JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 24
(Tien Kumalasari)
Guntur dan teman-temannya bergegas ke area parkir, mereka tampak kurang suka pada sambutan Wanda, yang teman-temannya sudah susah payah membezoek tapi sambutannya dinilai kurang menyenangkan.
“Hanya Guntur yang disapa lebih manis,” kata Ardi sambil membuka mobilnya.
“Iya Ardi, maklumlah, yang dikehendaki datang kan hanya Guntur,” sambung Kinanti.
Mereka memasuki mobil Ardi sambil bersungut-sungut. Guntur kesal karena dia menjadi sasaran kekesalan kedua temannya.
“Yang ingin datang kemari siapa, aku kan hanya ngikut,” kata Guntur ketika mobil Ardi sudah mulai berjalan.
“Heran aku pada Wanda. Sudah sakit sampai seperti itu, bukannya bertobat, masih saja ingin menyakiti hati orang lain,” kata Ardi.
“Ya sudah, anggap saja kita sedang berjalan-jalan,” kata Guntur.
“Tapi untunglah ayah Wanda tidak ada,” kata Kinanti.
“Anggap saja kita terpaksa datang ke sana,” kata Guntur.
“Tapi kalau kamu mau tinggal, pasti dia akan lebih cepat sembuh,” kata Ardi.
“Enak aja. Memangnya aku obat?”
“Obatlah, obat rindu,” kata Ardi diiringi tawa Kinanti.
“Ardi, apakah kita akan langsung pulang?”
“Terserah, kalian mau ke mana, aku siap mengantar paduka berdua.”
“Paduka berdua, memangnya aku raja?”
“Belum, kalian belum menjadi raja. Pada suatu hari nanti, aku doakan kalian benar-benar menjadi raja.”
“Apa maksudmu?”
“Raja sehari,” kata Ardi sambil terbahak. Membuat wajah Kinanti bersemu merah, sementara Guntur memalingkan muka ke arah jalan.
“Ini benar lhoh, aku pasti akan mendoakan kalian,” kata Ardi lagi.
“Aamiin,” tanpa sadar Kinanti mengucapkannya, kemudian dia benar-benar merasa malu. Mulutnya lancang benar. Tapi mengamini bukankah hal baik?
“Ayuk kita cari es kelapa muda, didepan sana biasanya ada, di pinggir-pinggir jalan,” kata Kinanti untuk mengalihkan pembicaraan yang membuatnya malu.
Guntur diam-diam tersenyum senang. Ia menoleh ke arah Ardi di sampingnya, yang diam-diam mengacungkan jempol sambil tersenyum lebar.
***
Sementara itu bu Wita asyik menggosok perut Wanda yang menurut Wanda sangat terasa mual.
“Entah mengapa ini, apakah tadi Wanda mendapat obat yang baru Bu?” tanya Wanda.
“Tidak, itu masih sisa obat dua hari yang lalu. Sebelumnya tidak merasa mual kan?”
“Tidak, nggak tahu kenapa nih. Sudah Bu, sudah terasa panas.”
Ketika perawat datang, bu Wita menanyakan juga, apakah obat yang diberikan ada efek mual?
“Biasanya tidak Bu, barangkali memang sedang merasa mual saja. Tadi habis makan sesuatu, barangkali?”
“Kamu makan apa?”
“Hanya yang dibawa ibu tadi pagi, memang sedikit eneg.”
“Ya itu. Kamu kebanyakan makannya. Nanti jangan dimakan lagi.”
“Kalau masih mual, nanti saya minta obat kepada dokter,” kata perawat sebelum pergi. Ia hanya datang untuk mengukur tensi Wanda, lalu menuliskannya di lembar laporan.
***
Ketika Kinanti sampai di rumah, bu Bono yang penuh perhatian kepada siapa saja, menanyakan keadaan Wanda.
“Dia sudah mulai membaik. Barangkali segera diperbolehkan pulang.”
“Syukurlah. Ibu ikut bersyukur, dia selamat. Hanya kasihan Zaki ya. Pasti lukanya sangat parah sehingga tidak tertolong.”
“Iya Bu, Kinanti juga tidak mengira dia akan meninggal saat masih sangat muda.”
“Dia sekolah di sekolahmu juga?”
“Tidak. Dia sudah lulus beberapa tahun lalu.”
“Berarti sudah kuliah?”
“Dia tidak kuliah, memilih bermain musik.”
“Sayang sekali.”
“Dia anak orang kaya, sudah cukup harta, jadi pendidikan tidak diutamakan. Orang tuanya juga membiarkannya.”
“Ya, begitulah. Terkadang pendapat orang berbeda-beda. Ada yang walau hidup berkecukupan, tapi tetap mengutamakan pendidikan. Ada yang karena sudah berkecukupan, maka merasa apa yang dimilikinya sudah cukup. Padahal harta itu kan tidak kekal?”
“Ada yang ingin sekolah tapi tidak punya uang yang cukup ….” sambung Kinanti.
“Benar. Tapi sudahlah, jangan membicarakan orang yang sudah meninggal. Semoga ia mendapat tempat yang layak di sisiNya.”
“Aamiin. Tapi kita tidak membicarakan Zaki saja kan Bu? Kita bicara tentang orang lain, yang kaya dan yang dianggap kekurangan.”
“Betul. Harus kita syukuri apa yang sudah kita miliki. Kita harus ingat bahwa kekayaan itu hanya titipan. Ia bukan sesuatu yang abadi.”
“Iya Bu.”
“Bagaimana urusan pendaftaran kamu dan Guntur?”
“Sudah semua Bu, kami mendaftar di beberapa perguruan tinggi. Entah yang mana nanti yang diterima.”
“Semoga kalian bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan ayah kamu.”
“Aamiin. Selalu doakan ya Bu.”
“Doa ibu selalu untuk kamu, dan juga untuk Guntur yang sudah menjadi tanggungan keluarga ini.”
“Terima kasih Bu.”
“Istirahatlah, sambil menunggu ayah kamu pulang.”
***
Beberapa hari kemudian, Wanda sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Dia sudah kelihatan sehat, dan bisa melakukan banyak hal. Pada suatu hari Wanda meminta ijin kepada sang ayah agar diperolehkan ziarah ke makam Zaki.
“Untuk apa? Kamu tidak boleh melakukan perjalanan jauh. Baru saja kamu dinyatakan sembuh.”
“Wanda merasa bersalah pada Zaki. Dia meninggal karena Wanda memintanya dia ngebut.”
“Sejauh ini kamu belum pernah cerita, sebenarnya hari itu kamu ke mana saja, dan apa hubungan kamu dengan Zaki?” tanya sang ayah.
Wanda tidak bisa langsung menjawab. Dia harus mengarang cerita yang masuk akal, agar sang ayah tidak menyalahkannya.
“Sebenarnya Wanda kesepian, dan ingin bertemu teman-teman Wanda.”
“Mengapa berbohong?”
“Kalau Wanda tidak berbohong, pasti Bapak tidak akan mengijinkan,” kata Wanda berterus terang, membuat pak Wita terdiam.
“Lalu bagaimana hubungan kamu dengan Zaki?”
“Dia, hanya … teman baik.”
“Karena teman baik? Tampaknya dia itu anak orang kaya. Dibandingkan dengan teman miskin kamu itu, bukan apa-apanya.”
Wanda merengut. Sang ayah kembali mengungkit Guntur yang masih selalu dikenangnya sebagai teman yang mengagumkan.
“Sayang sekali dia meninggal,” gumam sang ayah.
“Pak, boleh ya, besok Wanda ke makam Zaki?”
“Tidak boleh.”
“Pak, Wanda hanya ingin mengucapkan terima kasih dan minta maaf.”
“Dia sudah meninggal, untuk apa kamu melakukannya?”
“Bapak kok gitu.”
“Ucapkan saja dari rumah, siapa tahu dia mendengarnya.”
“Ya mana mungkin, dia sudah tidak ada.”
“Kalau begitu sama dong, kamu datang ke sanapun dia juga tidak akan tahu apa yang kamu lakukan.”
“Bapak …,” Wanda merengek.
“Jangan kamu kira bapakmu ini bodoh. Yang sebenarnya kamu bukan untuk ziarah ke makam Zaki, tapi untuk menemui si miskin itu kan?”
“Bukan Pak.”
“Kamu itu tukang bohong. Sekali bohong, bapak tidak akan percaya lagi sama kamu.”
“Bapak kok gitu.”
“Bapak melakukan ini hanya untuk kebaikan kamu. Bapak tidak ingin kamu hidup sengsara dan kekurangan. Selamanya kamu hidup berkecukupan. Tidak akan bisa menjalani hidup miskin.”
Wanda merengut, lalu beranjak menjauh dari sang ayah. Sesungguhnya tebakan ayahnya memang benar. Ia ingin bertemu Guntur. Ia tak akan berhenti, sampai Guntur menjadi luluh dan mau memperhatikannya.
“Ingat, dua hari lagi kamu kontrol. Harus ada hasil yang lebih baik. Apa kamu masih merasakan sesuatu yang tidak enak? Ada yang terasa sakit, atau kamu merasakan apa?”
“Tidak ada, kecuali mual,” kata Wanda, lalu memasuki kamarnya.
Pak Wita bersungut-sungut. Bu Wita yang baru muncul dari belakang mendekatinya.
“Bapak jangan memarahi dia terus menerus,” kata bu Wita.
“Aku tidak marah. Coba ibu dengar, dia ingin pergi ziarah ke makam Zaki. Bagaimana aku tidak kesal?”
“Jangan boleh pergi jauh dulu. Dia baru saja sembuh.”
“Itulah, biar saja dia marah. Bukankah dua hari lagi dia harus kontrol? Bagaimana hasilnya kita belum tahu. Kita harus tahu bahwa dia benar-benar dinyatakan sehat.”
“Dia baik, hanya tidak suka makan. Bapak kan tahu, dia selalu makan sedikit. Ia selalu mengeluh mual.”
“Bukankah dokter sudah memberinya obat mual?”
“Tapi dia masih sering mengeluh begitu. Nafsu makannya juga berkurang banyak.”
“Ibu tanyakan dia ingin makan apa, barangkali lauknya tidak cocok.”
“Sudah ibu tanyakan. Katanya tidak ingin apa-apa. Semuanya cukup, tapi tetap saja dia hanya makan sedikit.”
“Nanti kalau kontrol Ibu tanyakan kepada dokter yang menanganinya. Hari itu aku tidak bisa meninggalkan kantor. Jadi Ibu saja ke sana, diantarkan sopir.”
“Jadi Bapak tidak ikut?”
“Tidak, ada pembicaraan bisnis yang tidak bisa bapak tinggalkan. Ibu saja cukup kan?”
“Baiklah, tidak apa-apa.”
“Besok kalau bapak ke kantor, awasi Wanda, jangan sampai dia pergi diam-diam. Anak itu sangat susah diatur.”
“Baiklah.”
“Kalau perlu kunci dia di dalam kamarnya.”
“Tidak usah, ibu akan selalu mendampinginya. Nanti dia sedih, diperlakukan seperti pesakitan.”
“Ya sudah, terserah Ibu saja.”
***
Di dalam kamar, Wanda menelpon salah seorang temannya.
“Wanda? Kamu sudah sembuh?”
“Aku sudah pulang, dan baik-baik saja.”
“Syukurlah. Rumahmu jauh, aku tidak bisa menemui kamu kecuali ada barengannya.”
“Tidak apa-apa. Apa kamu pernah ketemu Guntur?”
“Haaa, kamu masih memikirkannya?”
“Dia cinta sejatiku,” kata Wanda tanpa malu.
“Ke mana-mana, dia selalu bersama Kinanti. Kamu masih ingin bersaing dengannya?”
“Kinanti yang merebut dia dari aku.”
“Aku pernah bertemu mereka. Mereka sedang mendaftar ke perguruan tinggi. Dua-duanya ingin jadi dokter.”
“Benarkah?”
“Iya.”
“Aku ingin bertemu dia, tapi bapak tidak mengijinkan aku pergi. Dua hari lagi aku kontrol.”
“Sendiri? Kamu bisa dong menemuinya.”
“Mana mungkin. Bapak sama ibuku pasti mengantarkan.”
“Aku kabari dia agar mau menemui kamu.”
“Dia nggak mungkin mau. Ya sudahlah, tiba-tiba kepalaku pusing.”
“Kamu masih merasakan pusing?”
“Kadang mual, kadang pusing. Aku juga susah makan. Ini akibat dari kecelakaan itu. Tampaknya onderdil di dalam tubuhku sudah rusak semuanya.”
“Kamu ada-ada saja. Barangkali efek obat yang kamu minum. Kamu harus bersabar ya. Semoga cepat sembuh.”
Wanda menutup pembicaraan itu, lalu berbaring di ranjang. Ia meraih minyak angin yang selalu tersedia di meja dekat tempat tidurnya, menuangkan isinya dan menggosokkannya di perut.
Tiba-tiba sang ibu masuk ke dalam kamar.
“Bau minyak angin?” katanya sambil mendekat.
“Mual lagi, dan pusing Bu.”
“Obatnya sudah diminum?”
“Sudah, tadi.”
“Ya sudah, beristirahatlah. Ini masih pengaruh obat-obat yang kamu minum. Besok kalau kontrol harus bilang pada dokter, semua yang kamu keluhkan.”
Wanda hanya mengangguk. Sang ibu melanjutkan menggosok perut Wanda, kemudian menutupinya dengan selimut.
"Istirahat saja. Banyak keluhan begini, masih ingin pergi ke mana-mana,” gerutu sang ibu.
“Bapak bilang apa pada Ibu?”
“Katanya kamu ingin ziarah ke makam Zaki. Itu kan jauh, sementara kamu belum benar-benar sehat.”
“Apa nanti kalau sehat Wanda boleh pergi ke sana?”
“Entahlah, kita lihat saja nanti. Sekarang kamu istirahat saja.”
“Bu, maukah Ibu memasak ayam tapi dimasak sangat pedas?”
“Sangat pedas? Biasanya kamu nggak suka pedas.”
“Hanya ingin. Siapa tahu dengan itu Wanda bisa makan banyak.”
“Baiklah, besok ibu masak apa yang menjadi keinginan kamu. Makan yang banyak ya? Sebenarnya kalau di kulkas ada persediaan ayam, bisa saja masak sekarang. Sayangnya persediaan ayam habis. Jadi harus menunggu besok.”
“Tidak apa-apa Bu, besok juga mau.”
***
Hari itu, bu Wita benar-benar memasak ayam dibumbu pedas. Sangat pedas seperti keinginan Wanda. Pagi pagi sekali bibik sudah belanja ayam dan segala kelengkapannya, karena di kulkas tidak ada persediaan ayam. Begitu selesai, bibik menghidangkannya di meja. Ia sudah mencicipinya, dan memang sangat pedas. Ia heran karena selamanya nona majikan tidak suka makan pedas. Tapi karena diinginkan, maka bibik terpaksa melakukannya.
Bu Wita mengajak Wanda ke ruang makan, mengatakan kalau ayam pedas sudah matang. Wanda senang sekali. Ia makan dengan lahap.
“Hati-hati Wanda, biarpun ingin, makanan pedas itu bisa membuat perut sakit. Jadi makan sedikit saja.”
Tapi Wanda seperti orang kegirangan. Ia menghabiskan beberapa potong ayam, walau hanya mengambil sedikit nasi.
Wajahnya sudah kemerahan, air mata mengalir membasahi pipi, membuat sang ibu sangat khawatir.
“Sudah Wanda, kamu apa-apaan sih? Sudah. Wajahmu sudah seperti udang direbus,” kata Bu Wita sambil mengambil basi berisi beberapa potongan ayam yang masih tersisa.
Wanda minum beberapa teguk air. Tapi tiba-tiba dia lari ke belakang, dan memuntahkan semua isinya. Bu Wita sangat terkejut.
“Wanda. Kamu keterlaluan. Kebangetan makan tidak pakai ukuran,” katanya sambil memijit-mijit tengkuk Wanda.
Ia segera menelpon dokter keluarga, yang segera datang memeriksanya.
Wajah Wanda pucat pasi.
Dokter memeriksa dengan teliti, lalu menatap bu Wita dengan tatapan aneh.
“Bu, sebaiknya Wanda di bawa ke dokter kandungan.”
“Dokter kandungan?” tanya bu Wita heran.
“Sepertinya Wanda hamil."
***
Besok lagi ya.
🐠🪼🐠🪼🐠🪼🐠🪼
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
JeBeBeeL_24 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai🦋😍
🐠🪼🐠🪼🐠🪼🐠🪼
Waduuuh, kejadian bener deh, Wanda halim... bumi gonjang ganjing sebentar lg, saat ayahnya mengetahui. Hmmm.. entah apa yg terjadi nantinya... Ikutan deg2an niiy... 😁🤭
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Alhamdulillah...
ReplyDeleteNuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 24 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteYes
ReplyDeleteYess ibu Kharisma
DeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Matur nuwun Bu Tien. Wanda hamil.....ceritanya tambah seru. Semoga Ibu sekeluarga tetap sehat njih....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Reni
Terima kasih bu Tien ... JBBL ke 24 sdh tayang ... Smg bu Tien & kelrg happy dan sehat selalu ... Salam Aduhai .
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien ... JBBL ke 24 sdh tayang ... Smg bu Tien & kelrg happy dan sehat selalu ... Salam Aduhai .
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Enny
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah JaBiBuLa 24 sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien🙏
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Sis
Sukurin Wanda hamil, malu ngejar" guntur... Makasih bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteNah loh
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah JBBL-24 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Salam Aduhai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ting
Wanda Halim PK ... jangan² si miskin dikorbankan suruh jd bapak jabang baiknya..... piyè jal, tooobil anak kadal
ReplyDeleteLha piye jal bu Ratna?
DeleteAlhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),24 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Uchu
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah Probo
Karena yang harus bertanggung jawab meninggal, maka Wanda akan mencari pengganti ayah calon sang bayi. Dan tentu yang diincar adalah Guntur. Hati hati ya Guntur, jangan sampai terlena.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien selalu sehat² n trs semangat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
Saran dokter keluarga; memeriksakan Wanda ke dokter kandungan, betapa terkejutnya ada pernyataan seperti itu, jadi makder ingat pertanyaan yang belum dijawab Wanda; menginap dimana.
ReplyDeleteBeranikah Wanda menceritakan apa adanya, tentang dengan siapa yang membuatnya hamil, kepada ibunya.
Atau mencari kambing hitam, atau peran pengganti, buat menutupi aib keluarga.
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua puluh empat sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas crigis
Makder itu apa ta?
Waduuuh...apa yg akan terjadi besok, jd deg2an.
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah Retno
Selamat malam bun, mks JBBL 24 nya ....sehat"sll ya bunda Tien....aelamat malam
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Supriyati
Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 24 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Apa yang di takutkan Bu Wita, mungkin bisa jadi kenyataan, krn Wanda di suruh periksa ke dokter kandungan. Klu benar kan jadi bikin malu kel nya. Sekali lagi ...kasihan Wanda...jadi madesum...masa depan suram...he..he..
Salah siapa nih..klu benar Wanda di nyatakan hamil. Ortu nya yang salah atau Wanda nya yang terlalu bebas..😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Terima kasih Mbu Tien... makin asyiik dan penasaran bngt
ReplyDeleteSami2 pak Zimi
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien cerbubgnya. Salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteAlhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
Bu Wita pasti bingung kok Wanda hamil, kira2 apa alasan Wanda ya ,😁😁🤭
Sami2 ibu Ika
DeleteSalam sehat juga
Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
Delete