ADA MAKNA 19
(Tien Kumalasari)
Emmi terkejut, ia mundur beberapa langkah, membiarkan dokter Dian masuk dan tersenyum ke arahnya, membuat Emmi lagi-lagi berdebar.
“Mau ke mana?” tanya sang dokter.
“Itu … bapak …”
“Kenapa bapaknya?”
“Itu … kenapa napasnya seperti … memburu, begitu … saya khawatir … “ jawab Emmi terbata.
Dokter Dian diikuti perawat pembantu mendekati tempat dokter Guntur berbaring. Dokter Dian memeriksanya. Ia merasa memang napasnya agak memburu.
Guntur membuka matanya, dan tersenyum tipis ke arah dokternya.
“Ada apa Dok?” tanya dokter Dian.
“Nggak apa-apa.”
“Pasti sedang memikirkan sesuatu.”
“Ah … tidak.”
“Tampaknya ada yang mengganjal, atau ada sesuatu yang menjadi pikiran.”
Perawat mengukur tensi Guntur.
“Tidak ada apa-apa.”
“Barangkali Bapak memikirkan Reihan yang kemarin dioperasi,” sambung Emmi.
“Operasi apa?” tanya dokter Dian karena memang dia tidak tahu.
“Lengan kirinya patah.”
“Oh, itu bukan operasi besar. Benarkah Dokter memikirkannya?”
“Tidak.”
“Kondisi kesehatan ditentukan juga oleh suasana hati. Dokter harus merasa tenang dan selalu senang. Sudah ditungguin putri cantiknya, apa lagi yang membuat Dokter merasa tidak nyaman?”
“Tidak ada. Jangan mengada-ada,” jawab Guntur pelan.
“Keadaan fisik Dokter, menunjukkan bahwa Dokter merasa tidak tenang, juga tidak senang. Masih ada masalah yang berat?”
“Reihan baik-baik saja. Bapak tidak usah memikirkannya,” kata Emmi yang tetap merasa bahwa ayahnya memikirkan kesehatan anak laki-lakinya.
“Sepertinya operasi sudah selesai, barangkali paling lambat besok pagi sudah boleh pulang kok,” sambung dokter Dian, yang kemudian berbicara pelan dengan perawat pembantunya, yang dijawabnya dengan anggukan.
Guntur tersenyum tipis. Tak seorangpun tahu apa yang dia pikirkan. Tak seorangpun tahu ada beban berat yang disandangnya. Ia selalu merasa tak punya arti. Anak-anak yang tumbuh dewasa dan sehat, anak-anak yang berpendidikan tinggi, bahkan anak yang membutuhkan biaya saat dia sakit, semua terselesaikan, tapi bukan karena dia. Apa artinya hidup ini bagi seorang laki-laki yang seharusnya dihormati dan disegani?
“Emmi, ayahmu akan baik-baik saja. Yang penting buat dia senang dan nyaman,” kata dokter Dian yang sebelum keluar dari ruangan, membisikkan sesuatu di telinga Guntur, yang kemudian membuat Guntur tersenyum.
Emmi tak tahu apa yang dokter Dian bisikkan, tapi senyuman ayahnya membuatnya merasa lega.
Dokter Dian berlalu, meninggalkan debar yang tidak dimengerti oleh Emmi.
Tak lama kemudian seorang perawat masuk, menyuntikkan sesuatu ke dalam flacon infus. Ia berlalu setelah merapikan selimut Guntur.
“Tidur ya Pak, Bapak harus banyak istirahat,” pesan perawat itu sambil berlalu.
“Bapak harus senang. Kemarin Emmi sudah melunasi semua biaya rumah sakit Reihan. Bapak Ardi yang menyuruhnya."
Guntur terperangah. Ini lebih menyakitkan bukan? Tapi dia tak menjawab sepatah katapun. Perkataan Emmi yang maksudnya membuat sang ayah merasa lega, justru membuatnya semakin sakit. Mana Emmi tahu?
***
Hari itu Reihan sudah boleh pulang. Ia hanya diantar sang ibu untuk menemui Guntur di ruang inapnya. Petugas yang melihat, melarang Wanda untuk masuk, tentu saja membuat Wanda marah bukan alang kepalang.
“Bagaimana Anda ini Sus, ini anaknya dokter Guntur, bagaimana Anda melarang anaknya ketemu orang tuanya?”
“Maaf Bu, dokter Guntur tidak boleh diganggu karena kesehatannya.”
“Tapi ini anaknya, dan aku adalah ibunya.”
“Ibu harap maklum, dokter Guntur sedang dalam situasi harus benar-benar tenang. Dokter tidak mengijinkan sembarang orang menemuinya.”
“Maksud Suster apa? Aku ini orang sembarangan, begitu?” Wanda mulai naik pitam.
“Maaf Bu, saya hanya menjalankan tugas.”
“Bu, biar Reihan saja yang ketemu bapak. Ibu tunggu di luar, ya,” akhirnya kata Reihan yang melihat ibunya semakin marah.
“Ya sudah, sana,” katanya sengit, sambil menjauh dari tempat itu.
Tiba-tiba terpikir lagi olehnya, untuk menelpon Tia sambil menunggu Reihan keluar dari menemui ayahnya.
Ia duduk di sebuah bangku dan mencoba menelpon. Tak ada jawaban. Ia mencoba menelpon dan menelpon lagi, tak diangkat juga.
“Kenapa anak ini? Tidak tahu ya, kalau ibu mertuanya ingin bicara? Sebell! Sebell!”
Sekali lagi dia memutar nomor Tia, dan tetap tak diangkat, Wanda baru sadar bahwa ini adalah jam kerja. Pasti Tia sedang sibuk.
“Ah, salah aku ini, merasa bahwa semua orang bisa bersantai seperti aku. Baiklah, aku akan langsung ke rumahnya saja, sekalian bicara dengan pak … mmm … siapa itu namanya? Surya … ah ya, Suryawan. Kalau aku langsung menemui orang tuanya, pasti segalanya akan beres. Wahyu sudah lulus, tinggal menunggu wisuda, sambil mencari pekerjaan. Masa iya, anakku yang ganteng dan pintar akan ditolak calon mertua?” gumamnya tanpa sadar bahwa beberapa orang lewat merasa heran karena melihat Wanda seperti bicara sendiri. Cantik-cantik agak sinting?
***
Ternyata Reihan tak bisa langsung berbincang dengan sang ayah, karena setelah perawat menyuntikkan obat, Guntur kemudian menjadi sangat mengantuk.
“Bapak sedang tidur, apa kamu tergesa-gesa ingin pulang?”
“Ibu menunggu aku. Tapi tidak apa-apa, aku menunggu bapak bangun saja.”
“Baiklah, sini … duduk di sofa dekat mbak saja, supaya tidak mengganggu.”
Reihan melangkah mendekat, duduk di depan Emmi.
“Reihan harus mengucapkan terima kasih, karena Mbak telah membayar semua biaya operasi Reihan, sehingga ibu tidak mengeluarkan biaya sepeserpun.”
Emmi tersenyum. Ia senang laki-laki muda yang disebut sebagai adiknya ini memiliki tata krama yang sangat bagus. Halus tutur katanya, santun perilakunya. Ia bersyukur sifat kasar dari ibunya tidak menurun kepadanya.
“Rei, itu bukan mbak yang membayar, tapi bapak.”
“Kata mas Wahyu, Mbak yang membayar.”
“Iya, mas Wahyu tahunya mbak, karena memang yang mengurus semuanya itu adalah Mbak. Mbak belum bekerja, dari mana mbak punya uang sebanyak itu?”
Reihan tersenyum.
“Benar juga,” katanya.
Emmi tertawa melihat Reihan tersenyum lucu. Memang bukan ayah Guntur yang membayarnya, tapi bapak Ardi, hanya saja Emmi merasa tidak perlu mengatakannya, agar Reihan tidak usah bertanya lebih jauh tentang keluarganya. Bapak Ardi pasti juga rela seandainya apa yang dilakukannya dikatakan Emmi sebagai pemberian ayah Guntur. Ia yakin, karena bapak Ardi adalah orang yang baik.
“Tanganmu masih terasa sakit?”
“Tidak begitu sakit. Bahkan besok Rei sudah ingin masuk sekolah kembali.”
“Anak baik. Tapi harus hati-hati ya, jangan sampai kembali cedera. Tulang kamu belum tersambung dengan baik.”
“Karena Rei masih muda, kata dokter tulang Rei akan lebih cepat tumbuh.”
“Itu benar, tapi tetap saja kamu harus berhati-hati. Kamu kalau sekolah naik apa?”
“Terkadang naik sepeda, terkadang naik taksi.”
“Tangan kamu sakit, pasti tidak bisa naik sepeda.”
“Naik taksi lebih mahal. Supaya irit, naik ojol saja. Kamu setuju?”
“Ya, hanya saja kalau pesen ojol biasanya lama. Tapi mas Wahyu sering mengantarkan Rei kalau tidak sedang ke kampus pagi. Siangnya juga sering jemput.”
“Kalau begitu kamu harus berangkat sekolah di jam yang lebih lama sebelum jam sekolah, supaya kalau ojolnya lama, kamu tetap belum terlambat.”
Reihan mengangguk.
“Mbak punya uang sedikit, nih, ambil, untuk naik ojol,” kata Emmi sambil memberikan sejumlah uang.
“Tidak usah Mbak, sudah banyak yang Mbak lakukan untuk Rei.”
“Jangan menolak. Ini uang Mbak sendiri kok. Tidak seberapa. Ayo, terimalah.”
Emmi memaksa memasukkan uangnya ke dalam saku baju adiknya, sehingga dengan terpaksa Reihan menerimanya.
“Terima kasih ya Mbak,” kata Reihan tersipu.
“Jadilah anak pintar, supaya bapak senang.”
“Tapi bapak tidak mau mengatakan di mana dia tinggal.”
“Nanti mbak tanyakan. Kamu punya ponsel?”
“Ada, ponsel lama. Hanya untuk berkomunikasi saja.”
“Tidak apa-apa, biar Mbak catatkan nomor mbak, supaya kalau kamu butuh sesuatu bisa mengabari Mbak.”
“Baiklah.”
Reihan pergi tanpa menunggu ayahnya bangun, karena sang ayah tampak pulas dalam tidurnya. Emmi ingin membangunkannya, tapi Reihan melarangnya.
“Jangan Mbak, kasihan bapak. Besok saja sepulang sekolah Reihan mampir kemari lagi.”
“Baiklah kalau begitu. Hati-hati, dan ingat semua pesan Mbak.”
Reihan mengangguk, kemudian pergi setelah mencium tangan kakaknya.
***
Reihan mencari ibunya, tapi bayangannya tak lagi nampak. Lalu dia mencoba menelpon Wahyu, tapi tiba-tiba Wahyu muncul di belakangnya.
“Ternyata kamu belum pulang?”
“Mas Wahyu dari mana?”
“Dari kampus, ada urusan sebentar. Aku cari di ruang kamu, tapi kata perawat kamu sudah pulang. Kamarmu sudah bersih.”
“Aku pamit pada bapak, tapi bapak tidur. Aku menunggu lama, belum juga bangun. Kasihan kalau harus membangunkan. Jadi aku tinggal saja. Besok pulang sekolah aku mau kemari lagi.”
“Ya sudah, ayo pulang.”
“Tadi ibu menunggu di sini.”
“Ibu sudah pulang, aku melihatnya naik taksi tadi.”
“Pasti karena kelamaan menunggu Rei mengobrol sama mbak Emmi.”
“Ayo aku antar pulang.”
“Hampir saja aku memanggil ojol.”
“Banyak uang kamu ya.”
“Mbak Emmi memberi aku uang,” katanya sambil menepuk-nepuk saku bajunya.
“Bagus, bisa traktir mas Wahyu dong,” canda Wahyu.
“Boleh, mau makan apa?”
“Beneran nih?”
“Iya, bener.”
“Nggak usah ah, ayo kita mampir makan, tapi mas Wahyu saja yang traktir.”
“Senang punya kakak nggak tegaan. Cocok sebenarnya sama mbak Emmi.”
“Apa?”
Reihan terkekeh, kemudian mendahului sang kakak menuju parkiran. Tapi Wahyu senang mendengarnya. Mudah-mudahan benar, kata batinnya.
***
Guntur terbangun ketika hari mulai sore, dan perawat yang bertugas mulai membersihkan badannya. Emmi pamit keluar untuk membeli cemilan. Tapi sebelum keluar dia mengatakan bahwa tadi Reihan menunggu untuk berpamit.
“Dia sudah pulang?”
“Sudah, Emmi mau membangunkan Bapak, tapi dia tidak mau. Kasihan Bapak, katanya. Hanya saja besok sepulang sekolah dia mau mampir lagi kemari.”
“Dia sudah sekolah?”
“Ya, dia sangat bersemangat.”
“Syukurlah.”
“Emmi keluar dulu ya Pak.”
“Hati-hati,” katanya singkat lalu membiarkan mas perawat membersihkan tubuhnya.
***
Emmi sedang berjalan-jalan, untuk mencari cemilan. Ia sedang berpikir, apa yang sebenarnya ayahnya sukai. Emmi heran, setiap kali ditawarkan, sang ayah selalu mengatakan tak ingin apa-apa. Emmi sampai memaksa, tapi Guntur bergeming. Sekarang Emmi sedang berdiri di sebuah toko roti. Barangkali puding lebih cocok untuk sang ayah.
Tapi sebelum memasukinya, seseorang menyapanya.
“Emmi, mau beli apa?”
“Eh, Dokter.”
“Mau beli apa?”
“Belum tahu, baru melihat-lihat. Sama mau beli puding buat bapak, barangkali mau,” agak sungkan Emmi sebenarnya.
“Bagus sekali, tapi hati-hati, jangan terlalu banyak susu.”
“Tidak bolehkah?”
“Boleh, jangan banyak-banyak. Lebih baik jus buah atau apa. Mari aku pilihkan.”
Emmi dengan sungkan mengikuti dokter Dian yang tiba-tiba ditemuinya.
Akhirnya mereka membeli cemilan, dan dokter Dian memilihkan yang bagus untuk pasiennya.
“Bosan ya, di kamar terus? Memang sebaiknya sesekali jalan-jalan, menghirup udara segar,” kata dokter Dian sambil menemani Emmi berjalan.
“Benar juga. Tapi saya tidak tega meninggalkan Bapak.”
“Bapak tidak apa-apa, buat dia senang.”
“Menurut dokter, bagaimana perkembangan penyakit bapak?”
“Baik, tidak apa-apa.”
“Kapan boleh pulang?”
“Tunggu sebentar lagi. Kalau semuanya normal, pasti boleh pulang. Apa kamu sudah capek merawat ayah kamu? Terlalu lama meninggalkan kuliah kamu?”
“Bukan masalah itu, hanya saja sebenarnya ada yang saya inginkan dari bapak saya.”
“Apa itu? Bolehkah aku tahu? Barangkali aku bisa ikut mengupas permasalahan yang mungkin memberatkan perasaan dokter Guntur, dan itu berpengaruh pada kesehatannya.
Emmi agak ragu untuk mengatakannya. Dia baru saja mengenal dokter Dian, dan merasa sungkan berterus terang.
“Ini ada hubungannya dengan sakitnya dokter Guntur. Kalau kamu tidak keberatan. Tapi aku tidak memaksa.”
Emmi hampir membuka mulutnya, ketika di depannya ada sebuah batu yang membuatnya hampir tergelincir.
Emmi nyaris terjatuh, tapi sebuah tangan kokoh menahannya. Dokter Dian menatap dengan marah, karena laki-laki di depannya menahan tubuh Emmi berlama-lama.
***
Besok lagi ya.
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya, selamat menunaikan ibadah Ramadhan , semoga Allah Subhaanahu wata'ala menerima ibadah2 kita & mengampuni dosa2 kita , Aamiin Ya Rabbal 'aalamiin🙏🤗🥰💖
ReplyDeleteAlhamdulillah.... sudah tayang, maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteMantap
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
🐚🪸🐚🪸🐚🪸🐚🪸
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung ADA MAKNA 19
sudah tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 🦋💐
🐚🪸🐚🪸🐚🪸🐚🪸
Alhamdulillah "Ada Makna 19" sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien🙏
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Alhamdulillah.... AaeM_19 sudah hadir pada waktunya. Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu dan selalu sehat.
ReplyDeleteWalau seharian penuh kesibukkan, akhirnya beres juga ngetiknya.
Semoga Emmi jadian sama dr. Dian , Sp.Pd
Wahyu dengan siapa ya?
Tia nggak mau.... kelihatannya 💔💔.
Ciyee...cocoklah Emmi sama dr.Dian ya...jadiin saja, supaya ga diganggu Wahyu...biar jodohin ama Tia, atau jangan2 nanti Wanda dekatin Suryawan juga ya? Hmm...🤔🤭
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga bahagia selalu.🙏🏻🙏🏻🙏🏻😘😘
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 19 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),19 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteEmmi sedang jalan berdua dengan dr. Dian, bertemu orang ketiga. Apakah dia Wahyu ya.. mudah mudahan tidak terjadi bentrok saja.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 19* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam hangat semoga sehat dan bahagia selalu💖
ReplyDeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 19" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, selamat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan . aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Alhamdulillah ADA MAKNA~19 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dr Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteHatur nuhun bundaqu AM 19 nya..slmt mlm slmt istrhat..salam seroja dan tetap aduhai unk bunda sekeluarga 🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteSelalu diakhiri dengan kejutan...
ReplyDeleteApakah Wahyu datang lagi?
Terimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MER a
Delete