Wednesday, January 29, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 23

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  23

(Tien Kumalasari)

 

Bu Wita terus menggoyang tubuh Wanda perlahan, dan merasakan bahwa tubuh Wanda terasa panas. Ia khawatir, kalau igauan itu berlanjut, sementara sang suami telah kembali, maka pasti akan menjadi masalah besar, walau itu hanya sebuah igauan. Barangkali Wanda sedang bermimpi buruk, atau entahlah. Karena panas itulah Wanda mengigau. Tapi apakah itu hanya sebuah mimpi, atau hanya perasaan Wanda yang terganggu? Beragam pemikiran berkecamuk dalam benaknya. Sementara Wanda hanya bergerak sedikit, tapi belum juga membuka matanya. Tapi igauan itu telah berhenti.

Ia memencet bel untuk memanggil perawat jaga, untuk melaporkan keadaan Wanda yang tubuhnya sangat panas.

Perawat itu datang lalu memeriksa suhu tubuh Wanda, tak lama kemudian ia pergi, barangkali untuk melapor kepada dokter yang menanganinya.

Bu Wita merasa gelisah. Ketika pak Wita datang, ia juga merasa gelisah merasakan panas badan anaknya.

“Mengapa panas sekali? Baru saja aku menemui dokter, katanya Wanda baik-baik saja, tapi harus beristirahat agak lama.”

“Aku sudah melapor ke suster jaga, pastinya dia sudah melaporkannya juga kepada dokter. Benarkah Wanda tak apa-apa?”

“Kata dokter sih begitu? Pastinya benar, masa ia hanya ingin menyenangkan hatiku saja?”

Perawat itu datang, membawa peralatan dan kemudian meminta bu Wita dan pak Wita menyingkir sebentar. Ia menyuntikkan sesuatu ke lengan Wanda, kemudian merapikan letak tidurnya, lalu beranjak meninggalkannya.

“Tidak apa-apa Bu, nanti juga akan membaik,” pesannya sebelum kemudian meninggalkan bu Wita dan pak Wita.

Bu Wita mendekat, melihat Wanda membuka matanya.

“Wanda, apa yang kamu rasakan?”

Wanda hanya mengerjap-ngerjapkan matanya, sambil menggeleng lemah.

“Kamu tadi mimpi buruk?” tanya bu Wita pelan.

“Mimpi buruk,” jawabnya lemah.

“Tidurlah, ibu akan menunggui kamu di sini.”

“Biar aku yang duduk di sini, kamu makanlah, tadi sudah aku belikan,” kata pak Wita. Tapi bu Wita menggeleng. Barangkali khawatir kalau nanti Wanda mengigau lagi, lalu tanpa berpikir panjang lalu mengira yang bukan-bukan, kemudian bicara dengan keras dan kasar.

“Biar aku saja. Bapak istirahatlah.”

“Kamu tidak lapar?”

“Tidak. Bapak saja yang makan, lalu istirahat.”

Pak Wita mengangguk, lalu pergi ke arah sofa, meraih makanan yang tadi dibelinya.

“Setelah ini, kamu harus makan. Jaga kesehatan kamu. Sejak kemarin kamu tidak tidur, juga tidak makan,” kata pak Wita.

“Iya, nanti gampang.”

***

Beberapa hari kemudian Guntur dan Kinanti sudah mulai menyibukkan diri dengan mengurus pendaftaran ke universitas yang mereka inginkan.

Keduanya merasa senang, karena bisa selalu berduaan. Tidak mungkin mereka berangkat dengan motor masing-masing, karena untuk satu tujuan, mereka cukup berboncengan.

“Capek?” tanya Guntur ketika mereka beristirahat di sebuah warung makan.

“Tidak. Kita harus bersemangat, jangan sampai mengecewakan bapak. Ya kan?”

“Iya, semoga kita bisa diterima,” jawab Guntur.

“Aamiin.”

Mereka makan dan minum dengan wajah berseri. Terkadang saling pandang tanpa tahu arti pandangan masing-masing. Yang jelas ada debar-debar aneh yang mereka rasakan, dan itu belum pernah terjadi. Mereka belum pernah berduaan dalam suasana hati yang lebih relax setelah lulus.

“Kinanti, kamu tahu apa yang aku pikirkan?” tanya Guntur untuk menenangkan perasaan gelisahnya.

“Mana mungkin aku tahu apa yang kamu pikirkan. Memangnya aku dukun?”

Guntur tertawa.

“Dukun juga belum tentu tahu apa yang orang lain pikirkan, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.”

“Benar. Katakan apa itu.”

“Kalau nanti kita berhasil diterima, aku tidak ingin terlalu membebani bapak.”

“Maksudnya?”

“Kalau bisa, aku ingin kuliah sambil bekerja.”

“Wah, itu bagus. Aku juga mau. Tahun depan bapak sudah pensiun. Kita tidak bisa selalu bergantung padanya.”

“Baguslah, seperti yang aku pikirkan. Kuliah sambil bekerja.”

“Kira-kira pekerjaan apa yang bisa kita lakukan?”

“Entahlah. Aku juga belum tahu. Tapi ada temanku yang kuliah di farmasi, dia kuliah sambil menjadi detailer obat.”

“Wah, itu tidak mudah bukan?”

“Kita harus belajar mengerti tentang obat-obatan. Kandungan apa yang ada di dalam suatu obat, dan efek apa yang akan terjadi kalau kita minum obat itu. Pokoknya rumit. Sebelumnya kita harus mempelajari itu.”

“Iya, tentu saja.”

“Nanti aku akan minta agar dia mengajari aku tentang tugas seorang detailer obat. Barangkali dia punya bukunya atau apa, kita bisa pinjam dan mempelajarinya bersama, sehingga ketika kita melamar pekerjaan itu nanti, kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan.”

“Bagus sekali Guntur. Aku menjadi semakin bersemangat. Tapi sekarang kita harus berdoa dulu, agar kita diterima. Mengecewakan keinginan orang tua itu pasti tidak enak bagi kita.”

“Benar, yang namanya kecewa itu sudah pasti tidak enak. Tapi kita harus semangat dan terus berusaha.”

“Eh iya, ngomong-ngomong, bagaimana ya keadaan Wanda? Apa dia sudah sembuh?”

“Mengapa tiba-tiba kamu ingat dia?”

“Nggak tahu kenapa. Aku merasa kasihan pada dia.”

“Kemarin aku bertemu dengan teman sekelasnya, yang sudah pernah bezoek ke sana.”

“Benarkah? Bagaimana keadaannya?”

“Dia harus dioperasi karena perdarahan otak. Sudah dua minggu yang lalu.”

“Ya ampun, bagaimana hasilnya?”

“Katanya baik. Ketika temannya menjenguk, dia sudah bisa bicara.”

“Syukurlah.”

“Dulu aku sangat kesal pada dia, tapi sekarang aku merasa kasihan,” kata Guntur sambil menerawang ke arah jauh.

“Menyesal pernah mengasari dia?” tanya Kinanti dengan perasaan kurang suka.

“Bukan begitu. Entahlah. Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Bagaimanapun kita adalah teman, bukan?”

“Ingin bezoek ke sana?”

“Mungkin, tapi belum sekarang. Agak kurang enak juga aku, ketika teringat sikap ayahnya yang dingin dan tidak menghargai kita waktu itu.”

“Orang tuanya termasuk orang yang tinggi hati. Berbeda dengan ibunya. Dia cantik dan ramah pada teman-teman Wanda.”

“Aku terkadang merasa tidak pantas bergaul dengan orang-orang dari kalangan atas. Termasuk kamu.”

“Apa yang kamu katakan?”

“Aku menyadari siapa diriku.”

“Rendah diri itu tidak baik. Ketika kita merasa rendah diri, maka langkah kita akan terhambat.”

“Benarkah?”

“Iyalah. Mau begini sungkan, mau begitu sungkan. Rasa ‘jangan-jangan tidak disukai atau dikehendaki’ selalu menghantui. Bukankah itu akan menghambat?”

Guntur hanya diam. Apa yang dikatakan Kinanti memang benar. Itulah yang dirasakannya.

“Guntur. Kamu tidak boleh berpikiran seperti itu. Jadilah orang yang selalu percaya diri. Kamu tidak mengecewakan kok. Kamu hebat, kamu pintar. Kamu luar biasa.”

Mata Guntur berbinar. Dia hebat, pintar, luar biasa? Dan itu keluar dari mulut gadis cantik yang disukainya?

“Mengapa menatapku seperti itu?” tanya Kinanti tersipu.

“Kamu berlebihan.”

“Tidak. Itu kenyataannya. Ayo dong Guntur. Kamu tidak boleh merasa kecil. Banyak yang mengagumi kamu.”

“Apa termasuk … kamu?” kata Guntur memancing, sedikit takut.

Kinanti tersenyum, lalu mengangguk, lagi-lagi sambil tersipu. Dan anggukan itu adalah sepercik kebahagiaan yang masih saja disembunyikannya.

“Kamu tidak suka? Kamu kecewa karena bukan Wanda yang mengatakannya?”

“Lhoh, kok Wanda lagi sih?”

“Aku berbeda dengan Wanda, yang dengan berani mengungkapkan isi hatinya.”

Guntur tersenyum. Apapun itu. Kinanti seperti membuka sebuah pintu, di mana dirinya setiap saat bisa memasukinya.

“Heiii, aku mencari di rumah kamu, ternyata berduaan di sini,” dan teriakan itu membuat keduanya menoleh.

“Aduh, ada si bawel,” gerutu Kinanti ketika melihat Ardi mendekat ke arah mereka, lalu duduk seenaknya.

“Aku juga mau dawet selasih,” katanya tanpa sungkan kepada pelayan yang menghampirinya.

“Sama nasi rames ya,” lanjutnya.

Pelayan itu mengangguk dan tersenyum.

“Sudah mau selesai makan? Belum kan? Kinanti jangan cemberut dong. Aku akan tutup muka deh, jadi kalian tidak usah malu-malu kalau mau pacaran.”

“Pacaran itu seperti apa? Kamu ngarang ya sukanya?” sergah Kinanti, sementara Guntur hanya tersenyum. Sudah biasa Ardi cerewet seenaknya.

“Ya ampuun, begitu saja marah. Kapan sih, sekali saja ketika ketemu aku, kamu tidak marah-marah begitu?” katanya sambil menyeruput es dawet yang baru saja dihidangkan.

“Sudah, jangan cerewet. Kamu tadi dari mana?”

“Dari rumahmu, tahu. Yang ada cuma ibu kamu. Aku ditawari lagi makan, sungkan dong aku.”

“Tapi kamu mau kan?” kata Kinanti meledeknya.

“Ya enggak lah, kalau ada Guntur sih, agak lumayan. Aku langsung pamit, dan mampir kemari karena lapar. Nggak tahunya ketemu kalian.”

“Ada perlu, atau hanya mampir.”

“Hanya mampir. Oh ya, barusan aku ketemu temannya Wanda. Katanya dia baru saja membezoek Wanda.”

“Ada kabar apa? Barusan aku juga ketemu Rizki, temannya Wanda juga,” kata Guntur.

“Oh, baguslah. Kalau begitu kamu sudah tahu keadaannya dong?”

“Masih di rumah sakit kan?”

“Iya, paling ceritanya sama. Habis dioperasi karena perdarahan otak, dan harus lebih lama di rumah sakit.”

“Iya, memang sama,” kata Guntur.

“Guntur ingin ke sana,” kata Kinanti tiba-tiba.

“Enggaaaak, kata siapa?” sergah Guntur.

“Tadi kamu ingin kan?” kata Kinanti.

“Yaah, sudahlah, jangan bertengkar. Biar aku bisa menikmati makanku ini dengan nyaman,” kata Ardi yang langsung menyendok nasi ramesnya.

“Sebenarnya aku juga ingin. Ayuk ke sana,” kata Kinanti kemudian.

“Bagus, aku juga mau. Besok saja, aku antar kalian, pakai mobil aku.”

“Benarkah? Bagaimana Gun, kamu mau kan?” kata Kinanti.

“Terserah kalian saja, aku kan hanya ngikut.”

“Oke, sipp. Besok aku samperin Guntur dulu, jam sembilan ya, lalu nyamperin Kinanti. Sekarang diam dulu, biar aku habiskan makanan aku. Tapi ingat ya, nanti semua yang bayar aku,” kata Ardi lagi.

“Senengnya punya teman baik hati.”

***

Wanda sudah lebih baik. Ia bisa berbincang lancar. Tapi dia baru saja mengetahui bahwa Zaki telah meninggal dalam kecelakaan itu. Wanda menjadi sedih. Bagaimanapun Zaki pergi karena ingin mengantarkan dirinya pulang. Tiba-tiba Wanda merasa bersalah karena waktu itu meminta Zaki agar memacu mobilnya lebih cepat, gara-gara dia ketakutan kalau keduluan orang tuanya sesampai di rumah.

“Semua salah aku. Dia meninggal karena aku,” keluh Wanda pelan. Tapi sang ibu yang terus menerus menungguinya mendengarnya.

“Maukan kamu cerita apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa kamu sama Zaki? Mengapa kamu mengatakan bahwa ada di rumah, sementara kamu ternyata pergi sejak kemarinnya, lalu tahu-tahu mengalami kecelakaan bersama seseorang bernama Zaki. Kamu belum pernah menceritakan temanmu yang bernama Zaki itu,” tanya ibunya panjang lebar.

“Wanda minta maaf. Pasti bapak marah sekali.”

“Tentu saja. Sejak mendengar kamu mengalami kecelakaan, ayahmu sudah marah-marah di sepanjang jalan.”

“Masa Wanda kecelakaan, malah dimarahi? Tidak khawatir kalau Wanda mati, begitu?”

“Kamu bicara apa. Ayahmu marah karena kamu bohong padanya.”

“Soalnya bapak selalu melarang Wanda bepergian. Wanda ingin bertemu teman-teman. Ingin menghirup udara bebas.”

“Itu sejak kamu berhubungan dengan yang namanya Guntur. Ayahmu tidak suka, jadi kamu dikekang agar tidak pergi menemui anak muda itu.”

“Wanda ingin menemui dia yang sakit waktu itu.”

“Kamu?”

“Tapi Wanda tidak ketemu, justru Wanda ketemu Zaki.”

“Siapa dia?”

“Seorang penyanyi. Wanda tidak suka dia sebenarnya.”

“Kamu lalu pergi bersama dia? Lalu kamu menginap di mana?”

Wanda diam. Dia tak berani berterus terang. Sang ibu akan curiga. Ketika bu Wita ingin mendesaknya, Kinanti dan teman-temannya datang.

Wajah Wanda berseri ketika melihat Guntur. Hanya Guntur yang kemudian disapanya.

“Guntur, rupanya kamu juga perhatian sama aku,” katanya pelan.

Bu Wita menatap Guntur. Agak merasa aneh sang anak lebih menyukai Guntur, dari pada anak laki-laki satunya yang lebih ganteng.

“Aku hanya mengikuti kemauan Kinanti,” kata Guntur yang kemudian menyalami bu Wita bergantian dengan yang lainnya.

Mendengar jawaban Guntur, wajah Wanda menjadi muram. Jadi datang kemari karena Kinanti. Ia sedang sakit, kalau tidak pasti dia sudah menyapa Kinanti dengan ucapan yang menyakitkan. Ia sangat membencinya karena mengalahkannya bersaing mendekati Guntur.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Kinanti.

“Baik. Kamu sudah mendengar kalau Zaki meninggal?” Wanda justru menanyakan tentang Zaki kepada Kinanti.

“Kami takziah bersama ketika dia mau dimakamkan.”

“Kamu pasti sedih. Dia cocok sekali denganmu sebenarnya,” entah mengapa Wanda memancing perkataan yang aneh menurut Kinanti.

“Kehilangan seorang teman, pasti sedih,” kata Ardi.

“Kalian duduklah, aku ambilkan minum,” kata bu Wita kemudian.

“Tidak usah Bu, kami hanya sebentar,” kata Guntur.

“Mengapa buru-buru?”

“Masih ada keperluan yang lain,” Guntur memberi alasan.

“Bu, mengapa tiba-tiba perutku sangat mual?” kata Wanda tiba-tiba.

Bu Wita mendekat dengan khawatir.

“Apa obatnya berefek mual ya?”

“Tolong gosok perutku Bu.”

Ketika bu Wita ingin menggosok perut Wanda, Guntur dan teman-temannya segera pamit. Mereka bersyukur tidak ketemu pak Wita waktu itu.

***

Besok lagi ya.

 

50 comments:

  1. πŸ«πŸ’πŸ«πŸ’πŸ«πŸ’πŸ«πŸ’
    Alhamdulillah πŸ™πŸ€©
    JeBeBeeL_23 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam serojaπŸ˜πŸ¦‹
    πŸ«πŸ’πŸ«πŸ’πŸ«πŸ’πŸ«πŸ’

    ReplyDelete
  2. Terima kasih bunda Tien semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Sami2 ibu Endah Probo
      Aduhai hai hai

      Delete
  3. Alhamdulillah sdh tayang
    Matur nuwun Bu Tien

    ReplyDelete

  4. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 23* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  5. Hamdallah....sampun tayang...πŸ‘πŸ’

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 πŸ™πŸ™πŸ™Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🀲

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun Bu Tien... Sugeng ndalu.

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 23 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🀲🀲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Sami2 ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  10. Wanda di interogasi sama makder nya, ada jawaban yang menggantung; nginap dimana, belum sampai menjawab, sudah kedatangan rombongan bezoek, Kinanti, Ardi dan Guntur.
    Lho dulu makder kan kasih saran; kalau cari teman yang pandai, perhatian, baik hati, ini malah makder heran.
    Kenapa nggak milih teman yang satunya yang cakep kenapa milih Guntur yang wajahnya pas pasan, iya ya, gede sedikit ganti dong, kok bisa, kan pas pasan.
    Emang baju, temen satunya yang cakepkan memang sopir, iya, tapi kan bawa mobilnya sendiri.
    Tanda tanda ada sesuatu tuh; tinggalan yang pergi begitu saja, dan merasa bersalah; karena Wanda minta lebih cepat lagi biar cepat sampai rumah, nggak keduluan ortunya.
    Rasanya muter-muter ya, sampai mules gitu.
    Sama, mau ngejawab pertanyaan terakhir muter-muter, pasti dedy marah nanti, padahal sudah dibilang; marahnya dedy karena dibohongi.

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua puluh tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  11. Wanda bikin masalah baru yg bikin pak Wita marah lagi...😰

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat dan bahagia selalu.πŸ™πŸ»πŸ˜€

    ReplyDelete
  12. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 23 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Waduh..Wanda..tiba2..perut nya mules...jangan..jangan...benarkah?
    Ibu nya pasti malu sekali.. klu benar.. sedangkan Zaki telah meninggal.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    S3moga sehat selalu... salam aduhaiπŸ˜™

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ...In Sya Alloh sehat selalu Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  15. Benar, Wanda hamil. Baru berapa minggu ya, kok sudah mual"...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  16. Hamilkah Wanda? Jadi penisirin nich..
    Mtr nwn Bu Tien, sehat sll.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),23 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 24

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  24 (Tien Kumalasari)   Guntur dan teman-temannya bergegas ke area parkir, mereka tampak kurang suka pada sambu...