Friday, January 31, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 25

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  25

(Tien Kumalasari)

 

Bu Wita terbelalak. Wanda yang masih  mendengar ucapan dokter itupun berteriak.

“Bohong! Tidak mungkin!”

Bu Wita menatap anaknya dengan pandangan yang sangat rumit, sulit dilukiskan, antara terkejut, heran, tapi juga merasa sakit. Bagaimana kalau apa yang dikatakan dokter itu benar? Tapi dokter juga manusia, bisa juga salah kan? Itu harapan bu Wita yang segera mengajak dokter itu keluar dari kamar.

“Dokter ….”

Dokter itu duduk di sofa kamar tamu, lalu menuliskan resep.

“Apakah dokter tidak salah? Anak saya hamil?” tanya bu Wita, lirih, dan sedikit gemetar.

“Saya tidak bisa memastikan, walau bayangan itu ada. Itu sebabnya saya tadi minta agar ibu memeriksakan ke dokter kandungan untuk kepastiannya.”

“Tapi ….”

“Saya hanya menuliskan obat mual untuk sementara. Saya harap besok kepastian itu sudah ada. Atau barangkali sore ini juga kalau Ibu inginkan. Ada dokter kandungan yang praktek didekat laborat. Laborat itu milik dia juga. Dokter Anastasia.”

Bu Wita hanya bisa mengangguk lemah.

Ia tak segera masuk ke kamar Wanda ketika dokter itu sudah pergi. Beribu pemikiran berkecamuk dalam hatinya. Wanda hamil, itu sangat menakutkan. Kalau sampai suaminya tahu, betapa akan marahnya dia. Rumah ini bisa runtuh mendengar dia berteriak. Anak gadis satu-satunya, yang diharapkan bisa hidup layak terhormat dan membanggakan orang tua, hamil diluar nikah? Kapan kejadiannya? Ketika mereka pulang dari Jakarta dan ternyata Wanda pergi sejak kemarinnya? Menginap di mana? Wanda sepertinya belum pernah menjawab pertanyaannya ketika dia bertanya di mana dia menginap. Ia lupa karena fokus pada sakit Wanda, dan hanya peduli pada kesembuhannya.

Bu Wita bangkit, lalu masuk ke dalam kamar Wanda. Gadis itu masih tergolek di ranjang. Matanya nanap menatap langit-langit kamar. Tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu.

“Wanda, katakan apa yang terjadi,” kata bu Wita dengan suara tertahan, menahan gejolak batin yang terasa mengoyak sanubarinya.

“Dokter itu pasti bohong,” kata Wanda pelan.

“Dokter tidak akan membohongi pasien. Tapi bisa jadi dia keliru. Nanti sore kita periksa ke dokter kandungan.”

“Tidak. Aku tidak mau Bu,” Wanda berteriak.

“Mengapa tidak mau? Kita harus yakin bahwa pendapat dokter tadi salah, atau justru benar.”

“Tidak benar!”

“Sekarang ibu bertanya. Apakah kamu pernah berhubungan dengan seseorang?”

Wanda terdiam. Betapa kecut mengakui bahwa dia pernah tidur dengan Zaki.

Tapi kan hanya sekali. Di malam itu, ketika dia tidur di rumah Zaki, lalu Zaki memutar film ‘aneh’ itu, lalu Zaki merayunya, dan dia terlena, dan mereka lupa segala-galanya.

“Tidaaaak …,” keluhnya lirih.

“Kamu pernah tidur dengan seseorang?”

Tiba-tiba Wanda terisak. Ada ketakutan yang menyesak.

“Bu, Ibu jangan bilang pada bapak ya?”

“Apa maksudmu? Apapun yang terjadi, ayahmu harus tahu. Mana mungkin menyembunyikan hal yang sangat fatal seperti itu.”

“Ibu ….” Wanda menangis sejadi-jadinya.

“Jadi kamu pernah tidur dengan seseorang? Kapan, di mana, dengan siapa?”

“Maaf Bu … tapi itu tidak mungkin ….”

“Apa yang tidak mungkin?”

“Ibu jangan bilang pada bapak ya?” katanya sambil masih tetap menangis.

“Itu yang tidak mungkin. Tapi tolong bilang pada ibu apa yang terjadi. Ibu akan berhati-hati dalam mengutarakan pada bapak. Tapi ibu tidak janji apapun. Setiap kesalahan pasti akan ada dampak buruknya. Ini masalah besar. Menyangkut nama baik keluarga.”

“Tapi Wanda hanya melakukannya sekali, mana mungkin Wanda hamil?”

“Jadi benar, kamu melakukannya? Ketika kamu pergi dari rumah dan menginap? Di mana kamu menginap? Di rumah laki-laki itu? Siapaa?” kali ini bu Wita hampir berteriak.

“Maaf Bu, Wanda tidak sadar.”

“Maksudmu kamu diperkosa?”

Wanda tidak menjawab, masih terus menangis.

“Kalau kamu diperkosa, katakan siapaa melakukannya. Itu tindakan melanggar hukum, bapak akan mengurusnya.”

“Pelakunya sudah meninggal.”

“Zaki? Benarkah Zaki? Rasanya tidak mungkin kamu diperkosa. Perkosaan itu sebuah paksaan. Kalau dia melakukannya, mengapa kamu menaruh perhatian pada dia? Kamu menyesal ketika dia tidak selamat dalam kecelakaan itu. Kamu bahkan ingin ziarah ke makamnya. Kamu menyesal dan mengakui kalau kamu yang meminta dia ngebut. Kalau benar kamu diperkosa, kamu pasti akan marah, kamu akan membenci dia, dan mensyukuri kematiannya. Atau kamu tidak akan berangkat pulang bersamanya. Kamu bersikap baik pada dia, pada orang yang telah melukai harga diri dan menghancurkan kesucianmu dengan memperkosa? Mana ada itu? Jangan bohong!” bu Wita tidak pernah mengatai sang anak sekeras itu. Tapi kali itu bu Wita benar-benar tak bisa menahannya. Rasa sakit, sedih, kecewa, takut, memenuhi perasaannya.

Dan ternyata Wanda tak bisa mengingkarinya.

“Wanda khilaf.”

“Maksudmu kamu melakukannya dengan suka rela?”

“Maaf, Bu.”

“Dasar gadis tak tahu malu. Kamu tergila-gila pada yang namanya Guntur, tapi kamu tidur dengan laki-laki lain. Di mana harga diri kamu?” Bu Wita berteriak, lalu Wanda memeluknya erat, menangis di dada sang ibu.

Dalam keadaan biasa, dipeluk sang anak sambil menangis terisak, pasti akan meluluhkan hatinya. Tapi kali ini tidak. Bu Wita membiarkannya, dan sedikitpun tidak balas memeluknya. Ia sangat marah. Ia sangat menyesal sang anak gadis semata wayang yang berani melakukan hal yang sudah melompati sebuah norma susila, dan membiarkan kesuciannya terenggut dengan suka rela. Lalu laki-laki itu sudah tak ada. Bu Wita benar-benar panik.

Lebih panik lagi ketika ia mendengar suara mobil berhenti di halaman, dan itu adalah mobil suaminya. Bu Wita tak tahu harus berbuat apa. Wanda masih memeluknya, bahkan sampai ketika pak Wita membuka kamarnya, dan heran melihat istri dan anaknya sedang berpelukan sambil menangis.

“Ada apa ini? Aku cari ke seluruh rumah, ibu tidak ada, ternyata ada di sini. Ada apa? Wanda mengeluh sakit? Besok saatnya kontrol, nanti semua keluhan bisa dilaporkan kepada dokter yang menanganinya,” katanya sambil mendekat, lalu mengelus kepala Wanda.

Bu Wita sangat kebingungan. Sudah pasti akan terjadi huru hara di rumah kalau sang suami mengetahuinya. Ia mana bisa menyembunyikannya? Ini bukan sebuah kejadian biasa.

“Dingin sekali. Mengapa kamu menangis?” kata pak Wita.

Bu Wita mendorong tubuh Wanda, lalu menyuruhnya berbaring kembali. Ia bangkit dan menggandeng suaminya agar keluar dari kamar.

***

Bibik menghidangkan minuman hangat, yang segera diminum beberapa teguk oleh pak Wita.

“Wanda mengeluh apa? Sampai menangis begitu?”

“Bapak ganti baju dulu sana, kita akan bicara di kamar.”

“Aku hanya bertanya apa yang dikeluhkan Wanda, mengapa harus nanti?” tanya pak Wita kesal.

“Maksud ibu, bicara di kamar saja.”

“Mengapa harus di kamar? Aku mau tahu sekarang. Seperti mau bicara sebuah rahasia saja. Apa masalah sakitnya Wanda itu tidak ada yang boleh mendengarnya, walau bibik sekalipun?”

“Bukan begitu, lebih enak bicara di kamar,” kata bu Wita yang segera mendahului masuk ke dalam kamar. Mau tak mau pak Wita mengikutinya sambil mengomel.

“Orang aneh, mau ngomong soal penyakit Wanda saja harus di dalam kamar? Keterlaluan.”

Begitu pak Wita masuk, bu Wita segera menguci pintunya.

“Apaan sih Bu?”

“Bapak mau mandi dulu? Ibu siapkan baju gantinya.”

“Tidak! Aku hanya bertanya soal keluhan Wanda, kok Ibu berputar-putar seperti gasing?”

“Baiklah, tapi ibu harap Bapak bersabar, dan tidak akan berteriak.”

“Katakan saja, ada apa ini?” pak Wita justru berteriak.

“Tadi Wanda muntah-muntah, setelah makan ayam pedas pesanannya. Karena khawatir, aku memanggil dokter keluarga.”

“Bilang apa dokternya?”

Bu Wita diam beberapa saat, mengatur napasnya, menekan kecemasan di hatinya.

“Bilang apa?? Wanda susah diselamatkan? Bukankah dia sudah baik?” pak Wita berteriak, kesal karena sikap istrinya yang seperti menyembunyikan sesuatu.

“Kata dokter, kemungkinan Wanda hamil.”

“Apaaaa?” dan teriakan ini seperti menggoyang seluruh kamar, dan bu Wita merasa ada gempa menerpa.

“Wanda hamil? Dan itu sebabnya dia selalu mengatakan suka pada si miskin itu? Akan aku buat dia masuk penjara!!” hardiknya.

“Tapi aku akan menghajar anakmu yang tidak tahu malu itu,” lanjutnya.

Pak Wita berusaha keluar kamar, untuk menghajar anak gadisnya, tapi bu Wita sudah mengunci kamarnya, dan mengantongi kunci itu di saku dasternya.

“Mana anak itu? Mengapa kamu mengunci kamarnya?”

“Sabar dulu Pak, ini memalukan, jangan sampai orang luar mendengarnya.”

“Wanda tidak tahu malu, mengapa kita harus malu?”

“Anak miskin itu harus diberi pelajaran. Aku akan melaporkan dia, dia harus membusuk di penjara.”

“Bukan Guntur.”

“Bukan? Apa anakmu itu menjual murah tubuhnya??”

“Pak, ibu mohon, jangan Bapak marah-marah pada Wanda, Bapak harus sabar.”

“Aku tidak boleh marah? Ini dia, ini akibatnya kalau Ibu tidak mendidik anak dengan baik. Memanjakannya berlebihan, membuat anak berperangai buruk, suka bohong, lalu berbuat sesuatu dengan tak tahu malu. Itu semua kesalahan Ibuu!!” pak Wita menuding wajah istrinya, membuat sang istri mundur sampai hampir menabrak almari.

“Baiklah, semua kesalahan ibu. Bapak sabar ya.”

“Kamu selalu begitu, menyuruh aku sabar … sabar … sabar.”

“Pak, nanti kita harus membawa Wanda untuk periksa ke dokter kandungan. Itu untuk meyakinkan bahwa dugaan dokter itu benar, atau mungkin juga salah.”

“Kalau dokter kita sudah mengatakan itu, berarti sudah hampir seratus persen benar. Mana Wanda, mana kunci kamar? Kamu ini kenapa sih Bu, buka pintunyaaa! Biar aku tendang saja biar jebol sekalian!”

“Eh .. pak, sebentar Pak, jangan begitu, biar aku buka … biar aku buka …” kata bu Wita sambil merogoh kantong bajunya, lalu membukanya dengan tangan gemetar.

Pak Wita menerobos keluar dari kamar, lalu masuk ke kamar Wanda, dan menutup pintunya dengan membanting sekeras-kerasnya, membuat Wanda sangat terkejut. Begitu melihat sang ayah, ia langsung bangkit dan turun dari ranjang, kemudian bersimpuh di kakinya, merangkul sambil menangis keras.

“Ampuun Pak, ampuuni Wanda, Wanda salah Pak, ampuuun. Bunuhlah Wanda, kalau Bapak ingin membunuh, Wanda rela mati, biarlah Wanda mati demi kehormatan Bapak.”

Pak Wita tertegun. Ia sudah mendengar tentang kehamilan Wanda. Ia ingin menghajar sang anak, tapi begitu sang anak bersimpuh merangkul kakinya dan mengatakan tentang kematian, darah mendidih yang sudah menggelegak itu surut perlahan. Walau begitu dia menghentakkan kakinya, membuat tubuh Wanda terjengkang.

“Ampuni Wanda Pak, Wanda bersalah. Tapi kalau Bapak ingin membunuh Wanda, segera bunuh Wanda Pak, biarlah Wanda mati, dan Bapak tidak akan mendapat malu.”

“Siapa laki-laki itu? Biar aku hajar dia!” hardik pak Wita yang walau kemarahannya sedikit surut, tapi masih bersuara keras.

“Dia … sudah meninggal … dia … Zaki.”

Pak Wita surut ke belakang. Ia terduduk di sofa dengan tubuh lemas. Kalau laki-laki yang menghamili Wanda sudah meninggal, apa yang harus dilakukannya?

***

Pak Wita tidak membawa Wanda ke dokter kandungan. Ia cukup menyuruh sang istri membeli alat tes kehamilan, dan itu sudah cukup. Dua garis merah yang tampak sudah membuat mereka yakin. Luluh lantak hati pak Wita menghadapi masalah berat ini. Berhari-hari dia memikirkannya, bahkan lupa untuk mengantarkan Wanda kontrol ke rumah sakit atas luka Wanda akibat kecelakaan itu. Pikirannya hanya satu, bagaimana mungkin Wanda hamil tanpa ada suaminya.

“Gugurkan saja kandungan itu,” katanya tiba-tiba, membuat sang istri terkejut.

“Jangan Pak, janin itu tidak berdosa,” kata sang istri cemas.

“Lalu apa? Akan kamu biarkan kita mendapat malu?”

“Bagaimana kalau Wanda kita nikahkan dengan seseorang?”

“Laki-laki mana yang mau menikahi perempuan yang sudah hamil? Anakmu akan direndahkan.”

Bu Wita terdiam. Memang tidak mudah mencari laki-laki yang mau menikahi wanita hamil.

“Bagaimana kalau kita membayarnya?”

“Maksudnya, kita minta agar laki-laki itu menikahi Wanda, dengan catatan kita akan membayarnya, berapapun dia minta?”

“Benar. Barangkali bagi yang tidak punya uang, akan mau melakukannya. Kita juga bilang minta tolong, dan berterus terang tentang keadaan Wanda. Paling tidak hanya sampai bayinya lahir. Bagaimana?”

“Pak, bagaimana kalau Bapak mencari Guntur?” tiba-tiba Wanda mendekat, dan duduk di samping ayahnya.

“Guntur? Benar, dia kan miskin. Dengan uang, dia pasti mau melakukannya,” kata pak Wita.

“Katakan di mana alamatnya," lanjutnya bersemangat.

***

Besok lagi ya.

PAGI INI

PAGI INI

(Tien Kumalasari)


Pagi ini,

walau birunya langit bersembunyi dibalik awan

warna kelabu menebar menyelimuti alam

janganlah kelabu jiwa ini

janganlah sendu hati ini

sujudku,sembahku, padaMu yang Maha Pengasih dan Pemurah

hanya tanganMu, hanya perkenanMu, akan datang anugerah

Yaa Junjunganku, pintaku dan doaku tak pernah henti

berikanlah sejagad berkah,

agar senyum mawarku kembali merekah

Haiiii...

selamat pagiiiii,

-----




Thursday, January 30, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 24

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  24

(Tien Kumalasari)

 

Guntur dan teman-temannya bergegas ke area parkir, mereka tampak kurang suka pada sambutan Wanda, yang teman-temannya sudah susah payah membezoek tapi sambutannya dinilai kurang menyenangkan.

“Hanya Guntur yang disapa lebih manis,” kata Ardi sambil membuka mobilnya.

“Iya Ardi, maklumlah, yang dikehendaki datang kan hanya Guntur,” sambung Kinanti.

Mereka memasuki mobil Ardi sambil bersungut-sungut. Guntur kesal karena dia menjadi sasaran kekesalan kedua temannya.

“Yang ingin datang kemari siapa, aku kan hanya ngikut,” kata Guntur ketika mobil Ardi sudah mulai berjalan.

“Heran aku pada Wanda. Sudah sakit sampai seperti itu, bukannya bertobat, masih saja ingin menyakiti hati orang lain,” kata Ardi.

“Ya sudah, anggap saja kita sedang berjalan-jalan,” kata Guntur.

“Tapi untunglah ayah Wanda tidak ada,” kata Kinanti.

“Anggap saja kita terpaksa datang ke sana,” kata Guntur.

“Tapi kalau kamu mau tinggal, pasti dia akan lebih cepat sembuh,” kata Ardi.

“Enak aja. Memangnya aku obat?”

“Obatlah, obat rindu,” kata Ardi diiringi tawa Kinanti.

“Ardi, apakah kita akan langsung pulang?”

“Terserah, kalian mau ke mana, aku siap mengantar paduka berdua.”

“Paduka berdua, memangnya aku raja?”

“Belum, kalian belum menjadi raja. Pada suatu hari nanti, aku doakan kalian benar-benar menjadi raja.”

“Apa maksudmu?”

“Raja sehari,” kata Ardi sambil terbahak. Membuat wajah Kinanti bersemu merah, sementara Guntur memalingkan muka ke arah jalan.

“Ini benar lhoh, aku pasti akan mendoakan kalian,” kata Ardi lagi.

“Aamiin,” tanpa sadar Kinanti mengucapkannya, kemudian dia benar-benar merasa malu. Mulutnya lancang benar. Tapi mengamini bukankah hal baik?

“Ayuk kita cari es kelapa muda, didepan sana biasanya ada, di pinggir-pinggir jalan,” kata Kinanti untuk mengalihkan pembicaraan yang membuatnya malu.

Guntur diam-diam tersenyum senang. Ia menoleh ke arah Ardi di sampingnya, yang diam-diam mengacungkan jempol sambil tersenyum lebar.

***

Sementara itu bu Wita asyik menggosok perut Wanda yang menurut Wanda sangat terasa mual.

“Entah mengapa ini, apakah tadi Wanda mendapat obat yang baru Bu?” tanya Wanda.

“Tidak, itu masih sisa obat dua hari yang lalu. Sebelumnya tidak merasa mual kan?”

“Tidak, nggak tahu kenapa nih. Sudah Bu, sudah terasa panas.”

Ketika perawat datang, bu Wita menanyakan juga, apakah obat yang diberikan ada efek mual?

“Biasanya tidak Bu, barangkali memang sedang merasa mual saja. Tadi habis makan sesuatu, barangkali?”

“Kamu makan apa?”

“Hanya yang dibawa ibu tadi pagi, memang sedikit eneg.”

“Ya itu. Kamu kebanyakan makannya. Nanti jangan dimakan lagi.”

“Kalau masih mual, nanti saya minta obat kepada dokter,” kata perawat sebelum pergi. Ia hanya datang untuk mengukur tensi Wanda, lalu menuliskannya di lembar laporan.

***

Ketika Kinanti sampai di rumah, bu Bono yang penuh perhatian kepada siapa saja, menanyakan keadaan Wanda.

“Dia sudah mulai membaik. Barangkali segera diperbolehkan pulang.”

“Syukurlah. Ibu ikut bersyukur, dia selamat. Hanya kasihan Zaki ya. Pasti lukanya sangat parah sehingga tidak tertolong.”

“Iya Bu, Kinanti juga tidak mengira dia akan meninggal saat masih sangat muda.”

“Dia sekolah di sekolahmu juga?”

“Tidak. Dia sudah lulus beberapa tahun lalu.”

“Berarti sudah kuliah?”

“Dia tidak kuliah, memilih bermain musik.”

“Sayang sekali.”

“Dia anak orang kaya, sudah cukup harta, jadi pendidikan tidak diutamakan. Orang tuanya juga membiarkannya.”

“Ya, begitulah. Terkadang pendapat orang berbeda-beda. Ada yang walau hidup berkecukupan, tapi tetap mengutamakan pendidikan. Ada yang karena sudah berkecukupan, maka merasa apa yang dimilikinya sudah cukup. Padahal harta itu kan tidak kekal?”

“Ada yang ingin sekolah tapi tidak punya uang yang cukup ….” sambung Kinanti.

“Benar. Tapi sudahlah, jangan membicarakan orang yang sudah meninggal. Semoga ia mendapat tempat yang layak di sisiNya.”

“Aamiin. Tapi kita tidak membicarakan Zaki saja kan Bu? Kita bicara tentang orang lain, yang kaya dan yang dianggap kekurangan.”

“Betul. Harus kita syukuri apa yang sudah kita miliki. Kita harus ingat bahwa kekayaan itu hanya titipan. Ia bukan sesuatu yang abadi.”

“Iya Bu.”

“Bagaimana urusan pendaftaran kamu dan Guntur?”

“Sudah semua Bu, kami mendaftar di beberapa perguruan tinggi. Entah yang mana nanti yang diterima.”

“Semoga kalian bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan ayah kamu.”

“Aamiin. Selalu doakan ya Bu.”

“Doa ibu selalu untuk kamu, dan juga untuk Guntur yang sudah menjadi tanggungan keluarga ini.”

“Terima kasih Bu.”

“Istirahatlah, sambil menunggu ayah kamu pulang.”

***

Beberapa hari kemudian, Wanda sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Dia sudah kelihatan sehat, dan bisa melakukan banyak hal. Pada suatu hari Wanda meminta ijin kepada sang ayah agar diperolehkan ziarah ke makam Zaki.

“Untuk apa? Kamu tidak boleh melakukan perjalanan jauh. Baru saja kamu dinyatakan sembuh.”

“Wanda merasa bersalah pada Zaki. Dia meninggal karena Wanda memintanya dia ngebut.”

“Sejauh ini kamu belum pernah cerita, sebenarnya hari itu kamu ke mana saja, dan apa hubungan kamu dengan Zaki?” tanya sang ayah.

Wanda tidak bisa langsung menjawab. Dia harus mengarang cerita yang masuk akal, agar sang ayah tidak menyalahkannya.

“Sebenarnya Wanda kesepian, dan ingin bertemu teman-teman Wanda.”

“Mengapa berbohong?”

“Kalau Wanda tidak berbohong, pasti Bapak tidak akan mengijinkan,” kata Wanda berterus terang, membuat pak Wita terdiam.

“Lalu bagaimana hubungan kamu dengan Zaki?”

“Dia, hanya … teman baik.”

“Karena teman baik? Tampaknya dia itu anak orang kaya. Dibandingkan dengan teman miskin kamu itu, bukan apa-apanya.”

Wanda merengut. Sang ayah kembali mengungkit Guntur yang masih selalu dikenangnya sebagai teman yang mengagumkan.

“Sayang sekali dia meninggal,” gumam sang ayah.

“Pak, boleh ya, besok Wanda ke makam Zaki?”

“Tidak boleh.”

“Pak, Wanda hanya ingin mengucapkan terima kasih dan minta maaf.”

“Dia sudah meninggal, untuk apa kamu melakukannya?”

“Bapak kok gitu.”

“Ucapkan saja dari rumah, siapa tahu dia mendengarnya.”

“Ya mana mungkin, dia sudah tidak ada.”

“Kalau begitu sama dong, kamu datang ke sanapun dia juga tidak akan tahu apa yang kamu lakukan.”

“Bapak …,” Wanda merengek.

“Jangan kamu kira bapakmu ini bodoh. Yang sebenarnya kamu bukan untuk ziarah ke makam Zaki, tapi untuk menemui si miskin itu kan?”

“Bukan Pak.”

“Kamu itu tukang bohong. Sekali bohong, bapak tidak akan percaya lagi sama kamu.”

“Bapak kok gitu.”

“Bapak melakukan ini hanya untuk kebaikan kamu. Bapak tidak ingin kamu hidup sengsara dan kekurangan. Selamanya kamu hidup berkecukupan. Tidak akan bisa menjalani hidup miskin.”

Wanda merengut, lalu beranjak menjauh dari sang ayah. Sesungguhnya tebakan ayahnya memang benar. Ia ingin bertemu Guntur. Ia tak akan berhenti, sampai Guntur menjadi luluh dan mau memperhatikannya.

“Ingat, dua hari lagi kamu kontrol. Harus ada hasil yang lebih baik. Apa kamu masih merasakan sesuatu yang tidak enak? Ada yang terasa sakit, atau kamu merasakan apa?”

“Tidak ada, kecuali mual,” kata Wanda, lalu memasuki kamarnya.

Pak Wita bersungut-sungut. Bu Wita yang baru muncul dari belakang mendekatinya.

“Bapak jangan memarahi dia terus menerus,” kata bu Wita.

“Aku tidak marah. Coba ibu dengar, dia ingin pergi ziarah ke makam Zaki. Bagaimana aku tidak kesal?”

“Jangan boleh pergi jauh dulu. Dia baru saja sembuh.”

“Itulah, biar saja dia marah. Bukankah dua hari lagi dia harus kontrol? Bagaimana hasilnya kita belum tahu. Kita harus tahu bahwa dia benar-benar dinyatakan sehat.”

“Dia baik, hanya tidak suka makan. Bapak kan tahu, dia selalu makan sedikit. Ia selalu mengeluh mual.”

“Bukankah dokter sudah memberinya obat mual?”

“Tapi dia masih sering mengeluh begitu. Nafsu makannya juga berkurang banyak.”

“Ibu tanyakan dia ingin makan apa, barangkali lauknya tidak cocok.”

“Sudah ibu tanyakan. Katanya tidak ingin apa-apa. Semuanya cukup, tapi tetap saja dia hanya makan sedikit.”

“Nanti kalau kontrol Ibu tanyakan kepada dokter yang menanganinya. Hari itu aku tidak bisa meninggalkan kantor. Jadi Ibu saja ke sana, diantarkan sopir.”

“Jadi Bapak tidak ikut?”

“Tidak, ada pembicaraan bisnis yang tidak bisa bapak tinggalkan. Ibu saja cukup kan?”

“Baiklah, tidak apa-apa.”

“Besok kalau bapak ke kantor, awasi Wanda, jangan sampai dia pergi diam-diam. Anak itu sangat susah diatur.”

“Baiklah.”

“Kalau perlu kunci dia di dalam kamarnya.”

“Tidak usah, ibu akan selalu mendampinginya. Nanti dia sedih, diperlakukan seperti pesakitan.”

“Ya sudah, terserah Ibu saja.”

***

Di dalam kamar, Wanda menelpon salah seorang temannya.

“Wanda? Kamu sudah sembuh?”

“Aku sudah pulang, dan baik-baik saja.”

“Syukurlah. Rumahmu jauh, aku tidak bisa menemui kamu kecuali ada barengannya.”

“Tidak apa-apa. Apa kamu pernah ketemu Guntur?”

“Haaa, kamu masih memikirkannya?”

“Dia cinta sejatiku,” kata Wanda tanpa malu.

“Ke mana-mana, dia selalu bersama Kinanti. Kamu masih ingin bersaing dengannya?”

“Kinanti yang merebut dia dari aku.”

“Aku pernah bertemu mereka. Mereka sedang mendaftar ke perguruan tinggi. Dua-duanya ingin jadi dokter.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Aku ingin bertemu dia, tapi bapak tidak mengijinkan aku pergi. Dua hari lagi aku kontrol.”

“Sendiri? Kamu bisa dong menemuinya.”

“Mana mungkin. Bapak sama ibuku pasti mengantarkan.”

“Aku kabari dia agar mau menemui kamu.”

“Dia nggak mungkin mau. Ya sudahlah, tiba-tiba kepalaku pusing.”

“Kamu masih merasakan pusing?”

“Kadang mual, kadang pusing. Aku juga susah makan. Ini akibat dari kecelakaan itu. Tampaknya onderdil di dalam tubuhku sudah rusak semuanya.”

“Kamu ada-ada saja. Barangkali efek obat yang kamu minum. Kamu harus bersabar ya. Semoga cepat sembuh.”

Wanda menutup pembicaraan itu, lalu berbaring di ranjang. Ia meraih minyak angin yang selalu tersedia di meja dekat tempat tidurnya, menuangkan isinya dan menggosokkannya di perut.

Tiba-tiba sang ibu masuk ke dalam kamar.

“Bau minyak angin?” katanya sambil mendekat.

“Mual lagi, dan pusing Bu.”

“Obatnya sudah diminum?”

“Sudah, tadi.”

“Ya sudah, beristirahatlah. Ini masih pengaruh obat-obat yang kamu minum. Besok kalau kontrol harus bilang pada dokter, semua yang kamu keluhkan.”

Wanda hanya mengangguk. Sang ibu melanjutkan menggosok perut Wanda, kemudian menutupinya dengan selimut.

"Istirahat saja. Banyak keluhan begini, masih ingin pergi ke mana-mana,” gerutu sang ibu.

“Bapak bilang apa pada Ibu?”

“Katanya kamu ingin ziarah ke makam Zaki. Itu kan jauh, sementara kamu belum benar-benar sehat.”

“Apa nanti kalau sehat Wanda boleh pergi ke sana?”

“Entahlah, kita lihat saja nanti. Sekarang kamu istirahat saja.”

“Bu, maukah Ibu memasak ayam tapi dimasak sangat pedas?”

“Sangat pedas? Biasanya kamu nggak suka pedas.”

“Hanya ingin. Siapa tahu dengan itu Wanda bisa makan banyak.”

“Baiklah, besok ibu masak apa yang menjadi keinginan kamu. Makan yang banyak ya? Sebenarnya kalau di kulkas ada persediaan ayam, bisa saja masak sekarang. Sayangnya persediaan ayam habis. Jadi harus menunggu besok.”

“Tidak apa-apa Bu, besok juga mau.”

***

Hari itu, bu Wita benar-benar memasak ayam dibumbu pedas. Sangat pedas seperti keinginan Wanda. Pagi pagi sekali bibik sudah belanja ayam dan segala kelengkapannya, karena di kulkas tidak ada  persediaan ayam. Begitu selesai, bibik menghidangkannya di meja. Ia sudah mencicipinya, dan memang sangat pedas. Ia heran karena selamanya nona majikan tidak suka makan pedas. Tapi karena diinginkan, maka bibik terpaksa melakukannya.

Bu Wita mengajak Wanda ke ruang makan, mengatakan kalau ayam pedas sudah matang. Wanda senang sekali. Ia makan dengan lahap.

“Hati-hati Wanda, biarpun ingin, makanan pedas itu bisa membuat perut sakit. Jadi makan sedikit saja.”

Tapi Wanda seperti orang kegirangan. Ia menghabiskan beberapa potong ayam, walau hanya mengambil sedikit nasi.

Wajahnya sudah kemerahan, air mata mengalir membasahi pipi, membuat sang ibu sangat khawatir.

“Sudah Wanda, kamu apa-apaan sih? Sudah. Wajahmu sudah seperti udang direbus,” kata Bu Wita sambil mengambil basi berisi beberapa potongan ayam yang masih tersisa.

Wanda minum beberapa teguk air. Tapi tiba-tiba dia lari ke belakang, dan memuntahkan semua isinya. Bu Wita sangat terkejut.

“Wanda. Kamu keterlaluan. Kebangetan makan tidak pakai ukuran,” katanya sambil memijit-mijit tengkuk Wanda.

Ia segera menelpon dokter keluarga, yang segera datang memeriksanya.

Wajah Wanda pucat pasi.

Dokter memeriksa dengan teliti, lalu menatap bu Wita dengan tatapan aneh.

“Bu, sebaiknya Wanda di bawa ke dokter kandungan.”

“Dokter kandungan?” tanya bu Wita heran.

“Sepertinya Wanda hamil."

***

Besok lagi ya.

 

Wednesday, January 29, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 23

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  23

(Tien Kumalasari)

 

Bu Wita terus menggoyang tubuh Wanda perlahan, dan merasakan bahwa tubuh Wanda terasa panas. Ia khawatir, kalau igauan itu berlanjut, sementara sang suami telah kembali, maka pasti akan menjadi masalah besar, walau itu hanya sebuah igauan. Barangkali Wanda sedang bermimpi buruk, atau entahlah. Karena panas itulah Wanda mengigau. Tapi apakah itu hanya sebuah mimpi, atau hanya perasaan Wanda yang terganggu? Beragam pemikiran berkecamuk dalam benaknya. Sementara Wanda hanya bergerak sedikit, tapi belum juga membuka matanya. Tapi igauan itu telah berhenti.

Ia memencet bel untuk memanggil perawat jaga, untuk melaporkan keadaan Wanda yang tubuhnya sangat panas.

Perawat itu datang lalu memeriksa suhu tubuh Wanda, tak lama kemudian ia pergi, barangkali untuk melapor kepada dokter yang menanganinya.

Bu Wita merasa gelisah. Ketika pak Wita datang, ia juga merasa gelisah merasakan panas badan anaknya.

“Mengapa panas sekali? Baru saja aku menemui dokter, katanya Wanda baik-baik saja, tapi harus beristirahat agak lama.”

“Aku sudah melapor ke suster jaga, pastinya dia sudah melaporkannya juga kepada dokter. Benarkah Wanda tak apa-apa?”

“Kata dokter sih begitu? Pastinya benar, masa ia hanya ingin menyenangkan hatiku saja?”

Perawat itu datang, membawa peralatan dan kemudian meminta bu Wita dan pak Wita menyingkir sebentar. Ia menyuntikkan sesuatu ke lengan Wanda, kemudian merapikan letak tidurnya, lalu beranjak meninggalkannya.

“Tidak apa-apa Bu, nanti juga akan membaik,” pesannya sebelum kemudian meninggalkan bu Wita dan pak Wita.

Bu Wita mendekat, melihat Wanda membuka matanya.

“Wanda, apa yang kamu rasakan?”

Wanda hanya mengerjap-ngerjapkan matanya, sambil menggeleng lemah.

“Kamu tadi mimpi buruk?” tanya bu Wita pelan.

“Mimpi buruk,” jawabnya lemah.

“Tidurlah, ibu akan menunggui kamu di sini.”

“Biar aku yang duduk di sini, kamu makanlah, tadi sudah aku belikan,” kata pak Wita. Tapi bu Wita menggeleng. Barangkali khawatir kalau nanti Wanda mengigau lagi, lalu tanpa berpikir panjang lalu mengira yang bukan-bukan, kemudian bicara dengan keras dan kasar.

“Biar aku saja. Bapak istirahatlah.”

“Kamu tidak lapar?”

“Tidak. Bapak saja yang makan, lalu istirahat.”

Pak Wita mengangguk, lalu pergi ke arah sofa, meraih makanan yang tadi dibelinya.

“Setelah ini, kamu harus makan. Jaga kesehatan kamu. Sejak kemarin kamu tidak tidur, juga tidak makan,” kata pak Wita.

“Iya, nanti gampang.”

***

Beberapa hari kemudian Guntur dan Kinanti sudah mulai menyibukkan diri dengan mengurus pendaftaran ke universitas yang mereka inginkan.

Keduanya merasa senang, karena bisa selalu berduaan. Tidak mungkin mereka berangkat dengan motor masing-masing, karena untuk satu tujuan, mereka cukup berboncengan.

“Capek?” tanya Guntur ketika mereka beristirahat di sebuah warung makan.

“Tidak. Kita harus bersemangat, jangan sampai mengecewakan bapak. Ya kan?”

“Iya, semoga kita bisa diterima,” jawab Guntur.

“Aamiin.”

Mereka makan dan minum dengan wajah berseri. Terkadang saling pandang tanpa tahu arti pandangan masing-masing. Yang jelas ada debar-debar aneh yang mereka rasakan, dan itu belum pernah terjadi. Mereka belum pernah berduaan dalam suasana hati yang lebih relax setelah lulus.

“Kinanti, kamu tahu apa yang aku pikirkan?” tanya Guntur untuk menenangkan perasaan gelisahnya.

“Mana mungkin aku tahu apa yang kamu pikirkan. Memangnya aku dukun?”

Guntur tertawa.

“Dukun juga belum tentu tahu apa yang orang lain pikirkan, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.”

“Benar. Katakan apa itu.”

“Kalau nanti kita berhasil diterima, aku tidak ingin terlalu membebani bapak.”

“Maksudnya?”

“Kalau bisa, aku ingin kuliah sambil bekerja.”

“Wah, itu bagus. Aku juga mau. Tahun depan bapak sudah pensiun. Kita tidak bisa selalu bergantung padanya.”

“Baguslah, seperti yang aku pikirkan. Kuliah sambil bekerja.”

“Kira-kira pekerjaan apa yang bisa kita lakukan?”

“Entahlah. Aku juga belum tahu. Tapi ada temanku yang kuliah di farmasi, dia kuliah sambil menjadi detailer obat.”

“Wah, itu tidak mudah bukan?”

“Kita harus belajar mengerti tentang obat-obatan. Kandungan apa yang ada di dalam suatu obat, dan efek apa yang akan terjadi kalau kita minum obat itu. Pokoknya rumit. Sebelumnya kita harus mempelajari itu.”

“Iya, tentu saja.”

“Nanti aku akan minta agar dia mengajari aku tentang tugas seorang detailer obat. Barangkali dia punya bukunya atau apa, kita bisa pinjam dan mempelajarinya bersama, sehingga ketika kita melamar pekerjaan itu nanti, kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan.”

“Bagus sekali Guntur. Aku menjadi semakin bersemangat. Tapi sekarang kita harus berdoa dulu, agar kita diterima. Mengecewakan keinginan orang tua itu pasti tidak enak bagi kita.”

“Benar, yang namanya kecewa itu sudah pasti tidak enak. Tapi kita harus semangat dan terus berusaha.”

“Eh iya, ngomong-ngomong, bagaimana ya keadaan Wanda? Apa dia sudah sembuh?”

“Mengapa tiba-tiba kamu ingat dia?”

“Nggak tahu kenapa. Aku merasa kasihan pada dia.”

“Kemarin aku bertemu dengan teman sekelasnya, yang sudah pernah bezoek ke sana.”

“Benarkah? Bagaimana keadaannya?”

“Dia harus dioperasi karena perdarahan otak. Sudah dua minggu yang lalu.”

“Ya ampun, bagaimana hasilnya?”

“Katanya baik. Ketika temannya menjenguk, dia sudah bisa bicara.”

“Syukurlah.”

“Dulu aku sangat kesal pada dia, tapi sekarang aku merasa kasihan,” kata Guntur sambil menerawang ke arah jauh.

“Menyesal pernah mengasari dia?” tanya Kinanti dengan perasaan kurang suka.

“Bukan begitu. Entahlah. Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Bagaimanapun kita adalah teman, bukan?”

“Ingin bezoek ke sana?”

“Mungkin, tapi belum sekarang. Agak kurang enak juga aku, ketika teringat sikap ayahnya yang dingin dan tidak menghargai kita waktu itu.”

“Orang tuanya termasuk orang yang tinggi hati. Berbeda dengan ibunya. Dia cantik dan ramah pada teman-teman Wanda.”

“Aku terkadang merasa tidak pantas bergaul dengan orang-orang dari kalangan atas. Termasuk kamu.”

“Apa yang kamu katakan?”

“Aku menyadari siapa diriku.”

“Rendah diri itu tidak baik. Ketika kita merasa rendah diri, maka langkah kita akan terhambat.”

“Benarkah?”

“Iyalah. Mau begini sungkan, mau begitu sungkan. Rasa ‘jangan-jangan tidak disukai atau dikehendaki’ selalu menghantui. Bukankah itu akan menghambat?”

Guntur hanya diam. Apa yang dikatakan Kinanti memang benar. Itulah yang dirasakannya.

“Guntur. Kamu tidak boleh berpikiran seperti itu. Jadilah orang yang selalu percaya diri. Kamu tidak mengecewakan kok. Kamu hebat, kamu pintar. Kamu luar biasa.”

Mata Guntur berbinar. Dia hebat, pintar, luar biasa? Dan itu keluar dari mulut gadis cantik yang disukainya?

“Mengapa menatapku seperti itu?” tanya Kinanti tersipu.

“Kamu berlebihan.”

“Tidak. Itu kenyataannya. Ayo dong Guntur. Kamu tidak boleh merasa kecil. Banyak yang mengagumi kamu.”

“Apa termasuk … kamu?” kata Guntur memancing, sedikit takut.

Kinanti tersenyum, lalu mengangguk, lagi-lagi sambil tersipu. Dan anggukan itu adalah sepercik kebahagiaan yang masih saja disembunyikannya.

“Kamu tidak suka? Kamu kecewa karena bukan Wanda yang mengatakannya?”

“Lhoh, kok Wanda lagi sih?”

“Aku berbeda dengan Wanda, yang dengan berani mengungkapkan isi hatinya.”

Guntur tersenyum. Apapun itu. Kinanti seperti membuka sebuah pintu, di mana dirinya setiap saat bisa memasukinya.

“Heiii, aku mencari di rumah kamu, ternyata berduaan di sini,” dan teriakan itu membuat keduanya menoleh.

“Aduh, ada si bawel,” gerutu Kinanti ketika melihat Ardi mendekat ke arah mereka, lalu duduk seenaknya.

“Aku juga mau dawet selasih,” katanya tanpa sungkan kepada pelayan yang menghampirinya.

“Sama nasi rames ya,” lanjutnya.

Pelayan itu mengangguk dan tersenyum.

“Sudah mau selesai makan? Belum kan? Kinanti jangan cemberut dong. Aku akan tutup muka deh, jadi kalian tidak usah malu-malu kalau mau pacaran.”

“Pacaran itu seperti apa? Kamu ngarang ya sukanya?” sergah Kinanti, sementara Guntur hanya tersenyum. Sudah biasa Ardi cerewet seenaknya.

“Ya ampuun, begitu saja marah. Kapan sih, sekali saja ketika ketemu aku, kamu tidak marah-marah begitu?” katanya sambil menyeruput es dawet yang baru saja dihidangkan.

“Sudah, jangan cerewet. Kamu tadi dari mana?”

“Dari rumahmu, tahu. Yang ada cuma ibu kamu. Aku ditawari lagi makan, sungkan dong aku.”

“Tapi kamu mau kan?” kata Kinanti meledeknya.

“Ya enggak lah, kalau ada Guntur sih, agak lumayan. Aku langsung pamit, dan mampir kemari karena lapar. Nggak tahunya ketemu kalian.”

“Ada perlu, atau hanya mampir.”

“Hanya mampir. Oh ya, barusan aku ketemu temannya Wanda. Katanya dia baru saja membezoek Wanda.”

“Ada kabar apa? Barusan aku juga ketemu Rizki, temannya Wanda juga,” kata Guntur.

“Oh, baguslah. Kalau begitu kamu sudah tahu keadaannya dong?”

“Masih di rumah sakit kan?”

“Iya, paling ceritanya sama. Habis dioperasi karena perdarahan otak, dan harus lebih lama di rumah sakit.”

“Iya, memang sama,” kata Guntur.

“Guntur ingin ke sana,” kata Kinanti tiba-tiba.

“Enggaaaak, kata siapa?” sergah Guntur.

“Tadi kamu ingin kan?” kata Kinanti.

“Yaah, sudahlah, jangan bertengkar. Biar aku bisa menikmati makanku ini dengan nyaman,” kata Ardi yang langsung menyendok nasi ramesnya.

“Sebenarnya aku juga ingin. Ayuk ke sana,” kata Kinanti kemudian.

“Bagus, aku juga mau. Besok saja, aku antar kalian, pakai mobil aku.”

“Benarkah? Bagaimana Gun, kamu mau kan?” kata Kinanti.

“Terserah kalian saja, aku kan hanya ngikut.”

“Oke, sipp. Besok aku samperin Guntur dulu, jam sembilan ya, lalu nyamperin Kinanti. Sekarang diam dulu, biar aku habiskan makanan aku. Tapi ingat ya, nanti semua yang bayar aku,” kata Ardi lagi.

“Senengnya punya teman baik hati.”

***

Wanda sudah lebih baik. Ia bisa berbincang lancar. Tapi dia baru saja mengetahui bahwa Zaki telah meninggal dalam kecelakaan itu. Wanda menjadi sedih. Bagaimanapun Zaki pergi karena ingin mengantarkan dirinya pulang. Tiba-tiba Wanda merasa bersalah karena waktu itu meminta Zaki agar memacu mobilnya lebih cepat, gara-gara dia ketakutan kalau keduluan orang tuanya sesampai di rumah.

“Semua salah aku. Dia meninggal karena aku,” keluh Wanda pelan. Tapi sang ibu yang terus menerus menungguinya mendengarnya.

“Maukan kamu cerita apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa kamu sama Zaki? Mengapa kamu mengatakan bahwa ada di rumah, sementara kamu ternyata pergi sejak kemarinnya, lalu tahu-tahu mengalami kecelakaan bersama seseorang bernama Zaki. Kamu belum pernah menceritakan temanmu yang bernama Zaki itu,” tanya ibunya panjang lebar.

“Wanda minta maaf. Pasti bapak marah sekali.”

“Tentu saja. Sejak mendengar kamu mengalami kecelakaan, ayahmu sudah marah-marah di sepanjang jalan.”

“Masa Wanda kecelakaan, malah dimarahi? Tidak khawatir kalau Wanda mati, begitu?”

“Kamu bicara apa. Ayahmu marah karena kamu bohong padanya.”

“Soalnya bapak selalu melarang Wanda bepergian. Wanda ingin bertemu teman-teman. Ingin menghirup udara bebas.”

“Itu sejak kamu berhubungan dengan yang namanya Guntur. Ayahmu tidak suka, jadi kamu dikekang agar tidak pergi menemui anak muda itu.”

“Wanda ingin menemui dia yang sakit waktu itu.”

“Kamu?”

“Tapi Wanda tidak ketemu, justru Wanda ketemu Zaki.”

“Siapa dia?”

“Seorang penyanyi. Wanda tidak suka dia sebenarnya.”

“Kamu lalu pergi bersama dia? Lalu kamu menginap di mana?”

Wanda diam. Dia tak berani berterus terang. Sang ibu akan curiga. Ketika bu Wita ingin mendesaknya, Kinanti dan teman-temannya datang.

Wajah Wanda berseri ketika melihat Guntur. Hanya Guntur yang kemudian disapanya.

“Guntur, rupanya kamu juga perhatian sama aku,” katanya pelan.

Bu Wita menatap Guntur. Agak merasa aneh sang anak lebih menyukai Guntur, dari pada anak laki-laki satunya yang lebih ganteng.

“Aku hanya mengikuti kemauan Kinanti,” kata Guntur yang kemudian menyalami bu Wita bergantian dengan yang lainnya.

Mendengar jawaban Guntur, wajah Wanda menjadi muram. Jadi datang kemari karena Kinanti. Ia sedang sakit, kalau tidak pasti dia sudah menyapa Kinanti dengan ucapan yang menyakitkan. Ia sangat membencinya karena mengalahkannya bersaing mendekati Guntur.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Kinanti.

“Baik. Kamu sudah mendengar kalau Zaki meninggal?” Wanda justru menanyakan tentang Zaki kepada Kinanti.

“Kami takziah bersama ketika dia mau dimakamkan.”

“Kamu pasti sedih. Dia cocok sekali denganmu sebenarnya,” entah mengapa Wanda memancing perkataan yang aneh menurut Kinanti.

“Kehilangan seorang teman, pasti sedih,” kata Ardi.

“Kalian duduklah, aku ambilkan minum,” kata bu Wita kemudian.

“Tidak usah Bu, kami hanya sebentar,” kata Guntur.

“Mengapa buru-buru?”

“Masih ada keperluan yang lain,” Guntur memberi alasan.

“Bu, mengapa tiba-tiba perutku sangat mual?” kata Wanda tiba-tiba.

Bu Wita mendekat dengan khawatir.

“Apa obatnya berefek mual ya?”

“Tolong gosok perutku Bu.”

Ketika bu Wita ingin menggosok perut Wanda, Guntur dan teman-temannya segera pamit. Mereka bersyukur tidak ketemu pak Wita waktu itu.

***

Besok lagi ya.

 

Tuesday, January 28, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 22

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  22

(Tien Kumalasari)

 

Kinanti tertegun, untuk sesaat ia tak mampu berkata-kata, membuat Fitria yang menelponnya merasa kesal.

“Kinan, kamu masih di situ?”

“Oh eh, iya … kamu tadi bilang apa? Zaki meninggal? Kamu jangan bercanda ya, ini menyangkut nyawa orang.”

“Ya ampun Kinanti, aku tuh diberi tahu teman Zaki, yang sudah dapat kabar dari orang tuanya. Ini bukan candaan.”

“Meninggalnya bagaimana? Kemarin dia baik-baik saja.”

“Kecelakaan mobil. Kabarnya dia sedang bersama seorang teman wanita.”

“Di mana kecelakaan itu terjadi?”

“Katanya di Salatiga. Kemarin terjadinya. Hari ini jenazahnya akan dimakamkan di sini, di pemakaman keluarga.”

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un … “

“Siapa kamu bilang? Zaki meninggal?” tanya Ardi terkejut.

“Ya sudah Kinan, nanti aku beri kabar selanjutnya, kalau bisa kita takziah ke rumahnya,” kata Fitria yang langsung menutup ponselnya.

“Zaki?”

“Meninggal, kecelakaan di Salatiga, bersama teman seorang wanita …” gumam Kinanti seperti kepada dirinya sendiri.

“Jangan-jangan wanita itu Wanda?” pekik Ardi.

“Wanda?”

"Kejadiannya kemarin kan? Kemarin dia bersama Wanda. Di mana kejadiannya?”

“Katanya di Salatiga.”

“Itu jalan yang harus dilewati kalau mau ke Semarang, bukan? Jangan-jangan dia sedang mengantarkan Wanda pulang ke Semarang,” kata Ardi.

“Jadi bagaimana kabar Wanda? Nggak ah, semoga tidak.”

”Kinanti, kamu tahu nomor kontaknya Wanda kan?”

“Sepertinya ada, ketika dia menelpon lalu mengirim pesan. Sudah aku blokir tuh.”

“Dibuka dong blokirnya.”

Kinanti masuk ke dalam, untuk mengambil ponselnya. Dicarinya nomor yang sebenarnya tidak dia inginkan, dan sudah diblokir.

“Ketemu?”

“Ini, ada. Coba aku menelpon dia.”

Kinanti menelpon nomor kontak Wanda, dan diterima oleh ayahnya.

“Ini siapa?”

“Selamat siang Om, saya temannya Wanda. Ini nomor Wanda kan?”

“Wanda ada di rumah sakit, tidak bisa bicara,” katanya dingin, kemudian menutup ponselnya.

“Benar Ar, Wanda ada di rumah sakit. Berarti memang dia sedang bersama Zaki. Tapi tampaknya Wanda selamat, tapi entah bagaimana keadaannya. Tadi ayahnya yang mengangkat. Ia seperti tak ingin bicara banyak.”

“Barangkali sedang mencemaskan keadaan anaknya.”

“Kasihan. Bagaimana ya lukanya?” tanya Kinanti, prihatin.

“Dia kasar sama kamu. Tapi kamu masih memperhatikannya,” kata Ardi.

“Bagaimanapun dia teman kita. Tapi aku tidak tahu kalau dia kenal Zaki.”

“Nanti kita takziah ke rumahnya? Dibawa kesini kan? Orang tuanya kan di Jakarta? Jam berapa ya?”

“Entahlah, Fitria bilang mau mengabari lagi kalau sudah ada berita.”

“Ya Tuhan ….” Ardi mengeluh, prihatin.

“Mengapa bisa terjadi? Zaki ngebut, atau kurang hati-hati.”

“Aku balik dulu saja, nanti kalau ada berita kabari aku ya, aku mau ke rumahnya kalau jenazahnya sudah sampai.”

“Baiklah. Jangan khawatir, pasti aku akan mengabari kamu.”

***

“Bu, Ardi sudah pulang, mau pamit mencari ibu tadi nggak ketemu,” kata Kinanti di dalam kamar ibunya.

“Ibu di kamar mandi. Sepertinya tadi ibu mendengar, ada yang meninggal. Siapa?”

“Zaki. Itu, yang nyanyi bersama Kinanti, yang pagi-pagi nyamperin Kinanti terus bareng ke rumah sakit ketika Guntur masih ada di sana.”

“Innalillahi wa inna illaihi roji’un. Kenapa? Masih sangat muda.”

“Kecelakaan di Salatiga.”

“Ya ampun. Apa dia suka ngebut?”

“Mungkin Bu, Kinanti juga belum begitu kenal sama dia. Sepertinya dia sedang bersama Wanda.”

“Wanda itu … teman sekelas kamu?”

“Beda kelas. Tapi Kinanti juga kenal sih.”

“Oo … Wanda … Wanda … sepertinya ibu pernah ketemu dia, waktu ibu di rumah bu Raji. Dia datang mau mengantarkan bu Raji periksa lab, tapi bu Raji tidak mau. Susah-susah dia bolos sekolah sepertinya. Soalnya waktu itu masih jam sekolah, dan dia juga masih memakai seragam sekolah.”

“Ibu pernah ketemu Wanda?”

“Kalau benar dia, ya ibu pernah ketemu. Apa ada Wanda yang lain?”

“Tidak. Dia juga sering ke rumah Guntur.”

“Dia pacar Guntur?”

“Mm … sepertinya bukan. Wanda suka sama Guntur, tapi sepertinya Guntur nggak suka.”

“Masa? Dia cantik lhoh.”

“Iya sih.”

“Lalu bagaimana keadaan Wanda?”

“Tadi Kinanti menelpon dia, yang menerima ayahnya. Memang Wanda ada di rumah sakit, tapi ayahnya seperti tidak suka menerima telpon dari Kinan. Mungkin masih kepikiran keadaan Wanda. Jadi bagaimana keadaannya, Kinanti juga belum tahu.”

“Semoga dia tidak apa-apa. Meskipun luka, tapi bisa sembuh.”

“Aamiin.”

“Jadi dia dekat dengan Zaki? Kok bisa pergi semobil?”

“Wanda sudah pindah ke Semarang. Mungkin Zaki mau mengantarkan Wanda pulang. Tapi terus kecelakaan di Salatiga.”

“Ya ampuun. Begitu ya, anak-anak muda, kalau berkendara suka kurang hati-hati. Kalau bisa ngebut, merasa sudah gagah, begitu.”

“Tidak semua begitu kan Bu, Kinanti tidak pernah ngebut lhoh.”

“Jangan pernah berkendara kalau maunya cepat sampai sehingga harus ngebut. Jalanan sekarang ramai. Dulu ibu sering nyetir sendiri, sekarang sudah tidak berani. Kamu harus hati-hati kalau berkendara.”

“Iya Bu.”

***

Ketika Ardi menelpon dan mengabarkan tentang meninggalnya Zaki, Guntur juga terkejut. Baru saja tadi ia membicarakannya bersama Ardi.

“Di mana kecelakaan itu terjadinya?”

“Di Salatiga, dan kemungkinan besar sedang bersama Wanda.”

“Masa?”

“Kan aku bilang tadi, dia keluar rumah sakit bersama Wanda? Dan Kinanti sudah menelponnya, lalu mendapat kabar bahwa Wanda ada di rumah sakit. Jangan sedih kamu. Wanda masih hidup,” ngomong seriuspun Ardi selalu menyelipkan gurauan di dalamnya. Guntur hanya meninju lengan Ardi pelan.

“Mungkin Zaki mau mengantarkan Wanda pulang ke Semarang.”

“Nah, aku juga berpikiran begitu.”

“Hidup ini memang aneh. Yang kemarin masih bercanda, bergembira bersama, tiba-tiba sekarang sudah dipanggil olehNya.”

“Bukan aneh Gun, yang menentukan mati hidup itu kan Yang Maha Kuasa. Manusia mana tahu akan sampai di mana kita masih akan berada di dunia. Kalau Allah menghendaki, ya terjadilah.”

“Kamu benar.”

“Nanti aku akan takziah bersama Kinanti. Kamu mau ikut?”

“Jam berapa?”

“Belum tahu. Kabarnya jenazahnya dibawa kemari, dimakamkan di makam keluarga. Kalau sudah jelas beritanya, Fitria mau menelpon Kinanti.”

“Gak apa-apa, aku akan kesana. Katakan saja jamnya, nggak usah di samperin. Sama alamat rumahnya juga, aku kan tidak tahu di mana rumah Zaki.”

“Iya, nanti aku kabari.”

***

Pak Wita dan bu Wita ada di rumah sakit. Hari itu Wanda sudah dioperasi, yang kata dokter hasilnya baik. Walau begitu mereka masih merasa cemas, karena Wanda belum sadar dan belum bisa diajak bicara. Mereka sudah mendengar kalau teman yang bersama Wanda meninggal dua hari setelah kejadian. Tapi pak Wita dan istri belum pernah mengenal mereka. Jadi mereka hanya menyapa ala kadarnya lalu mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Zaki. Penyebab kejadian juga belum bisa diceritakan, karena yang masih hidup belum bisa diajak bicara. Tapi tidak ada tersangka dalam kasus itu, karena Zaki menabrak truck yang sedang berhenti, dengan kecepatan tinggi. Masih bersyukur Wanda bisa diselamatkan, karena yang parah adalah bagian pengemudi.

“Apa ibu pernah mendengar Wanda punya teman bernama Zaki?”

“Tidak. Wanda tidak pernah menceritakan teman-temannya.”

“Yang aku tahu, Wanda hanya pernah menyebutkan nama Guntur. Orang dari keluarga tak punya, sementara Zaki anak orang kaya. Ayahnya juga pengusaha. Mobil yang dipakai juga milik Zaki. Mobil bagus dan mahal. Selayaknya Wanda berteman dengan anak orang yang sederajat dengan ayahnya ini. Bukan dari keluarga miskin yang memalukan. Tapi kenyataannya justru Zaki membawa petaka. Untuk dirinya sendiri, juga untuk Wanda. Seandainya dia masih hidup, akan aku biarkan Wanda berdekatan dengan dia. Itu baru sepadan. Sayang sekali ….”

“Bapak jangan selalu mengungkit antara miskin dan kaya. Yang kaya belum tentu baik, dan yang miskin belum tentu buruk. Yang penting dalam kehidupan ini adalah perilaku yang baik, yang terpuji.”

“Apa ibu tidak bisa berpikir, bahwa tanpa duit orang tidak akan hidup bahagia.”

“Apakah orang berduit selalu bahagia dalam hidupnya? Lihat saja kita sekarang ini. Bapak punya harta, punya derajat dan dihormati di mana-mana. Tapi apakah Bapak selalu merasa bahagia? Setiap hari marah-marah, apakah itu bahagia? Menerima cobaan berat seperti ini, apakah itu bahagia? Yang bahagia adalah orang yang bisa hidup tenang, ikhlas menerima kehidupan apa adanya, walaupun dia tidak punya harta yang melimpah.”

“Kamu ini ngomong apa sih Bu, kamu hanya melihat sekilas dari kehidupan ini.”

“Bapaklah yang hanya melihat sekilas dari kehidupan ini. Menganggap hidup begitu mudah asalkan ada harta. Tapi tidak bukan? Sekarang ini, apakah harta yang Bapak punya bisa menambal duka karena anak sakit parah dan entah bagaimana nasibnya? Teman Wanda itu, kaya raya, apakah hartanya bisa mengobati sakit dan derita ketika kehilangan? Harta itu bukan mulia. Dan miskin bukanlah hina.”

“Jangan bicara omong kosong!” pak Wita berteriak, membuat orang-orang disekeliling mereka kemudian menatap ke arahnya.

“Pak, mengapa Bapak berteriak? Malu tuh.”

Bu Wita mengusap air matanya yang bercucuran saat berkata-kata. Ada beban berat dan derita tak tertahan ketika belum tahu entah bagaimana keadaan anaknya, tapi sang suami malah bicara lagi tentang anak miskin yang selalu direndahkannya.

Tiba-tiba seorang perawat mengatakan bahwa Wanda sudah sadar. Berlarian pak Wita bersama istri mendekat, dan memasuki ruang observasi, dimana Wanda sudah mulai bisa membuka matanya.

“Anakku … “ kata bu Wita sambil memeluk anaknya.

“Aku … di mana?”

“Kemarin kamu sudah bisa bicara sebentar kemarin. Kamu sudah bertanya. Ini di rumah sakit.”

“Mana Zaki?”

Ayah dan ibunya tak menjawab, hanya saling pandang, tak tahu harus menjawab apa.

“Apa parah?”

“Jangan memikirkan apa-apa. Pikirkan kesehatan kamu. Kamu harus tenang, supaya segera pulih,” kata pak Wita.

“Pusing sekali.”

“Istirahatlah. Bapak dan ibu menungguimu di sini.”

“Maafkan ….”

“Sudah. Kalau sudah pulih kita bicara.”

Wanda kembali memejamkan matanya. Wajahnya pucat. Pak Wita kembali menemui dokter untuk bicara. Sementara bu Wita duduk menunggui Wanda yang tampak kembali tidur. Barangkali karena pengaruh bius.

Bu Wita terus mengamati sang anak. Masih ada rasa khawatir yang mengganjal. Maklumlah, hati seorang ibu. Terkadang ada rasa sesal ketika sebelumnya selalu memanjakannya, sehingga membuat perilaku Wanda terkadang susah dikendalikan. Ia juga sering berbohong. Bahkan dengan enteng melakukannya. Seperti ketika ditelpon mengatakan sedang dirumah, tapi sebetulnya dia pergi bahkan sampai menginap. Sebenarnya ke mana dia, dan apa yang dilakukannya, sampai sekarang belum terjawab. Siapa Zaki, dan ada hubungan apa dengan sang anak. Entahlah. Sebenarnya bu Wita juga merasa sedih dan gelisah. Hanya saja dia tidak mengungkapkannya dengan cara marah dan berteriak seperti sang suami.

“Apa yang ingin kamu lakukan, Zaki?”

Bu Wita terkejut. Ia yang sedang terkantuk-kantuk mengira Wanda mengajaknya bicara. Mata Wanda masih terpejam. Tapi dia tampak sangat gelisah.

“Zaki, aku tidak suka kamu, pergilah. Aku tidak mau bersamamu,” suara Wanda sangat pelan, tapi jelas terdengar.

Bu Wita terus menatap sang anak, yang bicara berbisik-bisik.

“Jangan pergi Zaki, kalau aku hamil bagaimana?”

Bu Wita terkesiap. Ini bukan sekedar igauan. Tampaknya Wanda bermimpi. Tapi mengapa ada perkataan hamil diucapkan?

Tiba-tiba bu Wita merasa sangat cemas. Kecemasan seorang ibu. Bukan hanya karena sakit si anak, tapi tentang kekhawatiran yang lebih besar dari rasa sakit yang dideritanya.

“Jangan pergi, kamu bilang tak akan pergi. Aku tidak cinta kamu, aku cinta orang lain. Tapi aku takut, bagaimana kalau aku hamil?” Wanda masih terus berbisik-bisik.

Tak tahan, bu Wita menggoyangkan lengan Wanda. Pelan, tapi berharap Wanda terbangun dan menghentikan igauan yang membuatnya sangat ketakutan.

***

Besok lagi ya.

 

ADA MAKNA 36

  ADA MAKNA  36 (Tien Kumalasari)   Wahyu menatap Reihan tak berkedip. Ucapannya sedikit mengejutkan. Ia meraba apa yang diinginkan sang adi...