JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 25
(Tien Kumalasari)
Bu Wita terbelalak. Wanda yang masih mendengar ucapan dokter itupun berteriak.
“Bohong! Tidak mungkin!”
Bu Wita menatap anaknya dengan pandangan yang sangat rumit, sulit dilukiskan, antara terkejut, heran, tapi juga merasa sakit. Bagaimana kalau apa yang dikatakan dokter itu benar? Tapi dokter juga manusia, bisa juga salah kan? Itu harapan bu Wita yang segera mengajak dokter itu keluar dari kamar.
“Dokter ….”
Dokter itu duduk di sofa kamar tamu, lalu menuliskan resep.
“Apakah dokter tidak salah? Anak saya hamil?” tanya bu Wita, lirih, dan sedikit gemetar.
“Saya tidak bisa memastikan, walau bayangan itu ada. Itu sebabnya saya tadi minta agar ibu memeriksakan ke dokter kandungan untuk kepastiannya.”
“Tapi ….”
“Saya hanya menuliskan obat mual untuk sementara. Saya harap besok kepastian itu sudah ada. Atau barangkali sore ini juga kalau Ibu inginkan. Ada dokter kandungan yang praktek didekat laborat. Laborat itu milik dia juga. Dokter Anastasia.”
Bu Wita hanya bisa mengangguk lemah.
Ia tak segera masuk ke kamar Wanda ketika dokter itu sudah pergi. Beribu pemikiran berkecamuk dalam hatinya. Wanda hamil, itu sangat menakutkan. Kalau sampai suaminya tahu, betapa akan marahnya dia. Rumah ini bisa runtuh mendengar dia berteriak. Anak gadis satu-satunya, yang diharapkan bisa hidup layak terhormat dan membanggakan orang tua, hamil diluar nikah? Kapan kejadiannya? Ketika mereka pulang dari Jakarta dan ternyata Wanda pergi sejak kemarinnya? Menginap di mana? Wanda sepertinya belum pernah menjawab pertanyaannya ketika dia bertanya di mana dia menginap. Ia lupa karena fokus pada sakit Wanda, dan hanya peduli pada kesembuhannya.
Bu Wita bangkit, lalu masuk ke dalam kamar Wanda. Gadis itu masih tergolek di ranjang. Matanya nanap menatap langit-langit kamar. Tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu.
“Wanda, katakan apa yang terjadi,” kata bu Wita dengan suara tertahan, menahan gejolak batin yang terasa mengoyak sanubarinya.
“Dokter itu pasti bohong,” kata Wanda pelan.
“Dokter tidak akan membohongi pasien. Tapi bisa jadi dia keliru. Nanti sore kita periksa ke dokter kandungan.”
“Tidak. Aku tidak mau Bu,” Wanda berteriak.
“Mengapa tidak mau? Kita harus yakin bahwa pendapat dokter tadi salah, atau justru benar.”
“Tidak benar!”
“Sekarang ibu bertanya. Apakah kamu pernah berhubungan dengan seseorang?”
Wanda terdiam. Betapa kecut mengakui bahwa dia pernah tidur dengan Zaki.
Tapi kan hanya sekali. Di malam itu, ketika dia tidur di rumah Zaki, lalu Zaki memutar film ‘aneh’ itu, lalu Zaki merayunya, dan dia terlena, dan mereka lupa segala-galanya.
“Tidaaaak …,” keluhnya lirih.
“Kamu pernah tidur dengan seseorang?”
Tiba-tiba Wanda terisak. Ada ketakutan yang menyesak.
“Bu, Ibu jangan bilang pada bapak ya?”
“Apa maksudmu? Apapun yang terjadi, ayahmu harus tahu. Mana mungkin menyembunyikan hal yang sangat fatal seperti itu.”
“Ibu ….” Wanda menangis sejadi-jadinya.
“Jadi kamu pernah tidur dengan seseorang? Kapan, di mana, dengan siapa?”
“Maaf Bu … tapi itu tidak mungkin ….”
“Apa yang tidak mungkin?”
“Ibu jangan bilang pada bapak ya?” katanya sambil masih tetap menangis.
“Itu yang tidak mungkin. Tapi tolong bilang pada ibu apa yang terjadi. Ibu akan berhati-hati dalam mengutarakan pada bapak. Tapi ibu tidak janji apapun. Setiap kesalahan pasti akan ada dampak buruknya. Ini masalah besar. Menyangkut nama baik keluarga.”
“Tapi Wanda hanya melakukannya sekali, mana mungkin Wanda hamil?”
“Jadi benar, kamu melakukannya? Ketika kamu pergi dari rumah dan menginap? Di mana kamu menginap? Di rumah laki-laki itu? Siapaa?” kali ini bu Wita hampir berteriak.
“Maaf Bu, Wanda tidak sadar.”
“Maksudmu kamu diperkosa?”
Wanda tidak menjawab, masih terus menangis.
“Kalau kamu diperkosa, katakan siapaa melakukannya. Itu tindakan melanggar hukum, bapak akan mengurusnya.”
“Pelakunya sudah meninggal.”
“Zaki? Benarkah Zaki? Rasanya tidak mungkin kamu diperkosa. Perkosaan itu sebuah paksaan. Kalau dia melakukannya, mengapa kamu menaruh perhatian pada dia? Kamu menyesal ketika dia tidak selamat dalam kecelakaan itu. Kamu bahkan ingin ziarah ke makamnya. Kamu menyesal dan mengakui kalau kamu yang meminta dia ngebut. Kalau benar kamu diperkosa, kamu pasti akan marah, kamu akan membenci dia, dan mensyukuri kematiannya. Atau kamu tidak akan berangkat pulang bersamanya. Kamu bersikap baik pada dia, pada orang yang telah melukai harga diri dan menghancurkan kesucianmu dengan memperkosa? Mana ada itu? Jangan bohong!” bu Wita tidak pernah mengatai sang anak sekeras itu. Tapi kali itu bu Wita benar-benar tak bisa menahannya. Rasa sakit, sedih, kecewa, takut, memenuhi perasaannya.
Dan ternyata Wanda tak bisa mengingkarinya.
“Wanda khilaf.”
“Maksudmu kamu melakukannya dengan suka rela?”
“Maaf, Bu.”
“Dasar gadis tak tahu malu. Kamu tergila-gila pada yang namanya Guntur, tapi kamu tidur dengan laki-laki lain. Di mana harga diri kamu?” Bu Wita berteriak, lalu Wanda memeluknya erat, menangis di dada sang ibu.
Dalam keadaan biasa, dipeluk sang anak sambil menangis terisak, pasti akan meluluhkan hatinya. Tapi kali ini tidak. Bu Wita membiarkannya, dan sedikitpun tidak balas memeluknya. Ia sangat marah. Ia sangat menyesal sang anak gadis semata wayang yang berani melakukan hal yang sudah melompati sebuah norma susila, dan membiarkan kesuciannya terenggut dengan suka rela. Lalu laki-laki itu sudah tak ada. Bu Wita benar-benar panik.
Lebih panik lagi ketika ia mendengar suara mobil berhenti di halaman, dan itu adalah mobil suaminya. Bu Wita tak tahu harus berbuat apa. Wanda masih memeluknya, bahkan sampai ketika pak Wita membuka kamarnya, dan heran melihat istri dan anaknya sedang berpelukan sambil menangis.
“Ada apa ini? Aku cari ke seluruh rumah, ibu tidak ada, ternyata ada di sini. Ada apa? Wanda mengeluh sakit? Besok saatnya kontrol, nanti semua keluhan bisa dilaporkan kepada dokter yang menanganinya,” katanya sambil mendekat, lalu mengelus kepala Wanda.
Bu Wita sangat kebingungan. Sudah pasti akan terjadi huru hara di rumah kalau sang suami mengetahuinya. Ia mana bisa menyembunyikannya? Ini bukan sebuah kejadian biasa.
“Dingin sekali. Mengapa kamu menangis?” kata pak Wita.
Bu Wita mendorong tubuh Wanda, lalu menyuruhnya berbaring kembali. Ia bangkit dan menggandeng suaminya agar keluar dari kamar.
***
Bibik menghidangkan minuman hangat, yang segera diminum beberapa teguk oleh pak Wita.
“Wanda mengeluh apa? Sampai menangis begitu?”
“Bapak ganti baju dulu sana, kita akan bicara di kamar.”
“Aku hanya bertanya apa yang dikeluhkan Wanda, mengapa harus nanti?” tanya pak Wita kesal.
“Maksud ibu, bicara di kamar saja.”
“Mengapa harus di kamar? Aku mau tahu sekarang. Seperti mau bicara sebuah rahasia saja. Apa masalah sakitnya Wanda itu tidak ada yang boleh mendengarnya, walau bibik sekalipun?”
“Bukan begitu, lebih enak bicara di kamar,” kata bu Wita yang segera mendahului masuk ke dalam kamar. Mau tak mau pak Wita mengikutinya sambil mengomel.
“Orang aneh, mau ngomong soal penyakit Wanda saja harus di dalam kamar? Keterlaluan.”
Begitu pak Wita masuk, bu Wita segera menguci pintunya.
“Apaan sih Bu?”
“Bapak mau mandi dulu? Ibu siapkan baju gantinya.”
“Tidak! Aku hanya bertanya soal keluhan Wanda, kok Ibu berputar-putar seperti gasing?”
“Baiklah, tapi ibu harap Bapak bersabar, dan tidak akan berteriak.”
“Katakan saja, ada apa ini?” pak Wita justru berteriak.
“Tadi Wanda muntah-muntah, setelah makan ayam pedas pesanannya. Karena khawatir, aku memanggil dokter keluarga.”
“Bilang apa dokternya?”
Bu Wita diam beberapa saat, mengatur napasnya, menekan kecemasan di hatinya.
“Bilang apa?? Wanda susah diselamatkan? Bukankah dia sudah baik?” pak Wita berteriak, kesal karena sikap istrinya yang seperti menyembunyikan sesuatu.
“Kata dokter, kemungkinan Wanda hamil.”
“Apaaaa?” dan teriakan ini seperti menggoyang seluruh kamar, dan bu Wita merasa ada gempa menerpa.
“Wanda hamil? Dan itu sebabnya dia selalu mengatakan suka pada si miskin itu? Akan aku buat dia masuk penjara!!” hardiknya.
“Tapi aku akan menghajar anakmu yang tidak tahu malu itu,” lanjutnya.
Pak Wita berusaha keluar kamar, untuk menghajar anak gadisnya, tapi bu Wita sudah mengunci kamarnya, dan mengantongi kunci itu di saku dasternya.
“Mana anak itu? Mengapa kamu mengunci kamarnya?”
“Sabar dulu Pak, ini memalukan, jangan sampai orang luar mendengarnya.”
“Wanda tidak tahu malu, mengapa kita harus malu?”
“Anak miskin itu harus diberi pelajaran. Aku akan melaporkan dia, dia harus membusuk di penjara.”
“Bukan Guntur.”
“Bukan? Apa anakmu itu menjual murah tubuhnya??”
“Pak, ibu mohon, jangan Bapak marah-marah pada Wanda, Bapak harus sabar.”
“Aku tidak boleh marah? Ini dia, ini akibatnya kalau Ibu tidak mendidik anak dengan baik. Memanjakannya berlebihan, membuat anak berperangai buruk, suka bohong, lalu berbuat sesuatu dengan tak tahu malu. Itu semua kesalahan Ibuu!!” pak Wita menuding wajah istrinya, membuat sang istri mundur sampai hampir menabrak almari.
“Baiklah, semua kesalahan ibu. Bapak sabar ya.”
“Kamu selalu begitu, menyuruh aku sabar … sabar … sabar.”
“Pak, nanti kita harus membawa Wanda untuk periksa ke dokter kandungan. Itu untuk meyakinkan bahwa dugaan dokter itu benar, atau mungkin juga salah.”
“Kalau dokter kita sudah mengatakan itu, berarti sudah hampir seratus persen benar. Mana Wanda, mana kunci kamar? Kamu ini kenapa sih Bu, buka pintunyaaa! Biar aku tendang saja biar jebol sekalian!”
“Eh .. pak, sebentar Pak, jangan begitu, biar aku buka … biar aku buka …” kata bu Wita sambil merogoh kantong bajunya, lalu membukanya dengan tangan gemetar.
Pak Wita menerobos keluar dari kamar, lalu masuk ke kamar Wanda, dan menutup pintunya dengan membanting sekeras-kerasnya, membuat Wanda sangat terkejut. Begitu melihat sang ayah, ia langsung bangkit dan turun dari ranjang, kemudian bersimpuh di kakinya, merangkul sambil menangis keras.
“Ampuun Pak, ampuuni Wanda, Wanda salah Pak, ampuuun. Bunuhlah Wanda, kalau Bapak ingin membunuh, Wanda rela mati, biarlah Wanda mati demi kehormatan Bapak.”
Pak Wita tertegun. Ia sudah mendengar tentang kehamilan Wanda. Ia ingin menghajar sang anak, tapi begitu sang anak bersimpuh merangkul kakinya dan mengatakan tentang kematian, darah mendidih yang sudah menggelegak itu surut perlahan. Walau begitu dia menghentakkan kakinya, membuat tubuh Wanda terjengkang.
“Ampuni Wanda Pak, Wanda bersalah. Tapi kalau Bapak ingin membunuh Wanda, segera bunuh Wanda Pak, biarlah Wanda mati, dan Bapak tidak akan mendapat malu.”
“Siapa laki-laki itu? Biar aku hajar dia!” hardik pak Wita yang walau kemarahannya sedikit surut, tapi masih bersuara keras.
“Dia … sudah meninggal … dia … Zaki.”
Pak Wita surut ke belakang. Ia terduduk di sofa dengan tubuh lemas. Kalau laki-laki yang menghamili Wanda sudah meninggal, apa yang harus dilakukannya?
***
Pak Wita tidak membawa Wanda ke dokter kandungan. Ia cukup menyuruh sang istri membeli alat tes kehamilan, dan itu sudah cukup. Dua garis merah yang tampak sudah membuat mereka yakin. Luluh lantak hati pak Wita menghadapi masalah berat ini. Berhari-hari dia memikirkannya, bahkan lupa untuk mengantarkan Wanda kontrol ke rumah sakit atas luka Wanda akibat kecelakaan itu. Pikirannya hanya satu, bagaimana mungkin Wanda hamil tanpa ada suaminya.
“Gugurkan saja kandungan itu,” katanya tiba-tiba, membuat sang istri terkejut.
“Jangan Pak, janin itu tidak berdosa,” kata sang istri cemas.
“Lalu apa? Akan kamu biarkan kita mendapat malu?”
“Bagaimana kalau Wanda kita nikahkan dengan seseorang?”
“Laki-laki mana yang mau menikahi perempuan yang sudah hamil? Anakmu akan direndahkan.”
Bu Wita terdiam. Memang tidak mudah mencari laki-laki yang mau menikahi wanita hamil.
“Bagaimana kalau kita membayarnya?”
“Maksudnya, kita minta agar laki-laki itu menikahi Wanda, dengan catatan kita akan membayarnya, berapapun dia minta?”
“Benar. Barangkali bagi yang tidak punya uang, akan mau melakukannya. Kita juga bilang minta tolong, dan berterus terang tentang keadaan Wanda. Paling tidak hanya sampai bayinya lahir. Bagaimana?”
“Pak, bagaimana kalau Bapak mencari Guntur?” tiba-tiba Wanda mendekat, dan duduk di samping ayahnya.
“Guntur? Benar, dia kan miskin. Dengan uang, dia pasti mau melakukannya,” kata pak Wita.
“Katakan di mana alamatnya," lanjutnya bersemangat.
***
Besok lagi ya.