Friday, February 28, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 49

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  49

(Tien Kumalasari)

 

Trenyuh hati Kinanti mendengarnya. Masih mencintai, tapi tega mengkhianati? Tapi tampaknya Guntur sudah mengunduh buah dari pohon yang ditanamnya. Dia meninggalkannya demi wanita penggoda, lalu menyesal dan bercerai lagi. Begitu mudah membangun rumah lalu merobohkannya.

Kinanti menatap Guntur dengan pandangan sendu. Sekali lagi dia meraih tissue lalu menghapus pipinya yang basah.

“Kamu … harus percaya padaku,” lirihnya.

“Aku percaya, sekarang jangan memikirkan apapun. Bersemangat, dan sehatlah kembali.”

“Apakah kamu … sudah mau … menikah lagi?” tersendat ketika Guntur mengucapkannya.

“Jangan memikirkan hal yang membuatmu berpikir kacau. Barangkali aku juga akan menikah, tapi tidak tahu akan bersama siapa, dan entah kapan.”

“Kamu tampak segar … dan bahagia …”

“Benarkah? Kalau begitu buatlah dirimu seperti aku. Yang sudah lalu adalah mimpi. Raihlah harapan yang akan membuat hidupmu tenang. Jangan mudah putus asa.”

“Kamu tidak pantas loyo dan lemah seperti ini, Guntur. Dulu kamu bisa melangkah tegar walau hidupmu pas-pasan, ketika sekarang kamu punya penghasilan bagus, mengapa tampak tak bersemangat?” sambung Ardi.

Guntur memejamkan matanya. Mimpi tentang Kinanti pupus sudah. Walau Kinanti tidak mengatakan bahwa dia akan segera menikah, tapi Kinanti tidak menolak kemungkinan itu. Sekilas terbayang wajah laki-laki tampan dan gagah yang dilihatnya ketika dia mau makan di sebuah restoran.

“Dia lebih pantas,” lirihnya.

“Kamu bicara apa?”

“Dia lebih pantas. Kelihatannya kamu sudah menemukannya,” katanya tanpa berani membuka matanya, takut air mata itu akan kembali tumpah, dan sekuat tenaga dia menahannya.

“Dia siapa?”

“Aku pernah melihatmu … bersama dia … “

Kinanti menundukkan wajahnya. Ia tak tahu kapan Guntur melihatnya, tapi kemudian Guntur sudah merasa yakin bahwa dia laki-laki yang cocok untuknya.

“Entahlah … aku tidak yakin.”

“Semoga … bahagia …” dan kali ini air mata itu tak terbendung, walau ia mengatupkan pelupuknya sekuat tenaga.

“Guntur …” Kinanti kembali mengusap air matanya.

“Sekarang pergilah, aku ingin sendiri saat ini,” katanya sambil menyingkirkan tangan Kinanti yang masih memegang tissue.

“Baiklah, kami akan pulang. Berjanjilah agar kamu akan tetap bersemangat,” kata Ardi lagi.

“Titip anak-anakku ….”

***

Walau kelihatan tegar di depan Guntur, ketika sudah berada di dalam mobil Ardi, tumpah juga air mata Kinanti.

“Kinan … tuntaskan tangismu, agar hatimu merasa ringan.”

“Walau dia pernah mengkhianati aku, tapi melihat keadaannya seperti itu, rasanya aku tak tega, Ardi.”

“Apa arti kata-katanya yang berkali-kali mengatakan ‘titip anak-anakku’?” lanjutnya.

“Bukankah wajar dia mengatakan itu? Karena dia tidak mampu merawatnya, maka kemudian dia menitipkan anak-anaknya?”

“Tapi mengapa perasaanku jadi tidak enak.”

“Apa maksudmu?”

“Aku … khawatir ….”

“Dia sudah dalam perawatan, apalagi dia seorang dokter, pasti semua bisa teratasi.”

“Dia kelihatan tidak bersemangat. Apakah … arti kata-katanya itu … bahwa dia .. akan meninggal?” tangis Kinanti.

“Kinanti, apa yang kamu pikirkan? Dia mengatakan ‘titip’ karena dia tak mampu merawatnya.”

“Semoga saja tidak terjadi hal buruk tentang dia.”

“Kita doakan saja. Sekarang berhentilah menangis. Aku akan mengajakmu mampir untuk makan, kalau kamu kelihatan sembab begini, nanti orang-orang akan berpikir bahwa kita adalah suami istri yang sedang bertengkar. Ya kan?”

Kinanti mengusap air matanya, dengan tissue yang diulurkan Ardi.

“Kalau kita benar-benar suami istri sih, tidak apa-apa. Tapi kita kan hanya sahabatan. Berteman. Teman yang selalu mesra,” canda Ardi yang kemudian membuat Kinanti tersenyum.

“Sahabat terbaik, yang selalu mesra. Itu lebih abadi bukan?” kata Kinanti setelah bisa menenangkan hatinya.

“Kinanti, tadi Guntur mengatakan bahwa dia masih mencintai kamu, bagaimana dengan dirimu?”

“Aku? Tidak.”

“Tidak cinta lagi pada dia? Sebenarnya kalau rujuk, itu juga lebih baik. Aku yakin setelah kegagalannya, dia akan bisa menjalani kehidupan bersamamu dengan penuh tanggung jawab. Dan itu penting bagi sebuah keluarga bukan?”

“Rujuk? Tidak Ardi, aku tidak ingin rujuk.”

“Karena kamu jatuh cinta pada Suryawan yang sukses berkarier … dan_”

“Bukan karena itu. Tidak nyaman saja setelah bercerai.”

“Barangkali demi anak-anakmu?”

“Dia belum tentu mau juga.”

“Kalau kamu? Mau tidak?”

“Ardi, jangan bertanya tentang sesuatu yang sulit. Kami sudah menjalani kehidupan kami masing-masing. Bahagia atau tidak, itu adalah pilihan yang sudah ditentukan. Jadi biarkan kami menempuh jalan masing-masing.”

Kemudian Ardi mengerti bahwa Kinanti sudah menemukan cinta yang baru.

“Aku juga belum tahu, akan kemanakah hidupku.”

“Tapi aku sudah tahu bahwa kamu mencintai orang lain. Pasti sulit bagimu menerimanya kembali.”

Kinanti tak menjawab. Benarkah dia mencintai Suryawan?

“Baiklah, bagiku, bukankah yang penting adalah kebahagiaan kamu? Ayo sekarang kita makan, aku sudah lapar, soalnya tadi aku tidak sempat sarapan.”

“Ya ampun Ardi. Ayo cari tempat makan yang nyaman.”

***

Suryawan pulang setelah selesai memasak. Ada nila masak asam manis dan ca brokoli yang terhidang, juga ayam goreng kremes yang gurihnya mengundang. Ia membawa separuhnya untuk dibawa pulang, karena setiap hari Minggu bibik libur memasak. Anak-anak selalu mau makan masakan ayahnya.

“Jangan dibungkus plastik Nak, bawa saja beberapa rantang untuk anak-anak di rumah. Ini, sudah ibu siapkan.”

”Terima kasih banyak Bu. Anak-anak saya pasti sudah menunggu.”

”Memangnya yang besar sudah kelas berapa?”

“Yang paling besar SMP kelas dua, adiknya kelas satu. Tiga adiknya masih sekolah dasar semua.”

“Sudah agak besar, rupanya.”

“Ini saya bawa ya Bu, besok saya kembalikan.”

“Tidak usah tergesa-gesa, kapan-kapan saja kalau Nak Suryawan ada waktu.”

“Baiklah, terima kasih Bu.”

Tak berapa lama, ponsel Suryawan berdering.

“Assalamu'allaikum Tia … iya, ini sudah selesai, bapak akan segera pulang. Hei … jangan ngambeg dong, iya … bapak mengerti. Ya tidak dong Nak, masa bapak melupakan kalian. Oke, bapak tutup ya, ini sudah siap pulang.”

Suryawan menutup ponselnya sambil tersenyum.

“Mereka sudah menunggu, saya lanjut pulang ya Bu.”

“Ada yang ngambeg ya?” tanya bu Bono.

“Tidak apa-apa Bu, hanya anak-anak. Mereka sudah senang ketika saya bilang mau segera pulang.”

Suryawan mencium tangan bu Bono sambil membawa tiga buah rantang besar, dan berlalu.

Bu Bono geleng-geleng kepala. Tak bisa dibayangkan, bagaimana seorang bapak muda sangat sibuk mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil, belum ada yang beranjak dewasa.

***

Hari menjelang sore ketika Kinanti pulang. Ardi hanya mengantarkan saja dan langsung pulang karena ada urusan.

Begitu memasuki rumah, Kinanti mencium bau masakan dari ruang makan. Ia langsung menuju ke ruang makan dan membuka tudung saji yang terpampang di meja.

“Ibu, ini masakan mas Suryawan?”

Bu Bono yang ada di kamar anak-anak segera mendekat begitu mendengar Kinanti sudah pulang.

“Iya. Begitu selesai, dia segera pulang. Anaknya menelpon, dan kelihatannya ada yang ngambeg.”

“Ngambeg?”

“Barangkali karena ayahnya pergi terlalu lama.”

“Iya, kan hari Minggu jatahnya masak untuk anak-anaknya.”

“Mana nak Ardi?”

“Langsung pulang, katanya ada urusan.”

“Bagaimana keadaan Guntur?”

“Buruk.”

“Parah sakitnya?”

“Kelihatannya bukan oleh suatu penyakit. Ia seperti kurang semangat. Badannya sangat kurus.”

“Mungkin tertekan karena perceraiannya itu.”

“Barangkali.”

“Ya sudah, mandi sana, nanti setelahnya ibu mau bicara.”

“Bicara soal apa Bu?”

“Nanti saja, sambil makan ibu katakan.”

“Anak-anak masih tidur?”

“Emma sudah bangun, bibik baru memandikannya.”

Kinanti beranjak ke kamar Emmi. Dilihatnya sang anak masih terlelap sambil memeluk boneka kesayangannya. Ia urung menciumnya, teringat bahwa dirinya belum membersihkan diri. Bisa-bisa sang ibu menegurnya kalau dia nekat.

Kinanti berjingkat ke kamarnya sendiri.

***

Biarpun sudah makan siang tadi bersama Ardi, tapi Kinanti masih ingin makan karena mencium bau gurih masakan Suryawan. Sang ibu menemaninya.

“Ibu mau mengatakan apa?”

“Tadi nak Suryawan bilang pada ibu, tentang hubungan kalian.”

“Bilang apa dia?”

“Katanya dia ingin segera melamar kamu. Apakah kamu sudah siap?”

“Bagaimana menurut Ibu?”

“Sejauh ini, nak Suryawan baik. Tampaknya dia laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi kamu kan tidak harus berhenti pada kebaikan dia saja. Kamu harus ingat, bahwa dia punya lima orang anak yang masih bisa dibilang kecil. Yang terbesar saja masih SMP. Jadi menurut ibu, kamu juga harus memikirkannya masak-masak sebelum mengambil keputusan.”

Kinanti menyuap makanannya.

“Apa kamu mencintainya?”

“Entahlah, apa itu cinta atau bukan, tapi Kinanti hanya merasa nyaman berada di dekatnya.”

“Hubungan kamu dengan anak-anaknya bagaimana?”

“Baik. Kalau Kinanti ke sana, mereka datang dan menyalami satu persatu. Tapi Kinanti belum pernah secara khusus berbincang dengan mereka. Mereka masih kanak-kanak.”

“Pikirkanlah baik-baik. Jangan karena kamu suka pada ayahnya lalu kamu mengabaikan perasaan anak-anaknya. Ingat, kalau kamu sudah menjadi istrinya, anak-anak itu juga menjadi keluarga kamu kan?”

“Iya, Bu.”

“Ibu tidak ingin melihat kegagalan kamu untuk yang kedua kalinya.”

“Akan Kinanti pikirkan. Tapi mas Suryawan juga belum bicara tentang pernikahan. Barangkali akan menjajagi dulu bagaimana sikap Ibu terhadap dia. Tadi Ibu jawab apa?”

“Ya ibu jawab kalau semuanya terserah kamu.”

“Baiklah, nanti kami akan bicara lebih detail setelah dia mengatakannya.”

“Sekarang kamu istirahat sana.”

“Kinanti mau melihat anak-anak dulu. Tadi Emmi masih tidur.”

“Kelihatannya sudah bangun dan mandi bersama bibik. Emma sudah minum susu di kamarnya tuh.”

Ketika Kinanti mau masuk ke kamar anaknya, ponselnya berdering. Dari Suryawan.

Tidak begitu penting, hanya menanyakan apakah Kinanti sudah ada di rumah atau belum. Suryawan tampak senang mendengar Kinanti sudah ada di rumah.

“Kinanti, tadi aku bicara pada ibu tentang kelanjutan hubungan kita.”

“O iya, ibu sudah mengatakannya.”

“Beberapa hari mendatang aku akan bicara.”

“Baiklah. Aku menunggu.”

***

Hari itu entah mengapa, setelah selesai berpraktek, Kinanti ingin mengetahui keadaan Guntur. Sudah hampir seminggu dan tak ada yang mengabari tentang kesehatannya. Kemudian ia menelpon rumah sakit, di mana Guntur dirawat. Kinanti terkejut mendengar Guntur pulang paksa beberapa hari yang lalu. Rumah sakit tempat dia bekerja belum bisa mengatakan di mana Guntur berada. Menurut informasi, Guntur sedang mengajukan pindah pekerjaan ke luar daerah.

Ada sedikit rasa lega di hati Kinanti, berarti Guntur sudah sembuh. Setidaknya keadaannya sudah lebih baik. Ardi benar, ungkapan titip anak-anak dikatakan bukan karena dia siap untuk meninggal, membuat Kinanti merasa ngeri.

Ketika dia keluar dari ruangan dan siap memanggil taksi, ia melihat Suryawan menjemputnya.

“Syukurlah kamu belum pulang.”

“Hampir memanggil taksi.”

“Ayo aku antar, temani aku pulang ya.”

“Pulang ke rumah Mas?”

“Iya, aku ingin mengenalkan kamu lebih dekat dengan anak-anak. Kita akan makan siang di luar.”

“Jam segini, anak-anak belum makan?”

“Ini ulang tahun Tia, kami akan merayakannya sambil makan-makan.”

“Aku kusut begini? Tidak nanti sore saja?”

“Tidak, kalau sore, nanti pulangnya malam, besoknya anak-anak harus sekolah. Kamu tidak kelihatan kusut kok, tetap cantik.”

Kinanti tersenyum, lalu mengikuti Suryawan ke mobilnya.

Di tengah perjalanan, Suryawan menelpon ke rumah, menanyakan apakah anak-anaknya sudah siap.

“Baiklah kalau sudah siap. Bapak menuju rumah bersama tante Kinanti. Iya, tidak apa-apa, supaya kalian bisa mengenal lebih dekat.”

Suryawan menutup ponselnya, dan Kinanti merasa sesuatu yang tidak enak.

“Mas tidak mengatakan sebelumnya kalau aku akan bersama Mas?”

“Tidak apa-apa, hanya untuk memberi kejutan pada mereka. Aku sudah membeli hadiah yang nanti akan kamu berikan pada Tia. Itu, di garasi. Jangan dulu anak-anak tahu. Dikeluarkan kalau mereka sudah duduk, baru kamu mengambilnya."

“Baiklah.”

***

Mereka sudah berada di rumah makan yang dipesan khusus oleh Suryawan, dalam sebuah ruangan khusus dan dihias sangat indah. Anak-anak Suryawan sangat gembira melihat balon berwarna warni.

“Apakah kalian senang?”

“Senang … senang … aku nanti juga mau es krim,” teriak si kecil sambil berjingkrak-jingkrak.

Kinanti sedang kembali ke mobil, untuk mengambil boneka yang disiapkan Suryawan. Suryawan pura-pura tidak tahu.

Pelayan menyiapkan sebuah taart yang dihias indah di sebuah meja, dan kursi-kursi ditata mengelilinginya.

“Tia, mengapa wajahmu muram?”

“Bapak bilang ulang tahun Tia hanya dirayakan oleh kita saja.”

“Iya, bukankah ini juga hanya kita sekeluarga?”

“Kenapa ada tante Kinanti?”

“Tia, memangnya kenapa kalau ada tante Kinanti?”

”Apa dia akan menjadi ibu kami semua?”

“Iya. Kalian harus membiasakannya. Dia cantik dan baik bukan?”

“Tidak mau!! Tia tidak mau punya ibu tiri!!” teriak Tia.

Lalu teriakan Tia disambung oleh adik-adiknya. Tak seorangpun berkata mau.

Saat itulah Kinanti berdiri di tengah pintu, dan mendengar semuanya.

***

Besok lagi ya.

 

 

GULITA MALAM

GULITA MALAM

(Tien Kumalasari)


Gulita malamku

membuatku tenggelam dalam sepi yang bergayut

desir angin terasa dingin

membuatku meringkuk dibawah selimut

hai malam, bawakan mimpi indah dalam nyenyakku

agar ketika esok matahari datang menjelang

angin yang mendekapku adalah angin yang membawa kesejukan

angin yang mengelusku adalah angin yang membawa kehangatan

agar asaku terbakar, dalam langkah tanpa tepi

sampai akhir menjemputku dengan selaksa keindahan

haiii..

selamat malam.....


-----




Thursday, February 27, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 48

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  48

(Tien Kumalasari)

 

Dokter Rifai berdiri, lalu meminta ponsel yang masih dipegang Kinanti.

“Aku tidak akan lama, segera pamit. Istriku menunggu di rumah,” kata dokter Rifai sambil tersenyum. Kinanti menatapnya, dan ada sedikit rasa senang. Tampaknya dokter Rifai ingin mengatakan bahwa dia sudah berdamai dengan istrinya sejak lama.

“Terima kasih dokter, salam saya buat ibu,” kata Kinanti sambil mengulurkan ponselnya. Dokter Rifai mengangguk.

“Tengok dia, beri semangat. Kata temanku, dia sangat tidak punya semangat hidup. Sangat lemah,” katanya kemudian berlalu.

Kinanti terpaku di tempat duduknya. Urung bangkit karena berbagai pemikiran berkecamuk dalam batinnya. Guntur sakit, badannya kurus kering, dan kata dokter Rifai, dia sangat tidak bersemangat. Mengapa juga Kinanti harus memikirkannya? Bukankah sejak lama dia sudah menghapus ingatan tentang bekas suaminya itu? Tapi melihat keadaannya di dalam foto yang baru saja dilihatnya, tampak kuyu dan pucat, mengapa tiba-tiba hatinya merasa tersentuh?

“Kamu yang menyakiti, sekarang kamu sendiri sakit, dan aku ikut merasa pahit?” gumamnya lirih. Puskesmas sudah sepi, para dokter sudah pulang, punggawa puskesmas yang tersisa hanyalah seorang satpam yang bertugas bergiliran. Dan petugas bersih-bersih yang mulai melakukan tugasnya. Kinanti masih duduk di ruangannya.

Lalu diraihnya ponselnya. Dia memutar nomor kontak Ardi, yang langsung mendapat tanggapan.

“Assalamu’alaikum,” sapanya.

“Wa’alaikumussalam.”

“Ada apa nih? Tumben menelpon? Kangen ya?”

“Apa aku mengganggu?”

“Tidak, katakan, ada apa. Maaf agak lama tidak datang melihatmu, dan juga tidak menelponmu.”

“Tidak apa-apa, aku mengerti.”

“Apa yang bisa aku bantu? Aku yakin pasti kamu sudah kangen berat sama aku,” canda Ardi.

“Kangen, itu pasti.”

“Bahagianya dikangenin dokter cantik,” kata Ardi sambil tertawa.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan. Tentang Guntur.”

“Ah ya, kira-kira sebulan yang lalu Guntur datang ke kantor aku, lupa tidak mengabari kamu. Akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Maaf. Tapi tidak ada yang penting, kecuali dia mengatakan bahwa sudah bercerai dengan Wanda. Badannya kurus, wajahnya pucat. Apa waktu itu dia sudah merasakan sakit ya?”

“Oh ya?”

“Dia tampak menyesali apa yang terjadi. Kasihan juga ya, tapi bukankah sesal itu datang ketika kegagalan menimpa? Dia sedang mengunduh apa yang ditanamnya.”

“Saat ini dia sakit, dan dirawat.”

“Dirawat? Sakit apa? Beratkah?”

“Entahlah. Besok kan hari libur, maukah menemani aku menengoknya?”

“Kinan, rupanya kamu masih peduli pada dia? Bagaimana dengan Suryawan?”

“Ini tidak ada hubungannya dengan dia, kenapa sih kamu bawa-bawa dia?”

“Maaf, tapi kamu kan mengatakan bahwa sudah melupakannya?”

“Hanya menjenguk saat dia sakit, apa salah?”

“Tidak, kamu tidak salah. Rupanya hatimu masih tersentuh mendengar dia menderita. Tapi sebenarnya siapa yang mengabari kamu?”

“Dokter Rifai. Dia mendengar dari temannya.”

“O, dia. Apa kabar dia?”

“Baik. Aku senang dia sudah baikan dengan istrinya. Tapi kamu belum mengatakan tentang permintaanku tadi. Maukah menemani?”

“Besok ya? Bisa, apa sih yang enggak buat kamu?”

“Baiklah, terima kasih. Kalau bisa berangkat pagi, supaya pulangnya tidak kesiangan.”

“Siap, laksanakan,” canda Ardi.

“Ya sudah, besok aku tunggu.”

“Ini kamu sudah di rumah?”

“Tidak, masih di tempat kerja. Sudah mau pulang.”

“Aku jemput?”

“Tidak, aku akan naik taksi. Kelamaan menunggu kamu.”

***

Sampai kemudian memasuki rumahnya, Kinanti masih memikirkan sakitnya Guntur.

“Tidak bersemangat, kata dokter Rifai? Apa karena perceraian itu? Ah, entahlah, aku hanya ingin sekedar menjenguk saja, sebagai teman. Salahkah?” gumamnya.

Baru saja memasuki kamarnya, ponsel Kinanti berdering. Dari Suryawan.

“Kinanti, besok libur kan? Aku datang ya, mau masak-masak di rumah kamu, aku sudah menyiapkan sayur dan daging yang akan aku bawa besok,” kata Suryawan yang langsung mengutarakan niatnya.

“Maaf Mas, besok aku tidak ada di rumah.”

“Kemana?” terdengar nada kecewa dari sana.

“Ke luar kota.”

“Jalan-jalan? Bersama keluarga?”

“Tidak, hanya menengok teman sakit di Semarang.”

“Aku antar?”

“Tidak, terima kasih, sudah bersama teman yang lain.”

“Oh, baiklah kalau begitu. Bisa lain kali saja. Atau biar saja aku datang, aku akan masak bersama ibu, sehingga kalau kamu datang tinggal mencicipnya.”

“Tapi aku belum tahu akan pulang jam berapa.”

“Tidak masalah, sampai malampun masakan aku masih segar kok.”

“Baiklah, terserah Mas Suryawan saja.”

Kinanti menutup ponselnya. Suryawan sudah sangat dekat dengan ibunya, dan akrab dengan anak-anaknya. Suryawan juga sering membawa anak-anaknya ke rumah.

“Kamu baru pulang?” tiba-tiba bu Bono muncul di kamar Kinanti.

“Iya Bu. Anak-anak rewel?”

“Tidak. Mereka sedang tidur siang.”

“Besok mas Suryawan mau datang kemari.”

“Apa kamu ingin memasak sesuatu?”

“Dia justru ingin memasak di sini. Katanya sudah menyiapkan sayur dan entah apa lagi.”

“Sangat menyenangkan, laki-laki suka masak, walau hanya kalau sedang senggang.”

“Iya. Dia juga sangat memperhatikan anak-anaknya.”

“Apa kamu serius, melanjutkan hubungan dengan dia?”

“Bagaimana menurut Ibu?”

“Kelihatannya dia baik. Rasa kebapakannya sangat tinggi, dan itu menunjukkan bahwa dia orang yang penuh kasih sayang.”

“Benar.”

“Tapi mengasuh tujuh anak yang masih kecil-kecil, pikirkanlah semuanya baik-baik.”

“Iya, Kinan mengerti.”

“Jam berapa nak Suryawan mau kemari? Kamu bisa belajar memasak dari dia.”

“Besok Kinan mau pergi ke Semarang dengan Ardi.”

“Ada urusan pekerjaan?”

“Tidak, besok kan hari Minggu. Kinanti akan membezoek Guntur.”

“Apa?” bu Bono terperanjat, Kinanti masih memikirkan Guntur.

“Guntur sakit, kelihatannya agak parah, entahlah. Kinan mendengar dari dokter Rifai.”

“Kamu masih memikirkan Guntur?”

“Memikirkan dalam arti peduli sebagai teman. Kasihan ketika Kinanti melihat fotonya saat terbaring di rumah sakit.”

“Kamu harus hati-hati, jangan sampai istrinya salah paham.”

“Mereka sudah bercerai.”

“Bercerai? Pernikahan macam apa itu?”

“Entahlah, Kinanti juga tak ingin tahu tentang permasalahannya.”

“Dia gagal menjadi suami,” gumam ibunya sambil beranjak pergi.

Kinanti menghela napas panjang. Memang benar, Guntur gagal menjadi suami.

***

Ardi sudah datang menjemput sebelum jam delapan, dan mereka langsung berangkat karena Kinanti sudah siap sejak pagi sekali.

Tak lama setelah mereka pergi, Suryawan datang, sendirian.

“Kinanti sudah pergi Bu?” katanya sambil mencium tangan bu Bono.

“Baru saja berangkat bersama temannya.”

“Saya pikir masih bisa bertemu sebelum dia berangkat.”

“Mereka ingin berangkat pagi-pagi.”

“Rupanya yang sakit teman dekatnya ya Bu?”

“Dia … bekas suaminya.”

“Bekas suaminya?”

“Hanya karena mengingat bahwa dia ayah dari anak-anaknya, pastinya. Tapi dia tidak sendiri kok.”

Suryawan mengangguk mengerti.

“Silakan duduk Nak.”

“Saya datang untuk masak-masak di sini, apa Kinanti tidak mengatakannya pada Ibu?”

“Dia mengatakan kok. Apa mau langsung ke dapur?”

“Boleh Bu, saya sudah menyiapkan semuanya. Biasanya saya hanya mengirimkan masakan saya, tapi saya ingin menunjukkan bahwa saya benar-benar memasak semuanya sendiri.”

“Luar biasa nak Suryawan ini. Laki-laki pintar memasak.”

“Sebenarnya tidak pintar-pintar amat Bu, biasa saja. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa saya juga memperhatikan anak-anak saya. Saya ingin agar mereka mengerti bahwa saya bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka.”

“Saya kagum pada nak Suryawan.”

“Kasihan, dia sudah kehilangan ibunya,” kata Suryawan sambil mengikuti bu Bono ke dapur.

Di ruang tengah, ada anak-anak Kinanti yang menyambutnya.

“Ada om Suryawan … ada om Suryawan …”

Suryawan berhenti melangkah. Ia meletakkan bungkusan sayur yang dipegangnya, kemudian menggendong keduanya di tangan kiri dan kanannya.

“Anak cantik, wangi amat, sudah mandi semuanya?”

“Sudah, Om.”

“Bagus sekali. Sekarang om mau masak dulu sama nenek, kalian main sama bibik ya,” kata Suryawan sambil menurunkan mereka, lalu mengulurkan dua buah coklat yang tadi disimpan di sakunya, membuat mereka berteriak kegirangan.

“Apa yang harus disiapkan ini Nak,” kata bu Bono setelah sampai di dapur.

“Biar saya keluarkan dulu belanjaan saya ya Bu.”

“Luwes sekali nak Suryawan ini, semuanya dibelanjakan pembantu?”

“Tidak Bu, saya belanja sendiri semuanya, walaupun di hari kerja pembantu saya yang memasak.”

“Bukan main. Senang dong kelak yang jadi istrinya.”

Suryawan menatap bu Bono sambil tersenyum.

“Kalau diijinkan, saya ingin melamar Kinanti.”

Bu Bono tersenyum.

“Kalau saya sih, terserah Kinanti saja. Yang penting saya tahu bahwa orang yang melamarnya adalah orang baik, dan yang lebih penting bisa mencintai anak-anak Kinanti juga.”

“Saya sanggup menjalaninya Bu, saya akan mencintai mereka seperti kepada anak kandung saya sendiri.”

“Nanti kita akan bicarakan kalau Kinanti ada. Saya sebagai orang tua hanya berharap yang terbaik bagi anak saya. Kinanti sudah pernah gagal dalam berumah tangga, jangan sampai hal itu terulang kembali. Saya tidak sanggup melihat anak saya menderita."

“Saya berjanji akan mencintai dan menjaga Kinanti dan anak-anaknya, sampai akhir hayat saya,” kata Suryawan mantap, sambil menaruh brokoli di dalam air garam. Katanya, hal itu penting untuk menghilangkan ulat atau hama yang mungkin terselip diantara rumpun hijaunya.

***

Dalam perjalanan itu, Ardi tampak lebih banyak diam, kalau Kinanti tidak mengajaknya bicara.

“Hari ini kamu tampak lain. Kamu tidak suka mengantarkan aku?”

“Bukan, mengapa kamu berpikir begitu? Sejak awal aku sanggup, dan tentu saja aku sanggup. Guntur juga sahabatku, aku ikut prihatin dengan keadaannya.”

“Aku percaya, kamu memang penuh perhatian kepada kami, bahkan sejak masih sekolah dulu.”

“Kinanti, boleh aku bertanya?” kata Ardi yang kemudian tergerak untuk mengatakan sesuatu.

“Boleh saja, mau bertanya tentang apa?”

“Kamu semakin dekat dengan Suryawan. Kamu serius melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih matang?”

“Baru saja ibuku juga bertanya tentang itu.”

“Lalu apa jawabmu?”

“Bagaimana menurutmu?”

“Aneh kamu ini, ditanya belum dijawab malah balik bertanya. Aku hanya ingin kamu bahagia, Kinan. Kalau kamu serius dengan seseorang, kamu harus benar-benar tahu tentang dia. Bagaimana perasaannya terhadapmu. Benar-benar cinta atau hanya karena melihat kamu cantik. Dan yang lebih penting adalah apakah dia juga bisa mencintai anak-anakmu seperti anak kandungnya sendiri. Mengingat satu hal yang juga penting, yaitu bahwa dia juga punya anak-anak, lima anak yang masih kecil-kecil.”

“Iya, aku mengerti.”

“Aku bukan menghalangi. Kamu tahu Kinan, aku hanya ingin melihat kamu bahagia. Jangan sampai dia akan menyakiti kamu lagi. Aku tak mau hidupmu menderita.”

Kinanti menatap Ardi penuh haru. Kalau pantas, ingin sekali dia memeluknya erat sebagai ungkapan terima kasih.

“Aku tahu bahwa kamu sangat menyayangi aku, Ardi,” kata Kinanti dengan air mata berlinang.

Ardi menatapnya dan tersenyum.

“Mengapa menangis, Kinan? Apa aku menyakiti kamu?”

“Kamu membuat aku terharu. Kamu adalah satu-satunya orang yang selalu menjaga dan memperhatikan aku. Kamu adalah satu-satunya orang yang dengan tulus menyayangi aku.”

“Buat hidupmu bahagia, dan aku juga akan bahagia. Berjanjilah.”

“Aku janji, aku akan bahagia agar kamu juga bahagia,” kata Kinanti dengan suara bergetar.

Ada rasa dari keduanya yang mereka sebenarnya tidak bisa memaknai, rasa apakah itu? Barangkali hati mereka yang bicara, entahlah. Rasa apa itu, juga entahlah.

***

Mereka sampai di rumah sakit yang dimaksud. Berdebar hati Kinan ketika melangkah memasuki lorong-lorong rumah sakit itu, untuk menemukan ruang rawat di mana dokter Guntur dirawat.

Ketika kemudian mereka menemukannya, lalu memasukinya, ada haru yang melekat, melihat Guntur tergolek lemas dengan selang infus di lengannya. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus. Matanya terpejam.

Kinanti mendekat, lalu menyapanya lembut.

“Guntur …”

Mata yang semula terpejam, kemudian terbuka. Sayu, tanpa cahaya. Ia terus menatap Kinanti, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya.

“Guntur … aku datang bersama Ardi,” kata Kinanti lirih, sedikit bergetar.

Wajah itu bukan wajah Guntur yang pernah dikenalnya. Wajah tegar bersemangat, sekarang tak lagi tampak. Benar kata dokter Rifai, Guntur tampak tak bersemangat. Ia masih menatap Kinanti sambil bibirnya bergerak-gerak.

“Kamu tidak mengenali aku?”

“Kinanti … “ akhirnya ucapan itu terlontar, lemah.

“Aku mendengar kamu sakit. Lalu mengajak Ardi kemari.”

Guntur menatap Ardi yang berdiri tegak di samping Kinanti.

“Mengapa datang kemari? Aku tidak pantas … aku penuh dosa pada kamu … pada anak-anakku …” suara bergetar itu kemudian diiringi air mata yang menetes.

“Semua sudah berlalu, lupakanlah. Jalani hidupmu dan semangat. Langkah masih panjang, mengapa kamu habiskan hidupmu dengan rasa sesal?”

“Aku ,,, tak ingin hidup lebih lama, titip anak-anakku … “ suara itu semakin lemah. Tak tahan, Kinanti meraih tissue dan mengusap air matanya.

“Mana Guntur yang dulu penuh semangat?” sambung Ardi.

“Titip … anak-anakku … jangan sampai mereka mengenal ayahnya … yang … penuh dosa …”

“Jangan begitu, Guntur. Semangat, dan sehatlah.” tak urung mata Kinantipun menjadi basah.

“Satu yang kamu harus tahu, Kinanti ...  aku … masih … mencintai … kamu,” lalu air matanya bertambah deras.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Wednesday, February 26, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 47

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  47

(Tien Kumalasari)

 

Guntur melanjutkan makan, hanya sekilas menatap Wanda. Sesungguhnya ia tak mengira ketika Wanda tiba-tiba minta cerai. Guntur justru teringat ketika ia mengucapkan itu di depan Kinanti. Apakah ini adalah balasan? Tapi Guntur tak menyesal seandainya ini benar-benar terjadi.

“Kamu mendengar, Guntur? Aku mau kita bercerai, begitu aku melahirkan.”

“Ya, aku mendengarnya,” Guntur mengelap bibirnya dengan tissue.

“Sebenarnya sekarangpun aku mau. Tapi aku tak ingin kelahiran anakku tidak ditunggui oleh ayah kandungnya. Itu permintaanku yang terakhir sebelum kita benar-benar berpisah.”

“Sudah kamu pikirkan?”

“Tentu saja sudah. Aku merasa kehidupan kita tidak seperti yang aku harapkan. Aku merasa berjalan diatas bara. Memang benar, itu semua salahku. Aku bermimpi tentang jatuhnya rembulan, tapi justru matahari menyengatku.”

Guntur tersenyum.

“Ungkapan yang bagus. Sejak kapan kamu pintar merangkai kata-kata indah?”

“Aku tidak sedang bercanda. Ceraikan aku. Aku tahu kamu senang mendengarnya. Aku tahu kamu tak pernah mencintai aku. Menyesal sekali baru sekarang aku sadari semuanya.”

“Kamu benar. Aku tak pernah mencintai kamu. Kamu adalah boneka yang menemani aku bermain,” kata Guntur enteng.

Mata Wanda menyala karena marah, walaupun dia sudah mengerti semuanya.

“Aku minta maaf,”  lanjut Guntur bersungguh-sungguh.

“Kamu bisa kembali kepada wanita yang kamu cintai.”

“Semoga belum terlambat.”

“Kinanti juga sangat mencintai kamu.”

“Cinta yang ternoda, seperti kertas yang kusut. Susah untuk membuatnya menjadi mulus seperti semula.”

Wanda terdiam. Ia meneruskan makan, lalu bangkit tanpa mengatakan sesuatu lagi. Malam itu ia ingin pulang. Ia masuk ke dalam kamarnya, berkemas dengan susah payah, karena perutnya yang besar membuatnya tak mudah menata barang-barangnya.

“Mau ke mana?”

“Pulang.”

“Ini sudah malam, besok saja aku antarkan kamu.”

“Apa bedanya malam ini atau besok?” Wanda melanjutkan berkemas. Air matanya tiba-tiba tak lagi bisa ditahan, mengalir menganak sungai di sepanjang pipinya.

“Jangan menangisi keputusan yang sudah kamu katakan.”

“Aku menangisi kebodohanku.”

“Baiklah, aku bantu kamu berkemas, lalu aku antar kamu pulang. Sekalian aku mau bicara dengan ibumu.”

Wanda tak menjawab.  Ia biarkan Guntur membantunya. Ia bangkit setelah semuanya selesai, saat malam sudah larut.

“Benar, mau pulang sekarang?”

Wanda menarik kopornya menuju depan. Ketika ia mengambil ponselnya untuk memanggil taksi, Guntur mencegahnya.

“Aku antar kamu. Ini sudah malam,” katanya datar.

***

Ketika sampai di rumah bu Wita, rumah sudah terkunci rapat. Wanda naik ke teras, Guntur membantu menarik kopornya. Ada rasa iba melihat Wanda yang perutnya membuncit, dan wajah sebam yang membuatnya tampak pucat.

“Aku minta maaf,” katanya sambil menunggu pintu dibuka.

“Jangan lupa permintaanku yang terakhir, tungguin saat aku melahirkan,” katanya lirih, menahan tangis.

“Aku akan menunggui kelahirkan anakku, aku akan bertanggung jawab, kamu tidak usah khawatir.”

Perpisahan menjelang perceraian, berjalan seperti langkah-langkah ringan. Begitu mudah, semudah ketika meronce dosa-dosa nikmat yang mereka lakukan. Guntur kembali teringat kata cerai yang dia ucapkan di hadapan Kinanti ketika itu. Setahun lebih telah berlalu. Sama seperti sekarang, saat kata cerai dituntut dari istrinya, lalu semuanya berjalan lancar. Cerai bukan beban yang bertele-tele. Hanya Guntur yang mengalaminya.

Ketika pintu dibuka, lalu bu Wita menatap heran, Guntur mendekat dan mencium tangan mertuanya.

Melihat kopor yang ditarik, bu Wita terkesiap. Ia segera merangkul anaknya. Ketika Guntur mengatakan ingin bicara, Bu Wita justru menutup pintunya.

Guntur yang terpaku di luar pintu, lalu membalikkan tubuhnya, menuju mobil dan berlalu. Ia merasa seperti mimpi-mimpi buruk menerpanya.

“Kehidupan macam apa ini?” keluhnya sambil menjalankan mobilnya menuju pulang.

***

Wahyu bangun tidur, dan melihat sang ibu berbaring di sampingnya. Ia mengucek matanya karena tak yakin pada apa yang dilihatnya.

“Ada ibu?” bisiknya.

Ia menubruk sang ibu dari samping, untuk meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah benar.

“Ibu?”

Wanda menggeliat. Ia tersenyum melihat Wahyu duduk bersimpuh di sampingnya.

“Awas, jangan menindih ibumu, lihat, ada adik di dalam sini,” kata Wanda.

“Kenapa Ibu tidur di sini?”

“Mulai sekarang ibu akan tidur di sini.”

“Benarkah?” mata Wahyu bercahaya. Anak mana yang suka berpisah dengan orang tuanya?

Wanda mengangguk.

“Sementara ibu tidur di sini dulu, nanti ibu akan membersihkan kamar sebelah, karena ibu datang sudah tengah malam, tak sempat bersih-bersih kamar,” kata Wanda sambil bangkit.

“Tidak usah Bu, Ibu tidur di sini saja bersama Wahyu.”

“Mana mungkin Wahyu, kamarmu sempit begini, nanti tidurmu tidak nyaman. Tidak apa-apa ibu tidur di kamar sebelah, ibu akan selalu menemani kamu sebelum tidur.”

Wahyu mengangguk.

“Mana om Guntur?”

“Ibu sudah berpisah. Itu sebabnya ibu kembali ke rumah ini.”

“Mengapa?”

“Sudahlah, jangan banyak bicara, saatnya kamu sekolah kan? Mandi sana, dan bersiap.”

“Oh, syukurlah Wahyu sudah bangun,” kata bu Wita yang melongok ke kamar Wahyu.

“Iya, Wahyu senang ibu kembali ke rumah,” kata Wahyu sambil melompat turun.

“Ini handuknya, biar eyang siapkan baju seragam kamu,” kata bu Wita.

Wahyu menarik handuk yang diulurkan neneknya, dan melangkah ke kamar mandi dengan bersemangat.

“Anakmu senang kamu pulang,” kata bu Wita sambil menyiapkan baju seragam Wahyu, seperti yang dilakukannya setiap hari.

“Kebahagiaan Wanda ternyata ada di sini,” kata Wanda sambil turun dari ranjang.

“Tak apa kalau ini memang yang terbaik. Bukankah ibu sudah mengatakannya?”

“Wanda salah selama ini, maaf ya Bu.”

“Jalani hidup kamu sebagai seorang ibu. Kesalahan adalah guru yang terbaik dalam menjalani kehidupan selanjutnya.”

Wanda mengangguk, lalu merangkul ibunya.

***

Berbulan-bulan telah berlalu, Guntur kembali menjadi duda, sendiri dan kesepian. Setelah menunggui anaknya lahir seperti janjinya, mereka benar-benar bercerai.

Sesal demi sesal menindihnya, membuatnya sakit. Bukan hanya sakit raganya, tapi juga jiwanya.

Ada banyak kegagalan yang membuatnya merasa hidupnya tak punya arti. Kebaikan keluarga Subono diabaikan, cinta Kinanti dikibaskan, pesan dan harapan sang ibu dilupakan.

“Manusia apa aku ini?”

Terguguk Guntur meratapi luka-luka di hatinya.

Tapi bukankah sesal tak berguna? Ada setitik harapan untuk kembali kepada Kinanti. Tapi apakah Kinanti mau memaafkannya? Manusia kotor tak kenal budi dan justru menyakiti, pantaskah dimaafkan?

Ia pernah berkata, bahwa kertas yang sudah kusut, tak mungkin bisa kembali mulus. Begitu juga cintanya.

***

Berbulan-bulan berlalu, hubungan Kinanti dan Suryawan sudah semakin dekat. Suryawan bahkan sudah memperkenalkan anak-anaknya kepada Kinanti, yang menyapa mereka dengan manis saat dipertemukan.

Apakah Kinanti merasa kacau sehingga duda beranak lima berhasil menaklukkan hatinya? Tentu bukan karena duda itu gagah dan tampan. Kebaikan dan perhatian yang ditunjukkannya, dan janji untuk selalu melindunginya, membuat Kinanti menemukan sesuatu yang dicarinya. Luka karena pengkhianatan Guntur harus dibalasnya dengan kebahagiaan dalam hidupnya. Kinanti seperti sangat dan berharap Guntur melihat kebahagiaan itu.

Barangkali kemudian harapan Kinanti itu terwujud, ketika ia sedang makan siang setelah bertugas, bersama Suryawan.

Keduanya berbincang dengan manis, tanpa sadar kalau sepasang mata menatapnya dari kejauhan. Sepasang mata itu milik Guntur, yang pernah bermimpi bisa mendapatkan maaf Kinanti. Tapi apakah yang dilihatnya? Siapa laki-laki perlente yang berbincang sangat mesra dengan Kinanti? Pasti bukan teman biasa. Kinanti menemukan laki-laki yang akan dijadikan pengganti dirinya?

Guntur menangis dalam hati. Barangkali cinta itu masih tersisa, tapi kembali terkoyak oleh apa yang dilihatnya.

Guntur urung menyendok makanannya. Ia melambai ke arah pelayan agar memberikan bilnya, kemudian membayarnya. Ia keluar dari pintu samping, membawa remah-remah cinta yang kemudian hampir tak bersisa.

Apakah semua itu salah Kinanti? Salahkah kalau kemudian Kinanti menemukan pengganti?

Laki-laki itu lebih tampan dan gagah. Jauh di atasnya. Guntur merasa kecil. Bukan saja karena merasa dirinya tak semenarik laki-laki itu, tapi juga merasa bahwa dirinya tak akan lagi memiliki makna.

Guntur pulang menahan lapar, dan tak menghiraukan perih yang melilit, karena hatinya lebih perih lagi.

Ia menghempaskan tubuhnya di ranjang, dan meratapi dirinya yang tak berhasil menata hidupnya.

***

Ardi sedang membaca berkas-berkas yang menumpuk di mejanya, ketika sekretarisnya mengetuk pintu.

Ardi mengangkat wajahnya.

“Maaf Pak, ada tamu ingin bertemu, apakah Bapak berkenan menerimanya?”

“Siapa?”

“Namanya Guntur, katanya sahabat Bapak.”

Ardi menutup map yang baru dibacanya.

“Persilakan beliau masuk.”

Sekretaris itu mengangguk, lalu seseorang muncul ketika sang sekretaris membukakan pintunya. Wajah yang sangat dikenalnya, tapi tampak kurus dan sedikit pucat.

“Guntur? Angin apa yang membawamu kemari?” sambut Ardi yang kemudian berdiri dan merangkul sahabatnya.

“Kamu sibuk? Apakah aku mengganggu?”

“Tidak … tidak … ayo duduklah,” Ardi membawa sahabatnya duduk di sofa.

“Kamu tidak praktek?” tanya Ardi setelah mereka duduk.

“Aku cuti seminggu ini.”

“Cuti karena mau jalan-jalan?”

“Bukan. Hanya ingin menemui kamu.”

“Alhamdulillah, setelah dua tahunan kita tak pernah bertemu. Bagaimana kabarmu? Kamu kelihatan kurus.”

“Buruk.”

“Buruk? Kamu sudah punya anak lagi dari Wanda kan? Apa istrimu tidak merawatmu dengan baik?”

“Kami sudah bercerai.”

“Bercerai lagi? Rupanya kamu menganggap pernikahan ini sebagai permainan.”

“Kehidupan yang mempermainkan aku. Aku menyesal, semua salahku.”

“Lalu apa? Hidup ini memang gampang-gampang susah. Susah kalau kamu salah merawatnya, menjaganya. Tapi gampang kalau kamu berjalan di jalur yang baik, yang lurus, yang_”

“Sudah, jangan mengguruiku lagi.”

“Kesal mendengar perjalanan hidup kamu. Tapi baiklah, aku mengata-ngatai kamu karena kamu adalah sahabatku.”

“Ya, aku tahu.”

“Aku kecewa karena kamu tidak bisa menjaga kepercayaanku untuk membahagiakan Kinanti.”

“Maaf, aku khilaf.”

“Khilaf dalam menjalani kehidupan itu fatal kan?”

Guntur mengangguk-angguk. Ardi menghidangkan minuman dingin dari dalam kulkas.

“Minumlah, jangan sedih. Ini hidup yang kamu pilih.”

Guntur meneguk minumannya.”

“Beberapa hari yang lalu, aku bertemu Kinanti.”

“Bagus, kalian berbicara tentang apa?”

“Aku melihatnya dari kejauhan.”

“Kamu samperin dia?”

“Dia sedang bersama seorang laki-laki gagah.”

“O, iya. Aku tahu.”

“Kamu tahu apa?”

“Kinanti sedang dekat dengan seseorang.”

“Sedekat apa?”

“Untuk apa kamu bertanya? Pastinya kamu sudah tahu. Kinanti sudah lama menjanda, dia berhak bahagia.”

“Siapa dia?”

“Namanya Suryawan, pimpinan di sebuah BUMN, duda.”

Guntur menghela napas, lalu meneguk lagi minumannya. Ia berharap minuman dingin bisa mengendapkan gemuruh di dadanya. Kinanti berhak bahagia, itu benar, mengapa ada api menyala di hatinya?

“Kamu masih mencintainya?”

“Entahlah. Aku tak berharga.”

“Kamu terlambat menyadari semuanya.”

Guntur menundukkan wajahnya.

“Jangan sedih, kamu masih muda, kegagalan tidak harus membuat kamu putus asa.”

***

Kinanti tak menyadari kalau Guntur melihatnya dalam pertemuannya dengan Suryawan. Ia juga sudah tak memikirkannya. Suryawan memberinya kebahagiaan di saat hatinya sedang kering kerontang. Apa salahnya duda beranak lima? Nasib membuat hidup Suryawan terasa sendirian setelah istrinya meninggal. Seperti dirinya, setelah sang suami meninggalkannya. Ia juga sendiri, sepi.

Tapi siang hari itu, entah mengapa tiba-tiba terpikirkan olehnya Guntur. Mengapa tiba-tiba ia teringat Guntur yang sudah lama dilupakannya? Cinta yang semula masih tersisa sudah tinggal remah-remah yang tak berujud.

“Semoga kamu bahagia,” bisiknya lirih, saat ia sedang bebenah untuk pulang.

Tapi tiba-tiba seseorang muncul.  Dia lagi?

“Selamat siang, Kinanti.”

“Dokter Rifai? Saya sudah mau pulang,” kata Kinanti yang tak ingin berlama-lama dengan dokter bedah nan tampan itu. Pengalaman ketika istrinya datang membuatnya resah.

“Sebentar. Jangan takut, aku ingin mengabarkan sesuatu yang barangkali kamu perlu tahu.

Kinanti menunda keinginannya berdiri. Dokter Rifai duduk di depannya, dan Kinanti tak ingin bertatap berlama-lama. Tapi kemudian Kinanti menyadari, bahwa tatapan dokter Rifai sudah berbeda. Lebih santun.

“Ada apa?”

“Ada berita tentang dokter Guntur.”

“Ah, dia? Memangnya kenapa? Kami sudah tidak ada hubungan lagi.”

“Aku tahu. Seorang teman mengabari, kalau dia sedang dirawat karena sakit.”

“Sakit?” tak urung rasa ingin tahu Kinanti merebak.

Dokter Rifai mengambil ponselnya, membuka-buka, lalu menunjukkan sebuah gambar kepada Kinanti.

“Ini dia.”

Kinanti melihatnya, dan hatinya bergetar. Seseorang terbaring, dengan tubuh kurus kering. Dia Guntur.

***

Besok lagi ya.

ADA MAKNA 36

  ADA MAKNA  36 (Tien Kumalasari)   Wahyu menatap Reihan tak berkedip. Ucapannya sedikit mengejutkan. Ia meraba apa yang diinginkan sang adi...