhadap benih yang ditaburnya? Adisoma tidak pernah mencintai Arum. Ia hanyalah pelampiasan nafsunya. Tapi bayi yang dilahirkannya adalah darah dagingnya.

***

Malam hari itu Satria mendapat telpon dari ibunya. Sudah setahun dia tidak pernah pulang. Bu Karti merasa sangat rindu.

“Maaf Bu, Satria sedang menekuni kuliah, tapi juga sambil bekerja, jadi maafkan kalau sampai tidak pernah pulang.”

“Kamu bekerja apa? Sekolah belum selesai tapi bekerja?”

“Hanya kerja sambilan Bu, untuk mengurangi beban biaya kuliah.”

“Katanya kamu mendapat bea siswa. Lagi pula ayahmu juga sudah menyediakan biaya untuk kuliah kamu.”

“Itu benar, tapi tidak semua kebutuhan kuliah kemudian menjadi gratis. Ada buku-buku, ada perlengkapan lain yang harus dibeli sendiri.”

“Jadi kamu sama sekali tidak bisa pulang?”

“Kalau ada waktu pasti pulang, kalau tidak pulang juga kan Satria pasti menelpon, terutama bapak.”

“Bapakmu sering mendapat telponmu tapi ibu tidak.”

“Setiap kali menelpon pasti bapak sedang di kantor. Tapi baiklah, besok-besok pasti Satria menelpon Ibu.”

“Sekarang nak Sinah mau bicara nih, bicaralah.”

“Maaf Bu, Satria sedang ada di jalan.”

“Sedang apa kamu malam-malam di jalan?”

“Baru belanja kebutuhan. Sudah ya Bu.”

Satria buru-buru menutup ponselnya, lalu mematikannya, sehingga tidak bisa bersambung lagi walau sang ibu menelponnya berkali-kali.

***

“Keterlaluan anak itu. Begitu sibuknya sehingga tidak bisa berlama-lama bicara. Padahal kan nak Sinah juga ingin ngomong.”

“Satria bilang dia juga sibuk bekerja diwaktu senggang, jadi waktunya tidak banyak,” kata pak Sawal.

“Aku hanya memikirkan nak Sinah, sepertinya dia tidak pernah memperhatikannya, padahal nak Sinah dengan setia menunggu,” kata bu Karti lagi.

“Bu, aku kan sudah bilang, jangan mengganggu Satria dengan segala macam perjodohan. Biarkan dia fokus pada kuliahnya,” kesal pak Sawal.

“Masa hanya bicara saja tidak mau.”

“Dia tidak mau, karena kamu pasti menghubungkan pembicaraan itu dengan perjodohan. Ini bukan jamannya jodoh menjodohkan. Anak kalau sudah dewasa bisa mencari jodohnya sendiri,” kesal pak Sawal kemudian meninggalkan sang istri sendirian.

“Laki-laki selalu tidak mau mengerti,” omelnya.

“Orang tua tidak akan menjerumuskan anaknya. Yang namanya memilih untuk anak itu kan ya pasti yang terbaik,” ia masih terus mengomel.

“Ada apa sih Bu, kok marah-marah?” tiba-tiba Sinah muncul didekat bu Karti.

“Kesal sama Satria, tapi juga kesal sama bapaknya.”

“Memangnya ada apa?”

“Sudah setahun tidak pernah pulang, begitu ditelpon, jawabnya sangat tergesa-gesa, aku suruh ngomong sama nak Sinah saja alasannya sedang di jalan. Bapaknya bukannya membantu malah menyalahkan, siapa yang tidak kesal.”

“Ibu tidak usah kesal. Jogya itu tidak jauh dari sini. Kalau ibu ingin, saya antarkan saja ibu ke sana,” kata Sinah enteng.

Bu Karti terkejut. Dipandangnya Sinah dengan pandangan tak percaya.

“Apa? Kita ke sana?”

“Mengapa tidak? Jogya itu dekat. Kita bisa naik bis, atau kereta.”

“Lha di mana Satria tinggal kan kita tidak tahu? Nanti kesasar bagaimana?”

“Ibu tuh, seperti anak kecil saja. Nanti kalau sampai di sana, kita telpon Satria, pasti dia mau menjemput kita.”

“Begitukah?”

“Iya Bu, jangan khawatir. Kapan ibu bisa?”

“Besok siang saja, soalnya paginya aku kan harus menyiapkan segala sesuatunya untuk bapaknya Satria. Makan siang, kalau dia pulang siang, juga makan malam.”

“Baiklah, terserah ibu saja. Nanti Sinah bantu menyiapkan semuanya supaya kita bisa segera pergi.”

***

Tapi begitu sang istri malam itu meminta ijin untuk pergi ke Jogya, pak Sawal tidak mengijinkannya.

“Kamu tidak usah macam-macam Bu, apa maksudnya mau ke Jogya? Ibu hanya akan mengganggu saja. Barangkali dia sedang kuliah atau bekerja, lalu Ibu datang, apa tidak mengganggu?”

“Tapi ibu ingin sekali ketemu Pak. Seorang ibu itu berbeda dengan ayah. Kalau ayah, dia laki-laki, lebih tidak peduli, tapi ibu itu berbeda Pak, lama tidak ketemu, ibu sudah sangat rindu. Lagi pula ibu hanya ingin melihatnya saja, masa mengganggu?”

“Aku tidak percaya kalau itu kemauan Ibu karena Ibu kangen sama Satria.”

“Apa maksud Bapak?”

“Ibu itu hanya ingin mendekatkan Satria sama Sinah kan?”

“Bapak ngomongnya jangan keras-keras, nanti dia mendengar, jadi tidak enak.”

“Memangnya kenapa kalau mendengar? Biar dia tahu kalau dia tidak dikehendaki di sini, baik oleh aku apalagi Satria.”

“Bapak!” bu Karti berteriak.

“Ibu yang selalu mendorong Sinah untuk tetap menunggu Satria. Bagaimana kalau ternyata Satria tidak mau?”

“Satria bukan tidak mau. Dia hanya ingin menyelesaikan kuliahnya dulu.”

“Maksud Ibu, kalau kuliahnya selesai, lalu dia akan bersedia menikahi Sinah?”

“Pak, jangan keras-keras menyebut namanya. Nanti dia dengar.”

“Ya sudah, aku mau istirahat. Dan ingat, aku tidak mengijinkan ibu pergi ke Jogya.”

***

Malam hari itu Adisoma tidak pergi ke mana-mana. Ia duduk di ruang tengah, sambil menatap istrinya yang asyik menggendong Aryo. Entah mengapa Aryo sangat rewel malam itu. Ia  bukannya kelaparan, tapi kelihatannya badannya memang terasa agak kurang enak.

“Kelihatannya dia sakit. Suruh Tangkil mengantarkan ke dokter.”

“Ini sudah malam. Besok pagi saja. Nanti saya suruh Arum memberi ASI saja. ASI itu adalah obat.”

“Ya sudah, terserah Diajeng saja.”

Tak lama setelah Arum dipanggil, dia sudah kembali memberi ASI kepada Aryo, yang kemudian tertidur pulas.

“Arum, tidurkan saja, supaya kamu bisa beristirahat,” kata Saraswati.

“Baik, Den Ayu.”

Arum membawa Aryo ke dalam kamar. Tapi begitu ditidurkan, Aryo kembali merengek, jadi Arum mengangkatnya kembali. Lalu ia duduk di kursi yang ada di kamar itu, untuk menyusukannya lagi.

Tapi tiba-tiba seseorang muncul di pintu. Arum urung melakukannya. Dipandangnya orang yang berdiri di pintu. Dia belum pernah bertemu den mas Adisoma. Kalaupun ia dipanggil Saraswati, dia hanya menundukkan wajahnya. Itu dilakukannya, karena semua abdi perempuan dilarang menatap bendoro kakung dengan terang-terangan.

Tapi kali itu Arum menatapnya, lalu berteriak.

“Kamu??”

***

Besok lagi ya.

 

 

24 comments:

  1. Replies
    1. Njih bunda Alhamdulillah pas buka blog pas tayang
      Moga sehat selalu doaku bunda
      Ttp ADUHAI ADUHAI ADUHAI

      Delete
  2. Alhamdulillah sdh tayang....
    Terima kasih Bu Tien, salam kagem Pak Tom, semoga recoverynya lancar, cepat sehat fan dapat beraktivitas lagi.
    Salam SEROJA dan tetap ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas Kakek

      Delete
  3. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Djodhi

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah "Cintaku Jauh di Pulau seberang 11" sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tien🙏
    Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲

    ReplyDelete
  5. Alhamdullilah..terimaksih cerbungnya bundaaa..slm sht sll dan tetap aduhai unk bunda sekeluarga..smg pak Yom cpt pulih kembali..aamiin yra 🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 11 "
    🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏

    ReplyDelete
  7. 🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁
    Alhamdulillah 🙏 💞
    Cerbung CJDPS_11
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam seroja🦋🌸
    🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 11 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun, Bu Tien, Semoga selalu sehat nggih

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah cerbung CJDPS 11 sudah tayang
    Semoga bunda Tien dan pak Tom Widayat sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk....

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang

    ReplyDelete
  14. Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 11..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Sehat wal Afiat juga kagem Pakdhe Tom.
    Aamiin

    Aryo rewel, coba di gendong sama ayah nya, pasti akan anteng.

    Arum tdk tahu bahwa ayah nya Aryo adalah Pepunden nya, nah loh pasti terjadi perang mulut..😁

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillaah Cintaku Jauh Di Pulau Seberang - 11 sdh hadir
    Teeima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
    Aamiin yaa Robbal' Aalaamiin🤲

    ReplyDelete
  16. hmmm ….
    Esok n lusa ada ontran” plus geger genjik di Keraton iki
    ( smoga spt itu )
    Sembah nuwun Bu Tien CJDPS 11 nya

    Sehat sll Bund ….🤝👍

    ReplyDelete
  17. Adisoma tak perlu makan keluar karena makan sudah ada di kamar...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  18. Assalamualaikum
    Sehat selalu bunda Tien, bisa mengikuti cerbung nya yg selalu tambah seru, suka sekali dgn ceritanya

    ReplyDelete
  19. Nah lho...sdh ketemu. Apa yg akan terjadi nantinya? Hmm...🤔

    Trmksh, ibu Tien. Semoga sehat selalu.🙏🏻

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 27

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  27 (Tien Kumalasari)   Saraswati terbelalak menatap bocah kecil yang merangkul leher Adisoma erat. Mata be...