JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 02
(Tien Kumalasari)
Yuli dan kawan-kawannya tahu, apa yang menyebabkan Kinanti tiba-tiba menjadi muram. Ketika bermain, teman-teman yang memegang gitar bergantian mendekati Kinanti dan berbisik memberinya semangat.
“Senyum Kinan, semangaaat.”
Lalu Kinanti mencoba tersenyum.
“Fokus bernyanyi, mereka memperhatikan kita.”
Lalu suara Kinanti tiba-tiba menghentak-hentak, berusaha menghilangkan galau ketika ia sadar bahwa kedua orang tuanya, terutama sang ayah, melihatnya bernyanyi di acara itu. Belum lagi kebohongan yang diutarakannya dengan mengatakan akan belajar kelompok.
“Surabaya … Surabaya … o Surabaya … Kota kenangan … kota kenangan … tak kan terlupa. Surabaya … di tahun empat lima … kami berjuang … kami berjuang … bertaruh nyawa …..”
Dan teman-temannya merasa lega ketika menyadari bahwa Kinanti mulai fokus pada tugasnya.
Tapi ketika acara itu selesai, wajah Kinanti menjadi muram kembali. Ia hanya duduk termenung ketika teman-temannya bebenah atas semua peralatan, dibantu oleh petugas yang dikirim oleh ayah Fitria.
Alangkah bahagianya menjadi Fitria. Kegemaran atau hobinya didukung sepenuhnya oleh sang ayah.
“Kinan, kamu hebat Kinan,” tiba-tiba suara itu mengejutkannya. Ardi tiba-tiba sudah ada di depannya, mengulurkan tangannya untuk memberinya selamat. Tumben malam itu Kinanti mau menerima uluran tangan Ardi, yang sangat gembira karena uluran tangannya berbalas. Lalu ia melihat wajah Kinanti yang muram. Tak ada senyuman tersungging ketika ia menjabat tangannya erat.
“Ada apa denganmu?”
Kinanti menggeleng lemah.
“Kamu sakit? Apa sebaiknya aku antar dulu kamu pulang. Aku membawa mobil.”
Kinanti menggeleng lagi.
“Mereka masih sibuk, memakan waktu lama untuk beberes. Lebih baik kamu pulang duluan. Kamu kelihatan sakit,” bujuk Ardi.
“Tidak, terima kasih.”
“Kamu tidak sakit? Wajahmu pucat lho, kelihatan kalau sakit. Padahal kamu tadi kelihatan bersemangat sekali.”
“Kinan, kalau kamu mau pulang dulu, pulanglah,” kata Fitria.
“Aku doakan kamu tak akan kena marah,” sambung Yuli.
“Ayuk, Kinan. Aku antar kamu. Apa kamu yakin bahwa ayahmu akan marah?” lanjut Ardi.
Ardi tidak tahu, karena barangkali ia datang ketika pak Bono dan istrinya sudah pulang, sehingga tak menyangka keadaannya akan sangat parah. Kinanti juga tak mengatakan apapun.
Karena teman-temannya membujuknya juga, mau tak mau Kinanti menurut ketika Ardi mengajaknya pulang. Lagi pula semakin malam dia pulang, pasti semakin parah kemarahan sang ayah.
“Ya sudah, aku pulang dulu ya.”
“Pulanglah. Besok kita latihan lagi sepulang sekolah,” kata Dhani.
Kinanti hanya tersenyum tipis. Benarkah besok ia masih akan bisa berlatih lagi bersama teman-temannya? Ia merasa, bahwa malam ini adalah malam terakhir baginya untuk menyalurkan hobinya.
***
Ardi menjalankan mobilnya pelan. Sebentar-sebentar ia menoleh ke arah samping, di mana Kinanti, gadis yang dikaguminya duduk terpaku sambil melihat ke jalan yang masih ramai karena banyak diadakan perayaan untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan.
“Ada apa sebenarnya? Kamu tidak sakit beneran kan? Ada yang menyakiti kamu?”
“Tidak,” Kinanti menjawab singkat.
“Kamu tadi bernyanyi bagus sekali. Kamu tahu kan, bagaimana para penonton bertepuk tangan dan berteriak histeris ketika kalian main?”
Ada senyuman tipis tersungging. Bukankah itu membahagiakan? Tapi bahagia itu kemudian tenggelam manakala Kinanti teringat ketika sang ayah menatapnya dengan penuh amarah. Itu masih di panggung. Bagaimana nanti kalau ia sudah sampai di rumah? Apakah sang ayah akan menggebugi tubuhnya dengan kemucing? Atau akan membelenggu kaki tangannya agar dia tidak ke mana-mana? Atau menguncinya di dalam kamar dan tak mengijinkan dia pergi?
“Fitria, ayo kita bertukar ayah,” jeritnya dalam hati.
Ahaa, mana mungkin ada pertukaran ayah? Kinanti ada-ada saja. Dalam pikiran yang kalut, sesuatu yang anehpun dipikirkannya.
“Kinan,” Ardi ingin sekali berbincang.
“Ada yang menyakiti kamu?” pertanyaan yang sama diulang, padahal tadi Kinanti sudah menjawab tidak.
Kinanti menoleh lagi, dan menjawab dengan jawaban yang sama.
“Katakan padaku Kinan, apa kamu kecewa karena Guntur tidak menyaksikan kehebatan teman-temanmu?”
Guntur? Kinanti bahkan tak sempat memikirkan Guntur, teman sekelas yang dikaguminya. Yang pendiam dan pintar. Tidak yang suka cengengesan seperti Ardi.
“Aku dengar Guntur sedang bersedih," kata Ardi lagi.
Sekarang Kinanti menoleh ke arah Ardi.
“Bersedih? Kenapa?”
“Bukan karena cemburu sama aku," Ardi cengengesan.
Sesungguhnya ia berusaha merebut perhatian Kinanti yang diketahuinya sangat menyukai Guntur. Tapi mereka tetap bersahabat. Ardi bukan laki-laki jahat.
“Apa?”
"Ayahnya sakit. Kamu tidak mendengar berita itu?”
Oh ya, kemarin ayahnya mengatakan kalau pak Suraji, ayah Guntur sedang sakit. Sakit yang sangat parah.
“Iya, aku mendengarnya.”
“Tapi tidak dirawat. Biaya rawat sangat mahal untuk keluarga mereka yang hidupnya pas-pasan. Aku besok mau ke sana, barangkali bisa membantu.”
“Besok kan sekolah?”
“Maksudku sepulang sekolah.”
“Aku ikut ya,” tiba-tiba hal yang menyangkut Guntur menjadikannya melupakan kesedihannya.
“Baiklah, nanti aku bawa mobil, agar bisa mengantarkan kamu sampai pulang.”
“Tidak usah, sekolah membawa mobil, apa kamu tidak takut terkena sangsi sekolah?”
Benar, di sekolah mereka, ada aturan ketat yang melarang murid-murid mereka ke sekolah dengan membawa mobil, agar tidak kelihatan perbedaan status sosial diantara mereka.
“Kan bisa diatur, dititipkan di asrama yang agak jauh dari sekolah.”
“Tidak usah, aku akan membawa sepeda motor juga.”
“Aku boncengin saja.”
Tapi Kinanti menggelengkan kepalanya. Ia tak suka terlalu dekat dengan Ardi, agar tidak dikira memberi harapan padanya.
Lalu mereka terdiam, dan Kinanti kembali teringat akan ‘nasibnya’ setelah sampai di rumah nanti.
***
Bu Bono duduk di ruang tengah, menemani sang suami yang sebentar-sebentar melihat ke arah jam dinding di depannya. Bu Bono sudah tahu, begitu Kinanti pulang, pasti akan terjadi kekacauan di rumah. Sudah bisa dipastikan, sang suami sangat marah melihat pertunjukan di Balai Kota tadi. Ketika semua orang bertepuk tangan, pak Bono langsung berdiri dan menarik lengannya untuk mengikuti. Dengan dalih masih ada acara lain, mereka berpamit kepada ketua penyelenggara. Padahal mereka langsung pulang menunggu saat Kinanti pulang untuk bisa melampiaskan kemarahan yang sudah sampai ke ubun-ubun.
“Jam berapa ini?” gumamnya sambil melihat lagi ke arah jam dinding.
“Baru jam sepuluh lebih sedikit,” jawab sang istri.
“Baru jam sepuluh,” gumamnya kesal. Kelihatan sekali dari nada bicaranya.
“Sebaiknya Bapak tidur saja, tidak usah marah-marah. Nanti tensinya naik lho,” kata sang istri mengingatkan.
“Tidak usah marah-marah? Bagaimana mendidik anak, ketika dia melakukan kesalahan lalu kita tidak boleh memarahinya?”
“Ini sudah malam. Lebih baik istirahat saja.”
“Tidak, aku ingin melihat, jam berapa dia akan sampai di rumah.”
“Pak, sekali-sekali biarlah dia menyalurkan hobinya. Dia juga tidak melupakan pelajarannya kok.”
“Iya, sekarang. Nanti? Kalau dia semakin tenggelam dalam kesenangannya itu? Orang itu kalau sudah senang, bisa lupa segala-galanya. Nanti dia itu juga harus bertanggung jawab pada hidupnya. Sekarang aku masih bisa mencukupi segala kebutuhannya. Nanti, kalau aku semakin tua lalu aku meninggal … bagaimana?” kata pak Bono tak mau menyerah.
Kalau sudah begitu, tak ada yang bisa meredakan kemarahannya.
“Ibu tahu kan, demi kesenangannya itu, dia sudah berani berbohong. Bilang apa dia sore tadi? Belajar kelompok bukan? Nyatanya apa? Ingat kan, bagaimana tadi dia berpamit? Apa dia bilang mau main band, menyanyi sambil berjingkrak-jingkrak?”
Bu Bono mengerti mengapa Kinanti berbohong. Kalau dia berterus terang, mana bakal diijinkan oleh ayahnya? Tapi dia diam saja. Kalau dia menjawab, pasti omelan akan menjadi lebih panjang.
“Kamu tidur saja sana, aku belum mau tidur.”
“Lebih baik Bapak yang tidur, biar ibu menunggu Kinanti.”
“Nggak usah.”
Tapi bu Bono tetap menemani suaminya duduk, walau kantuk mulai menyerangnya. Ia melirik ke arah suaminya, yang kelihatan sudah mengantuk juga. Apa kemarahannya sudah mereda sehingga kantuk segera menyerang? Bu Bono berharap agar sang suami tak membuat keributan di malam buta. Perlahan dia menelpon Kinanti, tapi beberapa saat lamanya tak ada jawaban. Melihat hal itu sang suami malah menegurnya dengan kesal.
“Untuk apa kamu menelpon dia? Suara bising seperti tadi, mana dia mendengar dering di ponselnya?”
“Masa belum selesai juga?”
“Orang kalau menyukai hura-hura seperti itu, tak akan ingat untuk berhenti.”
Rupanya sang suami belum benar-benar mengantuk. Buktinya masih bersuara lantang.
Dering ponsel membuat pak Bono kemudian meraihnya.
“Dari Kinanti?” tanya bu Bono.
“Bukan, dari bu Raji. Sebentar.”
“Ya, bu Raji,” sapanya membuka percakapan. Tampaknya ada yang perlu, soalnya malam-malam menelpon.
“Pak Bono, saya minta maaf, malam-malam mengganggu.”
“Tidak apa-apa Bu, ada apa? Mas Raji kesakitan lagi?”
“Iya, malam ini saya bawa ke rumah sakit.”
“Oh, ya. Baiklah, saya akan ikut mengontrol. Saya akan menelpon rumah sakit sekarang, agar mas Raji mendapat perawatan terbaik.”
“Terima kasih Pak. Sekali lagi mohon maaf.”
“Tidak apa-apa, justru sebaiknya, walau tengah malam sekalipun, kalau ada apa-apa, saya mohon saya segera dikabari. Sekarang saya mau menelpon rumah sakit dulu.”
“Terima kasih Pak.”
Pak Bono, walau keras terhadap anaknya, tapi dia sangat baik kepada semua orang. Apalagi pak Raji adalah sahabatnya sejak masih sekolah. Ia segera menelpon rumah sakit, menanyakan keadaan pak Raji, kemudian memberi instruksi kepada dokter jaga yang menanganinya.
“Baik, untuk sementara tangani dulu, besok pagi-pagi sekali saya akan melihat keadaannya. Bagus. Lakukan yang terbaik. Terima kasih banyak.”
Pak Bono menutup pembicaraan setelah memberi beberapa instruksi kepada bawahannya, tentang apa yang harus dilakukan.
“Bagaimana keadaan mas Raji?”
“Semoga bisa membaik,” hanya itu jawaban pak Bono, dengan wajah prihatin.
***
Mobil Ardi hanya berhenti di tepi jalan. Kinanti melarangnya masuk.
“Mengapa? Bukankah aku harus bertemu orang tua kamu dan mengatakan bahwa kamu baik-baik saja?”
“Tidak usah. Mereka pasti sudah tidur. Terima kasih karena sudah memberi tumpangan,” kata Kinanti yang wajahnya masih tampak muram.
“Benar, kamu baik-baik saja?”
“Iya, jangan khawatir. Sekali lagi terima kasih.”
Kinanti melangkah masuk, tapi Ardi belum ingin meninggalkan tempat itu. Ia harus memastikan bahwa Kinanti sudah masuk kerumah dalam keadaan baik.
Halaman rumah itu sudah sepi, dan Kinanti sudah naik ke teras rumah. Ardi merasa lega, kemudian meninggalkan tempat itu.
Kinanti memencet bel rumah, tak ada tanggapan. Ia mengetuk pintu pelan. Tubuhnya terasa kedinginan. Tangannya juga gemetar, karena membayangkan sang ayah akan menyemprotnya dengan berapi-api.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, tapi kemudian suara ayahnya menahannya.
“Jangan dibuka.”
“Itu pasti Kinanti.”
“Iya, aku tahu, biarkan saja.”
“Pak. Diluar dingin.”
“Jangan dibuka. Ayo masuk ke kamar, dan tidur.”
“Pak ….”
“Sudah, matikan lampunya dan masuk ke kamar.”
Tak terdengar sang ibu menjawab. Kinanti melihat ruang tamu dimatikan.
“Paaak, Buuu, ini Kinanti,” kata Kinanti keras dengan suara gemetar.
Tapi tak ada jawaban.
“Paaak, Ibu…..”
Yang terdengar hanyalah gema suaranya sendiri. Air mata Kinanti meleleh. Ayahnya membiarkannya kedinginan diluar?
“Pak, aku minta maaf Pak. Ampuuun, Bapak …” memelas suaranya, tapi tetap saja tak ada jawaban. Senyap di dalam.
Kinanti menjatuhkan tubuhnya dilantai. Udara yang dingin, lantai yang dingin, membuatnya semakin menggigil.
“Bapaaak, Kinanti mohon maaf, janji tak akan mengulanginya lagi. Maafkan Kinanti Bapak. Mulai sekarang Kinanti tak akan lagi bermain musik atau menyanyi. Kinanti janji, sungguuuh, Kinanti hanya akan belajar. Tolong buka pintunya, Pak. Buka pintunya, Kinanti kedinginan.”
Tak ada jawaban. Sang ayah benar-benar membiarkannya di luar, tak mengijinkannya masuk ke rumah.
“Bapaaak, maafkan. Kinanti janji tak akan lagi bernyanyi. Janjiiii Bapaaaak, Kinanti janjiii,” suara itu sudah seperti tangisan yang menyayat. Tapi pak Bono benar-benar tega. Berjam-jam Kinanti menunggu, tak ada jawaban, tak ada reaksi dari dalam.
Kinanti berjalan ke arah kursi, meringkuk dengan merangkul kedua lututnya. Mengetatkan jacket yang dipakainya. Diluar sangat gelap. Angin dingin menyergap tanpa ampun. Ada pohon besar di halaman. Dalam remang lampu taman yang redup, bayangan pohon itu bagai hantu kehitaman dengan seribu tangan yang melambai-lambai. Kinanti memejamkan matanya, ketakutan.
***
Besok lagi ya.
ππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
JeBeBeeL_02 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhaiπ¦π
ππππππππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng
DeleteπΉπͺ΄πΉπͺ΄πΉπͺ΄πΉπͺ΄
ReplyDeleteAlhamdulillah....
Syukron Bu Tien, JeBeBeeL_02 sdh tayang.
Baru awal cerita sdh kelihatan Kinasih hobinya tersendat karena orang tuwa yang ketat pengawasannya....
πΉπͺ΄πΉπͺ΄πΉπͺ΄πΉπͺ΄
Semoga bu Tien sehat ya.
DeleteTak bedek ana tamu, mula rada telat "klik" di blogspot nya
Kinanti loh namanya, bukan Kinasih... Hehehe
DeleteSami2 mas Kakek
DeleteIya. Kinanti jeng Sari. Mas Kakek nglindur
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Imdriyanto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteHamdallah
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 02* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Wedeye
Matur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan bersama keluarga tercinta...
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteNuwun juga
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Alhamdulillah, Matur nwn bu Tien, salam sehat dan Aduhai
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat dan aduhai juga
Alhamdullilah ..terima kasih bundakuπselamat mlm dan selamat istirahat..slm sehat sll dan aduhai dri sukabumi unk bundaku sekeluargaππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat dan aduhai dari Solo
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),02 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Uchu
Alhamdulillah.Maturnuwun π·πΉ πππSemoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Apa pak Suraji tidak tertolong ya... Terus Guntur dibiayai oleh pak Bono.
ReplyDeleteKasihan Kinanti, tidur diluar kedinginan.
Yang penting tidak lupa belajar dan tetap menjaga etika.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Alhamdulilah , maturnuwun bu Tien .. salam sehat dan aduhai aduhai bun π€©π€©
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteSalam sehat aduhai 2x
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..ππ
Sami2 ibu Padma Sari
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien yg piawai membuat cerita nyata dg mengharu biru... Masya Alloh bu Hapoy .eh Kinanti ..π·π·π·π·π·.
Ahaaa... jeng Susi lucu deh
DeleteSami2
Alhamdulillah, Suwun Bu Tien …π€
ReplyDeleteSmoga Ibu sll Sehat
mungkinkah Rumi nongol di sini …!?
( mumpung topiknya Anak” SMA ) …π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun Mbah Wi
Waduh
ReplyDeleteNyekukruk kademen, klasik, ketakutan ortu akan ilmu yang dibayar nggak masuk otak Kinan, atau merasa bisa mengatasi segala masalah kesehatan, katanya keseimbangan ilmu dan kesenangan menjadikan diri pede menghadapi tantangan, begitulah kata orang.
Kan dianggap belum dewasa, wuah wis ngerti yang yangan mestine ya bisa ngatur diri, koe kui apane wani wani usul, kui karepΓ© bapakne, bocah ya bocah, bocah kudu manut wong tuwa, wis embuhlah menawa duwΓ© seni marake nyenining, kementhus.
Lho sapa ngerti bakat saka turune ibuné biyèn nembang/nyindèn.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang kedua sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Crigis
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat ππ
Genre nya ganti nggih bu Tien... cerbung drama² keluarga aneka warna..... mantab, maturnuwun.
DeleteSami2 ibu Ratna
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah Probo
Alhamdulillah JeBeBeeL 2 sdh tayang
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien. Semoga sehat selalu bahagia bersama keluarga tercinta π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Umi
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 02 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Selamat berakhir pekan Bunda Tien.
Kasihan Kinan, sdh merengek rengek minta maaf kpd ayah nya, tetap tdk di bukain pintu. Dalam ketakutan Kinan meratap, gimana kalau ayah nya di tukar dengan ayah orang lain ya..ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Kinanti kademen tidur diteras.
ReplyDeleteKasihan deh. Mbok disuruh tidur aja dirumah Kakèk. Kan banyak jamar kosong
Terima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu.ππ»ππ»ππ»
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Nana
Waduh bapak nya galak n tega juga terhadap anak perempuan.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ika
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteNuwun pak Djodhi
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
Delete