Tuesday, January 21, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 16

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 16

(Tien Kumalasari)

 

Kinanti sangat geram. Bahkan ketika mereka sudah tidak ada dalam satu sekolah karena masing-masing sudah lulus, Wanda masih melakukan hal yang menyakitkan. Padahal tak ada hubungan apa-apa antara dirinya dan Guntur. Buktinya tak ada tindakan apapun yang dilakukan Guntur untuk mendekatinya.

“Ada apa?” tanya sang ayah yang melihat perubahan wajah sang anak.

“Tidak apa-apa, Pak. Hanya dari seorang teman.”

“Teman band kamu itu?”

“Oh … eh … iya,” kata Kinanti berbohong. Hal yang sudah lama tidak dia lakukan setelah berhenti menyanyi bersama sahabatnya-sahabatnya.

“Kamu diminta main lagi? Tapi kamu kan harus kuliah?”

“Oh, tidak kok. Besok perpisahan sekolah kan mereka main ….”

“Kalau kamu ingin menyanyi ketika itu, silakan saja. Bukankah bapak sudah tidak pernah melarang?”

“Kinanti yang sudah tidak ingin.”

“Tapi kalau ada perayaan perpisahan sekolah, tidak apa-apa kan? Menyanyilah, bapak akan melihatnya.”

Kinanti tersenyum, lalu mengangguk. Yang tadi bukan masalah menyanyi, tapi masalah ancam mengancam. Tapi Kinanti tidak mengatakannya. Karenanya, senyuman itu tampak hambar.

“Sungguh, bapak tidak melarang. Bahkan bapak sudah pernah menyuruh kamu untuk melanjutkan hobi itu kan?”

“Iya, Kinanti sudah tak ingin. Tapi baiklah, nanti saat perayaan perpisahan sekolah, Kinanti akan menyanyi.”

“Baiklah, bapak akan melihatnya.”

Kinanti beranjak dari depan sang ayah, bermaksud masuk ke kamarnya.

“Jangan lupa ingatkan Guntur. Besok hari libur, bapak tidak ke kantor, jadi akan menunggunya.”

“Baik.”

Kinanti menutup pintu kamarnya. Dia memang akan menelpon Guntur.

Dan panggilannya dengan segera diangkat olehnya.

“Kinan, ada apa malam-malam menelpon?”

“Kamu sudah tidur?”

“Belum, baru bebenah buku sekolah yang sudah tidak terpakai. Ada apa?”

“Sebenarnya bagaimana hubungan kamu sama Wanda?”

“Pertanyaan macam apa itu? Kamu kan tahu bahwa aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa?”

“Tapi Wanda menganggap bahwa kamu adalah miliknya.”

Guntur tertawa.

“Jangan berpikir seperti apa yang dikatakannya. Dia hanya mimpi.”

“Aku akan menunjukkan pesan singkatnya kepadaku tadi, tapi karena emosi aku sudah menghapusnya.”

“Pesan singkat apa?”

“Intinya adalah, bahwa kamu itu milik dia, dan dia melarang aku mendekati kamu.”

“Ah, sudahlah, jangan hiraukan. Biarlah dia bermimpi.”

“Tapi aku kesal, mengapa dia mengirimi aku pesan seperti itu.”

“Jangan dipikirkan, dan jangan dibalas, supaya tidak bertambah panjang. Aku sama sekali tidak tertarik, dan memang aku belum ingin memikirkan masalah suka menyukai.”

“Baiklah. Sekarang aku mau bicara yang lainnya. Besok bapak minta kamu menemuinya.”

“Oh, iya. Aku sudah tahu. Besok pagi aku akan datang menghadap pak Bono.”

“Terima kasih, Guntur, selamat malam.”

“Selamat istirahat, Kinan.”

Kinanti menutup ponselnya, lalu membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia senang mendapat jawaban Guntur. Tapi mengapa Wanda begitu gencar mengatakan bahwa ia akan tetap berharap pada Guntur?

Tiba-tiba ucapan ‘selamat istirahat Kinan’ kembali mengiang ditelinganya. Mengapa suara itu begitu merdu dan manis?

“Ups, aku bukan pemimpi seperti Wanda bukan? Mengapa hanya ucapan seperti itu bisa membuatku senang?” gumamnya sambil memejamkan matanya, dan berharap akan segera terlelap dengan mimpi-mimpi indah.

***

Bu Raji menyiapkan sarapan untuk Guntur di meja makan. Sejak semalam Guntur membersihkan kamarnya, dan menyimpan buku-buku pelajaran yang nantinya tidak akan dipakai lagi. Sejak siang hari dia sudah menyiapkan kardus untuk menyimpannya.

Pagi tadi, kamar Guntur sudah tampak bersih.

Ketika keluar dari kamar, Guntur sudah kelihatan rapi.

“Kamu bukan mau ke sekolah kan? Bukankah ini hari libur?” tanya sang ibu.

“Mau ke rumah pak Bono, semalam Kinanti sudah mengingatkan.”

“Oh, begitu. Tapi sarapan dulu, sudah ibu siapkan.”

“Nasi goreng ya? Baunya sudah terasa.”

“Iya, ibu belum beli sayur, hanya telur dan bumbu nasi goreng.”

“Itu enak Bu, Guntur suka.”

“Kamu selalu bilang suka. Hanya ingin menyenangkan hati ibu kan?”

“Tidak, Guntur memang suka kok. Semua masakan Ibu, Guntur suka. Enak, tidak ada duanya,” kata Guntur sambil duduk di kursi makan, setelah menarik satu kursi untuk ibunya.

“Baiklah, terima kasih Nak. Nanti mau dimasakin apa? Harus masak enak untuk menyambut kelulusan kamu, kan? Ibu akan masak untuk hadiahnya.”

“Tidak usah begitu Bu, seorang pelajar harus bisa menyelesaikan sekolahnya. Itu kewajiban. Tidak perlu ada yang dirayakan. Dirayakannya dalam hati saja, dengan rasa syukur. Tidak harus membuat Ibu capek. Ya kan?”

“Tidak capek. Hanya mau menggoreng ayam dan sayur bening saja. Ibu sudah lama tidak memasak goreng ayam kesukaan kamu.”

“Apa Ibu sudah belanja?”

“Tukang sayur lewat di depan rumah setiap hari, tidak usah capek-capek ke pasar.”

"Guntur tidak ingin membuat Ibu kecewa. Apa ibu punya uang?”

“Ibu masih punya uang, jangan khawatir. Uang yang sedianya untuk beli obat, kan ibu tidak butuh obat, jadi uangnya masih ada.”

“Baiklah, terserah Ibu saja.”

“Nanti sampaikan salam ibu untuk pak Bono dan bu Bono ya.”

“Baiklah Bu.”

***

Pembicaraan antara keluarga pak Bono dan Guntur, walau sebelumnya Guntur merasa sungkan, tapi berkat bujukan pak Bono atas rasa tanggung jawabnya kepada almarhum pak Raji sahabatnya, akhirnya membuat Guntur bersedia melakukannya.

“Kalau begitu, kamu bersama Kinanti segera mengurus pendaftaran untuk ke universitas. Kalau bisa ke kedokteran, aku ingin anak-anakku menjadi dokter.”

"Beberapa bulan lagi aku sudah pensiun, aku ingin ketika aku tidak lagi mampu membiayai kalian, kalian sudah bisa berdiri sendiri. Tidak seorangpun tahu, kapan aku akan dipanggil olehNya, tapi kalau kalian sudah punya bekal, aku bisa menutup mata dengan perasaan lega.”

Kinanti merangkul ayahnya dengan perasaan yang mengharu biru.

“Bapak akan selalu sehat dan panjang umur. Bapak akan selalu mendampingi kami,” katanya sambil berlinang air mata.

Tak hanya Kinanti, Guntur yang sebenarnya orang lain, tapi pak Bono dengan penuh keikhlasan menempatkan dirinya sebagai keluarganya, bahkan menurut perkataan pak Bono, seperti menganggap dirinya sebagai anak, membuat hatinya trenyuh. Kalau pantas ia ingin menangis dan menubruk kaki pak Bono dengan penuh rasa terima kasih dan syukur.

Ia hanya menundukkan kepalanya, dengan linangan air mata.

“Ada apa kalian ini? Apa kalian lupa bahwa aku orang tua kalian? Sudah selayaknya kalau orang tua memikirkan masa depan untuk anaknya, bukan? Guntur, apa kamu lupa bahwa aku adalah pengganti orang tuamu? Berapa kali aku katakan bahwa kamu adalah tanggunganku. Jangan mengecewakan orang tuamu ini. Bersemangatlah,” kata pak Bono sambil menyentuh bahu Guntur yang duduk tak jauh dari depannya.

Dan itu membuat kemudian Guntur merosot dari duduknya, kemudian menjatuhkan kepalanya di pangkuan pak Bono.

“Heii, ada apa ini? Jangan begini, ayo bangkit,”

Kata pak Bono sambil mengangkat kedua lengan Guntur, sementara Kinanti sudah kembali duduk sambil mengusap air matanya.

“Saya berjanji, tidak akan mengecewakan Bapak,” kata Guntur dengan suara bergetar.

“Bagus. Itu adalah harapanku.”

Guntur mengangguk.

“Aku serahkan pada kalian, urus semuanya oleh kalian sendiri. Aku percaya kalian sudah tahu apa yang harus kalian lakukan.”

***

Bu Raji sangat terharu ketika tahu bahwa pak Bono benar-benar menepati ucapannya, bahwa Guntur harus bisa kuliah.

“Pak Bono benar-benar sahabat almarhum ayahmu, yang memegang teguh janji yang sudah diucapkannya. Kamu harus bisa melakukannya dengan penuh tanggung jawab, jangan membuatnya kecewa.”

“Iya Bu, Guntur pasti akan melakukan hal terbaik untuk membalas kebaikan pak Bono, yang bahkan menganggap Guntur seperti keluarga atau anaknya sendiri.”

“Bagus Nak, kamu memang harus membuat pak Bono dan juga almarhum ayahmu bangga padamu.”

Guntur mengangguk.

“Dan juga membuat Ibuku bangga,” sambung Guntur.

Bu Raji memeluk anaknya erat.

“Ibu memang selalu bangga karena memiliki kamu, yang sangat mengasihi ibu,  yang pintar dan selalu berhasil menjadi bintang di sekolah kamu. Tak heran kalau Wanda juga amat menyukai kamu.”

“Ah, mengapa Ibu menyebut nama itu lagi?”

“Oh iya, bagaimana dengan jacket itu? Mau kamu pakai?”

“Tidak Bu, biar Ibu simpan saja. Kalau harus mengembalikan, ya mengembalikan ke mana. Entah Guntur bisa ketemu dia lagi atau tidak. Dia kan sudah tidak ada lagi di kota ini.”

“Ya sudah, biar ibu simpan saja.”

***

Hari acara perpisahan itu kurang dua hari lagi. Fitria mengundang Kinanti untuk ikut latihan menyanyi di rumahnya.

Kinanti sedang duduk sambil membuka-buka daftar lagu yang akan dinyanyikannya ketika tiba-tiba seseorang duduk disebelahnya, tanpa permisi pula.

“Hallo, Kinanti.”

“Oh, eh … kamu siapa?”

“Kamu lupa sama aku?”

“Nggak kenal,” jawab Kinanti singkat.

“Kasihan deh aku, masa kamu nggak kenal aku? Kita kan pernah main bersama waktu di sekolah kamu ada acara? Pas ulang tahun sekolah, sepertinya?”

Kinanti lupa-lupa ingat. Waktu itu Kinanti sudah selesai menyanyi, dan bergegas pulang sebelum ayahnya curiga ketika dia pulang terlambat. Jadi dia tidak begitu memperhatikan band lain yang semuanya cowok, yang ikut memeriahkan acara itu. Itu sebabnya dia tak ingat siapa laki-laki yang dianggapnya sok kenal dan sedang duduk di sebelahnya.

“Aku Zaki.”

Kinanti baru ingat. Itu Zaki yang baru dikenalnya sekilas, yang teman-temannyamengatakan bahwa Zaki menyukainya. Suka? Laki-laki gondrong yang penampilannya sedikit norak, dengan celana jean yang bolong-bolong, dan … tidak, Kinanti tidak suka pada laki-laki yang kurang rapi.

“Oh … iya, maaf.”

“Besok nyanyi duet sama aku ya?”

“Apa?”

“Kata Fitria kamu mau nyanyi, ayo kita pilih yang bagus untuk kita,” kata Zaki yang menarik buku kumpulan lagu-lagu yang semula dipegang Kinanti.

“Tapi aku tidak ….”

“Aku sudah tahu, suara kamu bagus. Aku suka. Mana, coba pilih lagu yang kamu suka.”

“Kinaaaan, ayo latihan, teman-teman sudah siap. Bagus kalau sudah kompakan sama Zaki. Cepat sini.”

Zaki menarik tangan Kinan begitu saja, mengajaknya mendekati teman-temannya yang sudah jrang jreng mencoba alat mereka.

“Aku tidak mau,” kata Kinanti.

“Jangan begitu Kinanti. Sombong amat sih kamu? Ini, lagunya bagus. 'Jangan ada dusta diantara kita’. Kamu mau?”

“Ayo Kinanti, suara Zaki bagus lhoh, cocok duet sama kamu.”

Kinanti ingin memarahi teman-temannya. Rupanya mereka sudah mengatur pertemuan antara Zaki dengan dirinya. Tapi ini sudah terjadi. Zaki sudah mengambil mike yang kemudian diserahkan kepadanya.

“Siap, Kinan?” itu teriak Dhani dan Yuli.

Mau tak mau Kinanti mengikuti kemauan mereka. Tapi tak bisa dipungkiri, suara Zaki memang bagus. Mirip suara Brury, Kinanti gemetar mengikutinya. Tapi sebagai orang yang menyukai musik, begitu musik mengalun, lagu dikumandangkan, gejolak ingin mengikuti segera berpendar di dalam jiwanya.

Begitu asyik berlagu, sampai tak sadar kalau sebentar-sebentar Zaki menyentuh tangannya dan meremasnya pelan.

Kinanti melotot sambil mengibaskannya. Zaki tertawa dan membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf. Tapi Kinanti sudah terbawa arus. Dengan gembira dia berlatih, sampai kemudian ia berpamit karena hari sudah sore.

“Aku antar? Aku bawa mobil,” kata Zaki.

“Tidak, terima kasih, aku bawa motor,” jawab Kinan yang segera mendekati motornya.

Zaki mengangkat kedua tangannya, sebagai tanda kecewa. Fitria dan teman-temannya mentertawakannya.

“Tidak mudah mendapatkannya Zak.”

“Dia punya pacar?” tanya Zaki.

“Dia suka pada seseorang, tapi belum pacaran.”

“Siapa?”

“Dia bintang kelas di sekolah kami.”

“Wouuwww, aku sih bintang tujuh,” kata Zaki terbahak. Dia tidak melanjutkan kuliah selepas SMA, karena dia lebih suka bermain musik.

Fitria dan teman-temannya tertawa geli.

“Coba kejar, siapa tahu kamu bisa mendapatkannya.”

***

Acara perpisahan itu tiba. Orang tua murid kelas tiga mendapat undangan. Ketika Kinanti bernyanyi, dengan gembira pak Bono bertepuk tangan. Kinanti melihatnya, dan begitu bahagia melihat ayahnya bertepuk tangan untuk dirinya.

“Ternyata suara Kinanti bagus ya Bu?” kata pak Bono kepada istrinya.

“Bapak terlambat menyadari ya?”

“Iya sih.”

Guntur duduk di barisan tengah diantara lulusan murid kelas tiga. Tanpa disangka, tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya.

“Guntur,” suara lembut itu membuatnya merinding. Itu Wanda. Guntur ingin berdiri menghindar, tapi Wanda memegangi lengannya.

“Kenapa jacketnya tidak dipakai?”

“Tidak, aku ingin mengembalikannya sebenarnya, kalau saja aku tahu kamu ada.”

“Ya ampuun, Guntur, mengapa kamu membalas perhatianku dengan sikap yang tak acuh begini? Kamu akan tetap menyukai Kinanti? Lihat. Dia sedang bercanda mesra dengan seseorang. Dia penyanyi yang akan tampil nanti. Tapi mereka sangat cocok lhoh. Kabarnya mereka akan bernyanyi duet. Rambutnya gondrong, diikat ke belakang, tubuhnya gagah tinggi besar, dan_”

“Diaam!!” Guntur hampir berteriak. Membuat teman-teman didepannya menoleh.

***

Besok lagi ya.

 

 

 
















AGAR MIMPI MENJADI NYATA

AGAR MIMPI MENJADI NYATA

(Tien Kumalasari)


Pagi masih suram dan kelam terasa

gelap nya malam juga masih tersisa

walau ditimur sana semburat merah tampak maya

tak ada janji untuk hadir cemerlang hari ini

tak ada janji mega kelabu akan pergi

tak ada janji untuk mandi hangatnya matahari

namun tetaplah langkahkan kaki

agar asa mengguyur seluruh jiwa

agar aroma semangat tetap selimuti rasa

agar mimpi-mimpi menjadi nyata

haiii...selamat pagii..

-----



Monday, January 20, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 15

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  15

(Tien Kumalasari)

 

Bu Raji tertegun sampai beberapa saat lamanya. Ia terus memandangi sulaman berhiaskan kembang dengan tulisan yang sangat menyolok berwarna orange dikombinasi warna biru.

Sungguh seorang gadis pemberani. Pemberani karena dengan tanpa malu menyatakan cintanya kepada seorang teman laki-laki yang tidak menaruh perhatian padanya. Tapi benarkah Guntur tidak menaruh perhatian pada Wanda? Itulah yang dipikirkan bu Raji.

“Jangan-jangan hanya di belakangnya saja Guntur seakan menolak, tapi di depan gadis itu dia memberikan harapan,” gumam bu Raji sambil membawa jacket itu ke belakang, melipatnya rapi lalu memasukkan kembali ke dalam keresek seperti semula. Diletakkannya kemudian di meja belajar Guntur.

Sambil menyelesaikan memasak ala kadarnya, bu Raji terus bertanya-tanya tentang gadis bernama Wanda itu.

“Kalau benar Guntur menyukainya, aku akan memperingatkannya. Sepertinya Wanda bukan gadis yang baik. Perilakunya sangat berani, bahkan ia lancang menyebut diriku sebagai ibu mertua. Kapan ada pembicaraan tentang mertua dan menantu? Jangkahnya masih jauh. Sebuah rumah tangga tidak cukup dengan bekal rasa suka. Masih anak-anak pula. Menurutnya hidup ini begitu mudahkah? Barangkali karena dia anak orang kaya, jadi tidak bisa berpikir jauh. Menurutnya ketika uang itu ada, maka semuanya bisa diselesaikan.”

Bu Raji terus bergumam. Ada keinginan untuk tidak usah memberikan jacket itu kepada Guntur, tapi diurungkannya. Itu hak Guntur. Soal mau dipakai atau dibuang, terserah apa kata Guntur.

***

Pak Wita marah-marah ketika melihat Wanda baru saja datang, sementara mereka sudah mau berangkat pergi.

“Kamu ini dari mana? Semuanya sudah menunggu.”

“Dari … sekolahan.”

“Ada apa? Bukankah kita akan tahu bagaimana hasil ujian nanti, kalau wali kelas kamu mengabari. Aku sudah berpesan begitu kan?”

“Hanya pamit, apa tidak boleh?” sungut Wanda.

“Pamit pada teman miskinmu itu?”

“Mengapa Bapak begitu? Dia itu baik dan pintar.”

“Persetan dengan anak itu, bersiaplah, ibumu sudah menunggu.”

Wanda berjalan ke belakang. Ia senang bisa memberikan kenang-kenangan kepada Guntur. Sebuah jacket mahal yang sulamannya dibuatkan oleh sebuah penjahit terkenal. Tapi yang diakuinya sebagai sulamannya sendiri. Mana bisa seorang anak manja bisa menyulam? Memegang pekerjaan rumah saja tidak becus. Tapi Wanda berharap pemberiannya bisa menyentuh hati Guntur, laki-laki yang dikaguminya.

“Kamu dari mana?” tanya ibunya yang sedang menarik kopor keluar dari kamar.

“Dari_”

“Menemui Guntur?”

“Ah, ibu.”

“Menurut ibu, Guntur tidak begitu perhatian pada kamu. Ketika dia datang, apa dia mendekati kamu? Ia hanya menyapa dari jauh, sedangkan teman kamu yang bernama Ardi itulah yang mengobrol lama.”

“Wanda tidak menemui Guntur.”

“Baguslah, lebih baik kamu melupakannya. Ini masa kanak-kanak kamu. Belum saatnya memikirkan sebuah hubungan yang tidak jelas,” kata sang ibu sambil terus berlalu.

Namun sebenarnya dalam hati sang ibu, ia tahu bahwa Guntur bukan sekedar laki-laki dari keluarga miskin. Ada sesuatu yang kuat pada matanya, yang menunjukkan sebuah kemauan yang tak terhentikan. Ia juga tampak cerdas, walau wajahnya tidak ganteng-ganteng amat. Ia tidak terlalu menyalahkan Wanda. Tapi sang ibu hanya merasa bahwa belum saatnya Wanda memikirkan hal itu. Pada suatu hari nanti, entah kapan, kalau sampai Wanda bertemu lagi, dan Guntur sudah menjadi ‘orang’, semoga Wanda sudah bisa menundukkan hati sang ayah.

“Melupakannya? Mana bisa? Itu sangat sulit bagi Wanda,” gumam Wanda sendirian. Baginya, apa yang diinginkannya haruslah menjadi nyata.

Ia hanya masuk sebentar ke kamarnya, karena semua barang-barang sudah dikemas rapi, entah oleh ibunya, atau oleh pembantunya. Wanda melenggang keluar, menunggu aba-aba sang ayah kapan mau berangkat.

Ia harus mengikutinya, walau hatinya tertinggal di suatu tempat, di mana sang idola berada. Belum saatnya dia memberontak, karena ia masih sangat bergantung pada sang ayah.

***

Disekolah, para siswa masih berbincang ataupun bercanda. Fitria dan teman bandnya tiba-tiba mendekati Kinanti, dan memintanya nanti kalau saat perpisahan, dia mau  menyanyi.

“Apa? Tidak, aku sudah tidak ingin lagi.”

“Hanya kali ini, untuk mengenang masa-masa terakhir kita di SMA. Kenapa sih kamu?”

“Lama nggak nyanyi, suaraku pasti jelek.”

“Nggaaaak, suara bagus itu sampai kapanpun juga bagus.”

“Nanti duet sama aku saja Kinan,” tiba-tiba Ardi nyelonong.

“Apaaa?” teman-temannya termasuk Kinanti berteriak.

“Ya ampuun, kompak amat sih. Memang kenapa kalau aku duet sama Kinanti?”

“Nggak kompak, nggak nyambung. Suara kamu sember kaya tong dipukul pakai pentungan.”

“Benar, kayak gitar kendur senarnya.”

“Astaga naga, kalian benar-benar tidak menghargai aku yang pintar nyanyi juga. Soalnya kalian belum pernah mendengar suaraku, kalau dengar, bisa pingsan karena terpesona,” balas Ardi dengan wajah cemberut.

“Cobain deh … cobain sekarang kamu nyanyi, kalau bagus nanti Kinanti pasti mau duet sama kamu,” kata Yuni.

“Oke, siapa takut?”

Lalu Ardi berdiri, menata napasnya dan bernyanyi.

“Please, release me let me go … For I don’t love you anymore …..“

“Stoooop…. stoooopppp,” teriak teman-temannya, bahkan Guntur kemudian membekap mulutnya dengan telapak tangan.

“Heeiii, kalian jahat ya, oo… pada ngiri karena suaraku sudah mirip dengan penyanyi aslinya kan?”

“Mimpiiiii!!”

“Sudahlah Ardi, sebenarnya suaramu itu bukannya jelek, tapi terlalu bagus malah,” kata Guntur sambil menepuk-nepuk punggung Ardi.

“Halaaaah, bilang saja kamu cemburu kalau aku nyanyi bareng Kinan, ya kan?” kata Ardi tanpa dosa.

“Ngawur !” kata Guntur yang kemudian meninju lengan Ardi sangat keras.

“Adduh, sakit tahu. Dari mana kepalan tangan kecilmu itu bisa menyakiti lenganku hah?” pekik Ardi sambil mengelus lengannya.

“Sudah, tidak usah ribut, nanti Kinanti jadi ketakutan menyanyi, padahal dia akan duet bersama orang lain,” kata Dhani.

“Orang lain? Maksudmu Guntur?” tanya Ardi.

“Eh, tidak … tidak … masa aku menyanyi?”

“Bukan Guntur, anak dari band luar, aku kan pernah bilang, dia suka sama Kinanti, namanya Zaki.”

“O, dia?”

“Tidak, kata siapa? Aku nggak kenal dia,” teriak Kinanti.

“Nggak apa-apa Kinan, dia ingin nyanyi bareng kamu,” kata Fitria.

“Ya ampun, tobat … Kinanti mau sama dia?” kata Ardi, sedangkan Guntur diam saja. Ia malah pergi menjauh, dari hiruk pikuk teman-temannya.

“Kinan, lihat, Guntur marah tuh. Apa benar, kamu tega mau meninggalkannya dan lebih memilih Zaket … eh … Zaki.”

“Ardi selalu begitu, omongan ke sana kemari nggak jelas,” kata salah seorang temannya, kemudian mereka bubar karena ada pengumuman dari wali kelas, yang membuat mereka berhamburan masuk ke kelas.

***

Guntur memasuki rumahnya setelah memarkir sepeda motornya di halaman. Ia masuk ke rumah, dan melihat ibunya sedang duduk di ruang tengah.

“Kamu sudah pulang?”

“Iya, Bu,” jawabnya sambil mencium tangan sang ibu.

“Ganti bajumu, ibu sudah menyiapkan makan siangmu.”

“Ibu masak?”

“Iya, hanya sambel goreng tahu sama kerupuk.”

“Itu enak sekali,” puji Guntur senang, sambil masuk ke dalam kamarnya.

Ia meletakkan tas sekolah di meja, lalu melihat sesuatu terletak di sana. Ia heran karena belum pernah melihat bungkusan itu sebelumnya. Tapi ia kaget, karena ketika dibukanya, ada sebuah jacket berwarna hitam di dalam bungkusan itu.

“Kok ada jacket? Ini bagus. Pasti harganya mahal.”

Guntur membukanya, lalu melihat sulaman indah di dada jacket itu. Matanya terbelalak.

“Apa-apaan ini? Pernyataan cinta yang terlukis begitu indah pada sulaman?” gumamnya sambil menatap sulaman itu.  Tiba-tiba terlintas sebuah nama, Kinanti? Mengapa tadi diam saja ketika bertemu di sekolah? Masa Kinanti begitu?

Guntur membawa jacket itu dan mencari keberadaan ibunya, yang ternyata sudah menunggunya di ruang makan.

“Ibu, ini dari siapa?”

“Coba tebak dari siapa?” kata sang ibu.

“Kinanti?” nama itu terlontar begitu saja. Apakah sebenarnya Guntur berharap bahwa itu memang dari Kinanti? Tapi jawaban sang ibu membuatnya muram.

“Dari Wanda.”

Guntur menyampirkan jacket itu di kursi, lalu pergi ke kamar mandi.

Bu Raji menatapnya, dan merasa lega ketika menyadari bahwa Guntur tak menyukai pemberian itu. Dari sikapnya sudah kelihatan. Guntur memang tak kelihatan suka.

Ketika kemudian Guntur sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian rumah, bu Raji menyiapkan piring dan menaruh nasi di atasnya.

“Dari mana datangnya barang itu?” tanya Guntur masih dengan wajah muram.

“Dia datang kemari tadi, masih agak pagi. Kamu tidak ketemu di sekolah?”

“Tiga hari ini Guntur tak pernah melihatnya.”

“Tadi dia bilang, orang tuanya mau pindah rumah. Aku lupa, apakah tadi dia mengatakan kemana dia pindah atau tidak. Dia seperti tergesa-gesa. Tampaknya hari ini kepindahan itu.”

“Ya, Guntur juga mendengar dia akan mengikuti orang tuanya pindah.”

“Dia mengatakannya sendiri?”

“Tidak. Teman-temannya sudah tahu semua.”

“Tidak menunggu pengumuman kelulusan dulu ya?”

“Tampaknya tidak. Mengapa dia memberikan jacket itu?”

“Ibu juga tidak tahu. Dia datang hanya memberikan keresek berisi jacket. Lalu pergi. Ibu membukanya juga, karena jacketnya tidak terbungkus rapat.”

“Ibu juga membaca tulisan itu?”

“Ibu penasaran karena dia mengatakan bahwa telah menyulam tulisan di jacketnya dengan tangannya sendiri.”

“Kalau Guntur ada, pasti Guntur langsung mengembalikannya,” katanya sambil menyendok sayur tahu ke piringnya.

“Gadis itu suka sama kamu. Sangat suka.”

“Padahal Guntur tidak pernah bicara, sejak dia masuk setelah sakit. Guntur selalu menghindar. Dasar tidak tahu malu.”

Bu Raji tersenyum.

“Ya sudah, hargai perasaannya. Jangan membencinya. Barangkali menurutnya, susah menghilangkan sebuah rasa,” kata ibunya sambil menggenggam sebelah tangan Guntur.

“Harusnya, dia berhenti ketika menyadari bahwa bertepuk sebelah tangan.”

“Cinta itu kan butuh perjuangan,” kata bu Raji dengan tersenyum.

Guntur tertawa pelan.

“Bahkan Guntur tidak merasakan apa itu cinta,” gumamnya seperti kepada dirinya sendiri.

“Belum. Atau, bisa jadi kamu belum menyadari perasaan kamu sendiri.”

Guntur diam. Ada bayangan melintas, tapi dikibaskannya. Ia masih ingat ketika Kinanti marah gara-gara dia mengaku suka pada dirinya. Lalu Guntur sadar bahwa dia tak pantas mengharapkan apapun. Padahal Kinanti marah karena dia mengatakan bahwa yang dikatakannya hanya untuk menghentikan Wanda.

“Sudah, jangan memikirkan apapun. Makan yang banyak biar kenyang.”

Guntur tersenyum. Menikmati masakan sang ibu selalu terasa nikmat. Tak ada di dunia ini yang menyamai lezatnya masakan sang ibu.

“Ibu tidak capek, memasak setiap hari?”

“Tidak, hanya memasak, mengapa capek? Lagi pula ibu sudah benar-benar sehat. Sudah lama tidak meminum obat, dan ibu bersyukur merasa sehat.”

“Walau begitu jangan terlalu capek. Guntur sudah tidak sekolah lagi, jadi bisa sepenuhnya membantu ibu.”

“Apa rencanamu selanjutnya?”

“Entahlah. Guntur ingin mencari pekerjaan, tapi dilarang oleh pak Bono. Guntur harus bagaimana ya Bu? Sungkan menjadi beban orang lain, bukan?”

“Benar. Ibu juga sungkan. Tapi pak Bono selalu mengatakan bahwa ia merasa dititipi oleh almarhum ayahmu. Ia akan melakukan apa saja, bahkan menyekolahkanmu ke jenjang yang lebih tinggi.”

Belum selesai Guntur bicara, ponselnya terdengar berdering. Guntur bergegas berdiri untuk mengambil ponselnya.

Bu Raji mendengar Guntur berbicara sambil berjalan kembali ke arah ruang makan, lalu tak lama kemudian Guntur sudah menutup ponselnya.

“Dari pak Bono,” kata Guntur sambil kembali duduk. Ia belum selesai makan.

“Apa kata pak Bono?”

“Ia mengingatkan tentang permintaannya agar Guntur melanjutkan kuliah. Secepatnya Guntur dipanggil ke rumahnya.”

Bu Raji menatap anaknya.

“Ini sebuah beban, tapi kamu harus menjalaninya. Kalau tidak, pak Bono pasti akan kecewa.”

***

Pengumuman kelulusan itu menunjukkan bahwa Kinanti maupun Guntur dinyatakan lulus. Hanya ada dua orang yang dinyatakan gagal di kelas mereka.

Malam itu pak Bono bicara dengan Kinanti, menekankan keinginannya agar Guntur dan Kinanti mendaftar ke fakultas kedokteran.

“Beberapa bulan lagi bapak sudah pensiun. Tapi bapak ingin agar kalian bisa mewujudkan keinginan bapak ini. Apa kamu keberatan?”

“Tidak. Kinanti akan melakukan yang terbaik demi Bapak.”

“Jangan demi bapak, ini demi hidup kamu sendiri. Hidup kalian.”

“Iya, Kinan mengerti.”

“Besok ingatkan Guntur agar datang kemari, kita akan membicarakan langkah-langkah kalian selanjutnya.”

“Nanti Kinanti akan mengingatkan.”

Tiba-tiba ponsel Kinanti berdering, sebuah nomor tak dikenal terpampang, dan Kinanti enggan mengangkatnya.

“Kenapa tidak diangkat.”

“Nggak kenal,” jawab Kinanti singkat.

Tapi sebuah pesan singkat membuat Kinanti merasa gerah.

“Aku Wanda. Kamu tidak lupa kan? Aku sudah lulus, aku harap demikian juga kamu. Mau melanjutkan, atau langsung kawin? Ingat ya, Guntur milikku, sampai kapanpun dia milikku.”

Kinanti menghapus pesan itu, dan memblokir nomornya.

***

Besok lagi ya.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sunday, January 19, 2025

KUSAPA ANGIN LALU

KUSAPA ANGIN LALU

(Tien Kumalasari)


Pagiku telah datang

kubuka pintu rumahku

kusapa angin lalu

kusapa daun basah oleh embun

kusapa nyanyian burung-burung

kusapa langit bersih tanpa mendung

semoga cerah hari ini 

semoga indah hati ini

terimakasihku Ya Allah, 

ini semua karenaMu

haiiiii....

selamat pagiiii...

_____




Saturday, January 18, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 14

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  14

(Tien Kumalasari)

 

Kinanti mempercepat langkahnya, menjauh dari Wanda, tapi Wanda mengejarnya. Walau sebelah tangannya masih digendong, ia masih tak segan berjalan cepat di atas jalanan yang berkerikil. Sebelah tangannya menarik lengan Kinanti, sementara Guntur hanya mengawasi dari kejauhan.

“Berhenti dulu,” hardiknya.

Kinanti berhenti, menatap Wanda dengan pandangan kesal.

“Ada apa?”

“Jangan terlalu senang karena mendengar Guntur mengatakan bahwa dia menyukai kamu.”

“Aku tidak mendengar apa-apa? Sudahlah, jangan menggangguku,” kata Kinanti sambil berjalan ke arah kelasnya sendiri.

“Bohong! Pasti dalam hati kamu akan mengejekku bukan?”

“Mengapa kamu berpikiran yang aneh-aneh, sementara aku tak berpikir apa-apa?”

“Itu benar, bukan? Ngaku saja.”

“Sebenarnya apa maksudmu?”

“Aku menyukai Guntur dengan caraku. Bukan seperti kamu yang menyuruh orang tuamu menemui orang tua Guntur untuk memberi banyak makanan, dan mungkin juga uang. Itu kan caramu supaya Guntur menyukai kamu?”

“Kamu menjadi kacau karena cintamu tak berbalas. Sudahlah, aku tak mau bertengkar denganmu,” kata Kinanti sambil kembali melangkah.

“Tapi aku mau!” katanya keras sambil mengejar, tapi sebuah batu yang agak besar membuat kakinya tersandung, sehingga dia jatuh tertelungkup. Wajahnya mencium batu-batu yang berserakan, dan tangan yang bekas dioperasi tertindih tubuhnya sendiri. Jeritnya seperti lolongan yang membahana, membuat semua orang menatapnya.

“Tolooong, dia membuatku terjatuh!” kataya sambil berusaha bangkit.

Seseorang membantunya, karena kasihan, mendengar rintih kesakitan yang dibuat-buat.

Kinanti berhenti sejenak, lalu membiarkannya ketika salah seorang teman Wanda sudah menuntunnya ke tepi, lalu mendudukkannya disebuah bangku.

“Perempuan jahat itu! Lihatlah! Dia berlalu setelah membuat aku celaka!! Perempuan jahat! Dia bermaksud mencelakaiku.”

Beberapa orang menatap Kinanti. Bagi yang tidak tahu, mereka menyalahkan Kinanti yang tega membuat Wanda yang masih sakit sampai terjatuh mencium latar berkerikil yang melukai wajahnya.

Tapi tiba-tiba Ardi mendekat dan menuding hidung Wanda yang berdarah.

“Kamu yang jahat! Kamu jatuh sendiri karena mengejar Kinanti. Kamu bicara tidak pantas, sementara Kinanti tidak melakukan apa-apa!” katanya lantang.

“Apa maksudmu? Jelas-jelas aku terjatuh karena dia!!”

Seorang temannya berlari ke arah ruang guru, lalu keluar dengan membawa kotak obat. Ia mengambil kapas dan membersihkan darah di wajah Wanda.

“Apa yang akan kamu lakukan pada Kinanti? Kamu akan memukulnya? Kamu tidak tahu malu.” hardik Ardi yang sangat kesal karena Wanda menuduh Kinanti yang melakukannya. Padahal dia jatuh karena mengejar Kinanti, dan Kinanti sama sekali tidak menyentuhnya.

“Kamu membelanya?” hardik Wanda, yang walaupun kesakitan tapi masih bisa berteriak keras.

“Aku membela yang benar. Dasar tak tahu berterima kasih. Kalau bukan karena Kinanti maka orang tuamu tidak akan tahu bahwa kamu kecelakaan.”

“Sudah Ardi, biarkan saja, ayo kembali ke kelas. Istirahat sudah hampir usai,” kata Guntur yang kemudian mendekati Ardi dan menarik lengannya agar menjauh.

Wanda bertambah kesal karena Guntur tak memperhatikannya.

“Guntuuuur, kamu juga jahat!”

Teman-teman yang semula membelanya, kemudian menjauhinya karena tahu bahwa Wanda jatuh karena ulahnya sendiri.

Mereka menganggap Wanda tak tahu malu karena membuat keributan di sekolah hanya gara-gara seorang laki-laki yang ternyata tidak mempedulikannya.

Di dalam kelas, Guntur mendekati Kinanti yang wajahnya gelap seperti mendung.

“Tidak usah kamu pikirkan, Kinan, dia memang begitu tak tahu malu.”

Kinanti tersenyum menatap Guntur, dan merasa senang karena Guntur memperhatikannya. Ia juga senang karena tadi Guntur mengatakan bahwa dia menyukai orang lain, yang ketika Wanda bertanya apakah itu Kinanti, maka Guntur mengangguk. Kinanti tak mendengar jawabannya, tapi melihatnya mengangguk, dan itu membuat hatinya berbunga-bunga.

“Apa kamu marah ketika tadi aku ….” Guntur tak menambahkan ucapannya. Ia menyesal mengucapkan tentang ada yang dia sukai, karena merasa tak sebanding dengan Kinanti yang anak dari orang kaya, bahkan yang telah membiayai sekolahnya. Tadi dia hanya ingin menghentikan Wanda, supaya jangan terus menerus mengejarnya.

“Ada apa?” Kinanti ingin mendengar Guntur mengucapkan apa yang ingin diucapkannya.

“Maafkan aku. Tadi … aku lancang … Tapi aku hanya … ingin menghentikan Wanda.”

Kinanti kehilangan senyumannya.  Ternyata Guntur tidak benar-benar menyukainya. Ternyata tadi hanya ingin menghentikan Wanda, dan karena itu Wanda jadi membencinya.

“Lupakan saja,” kata Kinanti yang kemudian mengambil sebuah buku pelajaran dan pura-pura membacanya.

Guntur kemudian meninggalkannya dengan heran. Mengapa senyuman Kinanti tiba-tiba lenyap?

Tapi karena kejadian itu, dan karena ocehan Wanda, maka Kinanti dipanggil guru wali kelasnya, dan disidang di ruang guru.

Sungguh seharusnya sangat memalukan, karena hampir semua saksi membela Kinanti, dan mengatakan Wanda yang keterlaluan. Termasuk Guntur dan Ardi yang melihat terjadinya kejadian itu.

***

Walau akhirnya Wanda dan Kinanti diminta untuk berdamai lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman, tapi dalam hati mereka, rasa tidak suka masih terus digenggamnya. Sulit melepaskan rasa cinta? Entahlah, yang jelas ketika Wanda mengadu ke orang tuanya tentang luka diwajahnya, membuat sang ayah murka.

Murka kepada anak gadisnya karena tidak tahu malu dengan terus mengejar teman miskinnya yang sepertinya jelas-jelas menolaknya.

“Memang benar, lebih cepat kita pindah dari sini, lebih baik. Wanda sungguh tak tahu malu, masih mengejar si miskin itu.”

“Ya, sudahlah, Bapak sabar saja. Kita sudah selesai mempersiapkan semuanya. Beberapa barang sudah dikirim ke rumah baru kita. Kita hanya menunggu Wanda selesai ujian, bukan?”

“Tinggal dua minggu kan? Ya sudah, biarkan saja. Mulai sekarang aku sendiri yang akan mengantarkan Wanda kesekolah, dan menjemputnya. Akan aku awasi dia agar jangan main-main tentang cinta monyet itu.”

“Tapi Bapak jangan sampai membuat onar di sekolah, memalukan.”

“Mana mungkin aku berbuat yang memalukan? Anakmu itu yang tak tahu malu, bukan? Aku heran, apa kelebihan anak bernama Guntur itu. Wajah juga pas-pasan, miskin pula. Bagaimana anakmu itu Bu? Kalau anak yang satunya itu aku masih bisa mengerti. Wajahnya ganteng, dan dia kelihatan anak orang kaya. Kalau itu, aku mungkin masih bisa mempertimbangkannya. Tapi yang namanya Guntur itu, sama sekali tidak menarik. Bukan jelek sekali sih, tapi tidak ada menarik-menariknya. Anakmu itu yang aneh.”

“Sekarang sudah waktunya pulang, Bapak tidak menjemputnya? Atau mulai besok saja, dan sekarang biar dijemput sopir?”

“Iya, aku sudah siap mau menjemput dia. Tapi aku mau langsung ke kantor lagi. Ada yang harus aku selesaikan sebelum aku tinggalkan. Sudah ada orang kepercayaan aku yang akan menjalankan semuanya.”

“Hati-hati Bapak memilih orang.”

“Aku tahu, Siswadi sudah aku percaya sejak limabelas tahun yang lalu, ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Aku akan mulai mengawasi langsung perusahaan cabang yang baru beberapa tahun aku kelola dari jauh.”

“Syukurlah, kalau begitu.”

“Sekarang aku berangkat dulu, takutnya terlambat.”

***

Ketika pelajaran selesai di hari itu, Guntur mendekati Kinanti, karena dilihatnya beberapa hari ini wajah Kinanti selalu gelap. Guntur merasa bahwa ucapannya kepada Wanda itulah penyebabnya.

“Kinan, kamu marah sama aku?” kata Guntur sambil mengiringi Kinanti keluar dari kelas.

“Tidak, mengapa harus marah?”

“Tapi kamu seperti kesal begitu, aku minta maaf ya.”

“Kok minta maaf terus sih? Kamu merasa melakukan kesalahan apa? Aku tidak apa-apa kok.”
”Aku tidak bersungguh-sungguh waktu itu. Hanya untuk menghentikan Wanda.”

“Oh, itu?”

“Aku harus tahu diri kan, aku ini siapa, masa aku begitu lancang mengucapkan kata-kata seperti itu. Untuk itu aku mohon maaf. Jangan marah lagi ya, aku kan sudah minta maaf. Aku tidak akan berani lagi mengucapkan itu. Aku tidak berani, Kinan, aku harus tahu diri. Jangan marah ya,” katanya pelan sambil berjalan di sisi Kinanti menuju ke tempat parkir.

Kinanti menatap Guntur yang tampak sangat menyesal. Kemarahan Kinanti terurai tiba-tiba. Guntur tidak berani menyukai dirinya karena merasa sebagai anak orang tak punya. Apakah sesungguhnya Guntur suka pada dirinya? Ia mengulaskan senyuman manis sambil menatap ‘saudara angkatnya’.

“Jangan begitu. Aku dan kamu tidak ada bedanya. Kaya atau miskin itu kan hanya sandangan. Aku tidak pernah membedakannya,” katanya tulus, membuat senyuman Guntur mengembang.

“Benar kamu tidak marah?”

“Kalau kamu hanya pura-pura suka, itulah yang membuat aku marah,” kata Kinanti tapi hanya dalam hati. Mana mungkin dia berani mengucapkannya? Kinanti dan Wanda sangat berbeda. Wanda begitu bebas bersikap dan berkata-kata, tanpa peduli memalukan atau tidak. Tapi Kinanti mengerti pada batasan-batasannya. Ada hal yang pantas dikatakan, ada yang harus disembunyikan, seperti kata hatinya sendiri, misalnya. Ia tak perlu mengumbarnya kepada dunia bahwa dia mengagumi Guntur. Nanti waktu yang akan mengatakannya.

“Terima kasih Kinanti, aku tahu bahwa kamu gadis yang baik.”

“Heiii, ini masih di halaman sekolah, dilarang ada bisik-bisik cinta!” teriakan menjengkelkan itu terdengar lagi. Kinanti menoleh dan memelototi Ardi yang sedang mengejar mereka.

“Kebiasaan ya, selalu ngomong nggak jelas,” omel Kinanti.

“Eh, jelas nih. Masa nggak jelas? Mau diulang lagi?”

Tapi Ardi tak bisa lagi berteriak karena Guntur menutup mulut Ardi dengan telapak tangan. Kinanti terkekeh, lalu berjalan ke arah sepeda motornya.

“Mmmmmhh….”

“Pulang sana, jangan banyak bicara lagi,” sergah Guntur.

“Aku mau pulang bareng Kinanti, tahu.”

“Nggak mauuuuu,” teriak Kinanti yang sudah menstarter motornya dan mendahului keluar dari halaman sekolah, sementara Ardi masih menunggu motor di belakangnya yang masih berjejer, sehingga dia harus ngantri untuk mengambilnya.

Guntur terkekeh. Ia lebih dulu menemukan sepeda motornya, lalu menjalankannya hampir menyerempet Ardi, membuat Ardi berteriak-teriak kesal, disambut tawa oleh Guntur.

Ketika Guntur sampai di pagar sekolah, ia melihat sebuah mobil, dan Wanda berlari-lari mendatangi mobil itu.

Rupanya Wanda dijemput sendiri oleh ayahnya. Ketika ia melintas, Wanda berteriak melalui jendela depan.

“Guntuuuurrr!”

Guntur hanya mengangguk, hanya untuk menghormati laki-laki gagah yang duduk di belakang kemudi, kemudian terus berlalu.

Pak Wita menatap Wanda dengan marah.

“Kamu masih saja memperhatikan anak itu,” tegurnya sambil menjalankan mobilnya.

“Pak, Wanda masih suka,” jawab Wanda seenaknya.

“Dasar bodohh!!” geram pak Wita. Ia tidak meneruskan mengomeli anaknya, karena sebentar lagi ia akan membawa Wanda pergi dari kota ini. Dengan begitu Wanda tak harus bertemu dengan si miskin lagi.

***

Ujian sudah dimulai dan hampir selesai. Tak ada yang memikirkan cinta yang oleh orang tua Wanda disebut cinta monyet. Tapi seumur anak SMA sesungguhnya bukan lagi disebut monyet. Mereka sudah lebih matang dan bisa bersikap selayaknya orang dewasa. Guntur juga tidak mendekati Kinanti beberapa hari ini karena fokus pada ujian sekolahnya.

Kinanti juga melupakan kisah cintanya yang rumit, karena walaupun cinta, tak ada kata terucap ataupun sikap yang menunjukkannya. Semua fokus pada ujian mereka.

Sementara itu hampir semua barang sudah dipindahkan ke rumah baru mereka di kota Semarang.

“Bu, mengapa barang-barangku banyak yang tidak ada?” teriak Wanda ketika mencari sesuatu di almarinya yang hampir kosong.

“Kamu kan sudah tahu, semua barang-barang sudah dibawa ke Semarang. Tinggal beberapa pakaian yang mungkin masih kita pakai saat masih di sini.”

Wanda cemberut. Walau Guntur menolaknya, dia masih akan berusaha meraih cintanya. Tapi dengan kepindahan ini, kemungkinan itu menjadi hampir tak ada lagi. Apalagi Guntur sudah berterus terang bahwa dia menyukai Kinanti. Kalau berjauhan, mana ada kekuatan untuk merebutnya?

***

Ujian sudah selesai, para siswa tinggal menunggu hasil ujian mereka. Luluskah, atau tidak. Tapi bagi Wanda, kelulusan itu menjadi tidak penting, karena entah kapan pengumuman kelulusan itu ditampilkan, dia sudah dibawa pergi oleh orang tuanya, dan itu membuatnya sedih.

Hari itu bu Raji sedang melipat pakaian yang baru saja dientas dari jemuran. Guntur sedang ke sekolah, karena walau sudah selesai ujian tapi banyak kegiatan yang harus dilakukannya, sambil menunggu pengumuman kelulusan. Bu Raji terkejut ketika melihat mobil berhenti di depan pagar. Ia mengawasinya, barangkali mobil tetangga, tapi ketika pengemudinya turun, ia mengenalinya sebagai Wanda.

Langkah-langkah kaki itu belum menginjak halaman, ketika Wanda sudah berteriak.

“Ibu, apa kabar?”

Bu Raji berdiri di depan teras.

Setengah berlari Wanda mendekat dan mencium tangannya.

“Nak Wanda tidak ke sekolah? Kan ada kegiatan di sana?”

“Tidak Bu, Wanda hari ini harus mengikuti orang tua Winda, yang akan pindah ke Semarang. Wanda datang kemari hanya untuk menitipkan ini,” kata Wanda sambil menyerahkan sebuah keresek berbunga-bunga.

“Ini untuk Guntur?”

“Iya Bu, untuk Guntur. Itu jacket. Ada sulaman di bagian depan, Wanda sendiri yang menyulamnya. Terima kasih Bu, Wanda pamit. Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi,” kata Wanda yang kembali mencium tangan bu Raji, lalu bergegas pergi.

Mobil itu berlalu, dan tak sabar bu Raji membuka keresek plastik berbunga-bunga yang tadi diterimanya. Tak berbungkus apapun kecuali keresek itu. Bu Raji mengambil dan membukanya. Ada sulaman di bagian dada jacket itu.

‘GUNTUR, AKU AKAN TETAP MENCINTAIMU’.

Bu Raji tertegun.

***

Besok lagi ya.

 

 

Friday, January 17, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 13

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  13

(Tien Kumalasari)

 

Guntur melangkah mengikuti Ardi dan Kinanti nyang sudah mendahului. Sedikit sakit yang dirasa, mendengar ayah Wanda merendahkannya. Sebenarnya siapa yang mau mendekati Wanda? Wanda sendiri kan, yang selalu mengejar-ngejarnya dan mencari perhatiannya? Bahkan kecelakaan itu terjadi setelah Wanda datang kerumahnya dan marah-marah tak jelas, lalu dia mengendarai sepeda motornya. Ngebut. Ngebut dari sejak keluar dari halaman rumah, yang pastinya karena hatinya masih dilanda kesal, lalu menabrak mobil, sehingga terjadilah seperti sekarang. Gegar otak, tangannya harus dioperasi karena patah.

Guntur mengeluh. Terkadang dia heran, mengapa orang rendah selalu mendapat hinaan? Kalau tidak suka dia, ya sudahlah, sudah benar kalau melarang anaknya menyukai dirinya. Tapi tidak usah mengatakan hal yang menyakitkan.

“Guntur, ngapain kamu!” teriak Ardi yang sudah sampai di parkiran sepeda motor, sementara Guntur masih berjalan pelan.

Guntur baru sadar bahwa dia tidak sendirian. Ia bergegas menghampiri.

“Antarkan Kinanti sekalian ya, ini sudah hampir senja,” kata Guntur.

“Oke siap. Kamu dengar, kamu dipercayakan kepada diriku,” kekeh Ardi.

“Sepeda motorku kan masih di sekolah?” bantah Kinanti.

“Biar aku urus, mana kuncinya?”

Kinanti menyerahkan kunci motornya.

“Nanti kamu ke rumah?” tanya Kinanti.

“Iya, atau kalau tidak ... pagi-pagi sebelum berangkat sekolah. Bagaimana?”

“Boleh, terserah kamu saja,” kata Kinanti senang, karena nanti masih akan bertemu lagi dengan ‘saudara angkat’ yang dikaguminya itu.

Mereka berpisah, dan dengan menahan rasa jengkel, Kinanti terpaksa kembali membonceng Ardi, yang setiap bicara selalu membuatnya kesal.

“Asyyiik, kita jalan-jalan dulu?” goda Ardi.

“Ogah, sudah hampir maghrib, tahu!!”

“Oh iya, lupa. Aku nanti shalat di rumah kamu, boleh kan?”

”Nggak boleh, kan banyak masjid atau mushala di jalan.”

“Ya ampuun, pelit amat, padahal kalau sama kamu aku nggak pelit-pelit amat lho,” sungut Ardi.

“Sudah, ayo jalan. Guntur sudah lebih dulu pulang tuh.”

“Biarkan saja, kan dia sudah menyerahkan kamu sama aku?”

“Apa maksudmu? Memangnya aku barang?”

Bahkan ketika motor Ardi sudah melaju, masih saja Ardi suka membuat Kinanti marah. Ada-ada saja candaannya, sehingga membuat Kinanti semakin gemas.

“Awas ya, jangan lagi main pukul, nanti kalau kita jatuh berbarengan bagaimana?”

“Ardi, bisakah kamu menutup mulut kamu sebentar saja? Ini di jalan, jangan cengengesan.”

“Siapa yang cengengesan, setiap kata yang aku ucapkan itu serius lhoh, termasuk ketika aku bilang cinta sama kamu.”

“Dasar gila.”

“Yah, memang aku gila. Salahnya kamu tak pernah perhatian sama aku. Padahal kalau dipikir-pikir ….”

“Jangan bilang kamu ganteng, lebih ganteng dari Guntur, lebih ganteng dari monyet di kebun binatang.”

“Apa? Aku nggak pernah bandingin diri aku ini sama monyet lhoh. Enak aja, masak sainganku monyet?”

Kinanti terkekeh. Senang bisa gantian mengejek Ardi.

Walau kesal, Ardi adalah teman yang baik. Kinanti tak pernah bisa membencinya, walau dia tak akan suka. Ardi adalah sahabat baiknya, setelah dia tak lagi terlibat urusan menyanyi di grup band bersama Fitria dan lainnya.

***

Guntur mampir ke sekolah, karena sepeda motor Kinanti ada di sana. Ia bertemu pak Kino yang sedang menutup pintu-pintu kelas setelah membersihkannya.

“Mas Guntur kok kembali ke sini?”

“Sepeda motor Kinanti masih ada di sini kan?”

“Iya benar, mau saya masukkan gudang, tapi dikunci stang.”

“Biar aku bawa pulang saja.”

“Memangnya bisa, membawa dua motor sekaligus?”

"Bukan, hanya punya Kinanti yang saya bawa. Punyaku biar di sini dulu..”

“Memangnya non Kinan kemana?”

“Kami tadi bezoek ke rumah sakit. Takut kemalaman, Kinanti diantar Ardi, aku yang bertugas membawa sepeda motornya. Nanti malam atau besok pagi aku antar ke rumahnya.”

“Bagaimana keadaan non Wanda?”

“Ya masih sakit, tangannya baru habis dioperasi karena patah. Dia juga gegar otak. Jadi akan agak lama tinggal di rumah sakit.”

“Kasihan.”

“Aku ambil sepeda motornya dulu ya Pak.”

“Silakan Mas, setelahnya pintu gerbang juga mau saya kunci.”

“Ya, sudah saatnya dikunci semua.”

“Bagaimana dengan wadah makan dan minuman itu?”

“Biar di tempat pak Kino dulu, lagian belum bisa mengembalikannya kepada pemiliknya, kan dia masih ada di rumah sakit.”

“Ya sudah, saya simpan dulu saja, Mas.”

***

Guntur agak khawatir, meninggalkan sang ibu seharian di rumah sendiri. Tapi ia terkejut karena hari itu ada beberapa masakan enak terhidang di meja makan. Guntur sempat melongok sebelum masuk ke kamarnya. Aroma gurih ikan goreng menyentuh hidungnya.

“Kamu baru pulang?” tiba-tiba bu Raji muncul di belakangnya.

“Iya, Bu. Tadi pulang hampir jam lima, lalu ke rumah sakit.”

“Bezoek Wanda?”

“Iya, bersama Kinanti dan Ardi juga. Kok Ibu masak-masak sih? Kan Guntur sudah bilang, biar Guntur saja yang memasak, Ibu jangan banyak kegiatan di rumah dulu. Tunggu kalau sudah benar-benar sehat.”

“Tidak apa-apa. Yang bisa mengukur seberapa kekuatan ibu kan ibu sendiri. Jadi karena ibu merasa kuat dan bisa, maka ibu memasak. Sayang banyak bahan makanan di kulkas kalau tidak segera dimasak.”

“Ibu harus benar-benar menjaga kesehatan lhoh. Tapi diam-diam Guntur merasa lapar nih, habis … bau masakan Ibu menusuk hidung, lalu menggelitik perut Guntur.”

Bu Raji tertawa.

“Ibu siapkan piringnya, kamu mandi dan ganti pakaian dulu. Bau acem, tahu.”

Guntur mencium ketiaknya sendiri, lalu hidungnya mengernyit.

“Nggak begitu bau kok Bu, bau keringat Guntur ini ngangenin lhoh.”

“Oh ya? Mungkin kamu benar. Kalau kamu perginya lama, ibu pasti kangen."

Guntur tertawa, ia memeluk sang ibu, kemudian setengah berlari menuju kamar.

Bu Raji geleng-geleng kepala. Rasa sepi perlahan sirna, merasakan perhatian sang anak yang luar biasa.

***

“Kamu jadi mengembalikan uang Wanda?” kata sang ibu ketika sedang menemani anaknya makan.

“Belum Bu, nggak enak, karena ada ayah dan ibunya.”

“Uang ibu kamu bawa saja dulu, barangkali kurang.”

“Tidak, kan Guntur sudah bilang kalau uang Guntur masih ada. Yang Ibu bawa itu buat persediaan kalau Ibu harus kontrol ke dokter dan membeli obat. Jadi Ibu bawa saja dulu.”

“Nanti kan bisa mengambil uang pensiun ayahmu. Walau sedikit, kalau untuk makan berdua saja masih cukup sama untuk beli obat."

“Keperluan kita bukan hanya makan. Ibu harus selalu sehat, ya kan? Dan karena itu Ibu harus sering kontrol dan minum obat.”

“Ibu itu sudah tua. Kalaupun sakit-sakitan, itu lumrah. Yang penting bisa melihat kamu menjadi orang. Jadi kalau tidak merasa sakit sekali, lebih baik tidak usah ke dokter.”

“Ibu jangan begitu. Yang bisa melihat Ibu sakit atau tidak itu kan dokter. Dan Guntur ingin, Ibu selalu sehat. Kalau ibu sehat, Guntur bisa merasa tenang.”

“Ibu sehat kok. Kamu jangan terlalu memikirkan ibu. Orang sakit itu kan kelihatan. Lihat, ibu sudah bisa mengerjakan banyak hal. Bersih-bersih rumah, memasak. Mana ada orang sakit bisa melakukannya?”

“Ibu sering mengatakan bahwa Guntur itu bandel, tapi ternyata Ibu lebih bandel dari Guntur,” sungut Guntur.

Bu Raji tertawa.

“Sudah, jangan mengomeli ibu terus, habiskan makanannya.”

“Mengapa Ibu tidak makan?”

“Ibu sudah makan tadi siang, jadi ini belum saatnya makan. Nanti malam saja, sekalian minum obatnya.”

“Baiklah. Makan yang banyak ya Bu.”

“Perut orang itu kalau sudah tua kan menciut, jadi tidak bisa makan banyak. Pokoknya kenyang, dan itu cukup kan?”

“Baiklah. Yang penting Ibu sehat.”

Tapi sebenarnya bu Raji sedang menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya. Ia merasa, periksa ke dokter terlalu sering, akan menghamburkan banyak uang. Kalau tidak dibantu keluarga Bono, mana bisa mereka bisa menjalani semuanya? Mencukupi kebutuhan hidup, periksa ke dokter dan membeli obat, lalu  biaya sekolah Guntur. Untunglah keluarga Bono amat baik, dan bersedia membiayai semua kebutuhan sekolah Guntur, bahkan juga sering membantu kebutuhan-kebutuhan lain.

Tapi bagi bu Raji, periksa ke dokter hanya membuang-buang uang yang tidak berguna. Bukankah orang tua pasti punya banyak keluhan rasa sakit?

“Guntur nambah ya Bu,” kata Guntur membuyarkan lamunan bu Raji.

“Oh iya, tentu saja. Habiskan semuanya. Nanti ibu masak nasinya lagi.”

“Jangan, biar Guntur saja masak nasinya. Ibu istirahat sana.”

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

“Nanti juga yang membereskan meja makan juga biar Guntur, setelahnya akan mencuci piring-piring kotor sekalian.”

“Ya sudah, ibu istirahat ya. Tapi kalau kamu kecapekan, tidak bisa belajar, bagaimana?”

“Bisa Bu, Guntur bisa mengatur semuanya.”

“Lhoh, itu sepeda motor siapa Gun?”

“Oh, itu punya Kinanti, nanti akan Guntur antarkan. Tadi ditinggal di sekolah, karena dia membonceng Ardi sampai pulang. Jadi sepeda motor Kinan nanti Guntur yang mengantarkannya.”

“Oh, tadi ketika ke rumah sakit, Kinanti dibonceng Ardi dan sepeda motornya ditinggal di sekolah?”

“Iya Bu.”

***

Tapi ternyata Guntur baru mengantarkan sepeda motor itu pada pagi harinya, karena Guntur belajar sampai larut.

Walau begitu Kinanti senang, karena pagi hari itu ia bisa ke sekolah dengan membonceng Guntur.

“Guntur, uang saku kamu masih ada?” tanya pak Bono yang tiba-tiba muncul, mengejutkan Guntur yang sedang menunggu Kinanti bersiap.

“Masih ada Pak.”

“Masa dari kemarin-kemarin masih ada?”

“Guntur itu hemat Pak, tidak pernah mempergunakan uangnya untuk membeli apapun. Makan juga tidak,” kata Kinanti yang sudah siap dengan tas sekolahnya.

“Bukan begitu Pak, soalnya selalu sudah makan di rumah, jadi masih kenyang,” kata Guntur.

“Ini aku tambah lagi. Kamu kan butuh untuk ibumu juga.”

“Tidak usah Pak, ini masih ada.”

“Jangan begitu, terima saja. Aku tahu kamu sungkan, tapi tidak baik menolak rejeki,” kata pak Bono sambil memasukkan uang ke saku seragam sekolah Guntur.

Dengan tersipu akhirnya Guntur menerima pemberian itu.

“Kinanti juga Pak.”

“Lhoh, kamu kan sudah diberi ibu tadi?”

“Dari Bapak kan belum.”

“Dasar. Jangan boros-boros kamu.”

“Enggak kok Pak, paling untuk makan siang di kantin.”

“Ya sudah, ini untuk kamu. Sudah siang, segera berangkat.”

Guntur mencium tangan pak Bono, setelah menghampiri bu Bono yang sedang menyiapkan makan pagi untuk suaminya.

“Hati-hati, jangan ngebut,” pesan pak Bono.

***

Berhari-hari kemudian, akhirnya Wanda sudah diijinkan pulang ke rumah. Hanya saja tangan kirinya masih harus digendong, karena tulang yang patah belum menyatu. Akibatnya ketika masuk ke sekolah ia harus diantar dan dijemput sopir.

Tapi sebelum mulai masuk sekolah kembali, sang ayah wanti-wanti agar Wanda melupakan temannya yang bernama Guntur.

“Dia tidak sepadan denganmu,” ujarnya berkali-kali, dan berkali kali pula Wanda selalu menjawab bahwa dia suka padanya.

“Jangan bandel. Aku tidak mau anakku hidup sengsara.”

“Tapi aku suka dia.”

“Jangan membuat bapakmu marah,” tandas kata pak Wita.

Kalau sudah begitu, Wanda memilih diam. Tapi sesungguhnya dia tak bisa melupakan Guntur.

Hari pertama dia masuk, yang dicari saat istirahat adalah Guntur. Ia membawakan sebungkus roti bakar dengan selai nanas dan coklat, yang lagi-lagi ditolak Guntur. Wanda sangat marah. Dia juga marah ketika Guntur mengembalikan wadah makan dan minum yang dulu diberikan pak Kino. Begitu wadah itu diterima, langsung dilemparkannya ke keranjang sampah.

“Apa yang kamu lakukan?”

“Kamu aku bawakan bekal, ini bukan nasi, tapi roti bakar buatan ibuku, tapi kamu malah mengembalikan tempat makan itu kepadaku.”

“Aku sudah bilang, jangan lagi kamu membawakan apa-apa untukku. Lagi pula ... ini, aku sudah menyiapkan ini untuk kamu,” Guntur menyerahkan sebuah amplop berisi uang.

“Ini apa?” Wanda berteriak.

“Dulu aku bilang akan menukar uang yang sudah kamu keluarkan untuk ibuku, sekarang aku akan mengembalikannya. Tolong terimalah,” katanya sambil menyerahkan amplop itu ke tangan Wanda, lalu ia pergi meninggalkannya. Tapi Wanda mengejarnya.

“Guntur, kamu benar-benar menyia-nyiakan perhatianku. Apa kamu tahu bahwa aku suka padamu?” katanya sambil berjalan disamping Guntur, tanpa merasa malu walau beberapa murid yang lain memperhatikannya,

“Maaf Wanda, aku menyukai orang lain," kata Guntur dengan kesal.

“Maksudmu Kinanti?”

Guntur mengangguk, dan ketika itu Kinanti sedang melintas di samping mereka, yang dadanya berdegup kencang mendengar pengakuan Guntur.

Mata Wanda berkilat penuh amarah.

***

 Besok lagi ya.

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 16

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 16 (Tien Kumalasari)   Kinanti sangat geram. Bahkan ketika mereka sudah tidak ada dalam satu sekolah karena ma...