JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 01
(Tien Kumalasari)
KANDASNYA SEBUAH KEGEMARAN.
Kinanti berlarian di halaman sekolahnya, ketika ketiga temannya sudah menunggu di gerbang. Mereka berempat adalah sahabat yang memiliki hobi yang sama. Menyanyi dan bermain musik.
Mereka adalah Kinanti, Dhani, Yuli, dan Fitria.
Kepulangan sekolah lebih awal, menjadikan mereka sangat gembira, karena bisa berlatih di rumah Fitria. Ya, mereka berempat adalah sekelompok pemusik dan penyanyi, yang sudah sering manggung di acara-acara sekolah atau lainnya.
“Jangan sampai kelamaan latihannya, nanti ketahuan bapakku, aku bisa kena hukuman,” kata Kinanti.
“Iya, kami sudah tahu,” jawab ketiga temannya serempak.
Di rumah Fitria mereka selalu berlatih, karena Fitria memiliki alat-alat band yang memang disediakan oleh orang tuanya, yang mendukung hobi anak gadisnya. Bahkan dia juga mendatangkan guru musik untuk melatih anaknya be
serta teman-temannya, sehingga mereka kemudian bisa berlatih sendiri tanpa bimbingan, karena ternyata mereka adalah gadis-gadis yang berbakat.
Berbeda dengan pak Bono, orang tua Kinanti, yang sama sekali tidak menyukai musik, tentu saja menentang kesukaan Kinanti bersama teman-temannya.
Itu sebabnya, setiap latihan, Kinanti melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
Terkadang dia harus berbohong, ketika harus main di suatu tempat.
Pak Bono adalah orang berada, seorang dokter kepala rumah sakit. Ia sangat keras dan disiplin. Baginya, masa muda adalah masa untuk mengunduh ilmu, agar bisa menjadi bekal untuk hidup mereka kelak. Bermain musik? Menyanyi? Awas saja kalau sampai ketahuan nanti.
Kinanti yang kurang suka memegang alat musik, memilih menjadi penyanyi.
Hari itu, saat mereka berlarian ke rumah Fitria yang tidak begitu jauh dari rumah, seorang laki-laki mengejarnya.
“Ikuuut,” teriaknya.
“Naaah, ada Ardi tuh. Nanti ada yang bisa mengantar kamu pulang, Kinan.”
“Huuh, nggak mau, dia tuh cerewet. Sudah aku bilang jangan sampai ayahku tahu, dia malah ngomong.”
“Maksudnya bilang kalau kita sedang latihan?”
“Iya, apa lagi yang aku rahasiakan dalam hidup ini kecuali menyalurkan bakat seni aku ini,” kata Kinanti cemberut.
Walaupun Ardi kelihatannya suka pada Kinanti, tapi Kinanti tak pernah menaruh perhatian padanya. Ardi terlalu banyak bicara. Ia pernah kena marah gara-gara Ardi keceplosan ngomong pada ayahnya, bahwa baru saja mengantarkan Kinanti latihan.
“Latihan apa?” tanya pak Bono waktu itu.
Kinanti sudah memelototinya, tapi Ardi sudah terlanjur membuka mulut.
“Menyanyi, Om. Mereka kan pemain band. Ya main, ya nyanyi.”
“Apa? Siapa menyuruh kamu menjadi pemain band?” kata pak Bono sambil melotot menatap anak gadisnya.
“Kinan tidak main band kok Pak, hanya ….”
“Hanya apa?”
“Hanya membantu … mm … menyanyi.”
“Menyanyi juga tidak boleh. Apa-apaan kamu tuh. Bukannya tekun menuntut ilmu malah menyanyi.”
“Tapi Kinan tetap belajar kok Pak.”
“Tetep tidak boleh. Belajar ya belajar, bukan sambil mengikuti hobi kamu yang tidak berguna itu. Apa menyanyi? Apa yang kamu dapat dengan menyanyi? Kamu akan menjadi artis? Yang setiap saat dipajang di televisi, sambil tertawa-tawa, lalu menjadi terkenal, lalu …._”
“Tidak Pak, Kinan hanya_”
“Pokoknya apapun alasannya tidak boleh,” tandas sang ayah yang kemudian langsung masuk ke dalam rumah.
Kinanti memarahi Ardi habis-habisan.
“Maaf, Kinanti, aku keceplosan.”
"Bibir kamu tuh harusnya ditempelin lakban, supaya tidak ngomong sembarangan."
“Maaf,” katanya dengan wajah mengkerut.
Kinanti yang lembut sebenarnya seorang gadis yang keras kepala. Ia tidak suka dilarang-larang, dan baginya menyanyi adalah sesuatu yang membuatnya sangat gembira. Kalau sudah menyanyi, dia bisa lupa segalanya.
“Ya ampuuun, kalian ini berjalan apa berlari sih, sampai ngos-ngosan aku mengejar kalian,” kata Ardi yang kemudian bisa mengejar teman-teman sekelasnya.
“Ngapain kamu kemari? Ini bukan untuk anak laki-laki. Pergi sana!” kata Kinanti sambil memelotot ke arah Ardi.
“Ya ampuun, cantik-cantik, galak amat,” kata Ardi yang nekat mengikuti langkah teman-temannya. Baginya, dimarahi Kinanti adalah sesuatu yang tak pernah membuatnya sakit hati. Habisnya, Kinanti itu, marah atau tersenyum, sama cantiknya. Tak pernah bosan Ardi menatapnya. Baik dia sedang tersenyum, ataupun marah.
“Biar saja Kinan, dengan adanya Ardi, pekerjaan kita bisa lebih enteng. Dia kan bisa membantu menata alat-alat musik kita,” kata Fitria.
“Haaa, benar. Biarin saja Kinan, galak benar sih kamu?”
“Dia itu memang galak, yang nggak pernah digalakin, hanya satu tuh.”
“Guntuuuuur,” teriak ketiga temannya, yang membuat wajah Kinanti kemudian menjadi merah. Tapi wajah Ardi menjadi gelap seketika.
“Apa tuh, Guntur? Kutu buku jelek,” seru Ardi.
“Yeee, jangan cemburu Ardi, belum tentu juga Kinanti memilih Guntur, kamu kan lebih ganteng,” kata teman-temannya, kecuali Kinanti yang sudah berjalan lebih dulu memasuki halaman rumah Fitria.
Dan dengan patuh, demi cintanya pada Kinanti, Ardi melakukan apa saja untuk membantu gadis-gadis yang bersemangat untuk menghidupkan lagu-lagu dengan permainan musik mereka yang semakin matang.
“Kamu mau nyanyi Ardi? Ayolah, pilih sebuah lagu,” teriak Dhani.
“Apa? Tidak … tidak … Nanti micnya bisa pecah kalau dia berteriak di depannya,” seru Kinanti yang benar-benar tidak menyukai Ardi.
“Nggak, aku juga nggak mau nyanyi, memang aku nggak bisa nyanyi. Aku ngelihatin kalian saja sudah senang.”
“Ngeliatin kami atau ngeliatin Kinanti?”
Ardi hanya cengar-cengir, sementara Kinanti semakin cemberut.
Dua jam latihan, serasa belum merasa puas. Tapi bagaimana lagi, Kinanti harus sudah sampai di rumah sebelum sang ayah pulang.
Walau terburu-buru, tapi Kinanti tetap menolak diantar Ardi, yang sepeda motornya ditinggal di sekolah. Takutnya Ardi nyerocos lagi dan dirinya akan terkena marah ayahnya.
***
Berlarian masuk ke dalam rumah, Kinanti merasa lega karena tidak melihat mobil ayahnya di halaman maupun di garasi. Tapi begitu masuk ke rumah, sang ibu sudah menghadangnya.
“Baru pulang?” tanya sang ibu.
“Ii … iya.”
“Ah, jawabannya gugup begitu pasti bohong deh. Latihan band lagi?” tuduh sang ibu, dan Kinanti tak bisa menolaknya. Tapi ia tak begitu ketakutan seperti kalau berhadapan dengan ayahnya. Ibunya sangat baik, lembut dan penuh pengertian. Sang ibu hanya selalu mengingatkan, jangan lupa belajar … jangan lupa belajar … dan itu melegakan. Tentu Kinanti hanya mengangguk mengiyakan, sambil memeluk sang ibu dengan penuh kehangatan.
“Mandi, ganti baju dan makan,” titah sang ibu.
“Ibu masak apa?”
“Ada aja. Itu kesukaan kamu semua, cepat mandi dulu, kamu bau keringat.”
Kinanti tertawa kecil. Ia sangat bersemangat menyanyi, tentu saja keringat sudah mengalir membasahi tubuhnya, dan bajunya. Ia mencium ketiaknya sendiri lalu nyengir, dan lari ke kamar mandi.
Sang ibu menatapnya tersenyum, lalu memerintahkan bibik pembantu untuk menyiapkan makan siang bagi nona majikan.
Sebenarnya ia tidak ingin melarang Kinanti melakukan apa yang disukainya. Hanya menyanyi, apa itu buruk? Tapi sang suami berpendapat lain. Menyalurkan hobi akan membuatnya melupakan tugas belajar. Padahal Kinanti selalu mendapat nilai baik di sekolah. Bahkan sejak dia SD sampai SMA. Tapi sang suami tetap tak mau menerimanya. Ia takut Kinanti tak berhasil mencapai cita-citanya karena keasyikan melakukan kegemarannya itu.
Walau begitu, tampaknya Kinanti tak mau berhenti.
***
Saat makan malam, pak Bono selalu menanyakan kepada anak gadisnya, bagaimana kegiatan di sekolah, adakah sesuatu yang menyulitkan, bagaimana teman-temannya, dan seterusnya.
Kinanti selalu menjawabnya dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
Tapi malam itu sang ayah bercerita tentang sahabatnya yang sakit.
“Kamu kenal pak Suraji kan? Ayahnya Guntur?”
Kinanti berdebar ketika sang ayah menyebut nama itu. Ayah Guntur, pak Suraji, adalah sahabat ayahnya sejak mereka masih bersekolah.
“Pak Suraji sakit agak berat.”
“Sakit?” tanya bu Bono dan Kinanti hampir bersamaan.
“Ia terkena kanker prostat, dan sudah tidak mampu bekerja.”
“Kasihan ya Pak, apakah kalau terkena kanker itu lalu tidak akan bisa diselamatkan?”
“Tergantung seberapa berat penyakit itu menyerang tubuhnya, dan tergantung kekuatan orang yang terkena.”
“Bagaimana dengan pak Raji?”
Pak Bono tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya dengan perasaan sedih.
“Semoga ada mujizat yang bisa menyembuhkannya.”
“Aamiin,” kata bu Bono dan Kinanti bersamaan.
Bayangan Kinanti langsung melayang kepada Guntur. Pasti Guntur sedih sekali mengetahui ayahnya sakit begitu berat. Pantas saja beberapa hari ini Guntur tampak selalu menyendiri dan seperti tak bersemangat.
Tiba-tiba terdengar ponsel Kinanti dari arah kamarnya, yang memang berdekatan dengan ruang makan.
“Lanjutkan makannya dulu,” kata sang ayah.
“Barangkali penting,” kata Kinanti sambil berdiri, lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya. Ternyata dari Fitria.
“Ya Fit,” sapa Kinanti.
“Kamu lagi ngapain?”
“Lagi makan.”
“Aduh, baiklah, aku ngganggu sebentar saja. Besok Minggu depan kita harus main.”
“Main?”
“Ya. Ada permintaan dari panitia tujuhbelas Agustusan, agar kita main di Balai Kota.”
“Asyiiiik.”
“Besok kita bicara lagi. Lanjutin makannya, nanti ayahmu marah.”
“Baiklah, okey, terima kasih.”
Kinanti meletakkan ponselnya lalu bergegas kembali ke ruang makan.
“Tampak gembira sekali kamu, ada kabar apa?” tanya sang ayah.
“Itu, dari teman.”
“Teman band?” tuduh sang ayah.
“Teman sekolah.”
“Kamu kelihatan gembira sekali sih?”
“Itu, ia mengabari bahwa besok guru Kimia Organik tidak masuk.”
“Guru tidak masuk kok kamu kelihatan seneng? Harusnya rugi dong, tidak dapat tambahan ilmu?”
Aduh, Kinanti ingin berteriak kesal. Kenapa ayahnya terlalu menekankan dirinya agar hanya memikirkan sekolah.
“Mengapa gurunya tidak masuk?”
“Mm, nggak tahu Pak,” jawab Kinanti, karena dia memang tidak tahu. Bukankah jawabnya hanya karangan saja?
“Anak-anak jaman sekarang. Guru tidak datang malah senang,” gumam ayahnya walau tidak berhenti menyendok makan malamnya.
Bu Bono melirik Kinanti, yang menundukkan wajahnya. Ia tahu kalau Kinanti pasti berbohong.
***
Menjelang main di Balai Kota itu keempat gadis band yang menamakan band mereka dengan nama DARA REMAJA, setiap hari rajin berlatih. Mereka akan tampil bukan seperti biasanya di perayaan sekolah, tapi di Balai Kota, yang pasti akan dihadiri oleh para pejabat.
Sore itu Kinanti sudah berdandan. Agak takut keluar dari kamar, ketika melihat sang ayah sedang duduk bersama sang ibu.
Melangkah dengan sedikit gentar, ia sudah menyiapkan jawaban kalau ditanya. Pasti ditanya dong, sore-sore begini mau pergi ke mana.
“Mau kemana kamu?” tanya sang ayah.
Tuh kan.
“Mau ke rumah teman, Pak. Belajar kelompok.”
“Belajar kelompok ya? Pulang jangan malam-malam, bapak sama ibu mau pergi juga nanti.”
“Baik.”
“Naik apa? Biar diantar sopir?”
“Sudah memanggil taksi Pak, teman-teman sudah menunggu.”
“Ingat, jangan malam-malam pulangnya.”
Kinanti langsung keluar, takut ada pertanyaan lagi dan karena itu nanti bohongnya akan bertambah banyak.
Ia sudah memanggil taksi, sehingga tak begitu lama dia menunggu, taksi itu sudah datang.
Sampai di rumah Fitria, teman-temannya sudah menunggu. Alat-alat yang akan mereka pergunakan sudah dibawa ke arena pertunjukan. Ayah Fitria yang mengaturnya.
Ketika mereka sampai, tinggal menyetel beberapa peralatan. Fitria yang menjadi drumer sudah menggebugnya bertalu-talu. Yang memegang gitar sudah menyetel semuanya, lalu semuanya menjadi sempurna.
Disekitar panggung, riasan merah putih mendominasi seluruh ruangan. Semuanya tampak apik dan semarak.
Tamu undangan sudah memenuhi arena perayaan. Lagu Indonesia Raya sudah selesai berkumandang. Ada sambutan-sambutan dari para pejabat, dan keempat dara remaja itu hanya duduk dibelakang panggung menunggu giliran.
“Hadirin yang kami hormati, sekarang saatnya, menikmati hiburan yang pasti akan menggugah semangat kita, karena sekelompok grup band remaja yang terdiri dari empat remaja cantik, akan menggetarkan ruangan ini dengan lagu-lagunya yang penuh semangat.”
Tirai terbuka, lalu tampak keempat wajah cantik dengan senyum sumringah mengangguk ke arah pada hadirin.
“Marilah kemari … hei .. hei … hei .. hei… Hai kawan.”
Lalu tepuk tangan menggema. Bagaimana tidak, keempat gadis cantik dengan seragam bernuasa merah putih, sedang bergaya dengan manis.
Tapi tiba-tiba senyuman Kinanti menjadi surut. Suara emasnya sedikit tersendat, ketika melihat wajah kedua orang tuanya, duduk di kursi kehormatan terdepan.
Dan tiba-tiba pula, sang ayah menggamit sang ibu, diajaknya berdiri. Kinanti tak tahu, ayahnya kemudian bicara apa dengan penyelenggara, yang jelas tak lama kemudian ia tak lagi melihat bayangan keduanya.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteYesss
DeleteAlhamdulillah JBBL_01 sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien..... Semoga sehat selalu dan selalu sehat, nggih.
Salam ADUHAI..πΉπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku cerbung baru tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah...cerbung baru
ReplyDeleteJeBeBeeL._01.sudah tayang ..sehat ya Mbak Tien
Matur sembah nuwun..ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
Yes
ReplyDeleteMakasih
Sami2 ibu Kharisma
DeleteHamdallah
ReplyDelete..sampun tayang
Alhamdulillah, cerita baru sdh mulai tayang. Matur nuwun Bu Tien... Sugengn ndalu, mugi Ibu & kelg tansah pinaringan sehat.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU/JBBL telah tayang perdana, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah seri perdana
ReplyDeleteNuwun wuk
DeleteAlhamdulillah tayang perdana... matur nuwun bunda Tien, salam hangat dri Bintaro
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteSalam hangat dari Solo
Alhamdulilah nomer perdana, jangan bisrkan bungaku layu..
ReplyDeleteMaturnuwun bu. Semoga bu Tien sll sehat, salam.sehat dan aduhai aduhai bun
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Djodhi
π₯πͺ»π₯πͺ»π₯πͺ»π₯πͺ»
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
Cerbung Baru "Jangan
Biarkan Bungaku Layu"
sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaππ¦
π₯πͺ»π₯πͺ»π₯πͺ»π₯πͺ»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Waah...keren ibu Tien, sudah tayang judul barunya...apakah ini kelanjutan kisah Arumi? Hehe...jadi kepo deh, ga sabaran pingin tahu.π€☺️
ReplyDeleteTerima kasih, ibu...salam sehat selalu.ππ»ππ»ππ»
Bukan ibu Nana.
DeleteMatur nuwun dan salam sehat juga
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 01* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terima kasihi Bunda Tien...tayangan perdana cerbung Jangan Biarkan Bungaku Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Pak Bono...orang nya kolot, tidak senang, anak gadis nya mempunyai hobby nyanyi. Padahal tdk meninggalkan kewajiban nya sebagai pelajar.
Hobby bernyanyi yang dapat mengibur diri juga dapat menghibur orang lain, seperti Inyonge ini..
ππ
Aamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillaah,
ReplyDeleteπΊ JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYUπΊ sdh hadir, Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya, π€π₯°
Seru nih, Kinanti ketahui ,,,
Sami2 ibu Ika
DeleteAlhamdullilah JBBL 01 sudah tayang..terima kasih bundaqu..slmt mlm dan slmt beristrht..salam seroja dan aduhai dri skbmi unk bunda sekeluargaππ₯°πΉπ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam aduhai dari Solo
Matur nuwun Bu Tien. Saya dapat merasakan apa yg dirasakan Kinanti atas larangan ayahnya karena saya jg pernah dilarang suami tiap kali mau latihan menyanyi dan line dance. Alhamdulillah sekarang sudah diijinkan. Semoga kesehatan Ibu tetap terjaga njih....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Semoga bahagia
aamiin yaa rabbal alamiin....
DeleteSayang pak Bono cepat pulang. Tidak menyaksikan sambutan para penonton yang tentunya sangat puas.
ReplyDeleteBagaimana dengan Kinanti ya, tentu kena marah, apalagi sudah berbohong kepada ayahnya.
Terima kasih mbak Tien, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU rasanya akan membawa masalah ayah yang egois.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah matur nuwun ibu ππ»
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah sdh bisa coment lgi..
ReplyDeleteMohon maaf bunda Tien, dikarenakan ada yg masih dikerjakan..π
Matur nuwun dan sehat² selalu kagem bunda Tien..π€²π€²
Aamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun ibu Padma Sari
Alhamdulillaah cerbung baru sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin yaa Robbal' Aalamiin
Aamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Alhamdulillah... Sehat sellau, mtnw selalu menemani... Maaf lama gk menyapa... πππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun jeng Lun
Semoga sehat juga
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien telah ditayangkan cerbung baru * JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU*
Semoga lancar n bu tien selalu sehat² , senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT ..... Aamiin yra
Alhamdulillah.Maturnuwun cerbung baru π·πΉ Semoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteCerbung baru sudah tayang
Terima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah..... Tks bunda untuk cerbung baru nya...... Semoga bunda Tien senantiasa sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Horee ... lanjut lagi. Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat selalu.
ReplyDeleteSami2 jeng Ira
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, cerbung baru.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.
Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin ..
Aamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur niwun ibu Ermi
Aamiin Yaa Robbal'amiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah..CerBung Baru
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ... selalu Sehat & selalu Happy AamiinπΉπΉπΉπΉπΉ
Aamiin Yaa Robbal'amiin
DeleteMatur nuwun jeng Susi
Terimakasih.. cerbung baru sdh tayang, sehat² selalu Bunda Tien π€²π
ReplyDeleteSami2 ibu Ega.
DeleteApa kabar?
Genre cerbung ini berbeda dengan sebelumnya...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Fresh
ReplyDeleteTrm ksh bu Tien, cerita baru seru nih..
ReplyDelete