JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 49
(Tien Kumalasari)
Trenyuh hati Kinanti mendengarnya. Masih mencintai, tapi tega mengkhianati? Tapi tampaknya Guntur sudah mengunduh buah dari pohon yang ditanamnya. Dia meninggalkannya demi wanita penggoda, lalu menyesal dan bercerai lagi. Begitu mudah membangun rumah lalu merobohkannya.
Kinanti menatap Guntur dengan pandangan sendu. Sekali lagi dia meraih tissue lalu menghapus pipinya yang basah.
“Kamu … harus percaya padaku,” lirihnya.
“Aku percaya, sekarang jangan memikirkan apapun. Bersemangat, dan sehatlah kembali.”
“Apakah kamu … sudah mau … menikah lagi?” tersendat ketika Guntur mengucapkannya.
“Jangan memikirkan hal yang membuatmu berpikir kacau. Barangkali aku juga akan menikah, tapi tidak tahu akan bersama siapa, dan entah kapan.”
“Kamu tampak segar … dan bahagia …”
“Benarkah? Kalau begitu buatlah dirimu seperti aku. Yang sudah lalu adalah mimpi. Raihlah harapan yang akan membuat hidupmu tenang. Jangan mudah putus asa.”
“Kamu tidak pantas loyo dan lemah seperti ini, Guntur. Dulu kamu bisa melangkah tegar walau hidupmu pas-pasan, ketika sekarang kamu punya penghasilan bagus, mengapa tampak tak bersemangat?” sambung Ardi.
Guntur memejamkan matanya. Mimpi tentang Kinanti pupus sudah. Walau Kinanti tidak mengatakan bahwa dia akan segera menikah, tapi Kinanti tidak menolak kemungkinan itu. Sekilas terbayang wajah laki-laki tampan dan gagah yang dilihatnya ketika dia mau makan di sebuah restoran.
“Dia lebih pantas,” lirihnya.
“Kamu bicara apa?”
“Dia lebih pantas. Kelihatannya kamu sudah menemukannya,” katanya tanpa berani membuka matanya, takut air mata itu akan kembali tumpah, dan sekuat tenaga dia menahannya.
“Dia siapa?”
“Aku pernah melihatmu … bersama dia … “
Kinanti menundukkan wajahnya. Ia tak tahu kapan Guntur melihatnya, tapi kemudian Guntur sudah merasa yakin bahwa dia laki-laki yang cocok untuknya.
“Entahlah … aku tidak yakin.”
“Semoga … bahagia …” dan kali ini air mata itu tak terbendung, walau ia mengatupkan pelupuknya sekuat tenaga.
“Guntur …” Kinanti kembali mengusap air matanya.
“Sekarang pergilah, aku ingin sendiri saat ini,” katanya sambil menyingkirkan tangan Kinanti yang masih memegang tissue.
“Baiklah, kami akan pulang. Berjanjilah agar kamu akan tetap bersemangat,” kata Ardi lagi.
“Titip anak-anakku ….”
***
Walau kelihatan tegar di depan Guntur, ketika sudah berada di dalam mobil Ardi, tumpah juga air mata Kinanti.
“Kinan … tuntaskan tangismu, agar hatimu merasa ringan.”
“Walau dia pernah mengkhianati aku, tapi melihat keadaannya seperti itu, rasanya aku tak tega, Ardi.”
“Apa arti kata-katanya yang berkali-kali mengatakan ‘titip anak-anakku’?” lanjutnya.
“Bukankah wajar dia mengatakan itu? Karena dia tidak mampu merawatnya, maka kemudian dia menitipkan anak-anaknya?”
“Tapi mengapa perasaanku jadi tidak enak.”
“Apa maksudmu?”
“Aku … khawatir ….”
“Dia sudah dalam perawatan, apalagi dia seorang dokter, pasti semua bisa teratasi.”
“Dia kelihatan tidak bersemangat. Apakah … arti kata-katanya itu … bahwa dia .. akan meninggal?” tangis Kinanti.
“Kinanti, apa yang kamu pikirkan? Dia mengatakan ‘titip’ karena dia tak mampu merawatnya.”
“Semoga saja tidak terjadi hal buruk tentang dia.”
“Kita doakan saja. Sekarang berhentilah menangis. Aku akan mengajakmu mampir untuk makan, kalau kamu kelihatan sembab begini, nanti orang-orang akan berpikir bahwa kita adalah suami istri yang sedang bertengkar. Ya kan?”
Kinanti mengusap air matanya, dengan tissue yang diulurkan Ardi.
“Kalau kita benar-benar suami istri sih, tidak apa-apa. Tapi kita kan hanya sahabatan. Berteman. Teman yang selalu mesra,” canda Ardi yang kemudian membuat Kinanti tersenyum.
“Sahabat terbaik, yang selalu mesra. Itu lebih abadi bukan?” kata Kinanti setelah bisa menenangkan hatinya.
“Kinanti, tadi Guntur mengatakan bahwa dia masih mencintai kamu, bagaimana dengan dirimu?”
“Aku? Tidak.”
“Tidak cinta lagi pada dia? Sebenarnya kalau rujuk, itu juga lebih baik. Aku yakin setelah kegagalannya, dia akan bisa menjalani kehidupan bersamamu dengan penuh tanggung jawab. Dan itu penting bagi sebuah keluarga bukan?”
“Rujuk? Tidak Ardi, aku tidak ingin rujuk.”
“Karena kamu jatuh cinta pada Suryawan yang sukses berkarier … dan_”
“Bukan karena itu. Tidak nyaman saja setelah bercerai.”
“Barangkali demi anak-anakmu?”
“Dia belum tentu mau juga.”
“Kalau kamu? Mau tidak?”
“Ardi, jangan bertanya tentang sesuatu yang sulit. Kami sudah menjalani kehidupan kami masing-masing. Bahagia atau tidak, itu adalah pilihan yang sudah ditentukan. Jadi biarkan kami menempuh jalan masing-masing.”
Kemudian Ardi mengerti bahwa Kinanti sudah menemukan cinta yang baru.
“Aku juga belum tahu, akan kemanakah hidupku.”
“Tapi aku sudah tahu bahwa kamu mencintai orang lain. Pasti sulit bagimu menerimanya kembali.”
Kinanti tak menjawab. Benarkah dia mencintai Suryawan?
“Baiklah, bagiku, bukankah yang penting adalah kebahagiaan kamu? Ayo sekarang kita makan, aku sudah lapar, soalnya tadi aku tidak sempat sarapan.”
“Ya ampun Ardi. Ayo cari tempat makan yang nyaman.”
***
Suryawan pulang setelah selesai memasak. Ada nila masak asam manis dan ca brokoli yang terhidang, juga ayam goreng kremes yang gurihnya mengundang. Ia membawa separuhnya untuk dibawa pulang, karena setiap hari Minggu bibik libur memasak. Anak-anak selalu mau makan masakan ayahnya.
“Jangan dibungkus plastik Nak, bawa saja beberapa rantang untuk anak-anak di rumah. Ini, sudah ibu siapkan.”
”Terima kasih banyak Bu. Anak-anak saya pasti sudah menunggu.”
”Memangnya yang besar sudah kelas berapa?”
“Yang paling besar SMP kelas dua, adiknya kelas satu. Tiga adiknya masih sekolah dasar semua.”
“Sudah agak besar, rupanya.”
“Ini saya bawa ya Bu, besok saya kembalikan.”
“Tidak usah tergesa-gesa, kapan-kapan saja kalau Nak Suryawan ada waktu.”
“Baiklah, terima kasih Bu.”
Tak berapa lama, ponsel Suryawan berdering.
“Assalamu'allaikum Tia … iya, ini sudah selesai, bapak akan segera pulang. Hei … jangan ngambeg dong, iya … bapak mengerti. Ya tidak dong Nak, masa bapak melupakan kalian. Oke, bapak tutup ya, ini sudah siap pulang.”
Suryawan menutup ponselnya sambil tersenyum.
“Mereka sudah menunggu, saya lanjut pulang ya Bu.”
“Ada yang ngambeg ya?” tanya bu Bono.
“Tidak apa-apa Bu, hanya anak-anak. Mereka sudah senang ketika saya bilang mau segera pulang.”
Suryawan mencium tangan bu Bono sambil membawa tiga buah rantang besar, dan berlalu.
Bu Bono geleng-geleng kepala. Tak bisa dibayangkan, bagaimana seorang bapak muda sangat sibuk mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil, belum ada yang beranjak dewasa.
***
Hari menjelang sore ketika Kinanti pulang. Ardi hanya mengantarkan saja dan langsung pulang karena ada urusan.
Begitu memasuki rumah, Kinanti mencium bau masakan dari ruang makan. Ia langsung menuju ke ruang makan dan membuka tudung saji yang terpampang di meja.
“Ibu, ini masakan mas Suryawan?”
Bu Bono yang ada di kamar anak-anak segera mendekat begitu mendengar Kinanti sudah pulang.
“Iya. Begitu selesai, dia segera pulang. Anaknya menelpon, dan kelihatannya ada yang ngambeg.”
“Ngambeg?”
“Barangkali karena ayahnya pergi terlalu lama.”
“Iya, kan hari Minggu jatahnya masak untuk anak-anaknya.”
“Mana nak Ardi?”
“Langsung pulang, katanya ada urusan.”
“Bagaimana keadaan Guntur?”
“Buruk.”
“Parah sakitnya?”
“Kelihatannya bukan oleh suatu penyakit. Ia seperti kurang semangat. Badannya sangat kurus.”
“Mungkin tertekan karena perceraiannya itu.”
“Barangkali.”
“Ya sudah, mandi sana, nanti setelahnya ibu mau bicara.”
“Bicara soal apa Bu?”
“Nanti saja, sambil makan ibu katakan.”
“Anak-anak masih tidur?”
“Emma sudah bangun, bibik baru memandikannya.”
Kinanti beranjak ke kamar Emmi. Dilihatnya sang anak masih terlelap sambil memeluk boneka kesayangannya. Ia urung menciumnya, teringat bahwa dirinya belum membersihkan diri. Bisa-bisa sang ibu menegurnya kalau dia nekat.
Kinanti berjingkat ke kamarnya sendiri.
***
Biarpun sudah makan siang tadi bersama Ardi, tapi Kinanti masih ingin makan karena mencium bau gurih masakan Suryawan. Sang ibu menemaninya.
“Ibu mau mengatakan apa?”
“Tadi nak Suryawan bilang pada ibu, tentang hubungan kalian.”
“Bilang apa dia?”
“Katanya dia ingin segera melamar kamu. Apakah kamu sudah siap?”
“Bagaimana menurut Ibu?”
“Sejauh ini, nak Suryawan baik. Tampaknya dia laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi kamu kan tidak harus berhenti pada kebaikan dia saja. Kamu harus ingat, bahwa dia punya lima orang anak yang masih bisa dibilang kecil. Yang terbesar saja masih SMP. Jadi menurut ibu, kamu juga harus memikirkannya masak-masak sebelum mengambil keputusan.”
Kinanti menyuap makanannya.
“Apa kamu mencintainya?”
“Entahlah, apa itu cinta atau bukan, tapi Kinanti hanya merasa nyaman berada di dekatnya.”
“Hubungan kamu dengan anak-anaknya bagaimana?”
“Baik. Kalau Kinanti ke sana, mereka datang dan menyalami satu persatu. Tapi Kinanti belum pernah secara khusus berbincang dengan mereka. Mereka masih kanak-kanak.”
“Pikirkanlah baik-baik. Jangan karena kamu suka pada ayahnya lalu kamu mengabaikan perasaan anak-anaknya. Ingat, kalau kamu sudah menjadi istrinya, anak-anak itu juga menjadi keluarga kamu kan?”
“Iya, Bu.”
“Ibu tidak ingin melihat kegagalan kamu untuk yang kedua kalinya.”
“Akan Kinanti pikirkan. Tapi mas Suryawan juga belum bicara tentang pernikahan. Barangkali akan menjajagi dulu bagaimana sikap Ibu terhadap dia. Tadi Ibu jawab apa?”
“Ya ibu jawab kalau semuanya terserah kamu.”
“Baiklah, nanti kami akan bicara lebih detail setelah dia mengatakannya.”
“Sekarang kamu istirahat sana.”
“Kinanti mau melihat anak-anak dulu. Tadi Emmi masih tidur.”
“Kelihatannya sudah bangun dan mandi bersama bibik. Emma sudah minum susu di kamarnya tuh.”
Ketika Kinanti mau masuk ke kamar anaknya, ponselnya berdering. Dari Suryawan.
Tidak begitu penting, hanya menanyakan apakah Kinanti sudah ada di rumah atau belum. Suryawan tampak senang mendengar Kinanti sudah ada di rumah.
“Kinanti, tadi aku bicara pada ibu tentang kelanjutan hubungan kita.”
“O iya, ibu sudah mengatakannya.”
“Beberapa hari mendatang aku akan bicara.”
“Baiklah. Aku menunggu.”
***
Hari itu entah mengapa, setelah selesai berpraktek, Kinanti ingin mengetahui keadaan Guntur. Sudah hampir seminggu dan tak ada yang mengabari tentang kesehatannya. Kemudian ia menelpon rumah sakit, di mana Guntur dirawat. Kinanti terkejut mendengar Guntur pulang paksa beberapa hari yang lalu. Rumah sakit tempat dia bekerja belum bisa mengatakan di mana Guntur berada. Menurut informasi, Guntur sedang mengajukan pindah pekerjaan ke luar daerah.
Ada sedikit rasa lega di hati Kinanti, berarti Guntur sudah sembuh. Setidaknya keadaannya sudah lebih baik. Ardi benar, ungkapan titip anak-anak dikatakan bukan karena dia siap untuk meninggal, membuat Kinanti merasa ngeri.
Ketika dia keluar dari ruangan dan siap memanggil taksi, ia melihat Suryawan menjemputnya.
“Syukurlah kamu belum pulang.”
“Hampir memanggil taksi.”
“Ayo aku antar, temani aku pulang ya.”
“Pulang ke rumah Mas?”
“Iya, aku ingin mengenalkan kamu lebih dekat dengan anak-anak. Kita akan makan siang di luar.”
“Jam segini, anak-anak belum makan?”
“Ini ulang tahun Tia, kami akan merayakannya sambil makan-makan.”
“Aku kusut begini? Tidak nanti sore saja?”
“Tidak, kalau sore, nanti pulangnya malam, besoknya anak-anak harus sekolah. Kamu tidak kelihatan kusut kok, tetap cantik.”
Kinanti tersenyum, lalu mengikuti Suryawan ke mobilnya.
Di tengah perjalanan, Suryawan menelpon ke rumah, menanyakan apakah anak-anaknya sudah siap.
“Baiklah kalau sudah siap. Bapak menuju rumah bersama tante Kinanti. Iya, tidak apa-apa, supaya kalian bisa mengenal lebih dekat.”
Suryawan menutup ponselnya, dan Kinanti merasa sesuatu yang tidak enak.
“Mas tidak mengatakan sebelumnya kalau aku akan bersama Mas?”
“Tidak apa-apa, hanya untuk memberi kejutan pada mereka. Aku sudah membeli hadiah yang nanti akan kamu berikan pada Tia. Itu, di garasi. Jangan dulu anak-anak tahu. Dikeluarkan kalau mereka sudah duduk, baru kamu mengambilnya."
“Baiklah.”
***
Mereka sudah berada di rumah makan yang dipesan khusus oleh Suryawan, dalam sebuah ruangan khusus dan dihias sangat indah. Anak-anak Suryawan sangat gembira melihat balon berwarna warni.
“Apakah kalian senang?”
“Senang … senang … aku nanti juga mau es krim,” teriak si kecil sambil berjingkrak-jingkrak.
Kinanti sedang kembali ke mobil, untuk mengambil boneka yang disiapkan Suryawan. Suryawan pura-pura tidak tahu.
Pelayan menyiapkan sebuah taart yang dihias indah di sebuah meja, dan kursi-kursi ditata mengelilinginya.
“Tia, mengapa wajahmu muram?”
“Bapak bilang ulang tahun Tia hanya dirayakan oleh kita saja.”
“Iya, bukankah ini juga hanya kita sekeluarga?”
“Kenapa ada tante Kinanti?”
“Tia, memangnya kenapa kalau ada tante Kinanti?”
”Apa dia akan menjadi ibu kami semua?”
“Iya. Kalian harus membiasakannya. Dia cantik dan baik bukan?”
“Tidak mau!! Tia tidak mau punya ibu tiri!!” teriak Tia.
Lalu teriakan Tia disambung oleh adik-adiknya. Tak seorangpun berkata mau.
Saat itulah Kinanti berdiri di tengah pintu, dan mendengar semuanya.
***
Besok lagi ya.