Wednesday, March 26, 2025

ADA MAKNA 20

 ADA MAKNA  20

(Tien Kumalasari)

 

Dokter Dian kehilangan kendali.  Dia menarik lengan Wahyu, sehingga ia melepaskan pegangannya.

“Hei, apa yang kamu lakukan?” pekik Wahyu marah.

“Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kamu lakukan.”

“Aku membantunya agar tidak terjatuh, dan kamu yang ada di sampingnya hanya diam tak melakukan apa-apa?”

“Apa katamu? Dia tiba-tiba terjatuh, aku tidak mengetahuinya, lalu menganggapnya sebuah kesempatan.”

“Sudah, sudah … maaf saya merepotkan, Dokter,” kata Emmi.

“Dokter?”

“Dia dokter yang menangani ayahku. Mengapa kamu membentaknya?”

“Maaf, tapi aku hanya menolongmu.”

“Baiklah, terima kasih. Sekarang aku akan kembali ke rumah sakit. Pasti ayahku sudah menunggu.”

Tapi baru beberapa langkah, Emmi kembali akan terjatuh. Kali ini dokter Dian menangkapnya.

“Kenapa?”

“Rupanya kaki saya terkilir, sakit untuk berjalan.”

“Kalau begitu jangan berjalan kaki, aku antarkan dengan mobil. Mobilku di situ, sudah dekat.”

Emmi memang hanya berjalan kaki dari rumah sakit, sedianya ia ingin kembali dengan berjalan kaki pula, karena jaraknya tidak begitu jauh. Tapi ia merasa kakinya sakit sekali untuk berjalan. Karenanya ia menurut saja ketika dokter Dian memapahnya ke mobil.

“Mengapa Dokter tadi marah-marah?”

“Kesal saja dia memegangi kamu berlama-lama. Tidak sopan.”

Emmi tersenyum. Ia merasa kemarahan dokter Dian tak beralasan.

Wahyu menatapnya tak berkedip. Apakah dia akan bersaing dengan dokter muda yang sedang menangani penyakit ayahnya?

“Dia kelihatan begitu perhatian pada Emmi. Ia sangat marah ketika melihatku menangkap tubuh Emmi ketika mau terjatuh. Apakah Emmi juga menyukainya? Kalau benar dia dokter yang menangani penyakit bapak Guntur, pasti belum lama mereka berkenalan. Atau sudah kenal sejak awal?” kata batin Wahyu sambil kembali ke mobilnya. Dia mau membeli makanan juga waktu melihat Emmi berjalan dengan seorang laki-laki yang asing baginya. Tentu saja tadinya Wahyu tidak tahu bahwa dia adalah dokter. Ia mengejarnya dan begitu dekat dia melihat Emmi nyaris terjatuh.

“Aku belum sempat menelpon Emmi, tapi nanti aku akan berbicara serius tentang perasaanku. Dia harus tahu bahwa aku tidak berpihak pada ibu yang telah menjelek-jelekkan nama keluarganya.”

Wahyu menstarter mobilnya, urung membeli makanan karena hatinya sedang kacau.

***

Dokter Dian memapah Emmi, dibawanya masuk ke ruang rawat inap Guntur, membuat Guntur sangat terkejut.

“Apa yang terjadi?” tanyanya.

Emmi didudukkannya di sofa. Dokter Dian keluar sebentar, sambil berpesan.

“Tunggu sebentar.”

“Ada apa?” Guntur mengulang pertanyaannya sambil berusaha duduk.

“Tidak apa-apa Pak, hanya tersandung batu.”

“Kamu sampai tidak bisa jalan?”

“Pergelangan kaki kanan Emmi sepertinya terkilir.”

“Sakit? Bapak punya obat gosok.”

“Nanti Emmi ambil, bapak tidak usah turun,” kata Emmi sambil mencopot sepatunya.

"Kalau jalan-jalan harusnya tidak memakai sepatu dengan hak tinggi.”

“Sebenarnya tidak terlalu tinggi. Dan Emmi tidak membawa sepatu atau sandal yang lain,” kata Emmi sambil memijit-mijit kakinya.

Guntur merasa iba, melihat Emmi meringis kesakitan.

Tak lama kemudian dokter Dian masuk kembali dengan membawa obat gosok. Ia duduk di lantai di depan Emmi duduk sambil membuka obat gosok itu.

“Biar saya sendiri saja Dok,” kata Emmi sambil menyingkirkan kakinya.

“Mana bisa kamu melakukannya. Walau bisa, pasti tidak pas dengan urat yang terkilir. Biar aku saja.”

“Tapi Dok,” Emmi tentu saja merasa sungkan sekali. Masa dia membiarkan kakinya dipegang-pegang oleh laki-laki asing?

“Jangan sungkan dan berpikiran yang macam-macam, aku ini dokter, dan niatnya adalah mengobati orang sakit,” katanya sambil menarik kaki Emmi.

“Agak bengkak,” katanya sambil mulai mengurut bagian yang bengkak itu perlahan.

Emmi menahan rasa sakit sambil meringis-ringis.

“Ini hanya pelan, tidak akan lama.”

Tak lama kemudian dokter Dian melepaskan kaki Emmi.

“Berkurang sakitnya?”

“Ya, agak berkurang. Terima kasih Dok.”

Dokter Dian bangkit, lalu menyerahkan botol obat gosok itu kepada Emmi.

“Gosok nanti kalau terasa sakit lagi, biar hangat. Nanti pasti akan sembuh. Lain kali pakai sandal tanpa hak, itu lebih aman.”

Emmi mengangguk.

Guntur tampak lega, ketika dokter Dian mendekatinya, setelah mencuci tangan di wastafel.

“Terima kasih Dok.”

“Sama-sama, Dokter.”

“Bagaimana kejadiannya? Memang Emmi sedang jalan-jalan sama dokter Dian?”

“Sebenarnya tidak. Kami bertemu di sebuah toko kue. Lalu saya mengikuti Emmi jalan. Tiba-tiba Emmi tersandung batu.”

“Jatuh?”

“Hampir jatuh, kebetulan ada orang yang kemudian memeganginya. Tapi pergelangan kaki Emmi terkilir. Tidak parah, hanya sedikit bengkak.”

“Syukurlah.”

“Tapi saya harus segera pulang Dokter, nanti Dokter tidak bisa istirahat kalau ada temannya ngobrol.”

“Tidak apa-apa kok.”

“Sudah nggak sesak napas kan? Saya lihat wajah Dokter sudah lebih cerah.”

“Ya, saya baik-baik saja.”

“Sebaiknya Dokter berbaring saja dulu, jangan terlalu banyak bergerak.”

“Tadi hanya terkejut ketika melihat Emmi dipapah-papah,” kata Guntur sambil kembali berbaring.

Ketika dokter Dian berlalu, Emmi membawa bungkusan kue yang tadi dibelinya, ke dekat sang ayah, dengan kaki masih terpincang-pincang.

“Jangan memaksakan diri, kalau masih sakit,” kata sang ayah.

“Tidak. Sudah banyak berkurang sakitnya. Ini tadi Emmi beli puding, untung tadi dokter Dian yang membawanya, jadi tidak berantakan saat Emmi terjatuh.”

“Kenapa repot-repot beli sesuatu untuk bapak?”

“Bapak harus mencobanya. Puding ini dokter Dian yang memilihnya. Emmi suapin ya?”

“Biar bapak makan sendiri saja. Aneh kalau sedikit-sedikit disuapin, seperti orang sakit beneran saja.”

“Bapak kok gitu, memang Bapak lagi sakit kan?”

“Tidak. Bapak hanya merasa lelah dan lemah.”

“Itu karena Bapak sakit.”

“Emmi, ada yang ingin bapak katakan sama kamu.”

Emmi membuka tutup puding, lalu menyerahkannya pada sang ayah, sambil menunggu apa yang akan diucapkan ayahnya.

“Kemarin dokter Dian bilang pada bapak.”

“Bahwa Bapak sudah lebih baik kesehatannya?”

“Bukan itu. Dia bilang, dia suka sama kamu.”

Emmi terbelalak.

“Apa?”

“Dia minta ijin pada bapak untuk pada suatu saat nanti, kalau kamu sudah siap, dia akan melamar kamu.”

Wajah Emmi bersemu merah, dan dadanya berdegup kencang.

“Itu benar, dia serius.”

“Kami belum pernah bertemu sebelumnya,” katanya tersipu.

“Dia jatuh cinta pada pandangan pertama,” kata Guntur sambil menyendok pudingnya.

“Mengapa kamu diam? Kamu sudah punya pacar?” lanjut sang ayah.

“Apa?” Emmi terkejut mendengar pertanyaan sang ayah tentang pacar.

“Sudah punya?” ulang sang ayah.

“Belum. Emmi belum memikirkannya.”

“Kamu sudah dewasa. Biarpun masih kuliah tidak apa-apa menyukai seseorang.”

“Belum, kata ibu, harus menyelesaikan kuliah dulu.”

 “Benar, tapi seandainya sudah ada rasa tertarik kepada lawan jenis, itu manusiawi.”

Emmi menerima cup puding yang diserahkan ayahnya. Senang melihat sang ayah menghabiskan pudingnya.

“Bapak hanya menyampaikan apa yang dikatakan dokter Dian pada bapak,” kata Guntur lagi.

“Dia itu baik. Sudah berhasil menjadi dokter spesialis, tapi belum menemukan gadis yang cocok, katanya.”

“Bapak menyukainya?”

“Kamu menyukainya?” sang ayah balas bertanya.

“Entahlah.”

“Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Besok ketika pada suatu ketika dia benar-benar melamar kamu, kamu tidak usah bertanya lagi pada bapak. Pokoknya bapak merestuinya.”

Emmi tersenyum. Apa dia suka? Entahlah, dokter Dian tidak mengecewakan. Dia tampan, dia baik, dia penuh perhatian, dan yang penting dia juga sudah mapan.

“Bapak tidak pernah melakukan apapun untuk kamu, bapak hanya memilihkan suami yang baik untuk kamu, menurut pendapat bapak. Semoga kamu tidak menolaknya.”

Emmi tidak mengangguk, tapi dia juga tidak menggeleng. Ia tahu ada sebuah penekanan dari apa yang dikatakan ayahnya, bahwa sang ayah meminta, pilihlah dokter Dian.

Barangkali tak begitu sulit menerima laki-laki seperti dokter Dian. Tapi Emmi belum bisa memastikan, apakah dia juga menyukainya ataukah tidak.

Yang jelas hatinya selalu berdebar apabila mengingatnya, terlebih senyumnya yang selalu manis dan terkesan sangat ramah.

***

Malam itu Wahyu berusaha untuk menghubungi Emmi. Nomor kontak yang diminta dari petugas rumah sakit, berbeda dengan nomor kontak yang sudah lama dicatatnya, tapi yang kemudian Emmi memblokir nomornya. Wahyu tidak pernah berhasil menghubunginya lagi walau dengan nomor yang lain.

Ketika dia menelpon di nomor yang di dapatnya dari petugas rumah sakit, lama sekali Emmi tidak menjawabnya, tapi kemudian dia menerimanya juga. Sebenarnya dia mengira panggilan itu dari dokter Dian. Tapi dokter Dian belum pernah meminta nomor kontaknya.

“Assalamu’alaikum,” ketika salam itu diucapkan untuk menyambutnya, suara yang menjawab dari seberang sangat dikenalnya. Ia ingin langsung menutupnya, tapi diurungkannya.

“Ada apa?” tanya Emmi akhirnya.

“Emmi, aku tidak bisa menghubungi kamu, aku senang akhirnya bisa.”

“Ada apa?” Emmi mengulangi pertanyaannya.

“Tidak apa-apa. Apakah tertutup bagiku untuk menghubungi kamu?”

“Apakah ada sesuatu yang penting?”

“Mendengar suara kamu menjawab telpon aku, itu adalah sesuatu yang sangat berharga.”

“Maksudku, kamu menelpon, apakah ada hal penting yang akan kamu sampaikan?”

“Hanya minta agar kamu jangan membenciku, jangan menutup panggilan aku seandainya aku menelpon kamu.”

“Terkadang aku sangat sibuk, jadi sering tidak merespon beberapa panggilan yang sekiranya tidak penting.”

Wahyu menghela napas panjang, sakit rasanya mendengar suara Emmi yang tak ada manis-manisnya.

“Apakah kamu … pacaran dengan … dokter itu?” tiba-tiba Wahyu memberanikan diri bertanya, karena sejak menolong Emmi saat mau jatuh di sore harinya, ia selalu memikirkannya.

“Aku kan sudah bilang kalau dia dokter yang menangani sakitnya ayahku?”

“Tidak pacaran kan?”

“Tidak ada hubungannya denganmu kan?”

“Kamu tahu, aku masih sangat berharap agar aku masih bisa melanjutkan hubungan denganmu.”

“Lupakan saja, aku belum memikirkannya. Dan  sekarang ini aku sedang melayani bapak nih, maaf ya.”

Emmi langsung menutup ponselnya.

Wahyu terpaku ditempatnya, sambil masih memegangi ponsel yang tak lagi merespon panggilannya.

***

Reihan mau berangkat sekolah pagi itu, dan Wahyu sudah menunggu di depan rumah untuk mengantarnya. Reihan akan pamit kepada ibunya, lalu dengan heran ia melihat sang ibu sudah berdandan.

“Pagi-pagi mau arisan?” canda Reihan.

“Tidak, ibu mau ke luar kota. Jadi nanti kalau kamu pulang sekolah, mau makan, ya langsung makan saja, tidak usah menunggu ibu. Jangan lupa obatnya diminum,” pesan sang ibu.

“Ke luar kota itu ke mana?”

“Ada pokoknya. Ini sesuatu yang penting. Uang saku masih ada?”

“Masih ada, uang pemberian mbak Emmi juga masih utuh,” kata Reihan berterus terang, dan itu membuat Wanda mencibir.

“Sudah semestinya, dia kan tahu kamu itu juga anak ayahnya. Pasti apa yang dilakukannya juga atas perintah ayahmu,” kata Wanda sambil mulutnya mengerucut seperti kukusan nasi.

“Bukan. Ketika memberikan uang ini, bapak masih tertidur.  Oh ya, kemarin Rei janji mau menengok lagi sepulang sekolah, tapi belum jadi, karena kemarin ada tambahan pelajaran, Reihan lelah.”

“Ya sudah, itu sudah ditunggu kakakmu.”

“Reihan berangkat ya.” Reihan mencium tangan ibunya, kemudian berlalu.

Wanda kembali bersiap-siap. Ia sudah memesan taksi sejak tadi.

***

Rumah sudah sepi, ketika anak-anak sudah berangkat. Ada yang bekerja, ada yang kuliah dan ada yang sekolah.

Suryawan duduk di teras depan sambil membaca koran terbaru pagi itu.

Bibik meletakkan segelas jus jambu di meja teras.

“Jus pesanan non Tia untuk Tuan,” kata bibik.

“Terima kasih, Bik,” kata Suryawan sambil meraih gelas jus dan menghirupnya perlahan.

Tapi begitu dia meletakkan kembali gelasnya, sebuah mobil berhenti di depan pagar. Suryawan membetulkan letak kacamatanya, agar bisa melihat dengan jelas.

Lalu ia tertegun ketika melihat seorang wanita datang sambil membawa keresek besar yang entah apa isinya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

51 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah pas adzan maghrib tayang. Matur nuwun Bu Tien....

      Selamat berbuka puasa buat sahabat²ku yang sedang shaum ramadhan.

      Delete
    2. Matur nueun mas Kakek. Jeng Ning

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang

    ReplyDelete
  3. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  4. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 20" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, selamat berbuka puasa dan selamat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan . aamiin yra 🤲🤲
    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri Maryani
      Aduhai 2x

      Delete
  5. 🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒
    Alhamdulillah 🙏 💞
    Cerbung ADA MAKNA_20
    sudah tayang
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam seroja🌹🦋
    🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 20 "
    🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  7. Terima ksih bundaqu AM 20 nya..slmt mlm dan salam sehat sll unk bunda sekel🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete

  8. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *ADA
    MAKNA 20* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  9. Mks bun AM 20 sdh rayang.....selamat berbuka puasa bun...smg sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete
  10. Alhamdulullah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah ..... terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  13. Wanda cari akal untuk mendapatkan Tia dengan mendekati Suryawan. Tapi justru Suryawan yang memperingatkan Tia karena kelakuan Wanda. Apalagi kalau Wanda masih jadi guru kok ya keluyuran pada jam kerja.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  14. Waah...Wahyu gigih juga mengejar Emmi ya...untungnya dr.Dian sudah 'melamar' via bapak Guntur. Semoga berjodoh...😀

    Terima kasih, ibu Tien. Semoga lancar ibadah puasanya sampai akhir. Selamat menyambut hari Lebaran.🙏🏻

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah ADA MAKNA~20 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
    Semoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  16. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah " Ada Makna-20 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin yaa Robbal' Aalaamiin🤲

    ReplyDelete
  18. Wanda tak tau malu...
    Terimaksih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah bisa mengikuti lagi. Setelah lama absen. Terima kasih bu Tien semoga sehat selalu. Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri Sudarwati

      Delete
  20. Alhamdulillaah AM 20nya
    Emmi blm mau ya dg dr Dian .
    Waduh racun dtg untuk meracuni p Suryawan,. 😁

    Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖

    ReplyDelete

  21. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *ADA
    MAKNA 21* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  22. Yes....

    Matur nuwun mbak Tien
    Salam sehat dari Purwodadi Grobogan.

    ReplyDelete

ADA MAKNA 43

  ADA MAKNA  43 (Tien Kumalasari)   Reihan kebingungan. Ia berjalan ke arah samping, tapi semua pintu tertutup. Tak ada orang di tempat itu....