ADA MAKNA 08
(Tien Kumalasari)
Di dalam mobil, hujan mulai turun. Ardi tidak berani menjalankan terlalu kencang. Ia sebentar-sebentar menoleh kepada wanita di sampingnya, yang keningnya benjol dan ada luka serta masih mengeluarkan darah. Lengan baju ibu itu sudah terkena darah, karena sesekali dipergunakan untuk mengusap darahnya. Ardi meraih tissue yang ada di depannya, kemudian diberikan kepadanya.
“Sakit ya Bu? Tekan dengan tissue ini, jangan pakai baju Ibu,” katanya sambil mengulurkan beberapa lembar tissue.
“Nggak begitu sakit. Orang seperti saya ini, sakit sedikit juga bukan masalah besar.”
“Perih?”
“Sedikit. Kita hampir sampai ke rumah dokter itu.”
“Nama Ibu siapa?”
“Saya Simah.”
“Ibu dari mana, sore-sore begini? Hampir gelap pula. Malah sudah gelap karena mendung.”
“Dari mengantarkan pesanan pepaya ke rumah seorang juragan.”
“Ibu jualan pepaya?”
“Macam-macam Nak, mana yang berbuah, mana yang masak.”
“Ibu punya kebun buah-buahan?”
“Hanya sedikit Nak. Ada mangga, ada pisang, ada pepaya, sawo juga ada.”
“Besar dong kebun Ibu.”
“Nggak begitu besar. Tapi hasil panen itu selalu saja ada. Hari ini pepaya masak, nanti beberapa hari lagi pisang masak. Lumayan bisa untuk makan sehari-hari.”
“Ibu sendirian?”
“Iya, anak saya dua, sudah menikah, bekerja di kota. Nggak apa-apa sendiri.”
“Nggak takut? Hantu misalnya,” canda Ardi.
“Takut hantu? Tidak, malah hantu-hantu itu takut sama saya.”
Ardi tertawa keras. Ibu setengah tua ini lucu juga.
“Memangnya kenapa, hantu bisa takut sama Ibu? Ibu punya mantera untuk mengusir hantu?”
“Bukan mantera, ya doa saja, kan ada doa untuk mengusir mahluk halus. Tapi mereka itu bukan takut pada mantera saya. Tapi wajah saya.”
“Kok bisa?”
“Ya takut lah Nak, saya ini kan sudah tua, rambut putih, kulit keriput, nggak ada cantik-cantiknya. Barangkali juga lebih buruk dari hantu-hantu itu. Makanya mereka takut.”
Ardi semakin terkekeh. Benarkah si ibu tua ini lebih buruk dari hantu? Memangnya seperti apa wajah hantu-hantu itu? Baru mendengarnya saja bisa merinding bulu kuduknya.
“Ibu lucu juga.”
“Anak ini dari kota mana? Sepertinya bukan orang sini. Saya minta maaf lho Nak.”
“Dari Solo, sedang ada urusan. Jadi nyasar kemari gara-gara ketemu Ibu dan nyaris menabrak Ibu.”
“Saya yang salah, mau menyeberang tidak melihat jalan. Untunglah mobilnya tidak sampai menabrak saya. Cuma saja karena terkejut, saya tidak melihat ada batu-batu yang membuat saya tersandung, lalu terjatuh.”
“Saya minta maaf ya Bu.”
“Kok minta maaf, saya yang harus minta maaf, saya membuat perjalanan Nak ini terganggu.”
“Tidak usah minta maaf Bu, nanti maaf saya habis,” kata Ardi yang kemudian teringat sang istri. Dulu sering dia meminta maaf, lalu Kinanti mengatakan maafnya akan habis kalau terus-terusan diminta.
Ganti si ibu yang terkekeh.
“Maaf mana bisa habis Nak, ketika kita bisa menerima dengan ikhlas tentang apa yang menimpa diri kita, maka walau sering memberi maaf, maaf tidak akan bisa habis selama hidup. Karena memberi maaf itu suatu perbuatan yang mulia. Orang yang tidak bisa memaafkan adalah orang miskin. Bukan miskin harta seperti saya ini, tapi miskin jiwanya.”
Ardi menoleh ke arah wanita di sampingnya. Bukan main. Wanita sederhana yang memiliki pandangan sangat luas, padahal dia hanya bercanda.
“Ibu sangat luar biasa. Bagus sekali, saya akan selalu mengingatnya. Baiklah, kita saling memaafkan ya Bu.”
“Itu lebih bagus. Tapi … eit, tunggu Nak, sepertinya kita kebablasan.”
“Apa?” Ardi mengerem mobilnya tiba-tiba sehingga sang ibu tua hampir terantuk dashboard.
“Eh, maaf Bu … sakit?”
“Nggak, untung saya tahan dengan tangan saya.”
“Maaf ya Bu.”
“Nggak apa-apa, maaf saya masih banyak.”
Tiba-tiba Ardi merasa menemukan seseorang yang ternyata suka bercanda. Dulu ia suka sekali bercanda, terutama ketika mengganggu Kinanti sebelum menjadi istrinya. Senang sekali bisa membuat gadis pujaannya marah-marah. Habis kalau marah wajahnya semakin cantik.
“Tapi kan yang salah saya Nak, saking ngoceh terus kita jadi kebablasan. Harusnya di perempatan tadi kita belok kanan.”
“Kalau begitu kita mutar dulu ya Bu.”
“Iya, maaf, saya lupa mengingatkan. Saya baru sadar setelah melewati jembatan besar tadi, kok kita masih terus berjalan, harusnya belok setelah jembatan.”
“Tidak apa-apa, maaf saya masih banyak kok Bu.”
Lalu keduanya terkekeh, merasa saling membuat lelucon disaat yang sebenarnya kurang menyenangkan. Si ibu luka di keningnya, si Ardi terlambat perjalanannya gara-gara harus menolong bu Simah.
“Jadi balik lagi, lalu beloknya di mana?”
“Agak ke sana, perempatan di depan itu, sebelum jembatan besar.”
Ardi melaju ke arah yang ditunjukkan bu Simah.
“Nanti setelah belok, pelan-pelan saja jalannya, hari agak gelap, nanti saya kebablasan lagi.”
“Baiklah.”
“Nah, di depan itu kan ada pos ronda, terus saja dulu… agak ke sana … lalu lihat di kanan jalan, rumah kecil mungil tapi bagus. Di situ pak dokter yang baik hati itu membuka praktek. Kalau ke sana saya tidak pernah membayar. Orang miskin boleh gratis.”
Bu Simah terkekeh lagi.
“Stop … stop … itu rumahnya,” teriaknya lagi.
Ardi menghentikan mobilnya.
“Sudah Nak, eh … Nak ini namanya siapa? Ngobrol dari tadi tidak tahu namanya. Padahal saya sudah bilang kalau nama saya Simah.”
”Saya Ardi Bu.”
“Nak Ardi, terima kasih banyak. Biar saya sendiri saja,” katanya sambil turun.
“Lhah ibu pulangnya sama siapa?”
“Nggak apa-apa. Mudah-mudahan masih ada angkot lewat.”
“Sepanjang jalan tadi sepi, nggak ngelihat ada angkutan umum.”
“Ada, sudah, jangan khawatir,” kata bu Simah sambil menutup pintu mobil, lalu bergegas memasuki halaman di depan rumah kecil itu. Untunglah hujan mulai reda. Tidak ada plakat dokter di depan. Barangkali orang-orang di sekitar tempat ini sudah tahu bahwa ini adalah rumah dokter, yang kata bu Simah adalah dokter yang baik hati.
Ardi melihat bu Simah memasuki rumah, lalu Ardi memutar mobilnya.
***
Tapi baru beberapa meter, Ardi berpikir tentang bu Simah. Mengapa dia meninggalkannya di tempat dokter, hari sudah mulai gelap. Rumah bu Simah di mana? Sepertinya jauh, mengingat perjalanannya tadi juga lumayan lama. Rasa kasihan memenuhi benaknya, lalu ia memundurkan lagi mobilnya, lalu berhenti di depan pintu halaman sang dokter.
Sementara itu Bu Simah sedang diperiksa dokter Guntur, yang akhir-akhir ini menjadi dokter langganan. Bukan karena ia selalu mendapat perawatan gratis, tapi karena merasa iba, mengetahui sang dokter hidup sendirian, dan tampak kesepian. Terkadang bu Simah hanya merasa sedikit pusing, lalu membawa buah apa lah, yang ada dihalamannya dan yang siap dipetik, untuk diberikan kepada Guntur.
Kali ini ia benar-benar terluka, dan sesungguhnya terasa nyeri. Keningnya terantuk batu, dan ada luka yang lumayan dalam.
“Luka ibu ini cukup dalam, harus dijahit.”
“Ampuuun, bagaimana manusia bisa dijahit? Pasti sakit sekali,” pekik Bu Simah.
“Tidak, Ibu tidak akan merasa sakit. Nanti disuntik dulu. Percayalah tidak sakit. Karena kalau tidak dijahit, sembuhnya akan lama, dan perawatannya juga susah. Sedikit saja terkena kotoran bisa infeksi,” kata Guntur panjang lebar yang akhirnya membuat bu Simah menurut.
“Bener ya, jangan sakit.”
“Iya Bu. Lha ini tadi sebenarnya kenapa? Ini sudah malam, ibu bisa terluka?”
“Jatuh, terkejut melihat mobil. Untung tidak ditabrak.”
“Di mana?”
“Masih dekat rumah saya.”
“Hujan-hujan, sudah agak malam juga, Ibu naik apa?”
“Diantar yang punya mobil itu. Tapi saya suruh dia pergi, kasihan, sepertinya dia sedang ada perlu. Padahal saya jatuh sendiri, bukan karena ditabrak mobil itu.”
“Saya suntik dulu, supaya tidak terasa sakit. Ini suntik pati rasa.”
Sementara itu, merasa bahwa bu Simah sangat lama dan tidak segera keluar, Ardi merasa khawatir. Jangan-jangan lukanya parah. Kan tadi terus mengeluarkan darah.
Ardi turun dari mobilnya, lalu berjalan mendekat. Ia melihat ada seseorang masuk, tampaknya pasien, yang kemudian menunggu di sebuah bangku.
Pintu di ruang praktek masih tertutup. Terdengar kelutak kelutik yang terkadang disertai suara bu Simah dan pastinya dokter itu.
Ardi yang merasa khawatir, kemudian mengetuk pintu pelan, lalu membukanya sedikit, hanya untuk melihat apa yang terjadi.
“Sebentar ya, masih ada pasien,” suara dari dalam terdengar. Tampaknya dokter itu yang bicara. Ardi dengan cepat menutup kembali pintunya. Tapi ia merasakan sesuatu yang aneh. Suara itu, sangat dikenalnya. Hanya perasaannya saja? Jantungnya berdetak kencang, apa benar dia?
Ardi duduk di kursi dan mencoba menenangkan hatinya.
“Nanti habis itu saya dulu lho Mas,” kata laki-laki yang tadi datang hampir bersamaan dengannya.
“Oh iya Pak, saya bukan pasien, hanya menunggu pasien yang terdahulu.”
“Ya sudah kalau begitu.”
Ketika pintu terbuka, Ardi segera berdiri, ia harus melihat, siapa dokter yang menangani bu Simah, suaranya terdengar sangat tidak asing. Lalu wajah itu muncul di pintu, memegangi pintu dan mempersilakan bu Simah keluar.
“Guntur?” Ardi hampir berteriak.
Guntur tertegun. Ada Ardi di depannya?
“Kamu?”
“Lho Nak, kan tadi saya suruh pergi saja, mengapa menunggui saya?” kata bu Simah.
“Saya khawatir pulangnya Ibu nanti bagaimana, jadi saya nggak jadi pergi.”
“Ardi?”
“Lho, dokter kenal penolong saya ini?”
Pasien yang tadi menunggu sudah berdiri, tampaknya kesal melihat adegan yang membuatnya menunggu lebih lama.
“Guntur, setelah mengantarkan bu Simah, aku kemari lagi. Ada pasien menunggu,” kata Ardi yang tahu diri.
Guntur mengangguk. Ardi segera menuntun bu Simah keluar, membiarkan pasien itu masuk.
***
“Ternyata nak Ardi kenal sama dokter Guntur?” tanya bu Simah dalam perjalanan pulang.
“Dia teman sekolah.”
“Jadi nak Ardi ini juga dokter?”
“Bukan. Teman waktu SMA. Kami sekota, waktu itu. Lalu lama tidak ketemu, tidak mengira bisa ketemu di sini.”
“Sungguh kebetulan yang menyenangkan, bisa ketemu teman lama ya Nak.”
“Benar, Bu.”
“Ada untungnya juga nak Ardi menolak permintaan saya untuk meninggalkan saya saja tadi. Kalau nak Ardi langsung pergi, nggak jadi ketemu teman lama.”
“Saya tidak tega meninggalkan bu Simah. Pulangnya bagaimana, kan ini sudah malam. Kalau tidak ada angkutan umum, bu Simah jalan kaki dong pulangnya.”
“Sebenarnya juga tidak apa-apa Nak, ibu sudah biasa jalan jauh. Tapi kalau dipikir-pikir, benar juga bahwa kebaikan itu akan berbuah kebaikan.”
“Apa maksudnya Bu?”
“Nak Ardi berbaik hati untuk menunggu saya selesai berobat, buahnya adalah bisa bertemu teman lama.”
“Itu benar. Dan teman lama yang sedang saya cari-cari keberadaannya.”
“Tuhan Maha pengasih. Itu sebabnya selalu diajarkan agar kita selalu melakukan kebaikan, karena sebuah perbuatan itu adalah merupakan tanaman, dan tanaman itu pasti akan memunculkan buah. Jadi kalau yang kita tanamkan kebaikan, maka buahnya pasti juga sebuah kebaikan.”
“Ibu sungguh luar biasa, banyak memiliki ucapan-ucapan bijak,” puji Ardi.
“Ibu ini sudah tua. Sudah banyak makan asam garamnya kehidupan, jadi ibu juga bisa berbicara banyak tentang hidup ini.”
“Saya harus berguru kepada bu Simah.”
“Jangan berlebihan. Bukan hanya saya yang bisa ngomong begitu. Banyak orang tua yang bisa berbicara lebih baik dan lebih bijak.”
“Tapi saya tidak mengira Ibu bisa berbicara dengan sangat bagus.”
“Ah, sudahlah, apa yang saya katakan bukan apa-apa. Semua orang juga sudah tahu tentang itu. Eh … kita sudah sampai Nak, berhenti di depan situ. Yang ada gang masuk ke kiri.
Ardi menghentikan mobilnya ditempat yang ditunjuk.
“Mana rumah Ibu?”
“Masuk ke gang itu. Hanya sedikit masuknya, sudah, tidak usah diantar, kan sudah dekat. Nak Ardi pasti ditunggu sama pak dokter Guntur,” kata bu Simah sambil turun.
“Terima kasih banyak ya Nak,” katanya kemudian menutupkan pintunya, lalu bergegas masuk ke dalam gang.
Ardi memutar mobilnya untuk kembali. Karena terburu-buru ingin segera bertemu Guntur, ia sampai lupa menanyakan tentang luka bu Simah. Tanpa diduga, hujan kembali turun dengan sangat derasnya.
***
Dalam perjalanan menuju ke rumah Guntur itu hujan sepanjang jalan, dan jalanan agak gelap. Rumah Guntur memang agak di pinggiran kota. Tiba-tiba Ardi melihat banyak orang sebelum dia sampai di sebuah jembatan besar. Hujan sedikit mereda, tapi gerimis masih turun. Ardi heran, apa yang dilakukan orang-orang itu disaat hujan begini?
Ardi memperlambat mobilnya, dan melihat orang-orang menghadang di depannya.
Ardi membuka jendela mobilnya, lalu melongok ke luar.
“Ada apa?”
“Bapak nggak bisa terus, jembatan putus.”
“Haaa?”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 08" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, selamat berbuka puasa dan selamat menjalankan ibadah Teraweh. aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Alhamdulillah wa syukurillah.....
ReplyDeleteKung Latief mslit, disusul jebg Endah lan jeng Sri Maryani......
Terima kasih Bu Tien, AaeM_08 sdh tayang di hari Rabu malam Kamis ini.
Salam SEROJA.....
Sami2 mas Kakek
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete💐🦋💐🦋💐🦋💐🦋
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung ADA MAKNA_08
sudah tayang
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja 😍💞
💐🦋💐🦋🤤🦋💐🦋
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 08 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Mks bun AM 09 sdh tayang........aelamat mlm smg bunda sekelrg selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Alhamdulillah "Ada Makna 08" sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien 🙏
Sami2 pak Sis
DeleteAlhamdulillah, Nuwun Bu Tien.
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 08* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Masyaa Allah Bu Tien, matur nuwun atas candaan antara Bu Simah dan Ardi yg bener-bener bikin ngakak. Matur nuwun jg atas kata-kata bijak Bu Simah. Barakallah.....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam hangat
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSyukron ngtih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteHatur nuhun bundaqu..slmt mlm dan slm seroja unk bunda sekel🙏🥰🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam aduhai
Alhamdulillaah Ada makna 08 sdh tayang walaupun tertulis 09
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰💖
Semoga Allaah Subhaanahu wata'ala menerima ibadah2 kita di bulan Ramadhan ini dg Ridha n Maghfirah nya, Aamiin
Ketemu Guntur, tp blm bisa lanjut ada jembatan putus,. Bagaimana ini 😁🤭
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Waah...tertunda deh "temu kangen" Ardi dengan sahabatnya...😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏🏻
Sami2 ibu Nans
DeleteSalam sehat juga
Terjebak di daerah yang belum Ardi kenal. Malam hari, musim hujan lagi. Kasian si Ardi ini.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Yaah Ardi ndak jadi ketemu Guntur ini...😶
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien 🙏🙏
Sehat selalu kagem bunda
🤲🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Padma Sari
Alhamdulillah ADA MAKNA~08 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Oh iya Bu Simah
ReplyDeleteYang jual hasil kebun buat bertahan hidup.
Belum ketemu Guntur rupanya, sudah tapi Ardi belum sempet omon omon karena mau nganterin Bu Simah pulang dulu, lagian jadi kancilen nggak bisa kembali ke gubug derita si dokter, jembatan putus, ya sudah di putuskan saja mau lewat jalan lain walau memutar jauh tapi kan biasanya kalau mereka ngobrol sampai lama, bisa hampir semaleman, itu dulu..
Tungguin aja, besok lagi ya.
Hi hi
Terimakasih Bu Tien
Ada Makna yang ke delapan sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Crigis
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),08 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Sami2 pak Subagyo
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "AM 08"nya. Salam hangat, smg sehat dan bahagia sll. Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Jembatan putus, Ardi tak bisa ketemu Guntur lagi...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteArdi bisa cari jalan lain. Untuk teman baik, Ardi pasti bisa nelakukannya
ReplyDeleteNuwu Sewu mbak Tien. Di tempat saya kok judulnya dua? Yang di atas 08 yg di bawahnya 09. Yg betul yg mana? Nuwun
ReplyDeleteYang betul sekarang mas. Penulise kisruh
DeleteYg betul O8 karena dihari selasa 07.
ReplyDeleteIya mas salah tulis angka judul.
DeleteMaaf