Wednesday, January 22, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 17

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  17

(Tien Kumalasari)

 

Wanda mengerucutkan bibirnya. Walau pelan, tapi suara Guntur berupa hardikan, sangat menyakitkan. Guntur ingin menjauh dari tempat duduknya, tapi dia duduk di tengah.

“Guntur, mengapa kamu jahat sekali padaku?”

“Ambil kembali jacketmu di rumahku. Aku tidak akan memakainya,” katanya tandas.

“Aku beli dengan harga mahal, dan menyulamnya dengan tanganku sendiri, aku berharap, dengan itu kamu tidak akan pernah melupakan aku.”

“Tapi aku ingin melupakan kamu, pergi jauh-jauh dari kehidupanku.”

“Guntur, apa salahku?”

Mereka bicara biasa saja, tapi untunglah suara musik yang keras mengaburkan perkataan mereka, sehingga tak banyak yang memperhatikan.

Tiba-tiba di barisan tempat duduk para orang tua, seseorang tampak berdiri. Ia menatap ke arah Wanda duduk, kemudian melambaikan tangannya.

“Orang tuaku mengajak aku pulang.”

Guntur tak menjawab, tapi dalam hati ia bersyukur.

“Guntur, aku pergi dulu. Tapi kamu harus ingat, aku akan selalu mengejarmu,” katanya sambil berdiri, kemudian dengan menyisir tempat duduk teman-temannya, ia berhasil keluar dari deretan kursi yang penuh berjajar teman-teman sekolahnya.

Ia berjalan ke arah pinggir dan bergegas menemui orang tuanya yang sudah lebih dulu berdiri di ujung jalan keluar.

“Mengapa Bapak terburu-buru? Acara belum selesai.”

“Hanya anak-anak muda berjingkrak-jingkrak dipanggung, bapak tidak tertarik. Ini sudah cukup. Kita pulang sekarang.”

“Acaranya masih seru.”

“Pulang.” tandas kata pak Wita yang berjalan beriringan dengan istrinya.

Sementara itu Guntur yang masih tetap duduk di tempatnya, merasa lega ketika Wanda sudah pergi. Ia tak menyangka gadis yang menjengkelkan itu ternyata datang. Kalau tahu begitu, ia pasti sudah membawa jacket pemberiannya untuk dikembalikan.

Guntur kembali menatap ke arah panggung, yang masih diisi dengan hiburan anak band bergantian dengan band cowok yang sering diundang untuk memeriahkan acara. Tiba-tiba pembawa acara mengatakan, bahwa akan tampil bintang tamu   yang akan berduet dengan Kinanti.

“Inilah … Zaki dan Kinanti …. dalam lagu … JANGAN ADA DUSTA DIANTARA KITA.”

Musik kembali mengalun, dan Kinanti tampil. Tepuk tangan menggema, demikian juga Guntur yang diam-diam mengagumi suara Kinanti. Tapi wajah ceria Guntur tiba-tiba surut, ketika di belakang Kinanti muncul seorang laki-laki gagah, berambut gondrong yang dikucir dibelakangnya. Sorak kembali menggema, dan Guntur teringat kata-kata Wanda tentang Laki-laki gondrong itu. Benarkah mereka berbicara mesra di belakang panggung? Sekarang mereka berdampingan, masing-masing membawa sebuah mike, lalu si gondrong mengalunkan sebuah lagu. Kinanti tampak tersenyum menikmati. Tiba-tiba Guntur merasa tubuhnya menjadi panas dingin. Walau Kinanti bersikap biasa saja kecuali mengembangkan senyuman manis, tapi laki-laki gondrong itu sebentar-sebentar meraih tangan Kinanti sambil bernyanyi.

Guntur memalingkan muka. Ia juga melihat pak Bono dan bu Bono yang duduk di barisan depan, bertepuk tangan. Tapi Guntur tidak. Ia tetap memalingkan muka. Lalu dia memarahi dirinya sendiri.

“Ada apa aku ini? Memangnya aku ini siapa? Jangan mimpi, Guntur, kamu adalah anak angkat. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu adalah beban bagi keluarga mereka,” kata batin Guntur bertalu-talu.

Dalam hati ia berharap, acara musik segera berlalu. Guntur merasa telinganya risih, gara-gara melihat penampilan Zaki dan Kinanti.

Guntur sendiri tidak tampil di panggung. Ia hanya bagian merias penggung dan sasana perayaan, bersama Ardi dan yang lainnya.

***

Kinanti yang semula tak berniat untuk bernyanyi, menjadi gembira dalam acara itu, karena ia kembali menemukan hobinya yang tenggelam beberapa saat lamanya, gara-gara kedinginan dan ketakutan ketika dihukum ayahnya, sehingga ia jatuh sakit selama sehari semalam. Setelah itu ia tak ingin melakukannya lagi, walau sang ayah mengijinkannya. Tapi hari ini ia menemukan lagi kegembiraannya. Yang tadinya ia bersikap acuh kepada Zaki, kemudian mereka bisa berbincang manis karena merasa cocok ketika bernyanyi bersama.

“Boleh aku main ke rumah kamu?” tanya Zaki.

“Terserah saja. Tapi barangkali beberapa hari ini aku akan sibuk mendaftar kuliah.”

“Oww, mau melanjutkan kuliah? Bisa aku antar?”

“Tidak, aku bersama Guntur.”

“Siapa Guntur? Pacar kamu?”

“Dia teman … eh, saudaraku.”

“Seneng bisa kuliah ya, aku tidak pernah kuliah. Selepas SMA aku tidak ingin kuliah. Aku tenggelam di musik, jadi malas belajar.”

“Sayang sekali.”

“Pengin mengambil jurusan apa?”

“Kalau bisa, kedokteran.”

“Bagus sekali. Besok-besok kalau aku sakit bisa periksa ke dokter Kinanti.”

“Aku ingin menjadi dokter gigi.”

“Tobattt. Aku paling takut dokter gigi.”

‘Memangnya kenapa?” tanya Kinanti tertawa.

“Membayangkan disuruh mangap, lalu disuntik, lalu dicabut … tapi untunglah aku tidak pernah sakit gigi.”

“Bagus sekali.”

“Kinanti, bapak sama ibu mau pulang. Kamu mau bareng?” kata pak Bono tiba-tiba.

“Oh iya, Kinanti kan tidak membawa kendaraan.”

“Aku antar saja,” kata Zaki.

“Tidak, bareng ayahku saja,” katanya sambil berdiri.

“Kapan-kapan aku main ke rumah ya.”

“Ya, silakan. Aku pergi dulu,” katanya sambil mendekati sang ayah-ibu yang sudah berdiri menunggu.

Zaki ikut mendekat dan mencium tangan kedua orang tua Kinanti.

“Ini Zaki ya? Suaranya bagus,” puji pak Bono.

“Terima kasih Pak.”

“Ajak Guntur sekalian, kita antarkan pulang,” kata sang ayah kepada Kinanti.

“Apa bu Raji juga datang?” tanya bu Bono.

“Sepertinya tidak Bu, Guntur pasti melarangnya, takut kecapekan.”

Kinanti bergegas mencari keberadaan Guntur.

“Ardi, kamu tahu di mana Guntur?” tanya Kinanti ketika bertemu Ardi.

“Baru nangis tuh, disana,” kata Ardi sambil menunjuk ke belakang panggung.

“Apa? Nangis?” tanya Kinanti yang yakin kalau Ardi pasti bercanda.

“Nangis lah, melihat kamu bermesraan sama Zaki,” kata Ardi seenaknya.

“Dasar!!”

Kinanti bergegas mendekati Guntur yang tampak sedang membantu membereskan panggung. Tapi dalam melangkah itu ia merasa jengkel dengan perkataan Ardi. Dia bermesraan dengan Zaki? Ya ampuun, benarkah Guntur menangis karena itu? Kinanti tertawa dalam hati. Itu kan akal-akalan Ardi. Masa Guntur memperhatikan penampilannya? Barangkali kalau dia benar-benar bersikap mesra pada Zaki, Guntur juga tidak akan peduli.

“Guntur,” panggilnya.

Guntur menghentikan kegiatannya, menatap Kinanti yang mendekatinya.

“Kamu pulang sekalian yuk, ditunggu bapak tuh.”

“Aku masih membantu teman-teman, kamu pulang dulu saja.”

“O, apakah aku bisa membantu juga? Kalau bisa, aku akan_” kata Kinanti yang sebenarnya ingin tinggal.

“Tidak, ini pekerjaan laki-laki, kamu pulang saja.”

Tiba-tiba Kinanti merasakan sikap Guntur yang berbeda. Sedikit kaku, dan ia juga tak menemukan senyuman saat berkata-kata. Apa benar yang dikatakan Ardi? Walau tidak menangis beneran, tapi menangis dalam hati? Ah, masa iya.

“Pulanglah, tunggu apa lagi?”

Ucapan Guntur yang terakhir membuat Kinanti kemudian membalikkan badannya dan pergi.

Guntur melanjutkan kesibukannya, bersama yang lain.

“Jangan pikirkan apapun, Guntur. Ingat dirimu, kamu itu siapa?” kata batinnya sambil melepaskan tali pengikat tenda. Tapi dalam pikiran kacau itu Guntur tak sadar bahwa tenda itu sudah terlepas dibagian lain sebelumnya, sehingga ketika ia melepaskan talinya, maka ambruklah tenda itu, mengenai badannya, yang kemudian jatuh tertimpa besi penyangga tenda.

Terdengar jeritan beberapa anak wanita, dan Kinanti berlari kembali menghampirinya, diikuti sang ayah yang melihat kejadian itu.

“Guntur, Guntur ….” Kinanti memanggil-manggil. Kepala Guntur berlumuran darah. Wajah Kinanti menjadi pucat karena khawatir.

“Tolong bawa ke mobilku, biar aku bawa ke rumah sakit,” kata pak Bono yang merasa khawatir.

“Saya … tidak apa-apa … “ kata Guntur lemah.

“Sudah, jangan bicara apapun. Cepat bantu dia.”

“Ardi dan salah satu temannya memapah Guntur karena dengan tersaruk Guntur masih bisa berjalan.

***

Guntur segera ditangani. Ia terjatuh, lalu kejatuhan besi penyangga, dari besi penyangga yang berdiri, dan yang diatas tenda. Agak parah di kepalanya, jadi harus dijahit. Teman yang mengantar sudah kembali ke sekolah karena masih harus membantu bebenah bekas perayaan yang tadi terpaksa ditinggalkan.

“Nanti aku kembali lagi,” kata Ardi.

Guntur hanya mengangguk.

“Kamu harus dirawat,” kata pak Bono.

“Tidak Pak, saya tidak apa-apa.”

“Kepalamu luka, harus diperiksa lebih teliti. Baru bisa besok. Kalau tidak apa-apa, besok boleh pulang. Takutnya ada cedera di dalam,” kata pak Bono yang ikut menangani.

“Nanti ibu bagaimana, pasti khawatir.”

“Biar nanti kami mampir ke sana dan bicara pelan, ibumu tidak akan apa-apa.”

Walaupun ragu, Guntur terpaksa menurut. Kepalanya terasa sakit, kalau nekat pulang, barangkali juga terasa berat. Ia hanya berharap sang ibu tidak akan cemas mengkhawatirkan dirinya.

“Guntur, kamu harus menurut apa kata bapak ya,” kata Kinanti lembut.

Guntur melihat mata Kinanti basah. Apa benar Kinanti mengkhawatirkan dirinya?

Ada senyuman diredam dalam hati. Takutnya salah sangka.

“Sebentar lagi kamu akan dibawa ke ruang rawat. Besok pagi akan mulai diperiksa. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan,” kata pak Bono.

Guntur mengangguk.

“Kinanti biar menemani kamu, aku akan mampir ke rumah kamu untuk mengabari ibumu. Kamar inap sudah aku pesan. Kamu tidak usah memikirkan apa-apa.”

“Terima kasih, Pak.”

Pak Bono dan bu Bono berlalu, ketika perawat sudah membawa Guntur ke ruang rawat inap yang sudah dipesan pak Bono. Kinanti mengikutinya sampai ke ruang rawat.

Guntur merasa sungkan. Kamar yang dipesan pak Bono bukan kamar biasa. Itu ruang VIP yang pasti sangat mahal. Guntur mengeluh karena sungkan, tapi Kinanti mengingatkan bahwa itu kemauan ayahnya.

“Ini terlalu bagus. Sebenarnya bisa di ruang yang biasa saja kan?”

“Bapak yang meminta. Kamu istirahatlah, jangan memikirkan apapun.”

Guntur menatap Kinanti yang masih berdiri di sampingnya.

“Kamu juga pasti lelah. Sebetulnya tidak apa-apa aku sendirian. Mengapa harus ditemani?”

“Kamu itu kebanyakan protes. Tidurlah, aku mau tiduran di sofa. Kalau perlu apa-apa panggil aku, atau aku panggilkan perawat jaga,” kata Kinanti sambil berjalan ke arah sofa.

Tapi kemudian Kinanti berbalik.

“Kamu merasakan apa? Masih ada yang terasa sakit?”

Guntur terharu. Tak disangkanya Kinanti menaruh perhatian padanya.

“Tidak, biasa saja. Sakit sedikit,” jawabnya.

Kinanti kembali meninggalkannya ke arah sofa, dia juga lelah.

Guntur memejamkan matanya. Ia merasa mengantuk. Barangkali obat bius ketika ia dijahit masih mempengaruhinya.

***

Bu Raji yang semula terkaget-kaget, kemudian merasa tenang ketika dengan sabar pak Bono menerangkan, bahwa sebenarnya Guntur tidak apa-apa.

“Ibu tidak perlu khawatir. Guntur dilarang pulang karena besok harus diperiksa secara teliti, agar ketahuan apakah dia benar-benar tidak terluka. Dia bisa berjalan, bisa ngomong kok. Tidak seperti orang sakit, hanya kepalanya diperban, ada luka sedikit.”

“Pak Bono ini hanya takut kalau Guntur luka di dalam. Tapi kelihatannya tidak, dia baik-baik saja kok. Jadi hanya untuk meyakinkan saja,” sambung bu Bono.

“Syukurlah kalau tidak apa-apa,” jawab bu Raji.

“Apakah boleh saya ke sana?”

“Kalau bu Raji ingin ke rumah sakit, mari kami antarkan.”

“Kasihan pak Bono dan bu Bono kalau menunggu saya bersiap. Saya naik taksi saja,” kata bu Raji yang merasa sungkan.

“Tidak apa-apa. Biar satu jam juga akan saya tunggu Bu.”

“Baiklah, saya hanya perlu ganti baju saja. Maaf merepotkan.”

“Tidak repot Bu. Tenang saja.”

***

Entah berapa lamanya Kinanti tertidur. Ia bangkit,  mengucek matanya, lalu bergegas ke kamar mandi. Dilihatnya Guntur masih terlelap. Ia mengambil wudhu lalu keluar menuju mushala rumah sakit.

Katika ia kembali ke kamar, dilihatnya Guntur belum juga bangun. Kinanti mendekat.

Guntur tampak tidur tenang, walau sedikit pucat. Kinanti duduk di kursi sebelahnya, menatapnya tak berkedip. Ada rasa yang sulit diungkapkannya. Apakah ini cinta? Kinanti belum pernah merasakannya. Kalau Wanda berani mengatakan cinta, maka tidak demikian dengan Kinanti. Ia tak tahu bagaimanakah cinta. Ia hanya suka, ia hanya mengaguminya. Karena dia pintar? Karena dia baik? Kalau tampan, tidak begitu sih. Banyak temannya yang wajahnya lebih tampan, termasuk Ardi yang selalu mengganggunya.

Tiba-tiba Guntur bergumam pelan.

“Kinanti, apalah aku ini … mana mungkin kamu mau ….”

Kinanti terbelalak.

***

Besok lagi ya.

 

55 comments:

  1. Alhamdulillah.....
    JeBeBeeL_17 sdh tayang.....
    Terima kasih bu Tien.... Salam ADUHAI....

    “Guntur, Guntur ….” Kinanti memanggil-manggil. Kepala Guntur berlumpuran darah. Wajah Kinanti menjadi pucat karena khawatir.

    “Tolong bawa ke mobilku, biar aku bawa ke rumah sakit,” kata pak Bono yang merasa khawatir.”

    ReplyDelete
  2. 🧡🌻🧡🌻🧡🌻🧡🌻
    Alhamdulillah 🙏🤩
    JeBeBeeL_17 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam seroja😍🦋
    🧡🌻🧡🌻🧡🌻🧡🌻

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  4. Alhamdulillah .Maturnuwun Bunda .semoga selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah , maturnuwun bu Tien.
    Salam hormat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah sudah tayang, matur nuwun bu Tien, salam aduhaii

    Guntur oh Guntur berani g mengungkapkan cinta

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah jbbl sdh tayang..terima ksih bundaqu..slmt mlm dan slmt istrht..salam seroja dan salam aduhai unk bunda sekeluarga🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ...Aduhaii SeRoJa🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  11. Wkwk...Guntur di bawah sadarnya mengakui bahwa dia suka dengan Kinanti, walaupun di luar berpura-pura tidak suka.😁

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🏻

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),17 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  13. Kinanti harusnya membatasi diri, tidak terlalu dekat dengan Zaki. Apalagi belum tau sifat dasar anak itu.
    Memang Guntur dalam posisi tidak menguntungkan. Wajar kalau ada rasa kurang percaya diri.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien.
    Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  16. Iya baguslah suara Zaki, kan memang tukang manggung, wuih padakan pêrkutut.
    Yå nggak gitu, saben² latihan vokal, kan ingin populer; rajin ngedatengin grup² band yang lagi latihan, lumayan lah sekedar menderedegkan tenggorokan biar nggak ketèmpèlan polusi asap rokok, plempas plempus alasan cari inspirasi, siapa tau naik tahta jadi pencipta lagu; bukanya harus mahir memainkan alat musik, itu juga donk, kan masih muda semangat berkarya, buat masa depan biar mandiri gitu.
    Terus ucul déwé turut omah jrèng jrèng melantunkan lagu kesayangan gitu, mbok jangan sia-sia tå.
    Namanya usaha meniti karir, sudah banyak contoh yang sukses, iya dèh bisa dimengerti lah.
    Jadi kegalauan Guntur menyikapi kedua teman se es em a nya.
    Yang ditolaknya mentah-mentah, sayang donk, aturan di hangatkan dulu jadi nggak mentah-mentah amat.
    Ih, ini kan bukan susu kedele, pakai dihangatin segala.
    Yang diharapkan; jadi demi bakti kepada orang tua angkatnya; yang sangat perhatian, walau; demi janji juga pada sahabat.
    Masih adakah ruang; dihati adik angkatnya, mungkinkah itu.
    Kegalauan itu menjadikan memori dipikiran hampir membelah kepalanya, wuah mengerikan.
    Lha itu kebrukan tenda; besi tiangnya lagi.
    Guntur gereng²; åjå provokatif tå, untung Kinan masih dekat, dan mendengar riuh kawan-kawan berusaha menolong Guntur.
    Gereng² piyé tå iki.
    Genah grênêngan lho; antara sadar dan tidak sadar;
    "Kinan, apalah aku ini .. mana mungkin kamu mau .."

    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tuju belas sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Crigis.
      Selalu gayeng yen maca

      Delete
  17. Mks bun JBBL 17 nya.....selamat malam bun sehat"ya ......semangat !!!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete
  18. Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 17 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala.
    Aamiin.

    Hai...Guntur...kamu ketahuan...hayo ngaku ..
    Di bawah alam sadar...kamu mengatakan suka sama Kinanti....tapi...ha..ha..

    Kinanti jadi dengerin semua.

    Hrs nya Kinanti merasa bersalah, gara2 dia nyanyi dengan s anak Band tsb terlalu mesra. Guntur jadi resah dan gelisah, nyekel gaweyan ora fokus, akhirnya jadi ketiban Blandar...😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  19. Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiinm
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  20. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien sehat² selalu

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien sehat² selalu

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah.. maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 17

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  17 (Tien Kumalasari)   Wanda mengerucutkan bibirnya. Walau pelan, tapi suara Guntur berupa hardikan, sangat m...